Tiba-tiba saja pikiran tentang ini merayapi dinding benak.
Kita mengenal konsep awal dan akhir. Sebab yang mengawali sesuatu akan berakibat sebuah akhir. Yang hidup pada akhirnya akan mati. Yang muda pasti akan tua. Yang tadinya suka atau cinta bisa saja berubah bosan dan berhenti samasekali mencinta.
Pada titik tersebut: hidup, muda, dan cinta menemukan ajalnya ketika sampai pada mati, tua, dan tak lagi cinta atau benci.
Tapi benarkah semua sungguhan berakhir? Sementara kita kerap mendengar bahkan mengimani konsep tentang adanya kehidupan setelah mati. Yang tua akan digantikan yang lebih muda. Bahkan, saat kita berhenti mencintai sesuatu atau seseorang, seringkali kita akan segera menemukan objek baru untuk dilimpahi cinta. Nah, jika sudah begini, bukankah yang semula adalah akhir justru menjadi titik tolak lahirnya sebuah awal yang baru? Kiranya inilah kehidupan; berkesinambungan.
Semua ada waktunya: ada tanggal terbit dan tanggal kadaluwarsa. Ada masa dimana sesuatu yang awalnya hangat akan berubah menjadi dingin bahkan basi.
Karenanya, jangan heran atas reaksiku saat mendengar kabar terbaru darimu. Rasaku padamu sudah basi sejak lama. Meskipun cukup lama waktu yang kubutuhkan berikut deretan usaha yang kuupayakan demi melupakanmu; saat rasa ini sampai pada tanggal kadaluwarsa, semua baik-baik saja.
Aku turut berbahagia saat mendengar kabar pernikahanmu. Lalu cepat lupa.
Karena kini, sudah ada dia yang memenuhi hati dan isi kepala!
*Ditulis di sesi pertemuan Reading Lights Writers' Circle. Tema: "Berakhirnya suatu masa..."
Saturday, December 25, 2010
Tuesday, December 21, 2010
Lelaki Tua di Suhu Minus Lima
Dia berdiri melongok ke bawah jembatan, dimana mengalir sungai kecil yang cukup jernih. Seluruh pakaiannya hitam termasuk topi model lama yang menutupi sebagian rambutnya yang seluruhnya putih, seputih salju di sekitar. Saya pun mengenal lelaki ini hanya sebatas tampak belakang. Atau sebut saja sebatas punggung.
Meski sekelilingnya tertutup salju dan membeku, air sungai yang mengalir di bawah jembatan sama sekali tidak terganggu. Bahkan itik-itik liar masih berenang riang di sana. Saya tidak mengira bahwa itik masih bisa berenang di air yang pasti demikian dingin.
Lelaki tua di jembatan terlihat gusar, lalu buru-buru mengeluarkan sesuatu dari kantung yang dibawanya. Remah roti. Cepat ia taburkan ke bawah jembatan. Lalu, entah apa yang dilihatnya, ia berlari menyebrang jalan sambil memegang kantung berisi remah roti yang terguncang-guncang. Saya tak bisa berhenti memandanginya meski sambil terus melangkah. Lelaki tua menuju sisi lain jembatan, ia menabur semua remah roti yang dibawanya. Begitu selesai, ia melenggang tenang seolah baru saja selesai menunaikan tugas penting. Rupanya, itik liar berenang ke sisi lain jembatan dan lelaki tua mengejar demi memberikan remah roti yang sengaja disisihkannya.
Saya pun melanjutkan langkah dengan pandangan ke depan (sebelumnya saya berjalan sambil melihat ke belakang--ke arah lelaki tua). Kedua telapak tangan tersembunyi di kantung jaket sebab sarung tangan tak cukup menangkal dingin. Saya berjalan sambil menunduk, demi menghangatkan sebagian wajah dengan cara menyembunyikannya di balik syal wool warna maroon. Minus lima derajat; suhu udara pagi ini. Begitu yang saya dengar dari berita prakiraan cuaca hari ini.
Saat-saat seperti ini, sebagian besar orang akan memilih untuk berada di rumah yang hangat sambil minum teh bunga kamomil, dan bukan berada di jalanan apalagi untuk alasan memberi makan itik liar di bawah jembatan!
***
Sepertinya saya memang diberi kesempatan mengenal lelaki tua hanya sebatas pungggung. Beberapa hari kemudian, saya melihatnya (tampak belakang) hendak menyeberang jalan. Jaket hitam dan topi hitam yang sama, yang menutupi rambut seputih salju, membuat saya yakin bahwa dia memang lelaki tua yang memberi makan itik liar di bawah jembatan.
*Musim Dingin di Hamburg, 2009
Meski sekelilingnya tertutup salju dan membeku, air sungai yang mengalir di bawah jembatan sama sekali tidak terganggu. Bahkan itik-itik liar masih berenang riang di sana. Saya tidak mengira bahwa itik masih bisa berenang di air yang pasti demikian dingin.
Lelaki tua di jembatan terlihat gusar, lalu buru-buru mengeluarkan sesuatu dari kantung yang dibawanya. Remah roti. Cepat ia taburkan ke bawah jembatan. Lalu, entah apa yang dilihatnya, ia berlari menyebrang jalan sambil memegang kantung berisi remah roti yang terguncang-guncang. Saya tak bisa berhenti memandanginya meski sambil terus melangkah. Lelaki tua menuju sisi lain jembatan, ia menabur semua remah roti yang dibawanya. Begitu selesai, ia melenggang tenang seolah baru saja selesai menunaikan tugas penting. Rupanya, itik liar berenang ke sisi lain jembatan dan lelaki tua mengejar demi memberikan remah roti yang sengaja disisihkannya.
Saya pun melanjutkan langkah dengan pandangan ke depan (sebelumnya saya berjalan sambil melihat ke belakang--ke arah lelaki tua). Kedua telapak tangan tersembunyi di kantung jaket sebab sarung tangan tak cukup menangkal dingin. Saya berjalan sambil menunduk, demi menghangatkan sebagian wajah dengan cara menyembunyikannya di balik syal wool warna maroon. Minus lima derajat; suhu udara pagi ini. Begitu yang saya dengar dari berita prakiraan cuaca hari ini.
Saat-saat seperti ini, sebagian besar orang akan memilih untuk berada di rumah yang hangat sambil minum teh bunga kamomil, dan bukan berada di jalanan apalagi untuk alasan memberi makan itik liar di bawah jembatan!
***
Sepertinya saya memang diberi kesempatan mengenal lelaki tua hanya sebatas pungggung. Beberapa hari kemudian, saya melihatnya (tampak belakang) hendak menyeberang jalan. Jaket hitam dan topi hitam yang sama, yang menutupi rambut seputih salju, membuat saya yakin bahwa dia memang lelaki tua yang memberi makan itik liar di bawah jembatan.
*Musim Dingin di Hamburg, 2009
Labels:
Bangku Kenangan,
Jejak Langkah,
Jerman,
Taman Pikir
Happy or Unhappy
What makes you think that I'm happy or not happy?
Moreover, me myself sometimes can't predict the idea of feeling happy or unhappy to come.
It's a vast field of world, of issues, of people around us, and of the feeling itself.
They oftentimes influence my feeling; it's my fault. I just can't always choose to be happy facing what's happening.
I may be happy this time, and then feeling sad within another second. That's an extreme shift of emotion, yes I know. But, it's possible, right?
The ups and downs are the rhythm of life's tunes. I'm still learning to enjoy the beat and get used to it.
*bengong iseng: Bandung, 20 Desember 2010*
Moreover, me myself sometimes can't predict the idea of feeling happy or unhappy to come.
It's a vast field of world, of issues, of people around us, and of the feeling itself.
They oftentimes influence my feeling; it's my fault. I just can't always choose to be happy facing what's happening.
I may be happy this time, and then feeling sad within another second. That's an extreme shift of emotion, yes I know. But, it's possible, right?
The ups and downs are the rhythm of life's tunes. I'm still learning to enjoy the beat and get used to it.
*bengong iseng: Bandung, 20 Desember 2010*
Sunday, December 19, 2010
Tangga
Saya melihat ada tangga, di depan sana.
Sederhana, natural, dari bebatuan alam, melingkar turun dipagari pepohonan hijau.
Lalu ujungnya menghilang dibalik rerimbun pohon.
Saya suka tangga ini, tapi ragu untuk melangkah menitinya.
Sebab saya tak tahu, akan ada apa dibalik rerimbun pohon yang menyembunyikan kemana tangga ini menuju...
Tapi saya penasaran...
juga ragu...
Sekarang saya masih berdiri di dekat tangga, sibuk menimbang-nimbang langkah...
Teman Perjalanan
Saya bertemu dengannya sewaktu dalam perjalanan balik mudik, dari Lampung menuju Bandung. Ia berdiri di belakang saya saat mengantri tiket ferry. Ia menanyakan sesuatu pada saya, kalau tidak salah harga tiket. Dan dimulai dari sana kami resmi berteman, teman seperjalanan.
Sebagaimana biasa, arus balik setelah Lebaran selalu penuh sesak. Antrian tiket demikian panjang. Cuaca demikian panas. Jalur antrian diteduhi terpal, dilengkapi kipas angin besar sebagai penyejuk yang sebenarnya tidak terlalu membantu. Melewati antrian tiket, kami berjalan menuju ferry. Dari kejauhan ferry sudah tampak penuh sesak. Ia bilang bahwa kami harus cepat, agar dapat tempat duduk. Tapi percuma, ferry sudah telanjur dipadati penumpang arus balik. Banyak orang terhenti di tangga menuju kabin penumpang, sebab tidak ada lagi ruang di atas sana, sebagian lagi memilih duduk beralaskan koran di tempat yang harusnya tempat parkir kendaraan yang juga menumpang kapal. Kami pun tidak bisa kemana-mana selain ikut duduk beralaskan koran di ruang yang demikian panas.
Selanjutnya saya sibuk memperhatikan orang-orang sekitar tempat saya duduk. Ada bayi yang tidur beralas koran diantara karung dan dus-dus barang bawaan penumpang, ada yang cuek tidur berbantalkan tas berisi pakaian, ada yang makan bekal perjalanan, ada yang ngegosip, para lelaki merokok, dsb.
Tapi entah kenapa, sebab ada seorang teman, perjalanan kali ini terasa ringan-ringan saja. Kami berbagi makanan, bertukar cerita yang umum-umum saja; tentang mau kemana dari mana, kerja apa dimana, membicarakan tentang keadaan kapal dan penumpang lain di sekitar kami, dsb.
Setelah kurang lebih tiga jam berlayar, kami pun merapat di pelabuhan Merak. Dari dermaga, kami harus berjalan lagi menuju tempat parkir bus yang akan membawa kami ke kota tujuan masing-masing. Sekali lagi sebab bersama seorang teman, beban yang saya bawa tidak terlalu menyusahkan rasanya, udara panas tak terlalu mengganggu.
Hingga setiba di terminal bus, kami pun berpisah. Sampai saat itu, saya tidak tahu namanya apalagi nomor telponnya. Dia pun sebalikanya. Kami tidak saling menanyakan. Mungkin karena masing-masing kami tahu bahwa kemungkinan besar kami tidak akan bertemu lagi; atau bahwa kami memang cukup menjadi teman seperjalanan.
