Sunday, January 29, 2012

Fleksibilitas: Tentang (:) dan (x)

Are you flexible enough?

Kemarin, waktu dapat tugas ngedit buku non-teks berbahasa Indonesia, saya melakukan kesalahan karena mengacu pada apa yang sudah saya ketahui sebelumnya.

Jadi begini, saudara-saudara. Apa yang sudah saya ketahui adalah bahwa kalau kita menggunakan tanda baca titik dua (:), hendaknya tidak ada spasi setelah kata sebelumnya.
Misal, saat menulis '... adalah sebagai berikut: ....', setelah 'berikut' tidak ada spasi. Tapi, setelah titik dua baru boleh dan harus ada spasinya. 

Nah, mengingat hal tersebut, saat saya melihat penggunaan titik dua pada "1 : 3" (ada spasinya sebelum dan sesudah titik dua), saya menggunakan pulpen merah saya, memberi marka edit 'hapus spasi' (jadi 1:3). Setelah angka 3 tidak ada spasi karena titik dua di sini bukan pemisah yang diikuti penjelasan lanjutan--menurut pikiran saya.

Tapi, saya menjadi tidak yakin saat hampir semua titik dua yang dipakai di perbandingan selalu ada spasi. Akhirnya, saya pun bertanya pada koordinator editor sekaligus editor senior perihal titik dua ini. Beliau bilang, khusus untuk menuliskan perbandingan seperti tersebut di atas, kita hendaknya pakai spasi. Oh, baiklah. 

Dengan bekal pengetahuan baru ini, saat saya bertemu penulisan ukuran yang tanpa spasi (3x2 m), saya berinisiatif memberi marka 'tambah spasi' di sana (menjadi 3 x 2 m). Karena saya pikir, kasus tanda perkalian ini mirip dengan titik dua. Ada angka-angka yang mengapit tanda baca dan mereka sama-sama menunjukkan ukuran (ukuran perbandingan dan ukuran luas). 

Saat tengah asyik-asyiknya mengedit, seorang teman yang pernah mengedit buku penjas--yang tentunya banyak mencantumkan ukuran lapangan--bilang, "Kalau untuk ukuran kayak gini, nggak boleh pake spasi. Soalnya kemarin saya gitu pas ngedit penjas, sebelum dan sesudah tanda ini nggak boleh ada spasinya." 

"Oh, iya? Soalnya saya acuannya ke tanda titik dua dalam menulis perbandingan, saya pikir berlaku sama juga untuk tanda perkalian;" ujar saya. Oh, baiklah. Saya salah. Maka, saya membenarkannya lagi dengan memberi catatan khusus pada layouter yang akan meng-entry hasil editan mengenai tanda-tanda ini.

Dari dulu, setiap mengedit teks berbahasa Indonesia, saya sering bermasalah dengan tanda titik (.), koma (,), titik koma (;), lalu sekarang titik dua (:) dan tanda perkalian (x). Kecil sih (ukuran tanda-tanda ini), tapi repot ngeditnya. Apalagi kalau pola penggunaan tanda bacanya berulang di semua bab; yang kalau dari awal salah penggunaannya, maka berarti yang lain juga salah. Wah, bisa habis seharian hanya untuk membenarkan tanda titik di sebuah buku 6 bab.

Dan masih banyak lagi kasus-kasus yang harus menyesuaikan dengan situasi dan kondisi, belum lagi penggunaan EYD yang benar. Ayo tebak, yang benar 'jerapah' atau 'zarafah'? Kemungkinan kalian akan menjawab 'jerapah', karena inilah yang umum kita dengar. Saya pikir juga 'jerapah'. Tapi ternyata, menurut KBBI, yang benar adalah 'zarafah'. Jadi, mengedit teks berbahasa Indonesia nggak bisa dianggap remeh.

Titik dua (:) memang bukan kali (x). Jadi, tidak mesti sama aturannya. Tapi, bahkan antara sesama titik dua pun, saat digunakan dalam situasi yang berbeda, aturannya bisa berbeda. Fleksibilitas, kiranya juga berlaku di KBBI dan standar penulisan EYD. :)


Wednesday, January 25, 2012

Daun Gugur

Daun ini sudah berubah warna menjadi kuning
--daun gugur.
Ia pernah begitu hijau.
Tapi itu dulu.
Tidak lagi sekarang ini, apalagi nanti.

Adiaeu.

