Monday, December 28, 2009

Kondom

"Kondom itu apa sih, Pak?" tanya saya kecil pada paman saya, saat saya menonton sebuah iklan TV yang tidak saya mengerti.

"Hahh?" respons paman saya.

"Kondom itu apa? Hah, Pak?" ulang saya.

"Ehmmm... itu... apa namanya... ehmm... Pembungkus," jawab paman saya tanpa mengalihkan pandangan dari TV. Dan nada suaranya meninggi pada kata terakhir.

"Pembungkus?? Pembungkus apa lah, Pak?" tanya saya lagi.

Paman saya diam. Pura-pura tak mendengar.

"Hahh, Pak?? Pembungkus apa, Pak?"

Paman saya tetap diam.

"Pak?!"

Tak ada respons. Paman saya memandang TV tanpa berkedip.

Karena merasa dicuekin, saya pun diam.

***

Bertahun-tahun kemudian, saat saya sudah tahu apa itu kondom dan fungsinya, lalu suatu hari saya tiba-tiba bisa mengingat kejadian tersebut di atas, saya tertawa sendiri. Saya bisa membayangkan bagaimana bingungnya paman saya menjawab pertanyaan tersebut, dan saat dia merasa sudah menemukan jawaban yang paling bagus dan aman, saya "menyerangnya" dengan pertanyaan lanjutan yang telak dan "mematikan". Hahaha...


Sunday, November 15, 2009

Matahari di Atas Lantai

Pagi ini aku melihat matahari terbit di atas lantai.
Matahari ini pun menyilaukan; mataku terpicing saat berusaha memandangi kilaunya.
Maka aku mengerti:
memandang matahari baik di langit atau di lantai tidaklah jauh berbeda,
jika tidak bisa dikatakan sama saja.
Pada keduanya, cahaya matahari tetap menyilaukan
dan tidak bisa dipandang dengan mata telanjang.
Karena langit dan lantai hanyalah media.
Mereka hanyalah bingkai
dimana matahari bisa menitipkan potret dirinya yang seutuhnya.

Sama halnya dengan Jerman dan Indonesia.
Mereka juga hanya media.
 Mereka adalah dua tempat yang berjauhan
dan memiliki banyak perbedaan.
Meski begitu, aku bisa hidup di keduanya,
tanpa menjadi (sepenuhnya) berbeda!

Saturday, September 05, 2009

Sekepal Nasi Asin

Saya hampir lupa tentang ini: sekepal nasi asin. Makanya sekarang saya ingin menulisnya, biar tidak lupa lagi. 

Sewaktu kecil, saat di rumah belum ada rice cooker dan sepertinya rice cooker belum begitu populer seperti sekarang atau rice cooker belum masuk desa, Mamak (harusnya Mamah, tapi berubah jadi Mamak) memasak nasi dengan priuk dan tanpa dipindah ke kukusan. Alhasil, jika priuk terlalu lama dibiarkan di kompor meski dengan api kecil, akan terbentuklah kerak nasi yang tebal di dasarnya.

Nah, karena kami diajarkan untuk tidak membuang makanan, kerak ini tidak boleh dibuang. Sayang. Biasanya kerak nasi akan ditaburi garam dan dimakan dalam keadaan panas; seperti camilan. Saya tidak terlalu suka dengan kerak nasi ini. Tapi saya suka dengan kerak nasi yang lunak/ tipis. Biasanya Mamak akan mengepal-ngepal kerak lunak yang sudah ditabur garam hingga menyatu dan padat. Kadang-kadang Mamak sengaja membuatkan dari Nasi panas dan bukan dari kerak lunak. Setelah ditiup sebentar, Mamak akan memberikannya dengan cara mengulurkan tangannya yang memegang nasi kepal ke belakang (tanpa membalik tubuhnya), di mana saya sudah menunggu. Dulu saya sering malas makan, tapi saya tidak menolak jika diberi sekepal nasi panas ini. Pernah saya bertanya tentang kenapa nasi kepal harus diberikan dengan cara tersebut di atas (lewat belakang). Karena saya pikir pasti ada alasan yang melatarbelakanginya; mungkin cara ini semacam syarat atau ritual yang harus dijalani atau ah saya tidak tahu apa yang tengah saya pikirkan saat itu.

Mendengar pertanyaan ini, Mamak pun bilang bahwa tidak ada alasan atau maksud khusus apalagi mitos tentang cara tersebut. Mamak melakukannya karena kebetulan kami (baca: saya dan adik) ada di belakang Mamak. Kemudian cara ini jadi kebiasaan--tepatnya, kami jadi keterusan--karena kami hanya mau menerima nasi kepal dengan cara begitu. Saya jadi ingat, memang pernah suatu hari saat menunggui Mamak yang sedang memindahkan nasi ke baki, Mamak membuatkan sekepal nasi asin dan memberikannya pada saya begitu saja (tidak lewat belakang). Saya menolak. Lucunya, saya langsung bangkit dari posisi duduk di samping untuk kemudian pindah ke belakang Mamak dan memintanya untuk memberikan nasi kepal ke belakang.

 Jadi sebenarnya sayalah yang telah menjadikannya sebagai ritual dan bukan sedang mematuhi ritual seperti dugaan saya sebelumnya. Saya lupa kapan terakhir kali makan nasi kepal buatan Mamak. Sepertinya saya perlu sesekali membuatnya sendiri sambil bernostalgia (halahh...). Karena tentu Mamak akan merasa aneh jika saya minta dibuatkan nasi ini di usia yang sekarang. Mungkin, kalian juga mau mencoba? Rasanya sederhana!

Thursday, September 03, 2009

Serumpun Embun dan Matahari

Ada serumpun embun
pada bilah-bilah ilalang
yang tumbuh di pekarangan belakang

Ada matahari
di jauhnya langit biru terang
yang setia membakar embun,
setiap menjelang siang

Embun tak pernah jera
matahari tak kenal iba
karena sesungguhnya dengan cara itu
mereka bisa mencerna kebersamaan yang tak lama

 Lalu embun akan menjelma
 dalam wujud yang berbeda
dan dengan cara ini ia berdoa
bisa tiba di tempat matahari
yang ratusan juta kilometer jaraknya
dari pekarangan belakang!