Saat menuliskan ini, saya bahkan tidak lagi ingat wajahnya. Tapi saya masih sangat ingat bahwa dia adalah salah seorang teman saya: teman perjalanan. Kalau saya tidak bersamanya saat itu, kemungkinan besar saya sangat tidak menikmati perjalanan menyebrang dengan ferry yang penuh sesak, yang membuat saya harus duduk beralaskan koran di tempat kendaraan yang demikian panas dan bau sebab mesin-mesin kendaraan itu sendiri.
Sebagaimana biasa, arus balik setelah Lebaran selalu penuh sesak. Antrian tiket demikian panjang. Cuaca demikian panas. Jalur antrian diteduhi terpal, dilengkapi kipas angin besar sebagai penyejuk yang sebenarnya tidak terlalu membantu. Melewati antrian tiket, kami berjalan menuju ferry. Dari kejauhan ferry sudah tampak penuh sesak. Ia bilang bahwa kami harus cepat, agar dapat tempat duduk. Tapi percuma, ferry sudah telanjur dipadati penumpang arus balik. Banyak orang terhenti di tangga menuju kabin penumpang, sebab tidak ada lagi ruang di atas sana, sebagian lagi memilih duduk beralaskan koran di tempat yang harusnya tempat parkir kendaraan yang juga menumpang kapal. Kami pun tidak bisa kemana-mana selain ikut duduk beralaskan koran di ruang yang demikian panas.
Selanjutnya saya sibuk memperhatikan orang-orang sekitar tempat saya duduk. Ada bayi yang tidur beralas koran diantara karung dan dus-dus barang bawaan penumpang, ada yang cuek tidur berbantalkan tas berisi pakaian, ada yang makan bekal perjalanan, ada yang ngegosip, para lelaki merokok, dsb.
Tapi entah kenapa, sebab ada seorang teman, perjalanan kali ini terasa ringan-ringan saja. Kami berbagi makanan, bertukar cerita yang umum-umum saja; tentang mau kemana dari mana, kerja apa dimana, membicarakan tentang keadaan kapal dan penumpang lain di sekitar kami, dsb.
Setelah kurang lebih tiga jam berlayar, kami pun merapat di pelabuhan Merak. Dari dermaga, kami harus berjalan lagi menuju tempat parkir bus yang akan membawa kami ke kota tujuan masing-masing. Sekali lagi sebab bersama seorang teman, beban yang saya bawa tidak terlalu menyusahkan rasanya, udara panas tak terlalu mengganggu.
Hingga setiba di terminal bus, kami pun berpisah. Sampai saat itu, saya tidak tahu namanya apalagi nomor telponnya. Dia pun sebalikanya. Kami tidak saling menanyakan. Mungkin karena masing-masing kami tahu bahwa kemungkinan besar kami tidak akan bertemu lagi; atau bahwa kami memang cukup menjadi teman seperjalanan.
Saat menuliskan ini, saya bahkan tidak lagi ingat wajahnya. Tapi saya masih sangat ingat bahwa dia adalah salah seorang teman saya: teman perjalanan. Kalau saya tidak bersamanya saat itu, kemungkinan besar saya sangat tidak menikmati perjalanan menyebrang dengan ferry yang penuh sesak, yang membuat saya harus duduk beralaskan koran di tempat kendaraan yang demikian panas dan bau sebab mesin-mesin kendaraan itu sendiri.
Sunday, November 28, 2010
Berjalan di bawah naungan mendung
sore tadi
ia tahu bahwa resah hari ini
tengah berada di simpang jalan
lalu singgah beristirahat di pucuk-pucuk cemara
menunggu saat mekar...
Esok saat matahari muncul lagi
susah hari ini akan beterbangan
ke langit biru, mengotori udara
lalu hilang begitu saja, senyap di rerumput
dan tanah-tanah lembab...
Lusa saat senja memanjakannya
ia akan lupa
bahwa hari ini pernah ada
bahwa mendung dan langit biru mengganggu tidurnya
Ia akan lupa,
saat waktu sibuk meninabobokannya...
sore tadi
ia tahu bahwa resah hari ini
tengah berada di simpang jalan
lalu singgah beristirahat di pucuk-pucuk cemara
menunggu saat mekar...
Esok saat matahari muncul lagi
susah hari ini akan beterbangan
ke langit biru, mengotori udara
lalu hilang begitu saja, senyap di rerumput
dan tanah-tanah lembab...
Lusa saat senja memanjakannya
ia akan lupa
bahwa hari ini pernah ada
bahwa mendung dan langit biru mengganggu tidurnya
Ia akan lupa,
saat waktu sibuk meninabobokannya...
Saturday, November 27, 2010
Tuesday, November 23, 2010
(Apalah Namanya) ...
Saat kali pertama melihatnya saya langsung suka. Sederhana. Pepatah yang mengatakan bahwa keindahan terletak pada kesederhaan sungguh tepat disandangnya. Tapi sejak awal melihatnya, saya juga tahu bahwa ia tak bisa sembarangan saya pakai. Modelnya jelas tidak sesuai dengan karakter saya, dan karenanya kurang nyaman untuk dipakai kemana suka.
Saya menanyakan harganya: cukup terjangkau meski tidak juga bisa dikatakan murah. Saya pun diserang bimbang tentang apakah akan membelinya atau tidak usah saja. Lama saya pikirkan, hingga akhirnya saya memutuskan untuk tidak membelinya. Bukankah kita sebaiknya membeli apa yang kita butuhkan, yang akan bermanfaat dan berdaya guna.
Saya pergi meninggalkan toko dengan berat hati sebab saya telanjur suka, bahkan jatuh cinta!
Malam harinya saya merasa kacau. Tak bisa tidur. Tak tenang. Tak sabar agar matahari segera bersinar dan pagi cepat menjelang. Saya takut kehilangan. Saya tak rela jika baju tersebut telanjur dibeli orang. Tampaknya baju ini pun tidak pasaran, kemungkinan besar hanya satu-satunya. Aduh, pikiran tentang ini makin memperparah keadaan.
Akhirnya, setelah malam yang terasa lebih panjang dari biasanya, pagi pun datang. Saya kembali ke toko kemarin. Ia masih di sana. Saya langsung menebusnya. Hati lega luar biasa.
Setiba di rumah, saya memakainya--tepatnya mencobanya. (Saya bahkan tidak tahu apakah ukurannya sesuai dengan saya). Saya suka warnanya, modelnya, motif bunga-bunga sulurnya yang manis dan minimalis. Semua. Semua saya suka. Tapi tetap saja, kenyataannya adalah bahwa modelnya tidak sesuai dengan karakter saya, maka tak bisa saya pakai kapan saja.
Sampai hari ini, setelah bertahun-tahun, baju cantik hanya tersimpan rapi di lemari. Menunggu saat yang tepat dan nyaman untuk dipakai, yang entah kapan akan tiba.
Sementara bunga-bunga sulurnya mulai pudar dimakan usia.
Ia memang tidak bermanfaat sebagaimana seharusnya. Tapi bagi saya tak mengapa; memilikinya adalah yang terutama!
--Semoga ia tak merasa sia-sia.
Saya menanyakan harganya: cukup terjangkau meski tidak juga bisa dikatakan murah. Saya pun diserang bimbang tentang apakah akan membelinya atau tidak usah saja. Lama saya pikirkan, hingga akhirnya saya memutuskan untuk tidak membelinya. Bukankah kita sebaiknya membeli apa yang kita butuhkan, yang akan bermanfaat dan berdaya guna.
Saya pergi meninggalkan toko dengan berat hati sebab saya telanjur suka, bahkan jatuh cinta!
Malam harinya saya merasa kacau. Tak bisa tidur. Tak tenang. Tak sabar agar matahari segera bersinar dan pagi cepat menjelang. Saya takut kehilangan. Saya tak rela jika baju tersebut telanjur dibeli orang. Tampaknya baju ini pun tidak pasaran, kemungkinan besar hanya satu-satunya. Aduh, pikiran tentang ini makin memperparah keadaan.
Akhirnya, setelah malam yang terasa lebih panjang dari biasanya, pagi pun datang. Saya kembali ke toko kemarin. Ia masih di sana. Saya langsung menebusnya. Hati lega luar biasa.
Setiba di rumah, saya memakainya--tepatnya mencobanya. (Saya bahkan tidak tahu apakah ukurannya sesuai dengan saya). Saya suka warnanya, modelnya, motif bunga-bunga sulurnya yang manis dan minimalis. Semua. Semua saya suka. Tapi tetap saja, kenyataannya adalah bahwa modelnya tidak sesuai dengan karakter saya, maka tak bisa saya pakai kapan saja.
Sampai hari ini, setelah bertahun-tahun, baju cantik hanya tersimpan rapi di lemari. Menunggu saat yang tepat dan nyaman untuk dipakai, yang entah kapan akan tiba.
Sementara bunga-bunga sulurnya mulai pudar dimakan usia.
Ia memang tidak bermanfaat sebagaimana seharusnya. Tapi bagi saya tak mengapa; memilikinya adalah yang terutama!
--Semoga ia tak merasa sia-sia.
Saturday, November 20, 2010
(Ini bukan sekedar tentang) Sup
Saya menghadapi Sup Linze panas yang disuguhkan dengan bimbang. Erva, teman yang berbagi apartemen dengan saya, sengaja membuatkan sebab saya tampak mulai terjangkit tanda-tanda terkena flu: kepala pusing, hidung mampet, letih dan lesu, jantung berdebar-debar tak karuan. (Saya tidak yakin apakah tanda-tanda terakhir juga gejala flu, tapi jantung berdebar-debar tanpa alasan jelas ini sungguh membuat tak nyaman hati dan badan).
"Ayo dimakan, Sara. Selagi hangat." Sudah dua kali Erva, yang berdarah Turki-Jerman, bilang begitu sebelum akhirnya menghilang di balik pintu karena harus pergi memenuhi janji.
Sup ini biasanya selalu jadi favorit saya, tapi tidak hari ini. Saya sama sekali tidak berselera memakannya. Sup hanyalah makanan pembuka, penyulut selera sebelum sampai di menu utama,kami sering menambahkan air perasan jeruk nipis, agar sedikit asam...salah satu syarat yang harus dipenuhi makanan pembuka.
Tapi jika saya sedang tidak nafsu makan makanan utama, untuk apa memakan sup sebagai pembuka?
Tapi Erva sudah susah payah membuatkan.
Saya bisa membuangnya di wastafel, Erva tidak akan tahu. Tapi apa saya tega?
Akhirnya, saya pun memakannya pelan-pelan, paling tidak saya mencicipnya, menghargai yang sudah susah payah membuatkan.
Saya muntah, pada suapan ke tiga.
Salah siapa?
*coretan pagi...
"Ayo dimakan, Sara. Selagi hangat." Sudah dua kali Erva, yang berdarah Turki-Jerman, bilang begitu sebelum akhirnya menghilang di balik pintu karena harus pergi memenuhi janji.
Sup ini biasanya selalu jadi favorit saya, tapi tidak hari ini. Saya sama sekali tidak berselera memakannya. Sup hanyalah makanan pembuka, penyulut selera sebelum sampai di menu utama,kami sering menambahkan air perasan jeruk nipis, agar sedikit asam...salah satu syarat yang harus dipenuhi makanan pembuka.
