Sunday, October 31, 2010

Bunga Musim Gugur

Selalu ada anomali; termasuk bunga-bunga yang justru hanya mekar di musim gugur. Mereka ada di sini, di taman ini. Taman yang nyaris tiap hari kukunjungi, tak peduli angin musim gugur kian giat menggigiti tulang, mengalahkan hangat mentari yang kini hanya menyisakan silau.

Aku paling suka ke sini justru pada saat-saat seperti ini. Saat daun-daun yang kuning satu persatu jatuh menuntaskan siklus hidupnya di bumi. Aku paling suka memandangi hujan daun, mengikuti gerak tarian mereka saat terombang-ambing angin hingga akhirnya mendarat di dekat kaki, di tanah yang lembab, di rerumputan yang masih bertahan untuk tetap hijau.

Tapi memandangi hujan daun adalah bonus kedatanganku ke taman ini pada musim gugur. Yang paling menarik adalah karena di tengah musim di mana semua yang hidup mulai terancam dingin, aku justru menemukan kehidupan. Ah, bukan... bukan aku yang menemukan. Kau. Kau yang pertama kali menunjukkan padaku keberadaan mereka: bunga-bunga yang mekar saat kebanyakan bunga lain memilih untuk gugur dan berakhir.

Kau memang paling suka bunga-bunga musim gugur. Awalnya kusebut kau tidak normal: mana ada lelaki penyuka bunga. Tapi kau dengan tangkas membela diri. Kau bilang kau menyukai mereka karena mereka berbeda, langka; mereka menantang arus; mereka mampu melawan teori yang berlaku di bumi bahwa tumbuhan akan lumpuh saat musim gugur; mereka hidup saat kebanyakan yang lain justru mati; merekalah anomali!

Kemudian, kau pun bilang bahwa alasan yang paling utama kenapa kau menyukai mereka--alasan yang menurutku paling mengada-ada--adalah karena mereka selalu mengingatkanmu pada seorang perempuan yang kini ada di sisi.

Lalu aku bersusah payah memadamkan bara yang tiba-tiba membakar di kedua pipi!



Ditulis di RLWC, 9 Oktober 2010.
Tema: Menulis dengan menginterpretasi lagu "After Midnight" dari Tesla Manaf Efendi.

Thursday, October 28, 2010

Tentang Keping Salju

Baiklah, mulai sekarang aku tidak akan lagi mengunjungi taman ini. Tapi bukan karena kamu melarangku. Aku berhenti datang untuk sementara saja. Sebab musim semakin dingin membungkus belahan bumi di mana kita tinggal. Sebagian besar pohon sudah kehilangan daun, angin di permulaan musim dingin sudah makin garang, dan hujan makin sering datang.

Matahari memang masih rajin bersinar, tapi sudah kehilangan hangat.

Sekali lagi kutegaskan, aku berhenti datang ke taman ini bukan karena mengindahkan laranganmu. Aku akan tetap datang saat musim kembali bersahabat.

Bahkan, jika pun salju masih tebal mengubur tanah taman ini, aku akan sesekali datang saat matahari cerah. Walau sekedar untuk melintas—mencetak jejak-jejak sepatu yang dalam. Tentu kamu masih ingat: aku paling suka mendengar suara sepatu beradu dengan salju segar yang demikian halus dan lunak. Aku masih sering berjalan sambil memandang ke belakang, memandangi cetak-cetak sepatu yang kutinggalkan. Tapi sekarang aku harus lebih berhati-hati, sebab kamu tak lagi menggandeng tanganku dan menjadi pemanduku jalanku. Bisa-bisa aku menabrak orang yang juga lalu lalang. Aku juga masih suka sesekali menyambut hujan salju, tentu saja aku akan memakai jaketku yang ber-hoody; sesuai pesanmu. Agar kepalaku tetap hangat, agar aku tidak sakit; terutama sakit kepala atau flu.

Saat hujan salju tidak terlalu lebat, aku akan selalu ingat untuk membentangkan syal sutraku yang berwarna maroon, syal yang terlalu tipis untuk menghadang angin musim dingin. Tapi kau tahu alasan utama mempertahankan kebiasaan yang satu ini: aku sengaja selalu membawanya—selain syal wool yang membebat leherku—agar bisa kubentangkan hingga aku bisa memperhatikan bentuk keping salju yang turun.