*

Monday, August 31, 2009

Free Writing: Semut Merah, (dulu) Teman, Maaf, dan Tuhan

Waktu nulis ini, ada beberapa semut merah berkeliaran di lantai. Tapi, saya ga malu sama mereka. Abis mereka ga berbaris di dinding sambil menatap saya penuh curiga, apalagi sambil bertanya saya sedang apa. Maka saya ga perlu menjadi malu dan menjawab menunggu pacar. Dan yang pasti, alasan kenapa saya ga malu adalah karena saya bukan Obbie Messakh! Hahaha...

Kok aneh banget ya pembuka tulisan ini. Tapi biar deh, namanya juga free writing. Tidak mau diedit. Tidak perlu diedit.

 Saya lagi inget temen. Temen yang cukup akrab. Tapi dulu. Sekarang ga lagi. Ga mau lagi. Saya belum bisa maafin dia. Berdosa ga ya? Sedang Tuhan aja Maha Pengampun dan Maha Pemaaf. Lalu siapa saya kok berani-beraninya tidak memaafkan?! Eh, tapi kan saya hanya manusia biasa, ga luput dari salah juga. Jadi bisakah saya tidak memaafkan dengan alasan bahwa saya bukan Tuhan? Bahwa saya hanya manusia? Ehm...

Teman saya juga manusia; mungkin dia dulu khilaf dan sekarang sudah insaf. Saya juga pasti punya salah sama dia, mengingat kita menuai apa yang kita tanam. Mungkin teman ini sekarang sudah berubah. Saya juga banyak berubah sejak tahun itu. Tapi, ya ampun... Emang mudah apa maafin gitu aja. Luka di hati masih belum kering. Perasaan sakit karena merasa dikhianati temen sendiri belum lagi terobati.

Sekali lagi, berlebihan kah kalau saya belum mau memaafkan? Saya tidak lagi sudi, tak lagi berminat berbasa-basi dengan temen ini. Saya ga lagi bisa melabeli dirinya sebagai temen saya. Tapi saya juga ga melabeli dia sebagai musuh kok. Saya juga males melabeli dia sebagai bekas temen lama. Aduh, jadi bingung saya! Untuk sementara saya biarin dia tanpa label aja deh. Tapi aneh juga ya kalau dia ga punya label apa-apa. Bahkan makhluk tak kasat mata aja punya label: hantu namanya...

Dipikir-pikir, kalau dulu saya ga bermasalah dengan temen ini, tentu saya ga akan ketemu dengan temen-temen yang sekarang: (salah satunya) temen-temen klab nulis! Karena bermasalah dengannya, saya lari ke tempat lain. Menyibukkan diri biar lupa dengan sakit hati. Hingga akhirnya ketemu temen-temen baru yang saat bersama mereka, saya merasa seolah "menemukan diri" saya yang lain. Wah kalau sudah begini, rasanya akan bijaksana jika saya memaafkan temen ini dan berterimakasih ya. Karena secara ga langsung, dia membuat saya menemukan tempat, temen, dan kehidupan lain yang menyenangkan, yang kemudian membawa saya ke tempat dan pengalaman baru yang tak kalah menyenangkan.

 Ah! Tapi, tetep ga bisa! Saya belum bisa bersikap biasa dan seolah ga pernah terjadi apa-apa, lalu maafin dia, terus dengan senang hati berbasa-basi lagi untuk menyambung tali silaturahmi dengannya... Jadi, Tuhan, ijinin saya untuk ga maafin dan nyambung tali silaturahmi dengan temen yang ini ya. Boleh, ya? Kan Tuhan Maha Pengampun dan Maha Pemaaf... (Lhhoo? Jadi dibolak-balik gini...). Abis dia jahat sih, sadis! *lebayyy...*. Udah ah. Pokoknya saya masih belum bisa maafin. Titik!

Wednesday, August 26, 2009

Bandung-Lampung: 21 Agustus 2009

Sepanjang perjalanan dari Bandung menuju Lampung kali ini (sebelum saya pergi ke lain negeri), seperti biasa saya memilih duduk dekat jendela. Bukan tanpa alasan: saya ingin memandang ke luar jendela sepanjang perjalanan. Kecuali jika saya mengantuk atau pusing, hingga harus tidur dan pejam mata.

Tak jarang, meski tidak ahli dalam fotografi, saya akan memotret pohon yang terlihat bagus atau rumpun ilalang yang berbunga banyak berwarna putih atau objek lain yang saya lihat. Tapi hari ini saya tidak berminat sama sekali. Saya bahkan lupa akan kebiasaan yang satu ini, jika saja tidak diingatkan oleh seorang teman yang kebetulan menelpon saat saya hendak naik bus.

Dan entah karena feeling atau kebetulan atau apalah namanya, ternyata saya pun tidak menemukan objek foto yang menarik untuk diabadikan sepanjang perjalanan. Kemarau. Kering. Pohon dan tumbuhan yang biasa hijau, kini kehilangan daun atau berubah warnanya. Sawah-sawah yang serupa karpet tebal berwarna hijau atau kuning juga tak terekam oleh mata. Rumput dan ilalang di pinggir jalan kebanyakan hangus--entah sengaja dibakar atau tak sengaja terbakar oleh api dari puntung rokok yang dibuang sembarangan. Tanah-tanah berwarna cokelat muda: kering, gersang. Sungai-sungai tak kalah cokelat dan surut airnya.

Meskipun begitu, saya tetap duduk sambil mata menembusi pemandangan luar jendela, dan sedikit membelakangi penumpang di samping. Sesekali saya mengangkat kaki dan melipatnya di atas kursi. Tak peduli jika penumpang sebelah menganggap tidak sopan karena sudah membelakangi juga mengangkat kaki ke kursi. Saya hanya ingin memandang ke luar jendela. Mengamati kehidupan yang bergerak di luar jendela seiring gerak laju bus Arimbi yang membawa saya melintasinya. Tak masalah pemandangannya hijau atau gersang, yang penting adalah memandang ke luar jendela.

Kiranya inilah separuh esensi perjalanan kali ini (dan mungkin juga setiap perjalanan): bukan pemandangannya yang terpenting tapi bagaimana menikmati pemandangan sepanjang jalan itulah yang utama!