Tapi jika saya sedang tidak nafsu makan makanan utama, untuk apa memakan sup sebagai pembuka?
Tapi Erva sudah susah payah membuatkan.
Saya bisa membuangnya di wastafel, Erva tidak akan tahu. Tapi apa saya tega?
Akhirnya, saya pun memakannya pelan-pelan, paling tidak saya mencicipnya, menghargai yang sudah susah payah membuatkan.
Saya muntah, pada suapan ke tiga.
Salah siapa?
*coretan pagi...
Thursday, November 18, 2010
A Pale Moon in a Shining Winter Afternoon!
I was once walking in early afternoon while staring at the pale moon.
But couldn't stop looking back to see the shinning sun in the opposite side.
Then, I heard the solid snow cracked beneath my black boots.
Hey, it's a pale moon in a shining winter afternoon!
What a combination!
You know what? The day before I said to someone that there won't be the sun and the moon at once in the afternoon sky. Well, yes, sometimes we see the moon still hanging in the early morning sky but not in the afternoon's. And in early morning, the sun is not so bright and shining so the moon wouldn't be threatened.
I was so amazed for the moon that I stopped walking and looked at the half moon and the sun by turns. It's just such extraordinary moment for me so I stood and enjoyed it. It "disturbed" me that the sun and the moon apparently can share the sky in the same time.
It was December 31th 2009--approaching a new year's eve or the German used to call it "Sylvester". I was on the way home from Hamburg-sightseeing with friends. It was my first new year's eve in a far away country. It should be a great time; don't you think so? But, it wasn't.
At night, the fireworks filled the sky, but not filled my heart which was painful of the intense sobbing. The fireworks lit the sky so it's full of lights, but my eyes were filled with tears.
I won't tell the reason for the intense crying. It's not the point. I wrote this only because I want to remember the moment and most of all to remember the things I've learned in that very last day of year 2009.
I wondered if I was no different with the pale moon; let say it's extraordinary to keep existing during the day time. But what's the importance? It's no use to shine in the shining winter afternoon!
But couldn't stop looking back to see the shinning sun in the opposite side.
Then, I heard the solid snow cracked beneath my black boots.
Hey, it's a pale moon in a shining winter afternoon!
What a combination!
You know what? The day before I said to someone that there won't be the sun and the moon at once in the afternoon sky. Well, yes, sometimes we see the moon still hanging in the early morning sky but not in the afternoon's. And in early morning, the sun is not so bright and shining so the moon wouldn't be threatened.
I was so amazed for the moon that I stopped walking and looked at the half moon and the sun by turns. It's just such extraordinary moment for me so I stood and enjoyed it. It "disturbed" me that the sun and the moon apparently can share the sky in the same time.
It was December 31th 2009--approaching a new year's eve or the German used to call it "Sylvester". I was on the way home from Hamburg-sightseeing with friends. It was my first new year's eve in a far away country. It should be a great time; don't you think so? But, it wasn't.
At night, the fireworks filled the sky, but not filled my heart which was painful of the intense sobbing. The fireworks lit the sky so it's full of lights, but my eyes were filled with tears.
I won't tell the reason for the intense crying. It's not the point. I wrote this only because I want to remember the moment and most of all to remember the things I've learned in that very last day of year 2009.
I wondered if I was no different with the pale moon; let say it's extraordinary to keep existing during the day time. But what's the importance? It's no use to shine in the shining winter afternoon!
Labels:
Bangku Kenangan,
English Posts,
Jerman,
Taman Pikir
Saturday, November 13, 2010
Ikatan Musim
Bukan salah langit jika ia mendung
tapi musim yang memaksanya untuk murung
Percuma pergi mencari langit biru
sebab musim menitahnya untuk kelabu
Tunggulah dulu,
bahkan langit perlu berganti warna abu-abu
agar birunya ditunggu-tunggu...
tapi musim yang memaksanya untuk murung
Percuma pergi mencari langit biru
sebab musim menitahnya untuk kelabu
Tunggulah dulu,
bahkan langit perlu berganti warna abu-abu
agar birunya ditunggu-tunggu...
Friday, November 12, 2010
Ingatan Hari Ini
Melangkah tergesa tapi tidak setergesa dua hari yang lalu, saya keluar kost-an dan menumpang angkot Elang-Gedebage menuju kantor. Dan dimulailah hari ini...
Saya ingat saya memandangi lama seorang penumpang yang baru naik, yang wajahnya mirip teman SMA. Lalu saya tenggelam dalam pikiran sendiri dan baru kembali "sadar ruang" saat mencium aroma rambut yang baru diurai dari penumpang yang duduk sedikit membelakangi saya.
Mata teralih ke luar jendela, dan saya baru sadar jalanan sepanjang Soekarno-Hatta baru saja diaspal. Bahkan jalan di jalur angkot yang saya tumpangi belum penuh diaspal, baru separuh.
Sampai di kantor tepat pukul delapan lewat sepuluh. Gerbang di dekat mesin absen masih terbuka, yang berarti saya tidak telat. Sesampai di lantai 2 ternyata briefing sudah dimulai.
Hari ini tugas saya lumayan banyak. Untuk mempermudah saya bisa meminta bantuan seseorang, tapi saya tidak mau. Lebih baik saya kerjakan sendiri daripada harus menghadapi orang tersebut. Tapi lama mencari buku referensi di perpus tak juga ketemu, saya mulai berpikir untuk meminta bantuan. Hanya terpikir, sebab saya tetap tidak mau. Tentu saya punya alasan tertentu kenapa tidak mau, alasan yang tidak ingin saya bagi di sini.
Waktu terasa berlari, azan zuhur memanggil. Sesampai di masjid, saya ingat sekali rupa sendal jepit warna oranye yang parkir di tempat saya melepas sepatu. Tali temalinya masih kuat tapi di bagian tumitnya sudah bolong--cekung. Saya bilang ke temen: "Meni awet ya?"
Temen saya mengiyakan, "Kuat ya, teh? Cocok buat ke masjid."
Selesai shalat saya sangat ingat saat seorang rekan kerja bilang, "Hayoo... Neni ngelamun..."
Seingat saya kemarin dan kemarinnya lagi ada juga beberapa teman yang menegur saya begitu.
Saat mengambil sepatu, saya pun melihat sendal bolong tadi dipakai oleh bapak tua penjaga dan petugas kebersihan masjid. Lalu melintaslah sebuah rencana di kepala tentang sendal bolong dan bapak tua.
Saat makan di kantin, masih jelas di kepala tumpukan kertas berbentuk gulungan raksasa ditumpuk di depan pintu masuk kantin, hingga saat kami selesai makan dan melewati antrian para pegawai lelaki yang baru shalat jumat, kami seolah melewati jalur sempit serupa labirin. Saya sempat bertanya bagaimana caranya menumpuk gulungan-gulungan kertas raksasa tersebut hingga tinggi menumpuk.
Dari beberapa kejadian di atas, yang paling nempel di kepala adalah sendal jepit bolong. Bagian lain masih normal, tapi bagian tumit sudah bolong.
Ada banyak kejadian dan interaksi hari ini, tapi hanya segini yang saya ingat atau tepatnya ingin saya ingat. Ehhmm..atau yang ingin saya tulis...
Ada banyak teman tapi hanya sedikit yang teman sejati. Ada banyak kejadian, tapi hanya beberapa yang sampai di telinga kita. Ada banyak tempat yang kita kunjungi, tapi tak banyak tempat yang bisa kita sebut rumah. Ada banyak lelaki tapi hanya satu yang ada di hati (halah! :D).
Tak ada kejadian random, semua ada alasannya. Termasuk adanya alasan kenapa saya menulis tulisan yang kurang penting ini.
Saya ingat saya memandangi lama seorang penumpang yang baru naik, yang wajahnya mirip teman SMA. Lalu saya tenggelam dalam pikiran sendiri dan baru kembali "sadar ruang" saat mencium aroma rambut yang baru diurai dari penumpang yang duduk sedikit membelakangi saya.
Mata teralih ke luar jendela, dan saya baru sadar jalanan sepanjang Soekarno-Hatta baru saja diaspal. Bahkan jalan di jalur angkot yang saya tumpangi belum penuh diaspal, baru separuh.
Sampai di kantor tepat pukul delapan lewat sepuluh. Gerbang di dekat mesin absen masih terbuka, yang berarti saya tidak telat. Sesampai di lantai 2 ternyata briefing sudah dimulai.
Hari ini tugas saya lumayan banyak. Untuk mempermudah saya bisa meminta bantuan seseorang, tapi saya tidak mau. Lebih baik saya kerjakan sendiri daripada harus menghadapi orang tersebut. Tapi lama mencari buku referensi di perpus tak juga ketemu, saya mulai berpikir untuk meminta bantuan. Hanya terpikir, sebab saya tetap tidak mau. Tentu saya punya alasan tertentu kenapa tidak mau, alasan yang tidak ingin saya bagi di sini.
Waktu terasa berlari, azan zuhur memanggil. Sesampai di masjid, saya ingat sekali rupa sendal jepit warna oranye yang parkir di tempat saya melepas sepatu. Tali temalinya masih kuat tapi di bagian tumitnya sudah bolong--cekung. Saya bilang ke temen: "Meni awet ya?"
Temen saya mengiyakan, "Kuat ya, teh? Cocok buat ke masjid."
Selesai shalat saya sangat ingat saat seorang rekan kerja bilang, "Hayoo... Neni ngelamun..."
Seingat saya kemarin dan kemarinnya lagi ada juga beberapa teman yang menegur saya begitu.
Saat mengambil sepatu, saya pun melihat sendal bolong tadi dipakai oleh bapak tua penjaga dan petugas kebersihan masjid. Lalu melintaslah sebuah rencana di kepala tentang sendal bolong dan bapak tua.
Saat makan di kantin, masih jelas di kepala tumpukan kertas berbentuk gulungan raksasa ditumpuk di depan pintu masuk kantin, hingga saat kami selesai makan dan melewati antrian para pegawai lelaki yang baru shalat jumat, kami seolah melewati jalur sempit serupa labirin. Saya sempat bertanya bagaimana caranya menumpuk gulungan-gulungan kertas raksasa tersebut hingga tinggi menumpuk.
Dari beberapa kejadian di atas, yang paling nempel di kepala adalah sendal jepit bolong. Bagian lain masih normal, tapi bagian tumit sudah bolong.
Ada banyak kejadian dan interaksi hari ini, tapi hanya segini yang saya ingat atau tepatnya ingin saya ingat. Ehhmm..atau yang ingin saya tulis...
Ada banyak teman tapi hanya sedikit yang teman sejati. Ada banyak kejadian, tapi hanya beberapa yang sampai di telinga kita. Ada banyak tempat yang kita kunjungi, tapi tak banyak tempat yang bisa kita sebut rumah. Ada banyak lelaki tapi hanya satu yang ada di hati (halah! :D).
Tak ada kejadian random, semua ada alasannya. Termasuk adanya alasan kenapa saya menulis tulisan yang kurang penting ini.