Sunday, January 15, 2012

(Bukan) Sumur Jalatunda


Bagi saya, Jalatunda bukanlah sebuah sumur. Meskipun nama Jalatunda sendiri adalah berarti sumur yang besar atau luas dalam bahasa Jawa. 

Dari sekian banyak objek wisata kawasan Dieng Plateau yang kami kunjungi tepat saat pergantian tahun kemarin, Sumur Jalatunda adalah objek yang paling ingin saya tulis, yang paling membuat saya penasaran. Kompleks wisata Dataran Tinggi Dieng terletak di Propinsi Jawa Tengah, dimana sebagian wilayahnya termasuk dalam Kabupaten Wonosobo (2 desa) dan sebagian lainnya dalam Kabupaten Banjarnegara (6 Desa). Dieng tepatnya terletak 2.093 M di atas permukaan laut. 

Peta Wisata Dieng di Pertigaan Dieng
Kalau ditanya kenapa sumur ini menarik bagi saya, saya juga tidak tahu pasti alasannya. Mungkin karena di sumur ini, saya mendapat informasi gratis dari seorang guide sekelompok anak-anak tentang sejarah yang bercampur mitos dan kepercayaan penduduk setempat atas keberadaan sumur ini. Sementara di lokasi lain, saya tidak mendapat informasi apapun kecuali nama lokasi objek wisata itu sendiri. Ketidaktahuan bisa membebaskanmu dari rasa penasaran. Ignorance is a bliss. Karena rasa penasaran seringkali membuat tidak tenang. Tapi usaha menuntaskan penasaran jelas bisa membebaskan. (Ah, ngomong apa sih?)

Atau mungkin, sumur ini mengingatkan saya akan Trevi Fountain di Roma—kolam cantik rancangan Bernini yang selesai dibangun di tahun 1762—yang membolehkan pengunjungnya melempar koin ke dalam kolam sambil mengucapkan keinginan dan demi nasib baik.

Tangga menuju Sumur Jalatunda

Pemerintah sudah melarang pengunjung melempar koin ke Sumur Jalatunda, lalu menggantinya dengan batu kali berukuran kecil (kerikil). Maka jangan heran, begitu kita sampai di ujung tangga yang mengantar kita ke dekat sumur, terlihat tumpukan batu yang beralas karung ala kadarnya. Harga tiap batu Rp500,00. Harga yang cukup murah untuk menguji keberuntungan.

Ya, keberuntungan. Menurut guide bersuara lantang seperti tukang obat keliling—sebut saja Bapak Tua (sebutan karangan saya sendiri)—ada kepercayaan bahwa orang yang berhasil melemparkan batu kali ke titik tertentu akan beruntung dan keinginannya akan terwujud. Adapun target lemparan berbeda antara perempuan dan laki-laki. Bagi perempuan, cukuplah ia mampu melempar batu ke tengah kolam untuk bisa dikatakan berhasil. Sementara untuk laki-laki, target lemparan tentu lebih jauh lagi, yaitu ke seberang sumur yang ditandai dengan rimbun pohon bunga berwarna ungu, yang tumbuh di sela-sela batuan tepian seberang sumur.

Bapak Tua menekankan bahwa batu yang digunakan adalah batu yang dibeli dari anak-anak Dieng di lokasi sumur ini. Jadi, jangan berpikir untuk membawa batu sendiri. Mendengar ini, saya jadi berpikir, sepertinya ini adalah salah satu cara menarik pengunjung dan menantang rasa penasaran mereka sambil meraup sedikit keuntungan dari penjualan batu kerikil.

Dan bukan Neni namanya kalau tidak penasaran dengan mitos-mitos macam ini. Meskipun terjebak antara percaya dan tidak, saya tak mau melewatkan kesempatan melempar batu ke sumur yang airnya berwarna hijau pekat ini. Lihat, wajah saya senang begitu saat melempar batu, walaupun gagal sebanyak dua kali.

Foto oleh Nia Janiar

Sumur Jalatunda
Percayalah, sumur yang diperkirakan berdiameter 90 M dengan kedalaman ratusan meter ini, terlihat mudah ditaklukan. Tapi begitu batu dilempar, ia seolah lenyap di antara rimbun pepohonan yang tumbuh di sekitar sumur, dan bukannya ke tengah.

Mas Wahyu, yang paling bersemangat dan paling bertenaga melemparkan batu pun tidak berhasil. Juga Pak Asep, Kang Agus, Nia, dan Eka. Mas Sis sepertinya tidak mencoba—saya tidak ingat melihatnya melempar batu. Pendek kata, tidak ada satu pun dari kami yang berhasil.