Saturday, August 22, 2009

Saya Senang Merasa Sedih

Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya dalam beberapa bulan terakhir, saya terbangun. Jika tidak pada (sekitar) pukul 23.00, maka saya akan terbangun pada pukul 03.00. Entah karena latah atau mati gaya, biasanya saya akan mengambil HP, membuka Facebook, atau mengecek email, dsb. Setelah itu, saya akan bisa tidur lagi. Tapi malam ini, saya ingin terjaga. Mungkin sampai sahur tiba, sahur di hari pertama puasa. Sambil mengulang dan mengingat-ingat detail mimpi yang membangunkan saya. Mimpi yang absurd, tapi sepintas merefleksikan apa yang tengah saya risaukan.

Seminggu terakhir, saya merasa penyakit lama waktu SMA kambuh: suka melamun dan merasa biru untuk alasan yang tidak jelas. Tidak jelas karena saya tidak berusaha memperjelas atau mengakui alasan yang melatarbelakangi nya; ini saya tahu. Padahal, beberapa minggu sebelumnya saya merasa begitu ceria dan percaya bahwa saya adalah seorang periang. Dan saya berbangga karenanya. Tapi belakangan, saya seolah lupa bagaimana caranya menjadi riang. Segala kata-kata bijak atau "quotes" yang biasanya bisa menyulut semangat tidak bisa membantu. Saya menolaknya. Saya sepertinya tengah menikmati ini: merasakan kesedihan. Ijinkan saya.

Saya baru ingat, rasanya sudah lama sekali tidak merasakan pergantian emosi senang dan sedih sejelas sekarang ini. Rutinitas kerja yang menyita waktu dan pikiran serta (secara tidak langsung) membatasi saya dari bersinggungan dengan "kehidupan lain", membuat saya baal rasa. Datar. Kadang ini terasa nyaman. Tapi tak jarang membuat saya merasa kesepian.

Merasakan kesedihan tidak bisa dibilang nyaman dan tidak juga membebaskan saya dari merasa sepi. Tapi paling tidak, ini membuat saya tahu saya tidak sendirian. Saya kembali bersinggungan dengan "kehidupan lain" dan kembali merasakan emosi lain yang ternyata saya rindukan.

Thursday, August 20, 2009

Musik Sampah yang Keren

Lampu remang-remang mengintip malu-malu dari balik kap handmade berbentuk cupcakes paper berukuran raksasa yang di pasang terbalik di atas tiap meja. Lampu-lampu yang menempel di pilar-pilar sepanjang jalan masuk juga tak kalah remang dan mengintip dari balik kap lampu berukuran segi panjang; cahaya lampu sengaja diarahkan menimpa hiasan cukilan kayu berbentuk motif batik, yang dipasang tepat di bawah lampu. Pada bagian "pinggang" pilar-pilar tersebut dipasang pula balon yang ditiup seadanya, berwarna merah putih. Warna yang sengaja dipilih untuk mempertegas tema perayaan 17 Agustus di Resto dan Cafe ini: Resto dan Cafe Roemah Nenek.

Pelayan yang sepertinya sudah menunggu kedatangan kami, dengan lekas tapi kikuk dan ragu-ragu mengantar kami ke meja 24. Meja yang tidak strategis; meski ia berada di depan kanan panggung, pilar-pilar yang tadi saya ceritakan menghalangi pandangan ke panggung. Makanan dan minuman dipesan. Makanan dan minuman tandas. Dan acara belum juga dimulai. Tepat pukul 19.30, tampil di atas panggung grup musik keroncongan. Mereka membawakan beberapa lagu tapi telinga saya tidak menangkap perbedaan yang signifikan antara satu lagu dan lagu lainnya. Entah karena saya tidak memperhatikan atau karena musik dan lagunya terlalu sama atau terlalu dinamis (padahal penyanyinya bergantian seorang perempuan dan seorang laki-laki yang jelas suaranya berbeda), saya tetap tak bisa membedakan apalagi mengingat lagu mereka. Saya berkata seperti ini bukan berarti penampilan mereka buruk, hanya saja suguhan musik mereka tidak memanjakan telinga saya. Terlebih lagi telinga kedua teman saya, Myra dan Nia, yang bertepuk tangan penuh semangat saat MC mengatakan, "Ya, inilah lagu terakhir" dari grup keroncongan tersebut.

Setelah MC berbasa-basi, berinteraksi dengan pengunjung Resto dan membagi-bagikan beberapa souvenir dan hadiah, tibalah penampilan Lungsuran Daun; demikian grup musik ini menamakan diri. Tiga orang di atas panggung, masing-masing memegang alat musik yang aneh bentuknya. Suara gumaman atau humming mengalun pelan dari mulut seorang yang paling tua. Ditingkah suara kecapi dan sesekali suara gemuruh seperti angin atau debur ombak di kejauhan, yang membuat saya bertanya-tanya suara apa gerangan.

Beberapa pengunjung rela meninggalkan kursi mereka dan berdiri mendekati panggung. Sepertinya mereka pun penasaran dari apa dan dari mana datangnya suara yang mereka dengar. Dua orang berkamera menghalangi pandangan saya yang enggan beranjak dari kursi. Ditengah kekesalan karena dua orang tersebut, mata saya tiba-tiba beralih ke arah jalan masuk. Seorang paruh baya berpakaian hitam-hitam, berkalung menumpuk berbentuk bulat-bulat, serta berambut keriting gondrong melangkah masuk ke arah panggung sambil menggerakkan sebuah benda yang di atasnya berlubang dan pada lubang itu, sang Bapak mengarahkan microphone. Tahulah saya darimana suara gemuruh tadi berasal.

Serupa magnet, kehadiran laki-laki yang penampilannya mengingatkan saya pada dukun atau pawang hujan ini menarik lebih banyak pengunjung mendekat ke panggung. Mang Dodo, begitu ia memperkenalkan diri. Dan Tornado adalah nama alat bersuara gemuruh yang ia bawa. Alat yang terbuat dari labu yang bagian bawahnya dilapis barang bekas (saya lupa barang bekas apa) dan berlubang pada bagian atas, tempat suara gemuruh keluar. Benda yang mengingatkan saya pada tempat minum Dewa Mabuk di serial Cina jaman dahulu kala. Mendengar suara yang dihasilkan Tornado itu, saya tak berhenti berujar, "Kok bisa sih?" Dan pertanyaan ini terus berlanjut saat Mang Dodo mengenalkan lebih banyak alat musiknya yang ia buat dari sampah.