Aku memang masih selalu kebingungan atau tepatnya tidak bisa mengingat teori yang kau ceritakan: bahwa tiap keping salju yang turun di suatu daerah tertentu bisa menjadi petunjuk bagi kita untuk mengenali karakteristik daerah itu. Bahwa bentuk bintang sederhana mencirikan ini; bentuk keping yang serupa bintang dengan detail lebih kompleks mencirikan itu; bentuk seperti bunga mencirikan begini atau begitu; dan lain sebagainya. Jangankan teori tentang hubungan keping salju dan karakteristik suatu tempat, aku bahkan tidak bisa ingat ada berapa jenis keping salju berikut nama masing-masing mereka—yang bisa kau hafal dengan sempurna. Cukup bagiku untuk tahu bahwa bentuk mereka berbeda-beda, dan menyenangkan memilih yang mana yang jadi bentuk favoritku.

Take a closer look”; kalimatmu inilah yang membuatku pertama kali sadar bahwa serpih-serpih salju memiliki bentuk yang berbeda-beda. Membuatku berpikir betapa Tuhan demikian detail: Ia merasa perlu menciptakan serpihan salju dengan berbagai bentuk dan detail yang dibuat dengan sangat seksama. Dan kreasi-Nya ini bukannya tanpa tujuan dan makna.

Sesekali, aku akan juga membuat boneka salju di taman ini. Akan kubawa wortel dan kelereng dengan dua warna yang berbeda untuk mata. Aku sengaja membawa kelereng dengan warna berbeda: warna hitam dan biru, yang masing-masing mewakili warna mataku dan matamu. Lalu untuk tangannya, aku akan mencari dan menemukan ranting-ranting di taman ini. Tentu aku butuh waktu yang lebih lama dalam membuat boneka salju, sebab kau tak lagi ada membantuku. Tapi tidak masalah, setiap mengenang momen yang pernah kubagi denganmu, aku merasa cukup.

Oh ya, saat ada salju yang memberati ranting pohon yang bisa kujangkau, aku akan mengambilnya dan mencicip salju tawar yang cepat lumer di lidah. Aku tidak akan kapok meski dulu kita pernah sakit perut sebab terlalu banyak memakan salju.

Maaf jika aku tak mengindahkan pesanmu; aku akan tetap datang ke taman ini meski kau melarangku. Toh, kau pun tak pernah mengindahhkan inginku: untuk meninggalkan istrimu dan menikah denganku.

***

Take a closer look,” kembali terngiang kalimatmu. Kalimat pertama yang kudengar darimu. Yang membuatku menyadari keindahan bermacam bentuk keping salju dan sekaligus keindahan biru matamu, yang kini membawa biru di hatiku.

Take a closer look,” giliranku kini yang mengatakan ini padamu. Coba lihat, meski hatiku membiru, ia masih berfungsi dengan sangat baik. Kamu tidak sebegitunya mengenalku jika mengira ia justru akan membeku.





Bandung, 27 Oktober 2010

Monday, October 25, 2010

Kacang Merah di Rumah Bordil

Pada sebuah rumah bordil yang terletak di pinggiran kota, terdapatlah sebutir kacang merah. Ya, hanya sebutir saja. Bukan satu gelas apalagi satu kilo--satuan yang biasa dijadikan patokan ukuran untuk produk kacang-kacangan.

Jika merunut sejarah keberadaan si Kacang Merah di rumah tersebut, maka bolehlah kita mengulang bagian pembukaan kisah ini: Pada sebuah rumah bordil yang terletak di pinggiran kota, terdamparlah sebutir kacang merah. Ya, hanya sebutir saja. Tidak lebih tidak kurang.