Thursday, November 11, 2010
Ini Itu
Saya peringatkan sejak sekarang, tulisan ini akan lagi bersifat pribadi (setelah sekian lama). Jadi boleh berhenti sampai di sini jika sedang tak ingin mendengar keluh kesah suara hati gundah gulana gegap gempita (*blah!) dari seorang saya.
Hari ini, jika diibaratkan seperti jalanan, emosi dan optimisme saya dalam "memandang" dunia naik turun dan berkelok-kelok bikin pusing. Sampai-sampai untuk kesekian kalinya dalam kurun dua bulan sejak saya menjejak kaki di Indonesia, saya ingin diam saja. Menyerah sementara tapi entah untuk apa, dalam tujuan apa, apalagi visi dan misi selanjutnya jelas tidak ada. Hanya ingin diam, berharap dari diam itu akan ada jalan terbuka lebar dengan sendirinya. Hanya ingin diam, tanpa lagi usaha macam-macam. Hanya ingin diam menunggu, entah apa untuk apa atau siapa. Hah pusing kan?
Tapi ya tapi, diam yang sedang saya bahas di sini hanya untuk satu jenis diam, tidak berlaku untuk diam yang lain. Toh saya harus tetap melanjutkan aktifitas, menjawab "panggilan" pekerjaan, bertemu teman-teman, makan dan minum, melaksanakan ibadah, termasuk merasa bingung, merasa sendirian, merasa dibenci lalu balik membenci, merasa dimanfaatkan dan sedih sebab tidak pernah bisa membebaskan diri dari keadaan yang terus terulang itu di mana pun ia "hinggap", juga masih tetap bermimpi meski kadang ragu kadang angkuh.
Hari ini saya sempat merasa diam saya sedikit berhasil, tapi oh tapi karena saya tidak bisa berkomitmen dan karena mempertimbangkan banyak hal dan banyak ketakutan ini itu, saya melanggar aksi diam yang saya gagas sendiri. Dan sepertinya saya harus diam lagi. Karena pelanggaran tadi, saya merusak harapan yang sempat terbit.
Jelas saya sedang bingung ini. Baiknya saya akhiri saja sebelum makin membingungkan. Saya jadi ingat kata Dewi Lestari dalam salah satu cerpennya di Recto Verso: "Dan dalam keraguan, orang akan merasa lebih baik diam."
Lalu tiba-tiba saya tergerak membuka dan membaca blog Paulo Coelho dan menemukan 2 kalimat pendek yang membuat saya kembali tak ingin diam.
"It's worth it. Just don't quit."
Lalu saya kembali ke jalanan naik turun dan berkelok-kelok tadi dan kembali pusing saat sadar saya tidak punya peta dan tak tahu akan kemana saya melangkah dan di mana akan "sampai".
Karena saya kembali ragu-ragu, sepertinya saya akan diam (lagi) dulu.
Saya ijin untuk diam, boleh ya? Sementara saja, sampai saya tahu cara menyiasati jalanan tadi dan berkurang pusing.
Hari ini, jika diibaratkan seperti jalanan, emosi dan optimisme saya dalam "memandang" dunia naik turun dan berkelok-kelok bikin pusing. Sampai-sampai untuk kesekian kalinya dalam kurun dua bulan sejak saya menjejak kaki di Indonesia, saya ingin diam saja. Menyerah sementara tapi entah untuk apa, dalam tujuan apa, apalagi visi dan misi selanjutnya jelas tidak ada. Hanya ingin diam, berharap dari diam itu akan ada jalan terbuka lebar dengan sendirinya. Hanya ingin diam, tanpa lagi usaha macam-macam. Hanya ingin diam menunggu, entah apa untuk apa atau siapa. Hah pusing kan?
Tapi ya tapi, diam yang sedang saya bahas di sini hanya untuk satu jenis diam, tidak berlaku untuk diam yang lain. Toh saya harus tetap melanjutkan aktifitas, menjawab "panggilan" pekerjaan, bertemu teman-teman, makan dan minum, melaksanakan ibadah, termasuk merasa bingung, merasa sendirian, merasa dibenci lalu balik membenci, merasa dimanfaatkan dan sedih sebab tidak pernah bisa membebaskan diri dari keadaan yang terus terulang itu di mana pun ia "hinggap", juga masih tetap bermimpi meski kadang ragu kadang angkuh.
Hari ini saya sempat merasa diam saya sedikit berhasil, tapi oh tapi karena saya tidak bisa berkomitmen dan karena mempertimbangkan banyak hal dan banyak ketakutan ini itu, saya melanggar aksi diam yang saya gagas sendiri. Dan sepertinya saya harus diam lagi. Karena pelanggaran tadi, saya merusak harapan yang sempat terbit.
Jelas saya sedang bingung ini. Baiknya saya akhiri saja sebelum makin membingungkan. Saya jadi ingat kata Dewi Lestari dalam salah satu cerpennya di Recto Verso: "Dan dalam keraguan, orang akan merasa lebih baik diam."
Lalu tiba-tiba saya tergerak membuka dan membaca blog Paulo Coelho dan menemukan 2 kalimat pendek yang membuat saya kembali tak ingin diam.
"It's worth it. Just don't quit."
Lalu saya kembali ke jalanan naik turun dan berkelok-kelok tadi dan kembali pusing saat sadar saya tidak punya peta dan tak tahu akan kemana saya melangkah dan di mana akan "sampai".
Karena saya kembali ragu-ragu, sepertinya saya akan diam (lagi) dulu.
Saya ijin untuk diam, boleh ya? Sementara saja, sampai saya tahu cara menyiasati jalanan tadi dan berkurang pusing.
Sunday, November 07, 2010
To the Rose
I entrusted my worries
hoping they will be safe from the all thorns
To the Rose
I poured out the color of my blue heart
thinking if it may change its red bud
To the Rose
I admitted my secrets
about the life of mine,
the heart of mine
wishing they are all safe from the the rushing wind
Then the Rose-liked thing laughed at me
saying there must be misunderstanding in me
since Rose isn't Rose without thorns,
and its bud won't change color for centuries,
and Rose won't be fragrant without the rushing wind!
I wondered:
to whom had I entrusted "me"?
Bandung, 7 November 2010
I entrusted my worries
hoping they will be safe from the all thorns
To the Rose
I poured out the color of my blue heart
thinking if it may change its red bud
To the Rose
I admitted my secrets
about the life of mine,
the heart of mine
wishing they are all safe from the the rushing wind
Then the Rose-liked thing laughed at me
saying there must be misunderstanding in me
since Rose isn't Rose without thorns,
and its bud won't change color for centuries,
and Rose won't be fragrant without the rushing wind!
I wondered:
to whom had I entrusted "me"?
Bandung, 7 November 2010
Saturday, November 06, 2010
Bingkai
Saya yakin sekali bahwa semua orang, eh tidak...bahwa hampir semua orang (jika saya tidak boleh mengatakan "semua orang", sebab tidak ada yang sempurna di dunia)--mengagumi saya. Siapa yang tidak kenal dengan saya. Siapa yang tidak penasaran dengan misteri sekaligus pesona yang saya punya, siapa yang tidak tertarik mengenal saya berikut sejarah keberadaan saya di muka bumi. Banyak sudah orang-orang berbondong-bondong datang kemari dari negeri yang jauh sekali; hanya untuk melihat senyum saya, bertemu muka dengan saya, berfoto bersama tentu saja dan setelahnya berbangga sebab telah berhasil berjumpa dengan karya agung sepanjang masa. Begitu mereka biasa menyebut saya, mendeskripsikan saya, yang bagi sebagian besar orang jauh dari memadai sebagai sebuah deskripsi dan apresiasi, sebab keindahan dan karisma yang saya tawarkan tak terwakilkan oleh kata-kata.
Itu kata mereka. Hampir semua orang yang mengenal saya berkata demikian. Yang tidak kenal saya, tidak termasuk dalam data.
Yang mereka tidak tahu adalah bahwa kadang saya bersedih atas kebanggaan mereka pada saya. Kebanggaan karena telah bisa bertemu muka dengan saya yang hanya bisa diam--terkurung tanpa bisa kemana. Ingin sekali rasanya sesekali keluar dari bingkai ini dan ikut pulang bersama seseorang--ke negeri yang tak pernah saya kenal, yang namanya saja sulit saya ingat karena mengejanya saja saya tidak bisa. Tapi bingkai ini sudah jadi takdir yang justru menjadikan saya bermakna. Ialah penjara yang justru membuat saya dikenal dunia yang sudah sangat berbaik hati menerima saya sedemikian berlebihan, hingga membuat saya selalu ingin tersenyum--meski ragu-ragu.
Ah tiba-tiba saya terpikir jangan-jangan dunia sengaja berlaku demikian, agar saya tetap tersenyum; meski ragu-ragu pun tak apa, justru mereka suka. Senyum misterius! Begitu mereka menyebutnya. Senyum terkutuk yang justru menjadikan alasan mereka memenjarakan saya berabad lamanya tapi sekaligus juga memuja saya.
Jika benar demikian, harusnya saya jangan lagi tersenyum. Toh saya pun memang ragu-ragu tersenyum. Tapi berabad lamanya melakukan hal yang sama setiap saat adalah penjara yang lain lagi. Saya sudah lupa bentuk ekspresi atau mimik wajah yang lain. (Atau memang saya tidak pernah mengenal mereka). Saya sudah kaku. Sejak dulu. Sekaku tubuh dan senyum saya yang melegenda: senyum Monalisa!
*Ditulis di Reading Lights Writers' Circle, Sabtu 06 Nov 2010.
Tema: Pembatasan.
Itu kata mereka. Hampir semua orang yang mengenal saya berkata demikian. Yang tidak kenal saya, tidak termasuk dalam data.
Yang mereka tidak tahu adalah bahwa kadang saya bersedih atas kebanggaan mereka pada saya. Kebanggaan karena telah bisa bertemu muka dengan saya yang hanya bisa diam--terkurung tanpa bisa kemana. Ingin sekali rasanya sesekali keluar dari bingkai ini dan ikut pulang bersama seseorang--ke negeri yang tak pernah saya kenal, yang namanya saja sulit saya ingat karena mengejanya saja saya tidak bisa. Tapi bingkai ini sudah jadi takdir yang justru menjadikan saya bermakna. Ialah penjara yang justru membuat saya dikenal dunia yang sudah sangat berbaik hati menerima saya sedemikian berlebihan, hingga membuat saya selalu ingin tersenyum--meski ragu-ragu.
Ah tiba-tiba saya terpikir jangan-jangan dunia sengaja berlaku demikian, agar saya tetap tersenyum; meski ragu-ragu pun tak apa, justru mereka suka. Senyum misterius! Begitu mereka menyebutnya. Senyum terkutuk yang justru menjadikan alasan mereka memenjarakan saya berabad lamanya tapi sekaligus juga memuja saya.
Jika benar demikian, harusnya saya jangan lagi tersenyum. Toh saya pun memang ragu-ragu tersenyum. Tapi berabad lamanya melakukan hal yang sama setiap saat adalah penjara yang lain lagi. Saya sudah lupa bentuk ekspresi atau mimik wajah yang lain. (Atau memang saya tidak pernah mengenal mereka). Saya sudah kaku. Sejak dulu. Sekaku tubuh dan senyum saya yang melegenda: senyum Monalisa!