Kecapi yang membuka pertunjukan mereka ternyata resonatornya terbuat dari tabung mesin cuci yang dibelah oleh Mang Dodo sendiri. Dibuang sayang, ujar Mang Dodo. Inilah alasan dia menggunakan barang-barang sampah sebagai bahan membuat alas musik yang tidak biasa, yang menghasilkan efek suara yang luar biasa! Ada pula Alpedo (Alat Petik Dodo) yang menghasilkan suara yang identik dengan musik tradisional korea. Ada pula alat musik yang ia namai Indonesia Pernah Menangis, yang dibuat karena mengingat Tsunami di Aceh. Berbentuk bidang segi empat dan terbuat dari kanvas, berwarna merah putih sebagai latar, dan memiliki cekungan berwarna gelap di tengahnya, alat musik ini bersuara aneh dan keras saat Mang Dodo menggerakkannya pelan. Lagi-lagi saya berseru, "Ih kok bisa, sih?"

Selanjutnya Mang Dodo menunjukkan alat musik yang digesek seperti biola, tapi bentuknya sama sekali berbeda. Alat ini terbuat dari kayu bekas jendela, senar, dan kaleng susu. Saat Mang Dodo menggeseknya kembali terdengar suara nyaring, entah seperti suara apa tapi yang pasti mengingatkan pada alam saat mendengarnya. Mang Dodo bilang kabarnya burung-burung di Bandung mulai berkurang, dan ia berkelakar ini disebabkan oleh asap rokok. Karena tak ingin melupakan kicau burung, ia membuat alat dari bekas penghisap sisha, yang menghasilkan suara burung yang nyaring. Ada pula alat yang ia buat dari bekas pintu yang menghasilkan suara motor yang tengah "ngebut" di jalanan. Tak hanya itu, Mang Dodo kembali mengeluarkan alat musik yang terbuat dari alat cukur, yang menghasilkan suara kodok; suara yang sudah jarang terdengar sekarang ini karena sawah yang jadi habitat mereka pun pelan-pelan punah. Terakhir, Mang Dodo mengenalkan suling yang baru ia buat tadi pagi. Suling yang aneh karena bentuknya serupa tanda petir atau tanda tegangan tinggi pada tiang-tiang listrik. Sebelum membunyikan suling tersebut Mang Dodo menyempatkan membacakan pengantar sebagai berikut: Dulu saya lurus dan runcing Sekarang saya bongkok dan tua tapi masih ada bunyi untuk Indonesia.

Mang Dodo dan rekan-rekannya mengakhiri aksi mereka dengan memainkan sebuah komposisi dari alat yang ditiup bersama-sama. Penampilan Mang Dodo terasa singkat lantaran ia lebih banyak berdialog mengenalkan alat musiknya dan sesekali mengingatkan untuk lebih peduli pada lingkungan.

Setelah Mang Dodo, giliran Musik Genteng dari Jatiwangi yang unjuk gigi. Terdiri dari 3 remaja berusia belasan tahun dan seorang anak laki-laki, Musik Genteng pun beraksi. Mereka hanya menggunakan stik kayu atau bambu yang dipukul-pukulkan ke genteng dan menciptakan musik. Selebihnya, ada pula alat musik yang berbentuk seperti kendi tapi bolong di bagian perutnya. Kendi ini dipukul-pukul layaknya kendang. Saya bisa membedakan dari musik satu ke musik yang lainnya, padahal mereka hanya menggunakan stik kayu dan genteng!

Setiap orang boleh punya ide. Tapi, hanya sedikit orang yang merealisasikan ide mereka, setia memelihara dan mengembangkannya, untuk kemudian membuat perbedaan dari ide tersebut. Mang Dodo dengan Lungsuran Daun-nya dan penggagas Musik Genteng adalah salah dua dari sedikit orang tersebut. Jam tangan saya menunjukkan pukul 21.30 saat Musik Genteng mengakhiri pertunjukkan mereka. Meski masih ada Mukti-Mukti—pelantun musik perjuangan—kami memutuskan untuk pulang karena sudah terlalu malam.

Roemah Nenek masih remang-remang oleh cahaya lampu yang berpendar dari balik kap handmade berbentuk cupcakes paper berukuran raksasa, yang di pasang terbalik di atas tiap meja, saat kami pergi meninggalkannya.

Peri Tidur

Aku bertemu Peri Tidur.
Ia mengenakan gaun berwarna ungu lembut, gaun yang berkilau meski tak satu pun kulihat ada batu permata atau manik-manik yang menempel di sana. Pendek kata, ia bercahaya. Terlebih wajahnya! Semu merah muda pada pipinya menambah kesan indah pada wajahnya yang bening. Dan dua matanya terang, berkilat, dan hitam pekat.

Aku mendengarnya bersenandung. Saat itulah aku menyadari kehadirannya. Senandung yang membuat mengantuk, membuai...

"Kenapa kau tak tidur?" tanyanya pelan dan terdengar sedih. Aku berniat menoleh ke kiri dan kanan untuk memastikan apakah ia bertanya padaku, tapi aku urungkan. Rasanya bodoh sekali melakukan hal itu padahal aku tahu pasti tak ada orang lain di tempat ini.

"Kenapa kau tak mau tidur?" ulangnya. Ia memiringkan kepalanya saat bertanya demikian. Tangan kirinya memegang pinggiran bangku kayu lapuk yang ia duduki, sementara tangan kanannya ia simpan di pangkuan. Kakinya diayun-ayunkan pelan... Sungguh menggemaskan. Aku tidak bisa menimbang-nimbang apa yang menjadikannya demikian memikat. Entah apakah karena gaunnya, gerak-geriknya, suaranya, wajahnya yang bercahaya, ayunan kakinya, atau mungkin karena kayu lapuk yang didudukinya dan sekitar yang gelap gulita hingga di tengah suasana ini, ia berjaya, bercahaya—kontras!

"Kau tahu tidak, aku sudah lelah bersenandung untukmu!" lanjutnya.

"Untukku?" Kata ini meluncur begitu saja, karenanya aku agak terkejut mendengar suaraku sendiri.

"Ya, untukmu. Karena kau tidak tidur. Kenapa menolak untuk tidur?" tanyanya lagi. Kali ini ia menegakkan kepalanya juga tubuhnya. Kedua tangannya saling menggenggam di pangkuan.