***

Adapun mengenai asal usul terbentuknya Sumur Jalatunda, Bapak Tua berkata bahwa ia terbentuk dari letusan gunung api yang berakibat terbentuknya kawah yang kemudian terisi air. Fenomena semacam ini hanya ada dua di dunia. Satu adalah Sumur Jalatunda ini dan yang satu lagi ada di Meksiko. (Nah, kenapa namanya bukan Kawah Jalatunda saja? Atau mungkin, ia terlalu dalam untuk disebut sebagai kawah?)

Selain menyebutkan asal usul secara ilmiah, Bapak Tua juga menceritakan mitos seputar sumur raksasa berwarna hijau ini. Alkisah jaman dulu kala ada seorang putri yang cantik jelita yang selalu mengenakan pakaian serba putih namun berperangai jahat. Ia sering meminta tumbal untuk dikorbankan dan ditenggelamkan di sumur ini. Disebutkan juga bahwa di dalam sumur ini, ada pintu gerbang yang menghubungkan ke kediaman ular setengah dewa.

Bapak Tua menutup penjelasannya dengan lantang berkata: "Dalamnya sumur bisa dikira, dalamnya hati siapa yang bisa mengira." Kira-kira begitu, saya tidak ingat dengan pasti.

***

Oh iya, mengenai larangan pemerintah melempar koin, mungkin alasannya adalah untuk menjaga keutuhan sumur ini. Saat saya browsing dalam rangka menutaskan penasaran akan sumur ini, saya sampai pada sebuah berita tentang Morning Glory Pool di Wyoming, Amerika Serikat. Menurut berita tersebut, mata air panas ini dulunya berwarna biru. Namun sekarang, mata air panas ini tidak lagi berwarna biru saja, muncul warna hijau, kuning dan bahkan merah di sekeliling mata air. Tersebutlah tren melempar koin ke mata air demi nasib baik yang menyebabkan fenomena ini. Kabarnya, koin yang dilempar ke mata air selama puluhan tahun ternyata memblokir ventilasi panas kolam dan mengurangi suhu di sana. Belum lagi bahan kimia koin yang tentunya turut menyebabkan reaksi berbeda dan menumbuhkan bakteri.

Morning Glory Pool.
Sumber foro dari sini.
Mengenai batu-batu yang dilempar ke Sumur Jalatunda, yang terpikir oleh saya adalah jika banyak orang melempar batuan selama bertahun-tahun ke depan, akankah sumur ini nantinya menjadi semakin dangkal? Atau ia akan tetap baik-baik saja, karena mungkin ada sebuah jalur yang mengalihkan batuan tersebut ke tempat atau gerbang lain dan bukannya menumpuk di dasar sumur. 

Thursday, January 12, 2012

Benci?

Aku benci kamu.
Aku benci kamu.
Aku benci kamu.

Berharap kata-kata tersebut menjelma doa yang terkabul.
Amin.




# Sometimes, it is not easy to be so in love with you.

Tuesday, January 10, 2012

Sepintas Renungan

Ada yang merasa bahwa dia mengetahui banyak hal yang tidak diketahui orang lain. Dan dia dengan senang hati "membagi" pengetahuannya itu dengan orang lain.

Tidakkah dia tahu, bahwa apa yang dia ketahui belumlah valid kebenarannya. Dan bahwa sebenarnya orang lain pun mungkin tahu apa yang ia ketahui, hanya saja orang lain tidak terlalu senang membagi-baginya apalagi menikmati proses membagi-bagi tersebut.

Karena terkadang ada hal-hal yang tak perlu diungkapkan. Karena kadang-kadang rasanya salah jika menjadikan kisah orang lain (apalagi kisah yang aib) sebagai bahan perbincangan. Karena kadang-kadang "membagi kisah" orang lain memang perlu tapi hendaknya tidak jadi kebutuhan apalagi kesenangan sehari-hari.

Ada banyak rasionalisasi yang didaulat untuk membela kesenangan membagi kisah aib ini. Tuker informasi lah. Iseng lah. Biar fun dan nggak boring lah. dsb. Yang nggak hobi "bertukar informasi" ga fun lah, boring lah...

Ini jaman bebas. Negara ini juga negara demokratis. Setiap orang bebas melakukan apa saja yang mereka suka. Dia juga boleh melakukan apa yang ia senangi. Maka saya pun bebas tidak menyukai yang jadi kesenangannya.

:)


#tulisan singkat setelah sekian lama istirahat menulis.








Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...