*Ditulis di Reading Lights Writers' Circle, Sabtu 06 Nov 2010.
Tema: Pembatasan.
Sunday, October 31, 2010
Bunga Musim Gugur
Selalu ada anomali; termasuk bunga-bunga yang justru hanya mekar di musim gugur. Mereka ada di sini, di taman ini. Taman yang nyaris tiap hari kukunjungi, tak peduli angin musim gugur kian giat menggigiti tulang, mengalahkan hangat mentari yang kini hanya menyisakan silau.
Aku paling suka ke sini justru pada saat-saat seperti ini. Saat daun-daun yang kuning satu persatu jatuh menuntaskan siklus hidupnya di bumi. Aku paling suka memandangi hujan daun, mengikuti gerak tarian mereka saat terombang-ambing angin hingga akhirnya mendarat di dekat kaki, di tanah yang lembab, di rerumputan yang masih bertahan untuk tetap hijau.
Tapi memandangi hujan daun adalah bonus kedatanganku ke taman ini pada musim gugur. Yang paling menarik adalah karena di tengah musim di mana semua yang hidup mulai terancam dingin, aku justru menemukan kehidupan. Ah, bukan... bukan aku yang menemukan. Kau. Kau yang pertama kali menunjukkan padaku keberadaan mereka: bunga-bunga yang mekar saat kebanyakan bunga lain memilih untuk gugur dan berakhir.
Kau memang paling suka bunga-bunga musim gugur. Awalnya kusebut kau tidak normal: mana ada lelaki penyuka bunga. Tapi kau dengan tangkas membela diri. Kau bilang kau menyukai mereka karena mereka berbeda, langka; mereka menantang arus; mereka mampu melawan teori yang berlaku di bumi bahwa tumbuhan akan lumpuh saat musim gugur; mereka hidup saat kebanyakan yang lain justru mati; merekalah anomali!
Kemudian, kau pun bilang bahwa alasan yang paling utama kenapa kau menyukai mereka--alasan yang menurutku paling mengada-ada--adalah karena mereka selalu mengingatkanmu pada seorang perempuan yang kini ada di sisi.
Lalu aku bersusah payah memadamkan bara yang tiba-tiba membakar di kedua pipi!
Ditulis di RLWC, 9 Oktober 2010.
Tema: Menulis dengan menginterpretasi lagu "After Midnight" dari Tesla Manaf Efendi.
Aku paling suka ke sini justru pada saat-saat seperti ini. Saat daun-daun yang kuning satu persatu jatuh menuntaskan siklus hidupnya di bumi. Aku paling suka memandangi hujan daun, mengikuti gerak tarian mereka saat terombang-ambing angin hingga akhirnya mendarat di dekat kaki, di tanah yang lembab, di rerumputan yang masih bertahan untuk tetap hijau.
Tapi memandangi hujan daun adalah bonus kedatanganku ke taman ini pada musim gugur. Yang paling menarik adalah karena di tengah musim di mana semua yang hidup mulai terancam dingin, aku justru menemukan kehidupan. Ah, bukan... bukan aku yang menemukan. Kau. Kau yang pertama kali menunjukkan padaku keberadaan mereka: bunga-bunga yang mekar saat kebanyakan bunga lain memilih untuk gugur dan berakhir.
Kau memang paling suka bunga-bunga musim gugur. Awalnya kusebut kau tidak normal: mana ada lelaki penyuka bunga. Tapi kau dengan tangkas membela diri. Kau bilang kau menyukai mereka karena mereka berbeda, langka; mereka menantang arus; mereka mampu melawan teori yang berlaku di bumi bahwa tumbuhan akan lumpuh saat musim gugur; mereka hidup saat kebanyakan yang lain justru mati; merekalah anomali!
Kemudian, kau pun bilang bahwa alasan yang paling utama kenapa kau menyukai mereka--alasan yang menurutku paling mengada-ada--adalah karena mereka selalu mengingatkanmu pada seorang perempuan yang kini ada di sisi.
Lalu aku bersusah payah memadamkan bara yang tiba-tiba membakar di kedua pipi!
Ditulis di RLWC, 9 Oktober 2010.
Tema: Menulis dengan menginterpretasi lagu "After Midnight" dari Tesla Manaf Efendi.
Thursday, October 28, 2010
Tentang Keping Salju
Baiklah, mulai sekarang aku tidak akan lagi mengunjungi taman ini. Tapi bukan karena kamu melarangku. Aku berhenti datang untuk sementara saja. Sebab musim semakin dingin membungkus belahan bumi di mana kita tinggal. Sebagian besar pohon sudah kehilangan daun, angin di permulaan musim dingin sudah makin garang, dan hujan makin sering datang.
Matahari memang masih rajin bersinar, tapi sudah kehilangan hangat.
Sekali lagi kutegaskan, aku berhenti datang ke taman ini bukan karena mengindahkan laranganmu. Aku akan tetap datang saat musim kembali bersahabat.
Bahkan, jika pun salju masih tebal mengubur tanah taman ini, aku akan sesekali datang saat matahari cerah. Walau sekedar untuk melintas—mencetak jejak-jejak sepatu yang dalam. Tentu kamu masih ingat: aku paling suka mendengar suara sepatu beradu dengan salju segar yang demikian halus dan lunak. Aku masih sering berjalan sambil memandang ke belakang, memandangi cetak-cetak sepatu yang kutinggalkan. Tapi sekarang aku harus lebih berhati-hati, sebab kamu tak lagi menggandeng tanganku dan menjadi pemanduku jalanku. Bisa-bisa aku menabrak orang yang juga lalu lalang. Aku juga masih suka sesekali menyambut hujan salju, tentu saja aku akan memakai jaketku yang ber-hoody; sesuai pesanmu. Agar kepalaku tetap hangat, agar aku tidak sakit; terutama sakit kepala atau flu.
Saat hujan salju tidak terlalu lebat, aku akan selalu ingat untuk membentangkan syal sutraku yang berwarna maroon, syal yang terlalu tipis untuk menghadang angin musim dingin. Tapi kau tahu alasan utama mempertahankan kebiasaan yang satu ini: aku sengaja selalu membawanya—selain syal wool yang membebat leherku—agar bisa kubentangkan hingga aku bisa memperhatikan bentuk keping salju yang turun.
Aku memang masih selalu kebingungan atau tepatnya tidak bisa mengingat teori yang kau ceritakan: bahwa tiap keping salju yang turun di suatu daerah tertentu bisa menjadi petunjuk bagi kita untuk mengenali karakteristik daerah itu. Bahwa bentuk bintang sederhana mencirikan ini; bentuk keping yang serupa bintang dengan detail lebih kompleks mencirikan itu; bentuk seperti bunga mencirikan begini atau begitu; dan lain sebagainya. Jangankan teori tentang hubungan keping salju dan karakteristik suatu tempat, aku bahkan tidak bisa ingat ada berapa jenis keping salju berikut nama masing-masing mereka—yang bisa kau hafal dengan sempurna. Cukup bagiku untuk tahu bahwa bentuk mereka berbeda-beda, dan menyenangkan memilih yang mana yang jadi bentuk favoritku.
“Take a closer look”; kalimatmu inilah yang membuatku pertama kali sadar bahwa serpih-serpih salju memiliki bentuk yang berbeda-beda. Membuatku berpikir betapa Tuhan demikian detail: Ia merasa perlu menciptakan serpihan salju dengan berbagai bentuk dan detail yang dibuat dengan sangat seksama. Dan kreasi-Nya ini bukannya tanpa tujuan dan makna.
Sesekali, aku akan juga membuat boneka salju di taman ini. Akan kubawa wortel dan kelereng dengan dua warna yang berbeda untuk mata. Aku sengaja membawa kelereng dengan warna berbeda: warna hitam dan biru, yang masing-masing mewakili warna mataku dan matamu. Lalu untuk tangannya, aku akan mencari dan menemukan ranting-ranting di taman ini. Tentu aku butuh waktu yang lebih lama dalam membuat boneka salju, sebab kau tak lagi ada membantuku. Tapi tidak masalah, setiap mengenang momen yang pernah kubagi denganmu, aku merasa cukup.
Oh ya, saat ada salju yang memberati ranting pohon yang bisa kujangkau, aku akan mengambilnya dan mencicip salju tawar yang cepat lumer di lidah. Aku tidak akan kapok meski dulu kita pernah sakit perut sebab terlalu banyak memakan salju.
Maaf jika aku tak mengindahkan pesanmu; aku akan tetap datang ke taman ini meski kau melarangku. Toh, kau pun tak pernah mengindahhkan inginku: untuk meninggalkan istrimu dan menikah denganku.
***
“Take a closer look,” kembali terngiang kalimatmu. Kalimat pertama yang kudengar darimu. Yang membuatku menyadari keindahan bermacam bentuk keping salju dan sekaligus keindahan biru matamu, yang kini membawa biru di hatiku.
“Take a closer look,” giliranku kini yang mengatakan ini padamu. Coba lihat, meski hatiku membiru, ia masih berfungsi dengan sangat baik. Kamu tidak sebegitunya mengenalku jika mengira ia justru akan membeku.
Bandung, 27 Oktober 2010
Matahari memang masih rajin bersinar, tapi sudah kehilangan hangat.
Sekali lagi kutegaskan, aku berhenti datang ke taman ini bukan karena mengindahkan laranganmu. Aku akan tetap datang saat musim kembali bersahabat.
Bahkan, jika pun salju masih tebal mengubur tanah taman ini, aku akan sesekali datang saat matahari cerah. Walau sekedar untuk melintas—mencetak jejak-jejak sepatu yang dalam. Tentu kamu masih ingat: aku paling suka mendengar suara sepatu beradu dengan salju segar yang demikian halus dan lunak. Aku masih sering berjalan sambil memandang ke belakang, memandangi cetak-cetak sepatu yang kutinggalkan. Tapi sekarang aku harus lebih berhati-hati, sebab kamu tak lagi menggandeng tanganku dan menjadi pemanduku jalanku. Bisa-bisa aku menabrak orang yang juga lalu lalang. Aku juga masih suka sesekali menyambut hujan salju, tentu saja aku akan memakai jaketku yang ber-hoody; sesuai pesanmu. Agar kepalaku tetap hangat, agar aku tidak sakit; terutama sakit kepala atau flu.
Saat hujan salju tidak terlalu lebat, aku akan selalu ingat untuk membentangkan syal sutraku yang berwarna maroon, syal yang terlalu tipis untuk menghadang angin musim dingin. Tapi kau tahu alasan utama mempertahankan kebiasaan yang satu ini: aku sengaja selalu membawanya—selain syal wool yang membebat leherku—agar bisa kubentangkan hingga aku bisa memperhatikan bentuk keping salju yang turun.