"Tak bisa tidur."

"Kenapa?"

"Bukan urusanmu." Peri Tidur tampak terkejut, dan aku merasa bersalah berbicara seperti itu pada makhluk seindah dia.

"Sungguh, aku tidak bisa tidur," sambungku lebih ramah.

"Tapi kenapa, pasti ada sebabnya?" tanyanya lagi sambil menggeser posisi duduknya, seolah mengisyaratkan padaku untuk duduk di dekatnya.

Aku pun mendekat, dan terasa ada waktu yang hilang saat aku sadar aku sudah duduk di sampingnya. Aku mencium wangi bunga atau daun atau perpaduan keduanya. Mungkin juga dicampur sedikit buah karena wanginya segar dan sedikit asam seperti citrus. Kiraku, wangi itu berasal dari rambutnya yang tergerai atau dari tubuhnya atau perpaduan keduanya. Entahlah. Ia memandangiku, menunggu jawaban.

"Aku tak tahu kenapa tak bisa tidur," ujarku putus asa. Aku memang tak tahu kenapa tubuhku menolak untuk tidur. Aku bahkan tak butuh kopi untuk bisa bertahan sampai pagi.

"Bukan tak tahu. Kau mencoba melupakan dan memilih tak tahu apa-apa."

"Mungkin...," jawabku sedikit tersinggung. Meski ia cantik, ia tak berhak menghakimiku.

"Maukah menemaniku sebentar?" tanyanya pelan. Suaranya lembut. Aku memandangnya—ragu. "Aku tak punya teman. Aku selalu terjaga di saat kalian tidur. Dan aku harus tidur saat kalian terjaga, agar aku tetap terjaga saat kalian tidur keesokan malam...," lanjutnya, terdengar seperti merajuk.

"Kau tidak menyukainya?" tanyaku heran.

"Apa?" Ia balik bertanya dan menatapku. Matanya memantulkan bayanganku.

"Menjadi Peri Tidur. Kau tidak suka?"

Peri Tidur lama memandangiku. Kemudian ia tertawa singkat, mengalihkan pandangan ke jauh langit yang penuh bintang, menyilangkan kakinya dan mengayunkannya pelan. "Aku tidak boleh bilang tidak suka, sama seperti aku tidak bisa bilang bahwa aku selalu suka menjadi Peri Tidur." Ia menoleh sambil tersenyum padaku.

Mataku berkedip cepat, karena tak mengerti dan sekaligus berusaha menghindari matanya.

"Ada banyak hal yang membuatku suka menjadi Peri Tidur, tapi ada juga yang membuatku tidak suka." 

"Maksudnya?" Aku berharap ia menjelaskan padaku hal-hal tersebut.

"Jangan memintaku merinci apa yang aku sukai dan apa yang ku benci dengan menjadi seorang Peri Tidur. Seringkali, apa yang kusukai hari ini bisa saja mengesalkanku keesokan hari, begitu pun sebaliknya," jawab Peri Tidur sambil memandang jauh ke depan. "Aku hanya harus menerima saat perasaan suka atau tidak suka datang, atau aku menyangkalnya." Lagi-lagi ia melirik mencari mataku dan tersenyum manja.

Aku lagi-lagi terkejut, ada perasaan aneh menjalari dada, entah karena mendengar kalimat terakhirnya atau karena matanya tiba-tiba menemukan mataku.

"Aku bisa apa lagi, coba? Aku tidak bisa menolak takdirku sebagai Peri Tidur." lanjutnya membela diri.

Aku hanya bisa mengangguk, menunduk. Tak tahu harus bicara apa.

"Seperti sekarang, misalnya...," Peri Tidur belum selesai rupanya. Dan ini membuatku senang karena berarti aku tak perlu mengatakan sesuatu. Aku meliriknya tanpa mencoba melihat matanya.

"Biasanya aku selalu kesal melihatmu tak juga tidur, sementara aku sudah kehabisan lagu. Aku merasa gagal. Aku tidak suka. Tapi malam ini, aku senang bisa bicara denganmu... Aku belajar menerima kamu yang tidak bisa tidur. Ini tidak mudah, tapi aku lega jadinya."

"Aku tidak mengerti...," ujarku.

"Ini melanggar peraturan. Tapi untuk malam ini, kupikir tidak masalah sesekali melanggar peraturan...," lanjut peri tidur tanpa peduli pada perkataanku. Ia mendongak ke langit. Tersenyum lebar dan lepas tanpa beban. Ia gerakkan tubuhnya ke kiri dan kanan.

Aku pun tersenyum, seolah tertular kebahagian yang tengah ia rasakan.

"Mulai hari ini, apakah kau memilih tidur atau tidak tidur, aku akan merasa suka dan tidak suka sekaligus," lanjutnya lagi sambil tetap memandang langit. "Mungkin akan lebih sulit untuk menerima kedua perasaan ini secara bersamaan, tapi tak masalah. Aku memilihnya, dan akan terbiasa."

Aku masih juga tak bisa mengerti apa yang ia bicarakan.

"Aku harus pergi sekarang," ujarnya tiba-tiba. Ia melambaikan tangan di depan mataku, tersenyum, dan pergi begitu saja.

Aku tidak sempat mengatakan sesuatu, dan menyesal karenanya. Aku mengulang-ulang apa yang dikatakan Peri Tidur tadi, mencoba memahaminya. Tiba-tiba, walaupun aku masih tidak sepenuhnya mengerti maksud Peri Tidur—untuk pertama kalinya setelah setahun terakhir—aku ingin tidur dan berhenti menjadi insomniac! Aku ingin belajar menerima mimpi-mimpi yang datang berulang. Mimpi tentang kecelakaan malam itu, tentang darah Katharina di tanganku, tentang Katharina yang meninggal di depan mata, sementara aku hanya menderita luka ringan di bagian kepala.