Sejak terdampar di rumah ini, Kacang Merah sudah berpindah-pindah tempat dan atau ruang berkali-kali. Tentu saja bukan atas keinginannya sendiri. Ia berpindah-pindah sebab tersepak orang-orang yang lalu lalang di rumah ini, rumah yang terlihat kecil dari luar tapi memiliki demikian banyak kamar.
Tempat yang paling ia sukai dulu adalah berada di belakang pintu depan. Tapi sial, suatu hari ia tak sengaja tersapu oleh OB rumah bordil ini hingga terpojok di sudut luar pintu depan. Saat itu Kacang Merah berharap ia terlempar ke tanah, ke halaman. Tapi malang tak dapat ditolak, bukannya justru menjauhi rumah, ia malah kembali terpental ke ruang depan sebab terinjak ujung sepatu seorang pelanggan tetap yang sedang berkunjung ke rumah ini. Kacang Merah kembali tersepak ke sana kemari, pernah juga hingga ke dapur, terbuang ke tong sampah, dan dibuang di pekarangan belakang. Saat ia menjejak tanah, bukan main senangnya Kacang Merah. Namun kesenangannya tak berlangsung lama, seekor ayam jago berniat menelannya. Ayam lain juga menginginkannya, berusaha merebutnya dari si ayam jago. Mereka berkejaran, hingga masuk ke dapur rumah bordil. Lalu diusir koki. Ayam jago kaget dan menjatuhkan Kacang Merah di dapur dan meninggalkannya di sana. Lalu Kacang Merah kembali tersepak ke sana kemari hingga akhirnya kini tersudut di kusen jendela salah satu kamar.

Pada awalnya Kacang Merah bersuka hati terdampar di jendela ini, karena ia aman dari sepatu-sepatu atau sapu yang memindahkannya ke sana kemari. Tapi lama kelamaan Kacang Merah tak ingin berada di kamar ini atau kamar manapun di rumah ini. Ia merasa ingin mati saja. Keinginan yang juga tak bisa terpenuhi, sebab sebagai bangsa kacang-kacangan ia tak bisa mudah mati. Makin hari ia makin murung saja. Sepanjang hari dihabiskannya waktu dengan hanya memandang ke luar jendela. Berharap ia bisa melompat keluar. Tapi harapan tinggal harapan, jendela ini tak pernah dibuka tak peduli berapa banyak orang yang datang dan pergi mengisi kamar ini. Datang dan pergi silih berganti.

Ia harus puas hanya bisa memandangi pemandangan di luar jendela, memandangi petani yang sedang sibuk memaculi sawahnya di seberang jalan sana, sambil bermimpi bahwa suatu hari nanti ia bisa menginjak tanah dan bertumbuh.

Jika kalian bertanya bagaimana awal ia bisa terdampar di sini, tentu hanya Kacang Merah yang tahu. Tapi, akibat terlalu lama tinggal di sini, bertemu demikian banyak orang-orang yang berbeda-beda--kecuali pekerja dan pelanggan tetap rumah ini tentu saja-- ia tak lagi bisa mengingat awal mula keberadaannya di rumah bordil ini. Mungkin juga tanpa sadarnya sendiri, ia berusaha melupakan hal tersebut. Ia bahkan terkadang lupa bahwa ia hanyalah sebutir kacang merah dan bukannya saksi sejarah rumah bordil di pinggiran kota.



*Cerita aneh tersebut di atas ditulis saat latihan menulis di RL Writers' Circle ( 23 Okt 2010).
  Tema: Menulis dengan menggunakan kata-kata: "kacang merah", "memacul", "rumah bordil."

HOROR

Selain hantu, hal lain yang paling kutakuti adalah kamu!
Padahal kamu terbuat dari tanah dan bukannya api.
Kamu bisa dilihat, nyata dan bukannya tak kasat mata.
Kamu manusia sungguhan dan bukannya jin, setan, atau sebangsanya.
Tapi tetap saja, kamu adalah makhluk paling nyata yang membuatku gemetaran saat bertemu,
membuat punggungku panas tiba-tiba meski tidak ada matahari, api, atau sumber panas lain di sekitarku.

Bertahun berlalu tak membuat rasa takutku padamu berkurang, apalagi menghilang.
Kamu tahu tidak alasan utama ketakutanku padamu?
karena aku terlalu mengenal kamu!



* Latihan menulis di RL Writers' Circle (16 Okt 2010).
   Tema: Horor!
### Tulisan ini memang tidak sesuai tema, mohon tidak protes, hehehe...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...