Aku memang masih selalu kebingungan atau tepatnya tidak bisa mengingat teori yang kau ceritakan: bahwa tiap keping salju yang turun di suatu daerah tertentu bisa menjadi petunjuk bagi kita untuk mengenali karakteristik daerah itu. Bahwa bentuk bintang sederhana mencirikan ini; bentuk keping yang serupa bintang dengan detail lebih kompleks mencirikan itu; bentuk seperti bunga mencirikan begini atau begitu; dan lain sebagainya. Jangankan teori tentang hubungan keping salju dan karakteristik suatu tempat, aku bahkan tidak bisa ingat ada berapa jenis keping salju berikut nama masing-masing mereka—yang bisa kau hafal dengan sempurna. Cukup bagiku untuk tahu bahwa bentuk mereka berbeda-beda, dan menyenangkan memilih yang mana yang jadi bentuk favoritku.
“Take a closer look”; kalimatmu inilah yang membuatku pertama kali sadar bahwa serpih-serpih salju memiliki bentuk yang berbeda-beda. Membuatku berpikir betapa Tuhan demikian detail: Ia merasa perlu menciptakan serpihan salju dengan berbagai bentuk dan detail yang dibuat dengan sangat seksama. Dan kreasi-Nya ini bukannya tanpa tujuan dan makna.
Sesekali, aku akan juga membuat boneka salju di taman ini. Akan kubawa wortel dan kelereng dengan dua warna yang berbeda untuk mata. Aku sengaja membawa kelereng dengan warna berbeda: warna hitam dan biru, yang masing-masing mewakili warna mataku dan matamu. Lalu untuk tangannya, aku akan mencari dan menemukan ranting-ranting di taman ini. Tentu aku butuh waktu yang lebih lama dalam membuat boneka salju, sebab kau tak lagi ada membantuku. Tapi tidak masalah, setiap mengenang momen yang pernah kubagi denganmu, aku merasa cukup.
Oh ya, saat ada salju yang memberati ranting pohon yang bisa kujangkau, aku akan mengambilnya dan mencicip salju tawar yang cepat lumer di lidah. Aku tidak akan kapok meski dulu kita pernah sakit perut sebab terlalu banyak memakan salju.
Maaf jika aku tak mengindahkan pesanmu; aku akan tetap datang ke taman ini meski kau melarangku. Toh, kau pun tak pernah mengindahhkan inginku: untuk meninggalkan istrimu dan menikah denganku.
***
“Take a closer look,” kembali terngiang kalimatmu. Kalimat pertama yang kudengar darimu. Yang membuatku menyadari keindahan bermacam bentuk keping salju dan sekaligus keindahan biru matamu, yang kini membawa biru di hatiku.
“Take a closer look,” giliranku kini yang mengatakan ini padamu. Coba lihat, meski hatiku membiru, ia masih berfungsi dengan sangat baik. Kamu tidak sebegitunya mengenalku jika mengira ia justru akan membeku.
Bandung, 27 Oktober 2010
Monday, October 25, 2010
Kacang Merah di Rumah Bordil
Pada sebuah rumah bordil yang terletak di pinggiran kota, terdapatlah sebutir kacang merah. Ya, hanya sebutir saja. Bukan satu gelas apalagi satu kilo--satuan yang biasa dijadikan patokan ukuran untuk produk kacang-kacangan.
Jika merunut sejarah keberadaan si Kacang Merah di rumah tersebut, maka bolehlah kita mengulang bagian pembukaan kisah ini: Pada sebuah rumah bordil yang terletak di pinggiran kota, terdamparlah sebutir kacang merah. Ya, hanya sebutir saja. Tidak lebih tidak kurang.
Sejak terdampar di rumah ini, Kacang Merah sudah berpindah-pindah tempat dan atau ruang berkali-kali. Tentu saja bukan atas keinginannya sendiri. Ia berpindah-pindah sebab tersepak orang-orang yang lalu lalang di rumah ini, rumah yang terlihat kecil dari luar tapi memiliki demikian banyak kamar.
Tempat yang paling ia sukai dulu adalah berada di belakang pintu depan. Tapi sial, suatu hari ia tak sengaja tersapu oleh OB rumah bordil ini hingga terpojok di sudut luar pintu depan. Saat itu Kacang Merah berharap ia terlempar ke tanah, ke halaman. Tapi malang tak dapat ditolak, bukannya justru menjauhi rumah, ia malah kembali terpental ke ruang depan sebab terinjak ujung sepatu seorang pelanggan tetap yang sedang berkunjung ke rumah ini. Kacang Merah kembali tersepak ke sana kemari, pernah juga hingga ke dapur, terbuang ke tong sampah, dan dibuang di pekarangan belakang. Saat ia menjejak tanah, bukan main senangnya Kacang Merah. Namun kesenangannya tak berlangsung lama, seekor ayam jago berniat menelannya. Ayam lain juga menginginkannya, berusaha merebutnya dari si ayam jago. Mereka berkejaran, hingga masuk ke dapur rumah bordil. Lalu diusir koki. Ayam jago kaget dan menjatuhkan Kacang Merah di dapur dan meninggalkannya di sana. Lalu Kacang Merah kembali tersepak ke sana kemari hingga akhirnya kini tersudut di kusen jendela salah satu kamar.
Pada awalnya Kacang Merah bersuka hati terdampar di jendela ini, karena ia aman dari sepatu-sepatu atau sapu yang memindahkannya ke sana kemari. Tapi lama kelamaan Kacang Merah tak ingin berada di kamar ini atau kamar manapun di rumah ini. Ia merasa ingin mati saja. Keinginan yang juga tak bisa terpenuhi, sebab sebagai bangsa kacang-kacangan ia tak bisa mudah mati. Makin hari ia makin murung saja. Sepanjang hari dihabiskannya waktu dengan hanya memandang ke luar jendela. Berharap ia bisa melompat keluar. Tapi harapan tinggal harapan, jendela ini tak pernah dibuka tak peduli berapa banyak orang yang datang dan pergi mengisi kamar ini. Datang dan pergi silih berganti.
Ia harus puas hanya bisa memandangi pemandangan di luar jendela, memandangi petani yang sedang sibuk memaculi sawahnya di seberang jalan sana, sambil bermimpi bahwa suatu hari nanti ia bisa menginjak tanah dan bertumbuh.
Jika kalian bertanya bagaimana awal ia bisa terdampar di sini, tentu hanya Kacang Merah yang tahu. Tapi, akibat terlalu lama tinggal di sini, bertemu demikian banyak orang-orang yang berbeda-beda--kecuali pekerja dan pelanggan tetap rumah ini tentu saja-- ia tak lagi bisa mengingat awal mula keberadaannya di rumah bordil ini. Mungkin juga tanpa sadarnya sendiri, ia berusaha melupakan hal tersebut. Ia bahkan terkadang lupa bahwa ia hanyalah sebutir kacang merah dan bukannya saksi sejarah rumah bordil di pinggiran kota.
*Cerita aneh tersebut di atas ditulis saat latihan menulis di RL Writers' Circle ( 23 Okt 2010).
Tema: Menulis dengan menggunakan kata-kata: "kacang merah", "memacul", "rumah bordil."
Jika merunut sejarah keberadaan si Kacang Merah di rumah tersebut, maka bolehlah kita mengulang bagian pembukaan kisah ini: Pada sebuah rumah bordil yang terletak di pinggiran kota, terdamparlah sebutir kacang merah. Ya, hanya sebutir saja. Tidak lebih tidak kurang.
Sejak terdampar di rumah ini, Kacang Merah sudah berpindah-pindah tempat dan atau ruang berkali-kali. Tentu saja bukan atas keinginannya sendiri. Ia berpindah-pindah sebab tersepak orang-orang yang lalu lalang di rumah ini, rumah yang terlihat kecil dari luar tapi memiliki demikian banyak kamar.
Tempat yang paling ia sukai dulu adalah berada di belakang pintu depan. Tapi sial, suatu hari ia tak sengaja tersapu oleh OB rumah bordil ini hingga terpojok di sudut luar pintu depan. Saat itu Kacang Merah berharap ia terlempar ke tanah, ke halaman. Tapi malang tak dapat ditolak, bukannya justru menjauhi rumah, ia malah kembali terpental ke ruang depan sebab terinjak ujung sepatu seorang pelanggan tetap yang sedang berkunjung ke rumah ini. Kacang Merah kembali tersepak ke sana kemari, pernah juga hingga ke dapur, terbuang ke tong sampah, dan dibuang di pekarangan belakang. Saat ia menjejak tanah, bukan main senangnya Kacang Merah. Namun kesenangannya tak berlangsung lama, seekor ayam jago berniat menelannya. Ayam lain juga menginginkannya, berusaha merebutnya dari si ayam jago. Mereka berkejaran, hingga masuk ke dapur rumah bordil. Lalu diusir koki. Ayam jago kaget dan menjatuhkan Kacang Merah di dapur dan meninggalkannya di sana. Lalu Kacang Merah kembali tersepak ke sana kemari hingga akhirnya kini tersudut di kusen jendela salah satu kamar.
Pada awalnya Kacang Merah bersuka hati terdampar di jendela ini, karena ia aman dari sepatu-sepatu atau sapu yang memindahkannya ke sana kemari. Tapi lama kelamaan Kacang Merah tak ingin berada di kamar ini atau kamar manapun di rumah ini. Ia merasa ingin mati saja. Keinginan yang juga tak bisa terpenuhi, sebab sebagai bangsa kacang-kacangan ia tak bisa mudah mati. Makin hari ia makin murung saja. Sepanjang hari dihabiskannya waktu dengan hanya memandang ke luar jendela. Berharap ia bisa melompat keluar. Tapi harapan tinggal harapan, jendela ini tak pernah dibuka tak peduli berapa banyak orang yang datang dan pergi mengisi kamar ini. Datang dan pergi silih berganti.
Ia harus puas hanya bisa memandangi pemandangan di luar jendela, memandangi petani yang sedang sibuk memaculi sawahnya di seberang jalan sana, sambil bermimpi bahwa suatu hari nanti ia bisa menginjak tanah dan bertumbuh.
Jika kalian bertanya bagaimana awal ia bisa terdampar di sini, tentu hanya Kacang Merah yang tahu. Tapi, akibat terlalu lama tinggal di sini, bertemu demikian banyak orang-orang yang berbeda-beda--kecuali pekerja dan pelanggan tetap rumah ini tentu saja-- ia tak lagi bisa mengingat awal mula keberadaannya di rumah bordil ini. Mungkin juga tanpa sadarnya sendiri, ia berusaha melupakan hal tersebut. Ia bahkan terkadang lupa bahwa ia hanyalah sebutir kacang merah dan bukannya saksi sejarah rumah bordil di pinggiran kota.
*Cerita aneh tersebut di atas ditulis saat latihan menulis di RL Writers' Circle ( 23 Okt 2010).
Tema: Menulis dengan menggunakan kata-kata: "kacang merah", "memacul", "rumah bordil."
HOROR
Selain hantu, hal lain yang paling kutakuti adalah kamu!
Padahal kamu terbuat dari tanah dan bukannya api.
Kamu bisa dilihat, nyata dan bukannya tak kasat mata.
Kamu manusia sungguhan dan bukannya jin, setan, atau sebangsanya.
Tapi tetap saja, kamu adalah makhluk paling nyata yang membuatku gemetaran saat bertemu,
membuat punggungku panas tiba-tiba meski tidak ada matahari, api, atau sumber panas lain di sekitarku.
Bertahun berlalu tak membuat rasa takutku padamu berkurang, apalagi menghilang.