Saturday, August 15, 2009

Cecila : Pada Suatu Senja

"Teman-teman, sebenarnya pikiran tentang ini sudah berbulan-bulan bersarang di kepalaku. Dan aku sudah tak tahan lagi menyimpannya," ujar Cecila Trefn sedih. "Hey kenapa tiba-tiba bicara seperti itu, Cecila? Ada masalah apa, kita sudah seperti saudara, jangan sungkan," ujar Mami Gocc sambil melirik Cecila Trefn yang duduk lebih tinggi di atasnya. "Apa kalian tidak merasa kalau kita demikian menyedihkan?" lanjut Cecila Trefn sambil memandangi langit di kejauhan yang mulai menguning. "Maksudmu bagaimana, Cecila?" kini giliran Wise de Spratner bersuara. "Aku jadi bingung memulainya. Aku merasa tidak berguna, tapi kenapa aku masih harus ada di sini. Seharusnya aku dibuang saja. Kadang malu rasanya dipajang terus seperti ini, padahal aku sudah rusak!" "Kita sama-sama rusak, Cecila," sambung Mami Gocc. "Justru karena rusak kita ada di sini. Kalau tidak rusak kita tentu ada di rumah yang hangat," sambung Wise de Spratner. "Paling tidak, di sini, kita tidak tercampur dengan sampah lain dan berbau busuk," sambungnya. "Selokan di bawah sana juga sama busuknya," rutuk Cecila Trefn. Mami Gocc dan Wise de Spratner serentak melongok ke bawah memandangi selokan hitam pekat yang menggenang. "Kau benar di sini memang busuk," Mami Gocc berkesah. "Dan makin hari kita makin lapuk, hancur dimakan cuaca!" tambah Cecila Trefn. "Dan papan di atas ini, sungguh menggangguku!" Mami Gocc dan Wise de Spratner yang masih memandangi selokan, langsung mengalihkan pandangan ke arah papan yang dimaksud Cecila Trefn. "Papan itu tidak mengenaimu, kan? Kau enak di atas sana, tempatmu lapang. Kau tak lihat ruang gerakku begini sempit. Aku terjepit di antara Wise dan tembok papan ini, hingga posisi badanku harus selalu miring agar lebih leluasa," Mami Gocc mengeluh. "Dan...ya...dipikir-pikir menyedihkan harus terus terjepit seperti ini," sambung Mami Gocc pelan sekali. Cecila Trefn melirik Mami Gocc, dan tidak berani berkata-kata sebab ia pun merasa kasihan melihat Mami Gocc. "Bukankah justru karena papan itu kita bermakna?" giliran Wise de Spratner bertanya pada dua sahabatnya. "Maksudmu bagaimana?" tanya Mami Gocc. "Kita dan papan itu saling melengkapi. Kita ada untuk mengukuhkan si Papan. Kita di sini membantunya agar lebih terlihat, dengan begitu akan banyak orang yang datang dan Pemilik Papan akan senang karena ia dapat pekerjaan, dan berarti dapat penghasilan." Wise de Spratner menjelaskan panjang lebar. "Kau benar, Wise," sambung Mami Gocc. "Membantu bagaimana? Kau baca baik-baik tulisan pada papan itu! Tidakkah ironis kita yang rusak ini dipajang di sini untuk mendukung si Papan? Apa kalian pikir akan ada orang yang mau memakai jasa Pemilik Papan setelah melihat keadaan kita. Pemilik Papan jelas-jelas tidak bisa memperbaiki kita, bagaimana ia bisa mempromosikan diri untuk memperbaiki yang lain?" Cecila Trefn menyangkal, suaranya meninggi. "Ah, kau juga benar. Aku sependapat denganmu, Cecila," ujar Mami Gocc. "Kita sudah tidak tertolong, Cecila," ujar Wise de Spratner sambil memandangi tubuhnya yang tinggi langsing tapi cacat—tak lengkap. Mami Gocc memandangi Wise de Spratner sedih, lalu memandangi tubuhnya sendiri, "Ya, kita memang sudah tidak tertolong, karena itu kita ditumpuk dan di sini," ujarnya pula sambil memandangi tubuhnya yang berkarat. Cecila juga ikut memandangi tubuhnya yang lapuk, berdebu, dan kehilangan baling-baling. Padahal, baling-balinglah yang membuatnya berguna—dulu. Hening. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Matahari di kejauhan memerah, dan bias cahayanya menodai langit sekitar. Merasa tak enak telah membuat teman-temannya bersedih, Cecila Trefn pun berujar: "Maaf, teman-teman... Aku tidak bermaksud—" "Hey...kita memang ditumpuk dan sengaja di pajang di sini... Tapi, pernah dengar tentang seni instalasi?" Wise de Spratner terdengar bersemangat. Mami Gocc langsung menyahut, "Apa itu seni instalasi? Apakah sama dengan instalasi rawat inap? Majikanku dulu pernah ke insta--" "Bukan, Mami Gocc. Aku juga tidak tahu pasti. Sewaktu aku tinggal di rumah majikanku yang seniman, aku pernah mendengar seni instalasi itu berhubungan dengan barang-barang yang ditumpuk atau disusun sedemikian rupa hingga barang-barang itu punya makna lain. Atau mewakili sesuatu yang lain, entahlah." "Lalu apa hubungannya dengan kita? Aku tidak mengerti," kembali Mami Gocc yang bertanya. "Aku juga," sambung Cecila Trefn. "Aduh bagaimana menjelaskannya, ya? Pokoknya aku pikir kita ini bisa disebut sebagai seni instalasi... Anggap saja begitu. Kita ditumpuk dan disusun di sini untuk sebuah maksud, yaitu mendukung si Papan. Agar ia lebih mudah terlihat! Kalian ingat tidak dengan Gadis Berkerudung yang sering lewat jalan ini. Hampir setahun dia lewati jalan ini, dan belakangan baru dia menyadari keberadaan kita. Bayangkan, kalau kita tak ada, ia mungkin tidak akan pernah sadar akan pentingnya si Papan, khususnya bagi Pemilik Papan. Dan kurasa bukan hanya Gadis Berkerudung yang tidak sadar dengan adanya si Papan." Mami Gocc dan Cecila Trefn saling tukang pandang, bingung. "Yaa... walaupun kita tidak layak diapresiasi, paling tidak kita bagian dari seni," lanjut Wise de Spratner sambil memandangi kedua sahabatnya, mengharap persetujuan. “Bagaimana?” sambungnya. "Ehm...kedengarannya bagus. Kita adalah bagian dari seni—seni instalasi. Bukan begitu Cecila?" Sebenarnya Cecila Trefn tidak berniat mengiyakan, tapi karena ia tak ingin merusak sore ini, ia pun berujar, "Ya...kupikir tidak ada salahnya menganggap diri bagian dari seni. Dan siapa bilang kita butuh apresiasi?! Kita bisa tetap ada, meski tanpa apresiasi." "Oh aku ingat, Gadis Berkerudung pernah memfoto kita... Apakah bisa berarti ia sedang mengapresiasi kita?" tanya Mami Gocc. "Ia mengambil foto kita sambil berkata betapa kita dan dan si Papan tampak kontradiktif," ujar Mami Gocc. "Benarkah ia pernah mengambil foto kita? Kontradiktif bagaimana?" tanya Wise de Spratner. "Dia bilang Papan ini menawarkan jasa service, tapi justru yang dipajang malah kita yang rusak. Bagaimana orang tertarik datang kemari, begitu katanya," jawab Mami Gocc. "Eh, jangan-jangan gara-gara mendengar Gadis Berkerudung itu kau jadi merasa menyedihkan Cecila?" sambung Mami Gocc. "Eh?" Cecila Trefn yang sedari tadi diam saja tampak kaget mendengar pertanyaan Mami Gocc, dan tidak menjawab apa-apa karena ia pun sibuk bertanya pada dirinya sendiri tentang hal tersebut. "Tapi, belakangan aku tidak pernah lagi melihat Gadis itu lewat jalan ini, yang sering digoda oleh pemuda-pemuda yang kerap duduk di warung sebelah itu kan?!" ujar Wise de Spratner. "Kabarnya ia sudah pindah ke luar kota." "Baguslah. Jadi Cecila tidak akan melihat dia lagi dan merasa menyedihkan karena teringat omongannya." Wise de Spratner melirik Cecila Trefn. Cecila Trefn mencoba tersenyum dan berujar, "Baiklah, kita adalah bagian dari seni!" ulang Cecila bersemangat. "Ah aku tahu alasan lain kenapa kita ada di sini," Mami Gocc menyela. "Dan kupikir kita memang harus terlihat menyedihkan. Dengan begitu, peran si Papan ini jadi lebih penting. Ia menawarkan jasa service kepada orang-orang agar barang-barang mereka yang rusak bisa diselamatkan dan bukannya jadi tidak tertolong seperti kita. Bisakah begitu, Wise?" "Aku tidak tahu kau bisa berpikir begitu, Mami Gocc. Kupikir-pikir kau ini lumayan pintar juga—kadang-kadang tapi...," Wise de Spratner menggoda Mami Gocc. "Apa kau bilang? Kadang-kadang?" Mami Gocc cemberut. "Ya... Kadang-kadang...," Wise de Spratner pun tertawa, disusul oleh tawa Cecila yang geli melihat ekspresi Mami Gocc. Mami Gocc, yang tidak bisa cemberut berlama-lama pun ikut tertawa. Di kejauhan, matahari yang merah hampir lelap di pangkuan langit. Bias cahayanya kini tidak hanya menodai langit tapi juga membekas pada wajah mereka bertiga. Notes: * Cecila Trefn anagram dari : Electric Fan * Wise de Spratner anagram dari : Water Dispenser * Mami Gocc anagram dari : Magic Com * Hahahahahahahaaaaaa... Demikian kisah tak begitu penting ini. Saya tidak bisa tidak menuliskan sesuatu tentang foto di atas! Bagaimanapun juga, Jakarta punya banyak cerita!

Sunday, August 09, 2009

Bukan Kejora

Aku senang mendengarkan sebuah bintang
hanya sebuah bintang
satu dari sekian ribu bintang

Bukan karena dia kejora
bukan karena ia paling memesona
bukan pula karena ia lebih bercahaya

karena ia, bicara--
itu saja!

*

Untitled

Semalam aku terjaga pada pukul tiga
Semalam saat aku terjaga aku bertanya,
"Aku mau ke mana?"

Semalam saat aku bertanya
aku malah mengulang pertanyaan yang sama
"Aku mau ke mana?"


*

Monday, June 29, 2009

Ironi

Dan aku jatuh cinta padamu
saat langit oranye berselimut biru
mengundang burung-burung bercericip lagu-lagu

Dan aku merindukanmu
saat senja turun berjubah ungu
sementara bulan menyembul malu-malu

Dan aku tak tahu kenapa jadi benci kamu
saat kamu mulai memandu bayang-bayang
mengiring langkahku

Padahal justru saat itulah
saat terdekatku denganmu
matahariku...


 *Jakarta, 26 Juni 2009*

Friday, June 26, 2009

Menunggu Roti

Jakarta, 11 Maret 2008
  ^Under The Roof of My Boarding House’s Balcony^

Menunggu Roti… This is what I'm doing this morning.

Sejak pindah kost ke sini, saya jarang kesiangan. Ada alarm gratis dari tukang roti yang lewat, banyak lagi. Tapi satu yang lagunya enak di kuping: Dari Sari Roti…(hehe…iklan…).

Sepagi ini selain suara tukang roti, ada suara pemilik warung sebelah dan tetangga depan menyapu halaman. Lalu, ada suara mesin metromini yang dipanaskan. Selebihnya, suara kendaraan lalu lalang di jalan raya (Jl. Ciputat Raya) mulai memeriahkan suasana pagi.

Sementara–-mengenai pemandangan–-sejauh mata memandang yang terlihat hanya atap-atap rumah, lengkap dengan antena TV, tiang listrik, dan kabel-kabel yang semrawut. Ada juga tiga menara–-entah menara apa. Dan ada 6 (enam) penampung air milik tetangga sekitar: 3 warna orange, 2 warna biru tua, 1 biru muda. Eh…eh…tukang roti datang…

Sunday, June 14, 2009

Piala

Aku pernah meninggalkanmu dengan tergesa
bahkan dengan bersuka cita
sama tergesa dan suka cita-nya
sewaktu aku datang kali pertama...

Aku pergi mengejar mimpi
alasan yang tidak bisa kau interupsi
saat kau percaya aku kan kembali
(setelah lelah berburu mimpi)
aku kian gigih untuk bersegera lari

tidakkah kau merasa
kita berlomba mementingkan diri sendiri?