Kamu tahu tidak alasan utama ketakutanku padamu?
karena aku terlalu mengenal kamu!
* Latihan menulis di RL Writers' Circle (16 Okt 2010).
Tema: Horor!
### Tulisan ini memang tidak sesuai tema, mohon tidak protes, hehehe...
Padahal kamu terbuat dari tanah dan bukannya api.
Kamu bisa dilihat, nyata dan bukannya tak kasat mata.
Kamu manusia sungguhan dan bukannya jin, setan, atau sebangsanya.
Tapi tetap saja, kamu adalah makhluk paling nyata yang membuatku gemetaran saat bertemu,
membuat punggungku panas tiba-tiba meski tidak ada matahari, api, atau sumber panas lain di sekitarku.
Bertahun berlalu tak membuat rasa takutku padamu berkurang, apalagi menghilang.
Kamu tahu tidak alasan utama ketakutanku padamu?
karena aku terlalu mengenal kamu!
* Latihan menulis di RL Writers' Circle (16 Okt 2010).
Tema: Horor!
### Tulisan ini memang tidak sesuai tema, mohon tidak protes, hehehe...
Wednesday, September 29, 2010
(Tak ingin jadi) Kebiasaan
Sudah kubilang berulang-ulang. Jangan lagi datang sambil membawa rerumpun bunga liar yang kau petiki sepanjang jalan.
Bukan. Bukan aku tak suka. Bukan aku tak mau. Kau tahu aku selalu menyenangi bunga.
Hanya saja, aku mengkhawatirkan musim gugur yang mulai giat merampasi daundaun dari batangnya, dan perlahan-lahan mengincar bunga-bunga liar.
Belum lagi musim dingin yang sudah mengintai. Yang akan mengubur semua yang semula hijau menjadi putih. Menjadikan semua beku. Lalu mati sebab dingin yang terlalu.
Kau sangat tahu, aku selalu kesulitan membebaskan diri dari apa-apa yang sudah jadi kebiasaan.
Kau mengerti kan maksudku?
*Kalianda, 29 Sept 2010
Bukan. Bukan aku tak suka. Bukan aku tak mau. Kau tahu aku selalu menyenangi bunga.
Hanya saja, aku mengkhawatirkan musim gugur yang mulai giat merampasi daundaun dari batangnya, dan perlahan-lahan mengincar bunga-bunga liar.
Belum lagi musim dingin yang sudah mengintai. Yang akan mengubur semua yang semula hijau menjadi putih. Menjadikan semua beku. Lalu mati sebab dingin yang terlalu.
Kau sangat tahu, aku selalu kesulitan membebaskan diri dari apa-apa yang sudah jadi kebiasaan.
Kau mengerti kan maksudku?
*Kalianda, 29 Sept 2010
Monday, September 27, 2010
9/September
Aku jatuh cinta pada September! Selalu. Sepanjang tahun. Dan kemungkinan besar selamanya.
September tahun ini sudah akan berakhir. 3 hari lagi. Atau jika lebih dirinci, September tahun ini akan berakhir dalam hitungan 72 jam. Atau 4.320 menit. Atau 259.200 detik.
Hei coba perhatikan:
7+2=9
4+3+2+0=9
2+5+9+2+0+0=18 >> 1+8=9
Semua penjumlahan menunjukkan hasil 9. Bilangan yang dalam kalender tahunan mewakili September.
Maka aku pun jatuh cinta pada hari ini. Hari yang "dipenuhi" angka 9. Angka yang mewakili September.
Aku lahir pada tanggal 9 bulan 9--bulan September.
Kiranya sekarang kalian mengerti, aku tak butuh alasan yang muluk-muluk untuk jatuh cinta pada September. Pada angka 9. Pada hari ini, 3 hari menjelang akhir September.
#Kalianda, 27 September 2010
September tahun ini sudah akan berakhir. 3 hari lagi. Atau jika lebih dirinci, September tahun ini akan berakhir dalam hitungan 72 jam. Atau 4.320 menit. Atau 259.200 detik.
Hei coba perhatikan:
7+2=9
4+3+2+0=9
2+5+9+2+0+0=18 >> 1+8=9
Semua penjumlahan menunjukkan hasil 9. Bilangan yang dalam kalender tahunan mewakili September.
Maka aku pun jatuh cinta pada hari ini. Hari yang "dipenuhi" angka 9. Angka yang mewakili September.
Aku lahir pada tanggal 9 bulan 9--bulan September.
Kiranya sekarang kalian mengerti, aku tak butuh alasan yang muluk-muluk untuk jatuh cinta pada September. Pada angka 9. Pada hari ini, 3 hari menjelang akhir September.
#Kalianda, 27 September 2010
Saturday, September 11, 2010
Sebelum Penghujan
Ia sering bilang:
sebelum penghujan datang,
ingin menempuh perjalanan panjang
bersama seseorang
Ia menghilang di balik tikungan
tepat saat hujan mengetuk-ngetuk jendela kaca
tanpa suara...
tanpa pesan...
dan aku merasa ditinggalkan...
*Billstedt-- Sabtu, 11 Sept 2010
sebelum penghujan datang,
ingin menempuh perjalanan panjang
bersama seseorang
Ia menghilang di balik tikungan
tepat saat hujan mengetuk-ngetuk jendela kaca
tanpa suara...
tanpa pesan...
dan aku merasa ditinggalkan...
*Billstedt-- Sabtu, 11 Sept 2010
Mengepak Kenangan
Saat aroma perpisahan kian pekat,
rasakan kehadirannya
sambut kedatangannya
ikuti jejaknya
maka semua luka kan sembuh dengan sendirinya
segala amarah perlahan sirna
kalah oleh kuasa detik-detik yang tersisa
jangan lupa lipat semua kenangan dengan rapi
dan tata hingga memenuhi koper yang kau punya
Pilihlah yang baik saja, yang kau butuhkan
tinggalkan yang tak perlu atau yang usang dimakan waktu
semua ada batasnya, ada ukurannya
patuhi itu...
karena jika tidak, hanya akan menyusahkan
dan membebani diri di kemudian hari
atau membuatmu membayar lebih mahal
maka relakan saja sejak awal...
tak bisa semua kau bawa, tak bisa semua kau simpan
tapi percaya: kenangan tetap jadi milikmu selamanya...
di mana pun ia tertinggal
atau sengaja ditinggalkan...
#Billstedt--Jumat, 10 Sept 2010
rasakan kehadirannya
sambut kedatangannya
ikuti jejaknya
maka semua luka kan sembuh dengan sendirinya
segala amarah perlahan sirna
kalah oleh kuasa detik-detik yang tersisa
jangan lupa lipat semua kenangan dengan rapi
dan tata hingga memenuhi koper yang kau punya
Pilihlah yang baik saja, yang kau butuhkan
tinggalkan yang tak perlu atau yang usang dimakan waktu
semua ada batasnya, ada ukurannya
patuhi itu...
karena jika tidak, hanya akan menyusahkan
dan membebani diri di kemudian hari
atau membuatmu membayar lebih mahal
maka relakan saja sejak awal...
tak bisa semua kau bawa, tak bisa semua kau simpan
tapi percaya: kenangan tetap jadi milikmu selamanya...
di mana pun ia tertinggal
atau sengaja ditinggalkan...
#Billstedt--Jumat, 10 Sept 2010
Tuesday, September 07, 2010
Meracau: Mengantungi Matahari
Hari ini aku berhasil menangkap matahari. Ia terjatuh saat tengah asyik bermain ayunan. Ia tidak menangis, hanya sedikit meringis, dan kehilangan cerahnya.
Daun-daun kuning beristirahat dengan tenang di pangkuan rumput hijau, hingga angin datang mengajak mereka bergoyang, atau bahkan terbang.
Langit, birunya sangat bersih dan terang, bersanding kontras dengan gumpalan-gumpalan tebal awan putih bersih. Luas sekali.
Daun-daun kuning beristirahat dengan tenang di pangkuan rumput hijau, hingga angin datang mengajak mereka bergoyang, atau bahkan terbang.
Langit, birunya sangat bersih dan terang, bersanding kontras dengan gumpalan-gumpalan tebal awan putih bersih. Luas sekali.
Wednesday, August 18, 2010
Kalimat Berantai
Sejak kursus di VHS berakhir, saya mengikuti Deutsch Lernen und Menschen Treffen di perpustakaan tak jauh dari VHS (masih di kawasan Billstedt Centrum). Program ini terbilang baru, dan diadakan secara gratis setiap hari Senin dan Kamis pukul 10.00-11.00. Meski begitu, setiap pertemuan di kedua hari tersebut bukanlah satu kesatuan. Pada hari Senin kami punya dua fasilitator, sedang hari kamis kami hanya punya seorang fasilitator lain lagi. Konsep pembelajaran pun berbeda. Khusus untuk hari kamis, pertemuan ini hanya terbuka untuk perempuan.
Sudah tiga minggu tak datang sebab berlibur ke Turki, ternyata ada perubahan sistem di hari Senin ini. Biasanya kami bertemu, sambil minum kopi dan biskuit, lalu bergiliran bercerita tentang apa yang dilakukan akhir minggu kemarin. Atau kadang-kadang, obrolan mengalir begitu saja tanpa ada tema khusus. Saya pikir saya akan ditanya perihal liburan ke Turki saat sesi dimulai. Eh belum mulai sesi, mereka sudah menanyakan perihal liburan tersebut. Selanjutnya sesi perkenalan anggota baru: ada Yelena dan Francis yang bicara panjang lebar tentang diri mereka. Setelahnya, sesi hari ini pun dimulai.
Hari ini, kami punya permainan. Sepuluh orang hadir mengelilingi 4 (empat) meja kayu kecil yang dijadikan satu meja besar. Sambil minum kopi dan makan biskuit, secara bergantian masing-masing dari kami harus menyambung kata dari peserta sebelumnya agar menjadi sebuah kalimat panjang. Tapi ini tak semudah teorinya, karena sebisa mungkin kata yang dipilih harus memungkinkan peserta berikutnya bisa melanjutkan. Intinya membuat kalimat sepanjang-panjangnya sebelum titik. Dan saat tiba giliran, sebelum menambahkan kata baru, setiap peserta harus mengulang semua kata yang sudah disebut sejak awal oleh peserta sebelumnya. Jadi, permainan ini pun membutuhkan kemampuan mengingat yang baik. Untuk mengingat rentetan kata berantai, saya tidak mengalami kesulitan. Tapi, saya kebingungan tiap kali kebagian giliran menyambung kalimat. Untung dibantu.
Ini dia kalimat berantai hari ini. Saya urutan no. 2. Jadi kata yang saya sebutkan adalah: sind, außer, hier.
"Wir sind hier und lernen Deutsch, aber nicht so komplisiertes Deutsch außer English, denn es ist so einfach für alle die hier teilnehmen, also können wir weiter lernen und Tschüs!"
Artinya: Kami ada di sini dan belajar Bahasa Jerman, tapi bukan Jerman yang rumit bukan pula Bahasa Inggris, karena sangat mudah bagi semua orang untuk turut serta, maka bisalah kita terus belajar dan bye!
Tschüs=bye dalam bahasa Inggris. Sedikit tidak nyambung memang. Tapi kata ini muncul bukan tanpa alasan. Waktu satu jam sudah habis, maka Sarah (fasilitator) dengan spontan menyebut kata ini untuk mengakhiri kalimat, diikuti tawa kami semua. Di sebelah Sarah ada Agata, juga fasilitator. Keduanya berasal dari Polandia. Urutan selanjutnya ada saya (Indonesia), Yelena (Kazakstan), Gulalei (Afganistan), Danuta (Polandia), Valai (Azerbaijan), Francis (Ghana-Afrika), Darius (lupa dari mana), Kemi (Afrika).
*Billstedt; Senin, 16 Agustus 2010
Sudah tiga minggu tak datang sebab berlibur ke Turki, ternyata ada perubahan sistem di hari Senin ini. Biasanya kami bertemu, sambil minum kopi dan biskuit, lalu bergiliran bercerita tentang apa yang dilakukan akhir minggu kemarin. Atau kadang-kadang, obrolan mengalir begitu saja tanpa ada tema khusus. Saya pikir saya akan ditanya perihal liburan ke Turki saat sesi dimulai. Eh belum mulai sesi, mereka sudah menanyakan perihal liburan tersebut. Selanjutnya sesi perkenalan anggota baru: ada Yelena dan Francis yang bicara panjang lebar tentang diri mereka. Setelahnya, sesi hari ini pun dimulai.
Hari ini, kami punya permainan. Sepuluh orang hadir mengelilingi 4 (empat) meja kayu kecil yang dijadikan satu meja besar. Sambil minum kopi dan makan biskuit, secara bergantian masing-masing dari kami harus menyambung kata dari peserta sebelumnya agar menjadi sebuah kalimat panjang. Tapi ini tak semudah teorinya, karena sebisa mungkin kata yang dipilih harus memungkinkan peserta berikutnya bisa melanjutkan. Intinya membuat kalimat sepanjang-panjangnya sebelum titik. Dan saat tiba giliran, sebelum menambahkan kata baru, setiap peserta harus mengulang semua kata yang sudah disebut sejak awal oleh peserta sebelumnya. Jadi, permainan ini pun membutuhkan kemampuan mengingat yang baik. Untuk mengingat rentetan kata berantai, saya tidak mengalami kesulitan. Tapi, saya kebingungan tiap kali kebagian giliran menyambung kalimat. Untung dibantu.
Ini dia kalimat berantai hari ini. Saya urutan no. 2. Jadi kata yang saya sebutkan adalah: sind, außer, hier.
"Wir sind hier und lernen Deutsch, aber nicht so komplisiertes Deutsch außer English, denn es ist so einfach für alle die hier teilnehmen, also können wir weiter lernen und Tschüs!"
Artinya: Kami ada di sini dan belajar Bahasa Jerman, tapi bukan Jerman yang rumit bukan pula Bahasa Inggris, karena sangat mudah bagi semua orang untuk turut serta, maka bisalah kita terus belajar dan bye!
Tschüs=bye dalam bahasa Inggris. Sedikit tidak nyambung memang. Tapi kata ini muncul bukan tanpa alasan. Waktu satu jam sudah habis, maka Sarah (fasilitator) dengan spontan menyebut kata ini untuk mengakhiri kalimat, diikuti tawa kami semua. Di sebelah Sarah ada Agata, juga fasilitator. Keduanya berasal dari Polandia. Urutan selanjutnya ada saya (Indonesia), Yelena (Kazakstan), Gulalei (Afganistan), Danuta (Polandia), Valai (Azerbaijan), Francis (Ghana-Afrika), Darius (lupa dari mana), Kemi (Afrika).
*Billstedt; Senin, 16 Agustus 2010
Friday, July 02, 2010
Cinta Musim Semi
Tidak seperti pepohonan dan reranting
yang mati mengering
pada tiap-tiap musim dingin,
cintaku padamu tetap semi sepanjang tahun
Genggamlah tanganku
kita jajari langkah-langkah waktu
tanpa pernah takut dan ragu
terbekukan salju...
Hamburg, 2 Juli 2010
*Foto diambil pada 10 Maret 2010; Öjendorfer Park
yang mati mengering
pada tiap-tiap musim dingin,
cintaku padamu tetap semi sepanjang tahun
Genggamlah tanganku
kita jajari langkah-langkah waktu
tanpa pernah takut dan ragu
terbekukan salju...
Hamburg, 2 Juli 2010
*Foto diambil pada 10 Maret 2010; Öjendorfer Park
Saturday, June 26, 2010
Beri Aku Judul
Jika saja kutemukan jendela pada hatimu
aku rela melompat masuk melaluinya,
dengan diam-diam tentu saja
lalu setelah berada di dalam,
kan kucari dan kucoba buka pintu di hatimu
yang telah kau kunci rapat-rapat
Jika pun aku tak bisa membukanya
lantaran tak menemukan kuncinya
pun karena alasan lain
toh aku sudah di sana:
di dalam hatimu,
maka sambutlah aku...
Seandainya kau berniat mengusirku
tentu kau butuh usaha
untuk melemparku keluar melalui jendela
dan sepertinya kau takkan tega
Maka satu-satunya pilihan yang kau punya
(untuk mengusirku)
adalah membuka pintu di hatimu
dan saat kau melakukannya,
misiku pun tuntas terlaksana
jikapun terusir,
aku pergi sebagai juara...
*Hamburg, 13 Juni 2010*
aku rela melompat masuk melaluinya,
dengan diam-diam tentu saja
lalu setelah berada di dalam,
kan kucari dan kucoba buka pintu di hatimu
yang telah kau kunci rapat-rapat
Jika pun aku tak bisa membukanya
lantaran tak menemukan kuncinya
pun karena alasan lain
toh aku sudah di sana:
di dalam hatimu,
maka sambutlah aku...
Seandainya kau berniat mengusirku
tentu kau butuh usaha
untuk melemparku keluar melalui jendela
dan sepertinya kau takkan tega
Maka satu-satunya pilihan yang kau punya
(untuk mengusirku)
adalah membuka pintu di hatimu
dan saat kau melakukannya,
misiku pun tuntas terlaksana
jikapun terusir,
aku pergi sebagai juara...
*Hamburg, 13 Juni 2010*
Monday, June 21, 2010
Rahasia Hujan
Hari ini hujan datang membawa berita
menitipkan rintik-rintik kisahnya
pada tanah yang menyemerbak
membisikkan derasnya cerita
pada angin yang gelisah--
mengguncang daun-daun basah
Hari ini hujan datang membawa berita
sebuah rahasia katanya
yang menjadikan langit jauh dari biru,
melainkan sewarna tanah
yang merampas daun-daun
dari pokok pohon yang menggigil pilu
Hari ini hujan datang membawa berita
sebuah rahasia tentang kita katanya
yang masing-masing hatinya membiru
sebab terlalu lama memendam rindu--
rindu yang kini terlalu tua diperam waktu
Maka biarlah rahasia hujan hari ini
membasuh hati kita,
dan mendewasakannya...
*Hamburg, 20 Juni 2010*
Gambar dipinjam dari sini.
menitipkan rintik-rintik kisahnya
pada tanah yang menyemerbak
membisikkan derasnya cerita
pada angin yang gelisah--
mengguncang daun-daun basah
Hari ini hujan datang membawa berita
sebuah rahasia katanya
yang menjadikan langit jauh dari biru,
melainkan sewarna tanah
yang merampas daun-daun
dari pokok pohon yang menggigil pilu
Hari ini hujan datang membawa berita
sebuah rahasia tentang kita katanya
yang masing-masing hatinya membiru
sebab terlalu lama memendam rindu--
rindu yang kini terlalu tua diperam waktu
Maka biarlah rahasia hujan hari ini
membasuh hati kita,
dan mendewasakannya...
*Hamburg, 20 Juni 2010*
Gambar dipinjam dari sini.
Tuesday, March 30, 2010
Bintang Aneka Rasa
Aku masih ingat saat kali pertama kita melihat Bimasakti:
Ribuan bintang berdesakan memenuhi langit,
berlomba-lomba memancarkan cahaya,
beramai-ramai memeluk hati kita,
dan memantulkan kilaunya pada kedua mata.
Lalu kau bertanya: "Seperti apa rasanya bintang?"
Sungguh aku tak tahu; tak ada yang pernah makan bintang,
tak kan ada yang mampu.
Tapi kau takkan terima jawaban itu
Maka aku mulai mengarang: bahwa rasanya terang seperti cahaya
Kau tak bisa percaya
Lalu kubilang rasanya manis seperti kue buatan ibu
Kau malah tertawa
Kusebut harum bagai kelopak mawar
Kau sangka aku bercanda
Kukira syahdu seperti lagu merdu
Kau tak terima
Kusangka hangat bagai selimut baru
Wajahmu jadi penuh tanda tanya
Dan aku terus mencoba menyebut berbagai rasa,
yang semuanya tak kau terima
Hingga akhirnya kau lelah menetang, dan bilang:
"Tak ada yang tahu rasa bintang,
karena tak ada yang pernah makan bintang,
tak kan ada yang mampu."
Aku pun hanya bisa membisu,
terlebih saat kau mulai menyalahkanku:
menyebutku pembual nomor satu.
***
Aku ingin melihat lagi Bimasakti
yang cahayanya memeluk hati,
yang kilaunya terpancar pada kedua mata
sambil berharap kau ada di sisi
dan kembali bertanya hal yang sama,
karena aku sudah menyiapkan jawabannya:
bahwa bintang kali ini,
rasanya seperti--
rindu...
~ Hamburg, 29 Maret 2010~
Ribuan bintang berdesakan memenuhi langit,
berlomba-lomba memancarkan cahaya,
beramai-ramai memeluk hati kita,
dan memantulkan kilaunya pada kedua mata.
Lalu kau bertanya: "Seperti apa rasanya bintang?"
Sungguh aku tak tahu; tak ada yang pernah makan bintang,
tak kan ada yang mampu.
Tapi kau takkan terima jawaban itu
Maka aku mulai mengarang: bahwa rasanya terang seperti cahaya
Kau tak bisa percaya
Lalu kubilang rasanya manis seperti kue buatan ibu
Kau malah tertawa
Kusebut harum bagai kelopak mawar
Kau sangka aku bercanda
Kukira syahdu seperti lagu merdu
Kau tak terima
Kusangka hangat bagai selimut baru
Wajahmu jadi penuh tanda tanya
Dan aku terus mencoba menyebut berbagai rasa,
yang semuanya tak kau terima
Hingga akhirnya kau lelah menetang, dan bilang:
"Tak ada yang tahu rasa bintang,
karena tak ada yang pernah makan bintang,
tak kan ada yang mampu."
Aku pun hanya bisa membisu,
terlebih saat kau mulai menyalahkanku:
menyebutku pembual nomor satu.
***
Aku ingin melihat lagi Bimasakti
yang cahayanya memeluk hati,
yang kilaunya terpancar pada kedua mata
sambil berharap kau ada di sisi
dan kembali bertanya hal yang sama,
karena aku sudah menyiapkan jawabannya:
bahwa bintang kali ini,
rasanya seperti--
rindu...
~ Hamburg, 29 Maret 2010~
Subscribe to:
Posts (Atom)