*Dan kau benar, aku kembali
tapi sungguh hanya untuk sementara
untuk mengulang perpisahan kedua
demi membiasakan diri
pada jarak yang kian kentara

Hingga disaat hari itu tiba,
aku percaya masing-masing kita
akan memenangkan sebuah piala:
yang selalu bisa dipajang,
di rak memori dalam kepala
yang selalu bisa dibanggakan,
dalam kehangatan hati dan jiwa

karena ia bukan piala bergilir
ia lah piala yang dibuat khusus
untuk kita...


  *Jakarta, 16 Mei 2009*

Saturday, June 06, 2009

Belimbing & Anak Tetangga

Di depan dan di samping rumahku, tumbuh pohon belimbing yang lumayan rajin berbuah. Suatu hari, saat di rumah sedang ada hajatan, anak-anak tetangga dan saudara (yang ibunya membantu memasak di dapur) memetik belimbing dan memakannya beramai-ramai di teras rumahku. Semua kebagian, semua sibuk mengunyah belimbing. Suara "kriusz...kriusz..." daging belimbing yang berair membuat mereka kian semangat mengunyah dan membuat iri siapa pun yang mendengar.

Ditengah kerumunan anak-anak tersebut, aku melihat seorang anak yang bukannya sibuk mengunyah belimbing, melainkan hanya sibuk menelan liur dan menyipit-nyipitkan mata. Sebuah ekspresi yang muncul saat seseorang mencecap rasa asam yang kuat. Padahal, tak ada sebuah belimbing di tangannya, apalagi yang masuk ke mulutnya. Ternyata belum semua kebagian, pikirku. Aku pun menyodorkan belimbing yang kupegang. Ia menggeleng.
"Ini...," aku tetap menawarkan. Ia tetap menggeleng. "Nggak apa-apa ambil aja... Nih...," aku memaksa.
Ia menggeleng lagi. Sambil menelan sisa liur, ia berkata: "Nggak boleh sama Mamah." 
"Kenapa? Nggak apa-apa kok, ini ambil aja...," Aku terus menawarkan karena sempat terpikir anak ini mungkin pemalu.
 "Soalnya lagi sakit batuk, kata Mamah nggak boleh makan yang asem asem...," jawabnya polos dan lantang, tanpa sedikitpun ada kekesalan atau penyesalan di nada suaranya atas larangan tersebut.
"Oh..." Aku pun tak lagi memaksa.

 Mamanya sedang sibuk di belakang. Jika ia mau, ia bisa saja mencicip belimbing tanpa sepengetahuan mamanya. Tapi, daripada mengkhianati mamanya, ia lebih memilih menelan liur sambil mata tersipit-sipit menahan rasa asam belimbing khayalan, rasa asam belimbing yang nyata menyengat lidah anak-anak lain!

Umurnya saat itu belum lagi 5 tahun!

Sunday, May 24, 2009

Tentang Kepekaan

"Lu nggak peka, Neni. Lu hanya mikirin diri lu sendiri," suara Mbak Erna menyerobot masuk ke telinga. 

"Masa sih, Mbak? Perasaan, saya cukup peka deh. Saya dulu pernah nyebut temen nggak peka, karena saya ngerasa lebih peka. Eh, sekarang malah saya yang Mbak bilang nggak peka."

"Buktinya lu nggak ngeh dengan hubungan mereka kalau nggak ada yang ngomong ke elu, kan?"

"Iya sih. Tapi saya kan mikirnya mereka temen deket banget. Jadi ya biasa aja. Emang darimana sih Mbak bisa baca hubungan mereka, Mbak kan baru ketemu mereka?"

"Ya keliatan, Neni." Mbak Erna pun membeberkan teorinya tentang bagaimana seharusnya dua orang lawan jenis menjalin hubungan, yang mana dilanggar oleh 2 orang yang sedang kami bicarakan. Sejak malam itu, kepekaan kerap mewarnai obrolan kami yang berbagi satu kamar kost-an.

"Saya mah emang suka nggak ngeh sama hal-hal yang bukan urusan saya," aku membela diri suatu hari. Lalu aku pun menceritakan bagaimana aku sering kesulitan menghafal jalan/tempat/bangunan yang tidak pernah berurusan denganku atau tidak pernah kukunjungi, meskipun sering kulewati; sebagai contoh kasus.

"Iya itu karena lu mikirin diri lu sendiri. Yang penting buat lu aja yang lu ingat. Cepet lu ngeh kalau nyangkut diri lu. Kalau nggak, lu cuek."

"Gitu ya, Mbak? Iya kali ya," ujarku pasrah. Pada kesempatan lain, aku bertanya: "Emang gimana sih Mbak caranya biar bisa peka?" Mbak Erna menjawab panjang tapi aku lupa detailnya. Intinya Mbak Erna menyarankan untuk latihan membaca situasi dan lingkungan agar kemudian tahu bagaimana membawa dan menempatkan diri. 

Obrolan tentang kepekaan pun terus berlanjut. Tak jarang setiap aku bertanya tentang hal-hal tertentu yang Mbak Erna tak tahu, Mbak Erna akan bilang "Wah gua nggak peka deh masalah begitu" untuk membela diri. Hingga suatu pagi, dalam perjalanan menuju kantor, kepekaan lagi-lagi terselip dalam obrolan kami. Mbak Erna sekali lagi bilang bahwa ia tidak peka dengan hal yang sedang kami bahas (aku lupa tentang apa). Tiba-tiba sebuah pemahaman masuk perlahan tapi pasti ke kepalaku.

"Mbak, orang kan beda-beda ya... pengalamannya beda-beda... jadi kepekaannya beda-beda juga. Mbak peka ke satu hal, saya pekanya ke hal lain," ujarku sambil mengeluarkan Handphone, menyetel kamera, dan mengarahkannya ke langit. Aku memotret langit pagi itu.

Bersamaan dengan itu, dalam hati aku berkata dan percaya: Inilah salah satu kepekaanku. Aku peka akan warna dan tekstur langit yang berbeda pagi ini; sesuatu yang luput dari perhatian Mbak Erna yang berjalan lurus ke depan mendahuluiku.

Friday, May 15, 2009

Pengantar Es

Kemarin sewaktu saya pergi lebih pagi menuju kantor, saya melihat pengantar es batu yang mampir di setiap warung kecil di sepanjang jalan yang saya lewati.

Ia bersepeda. Balok es yang panjangnya mencapai satu meter diikat di boncengan. Setiap kali berhenti di warung, ia mengeluarkan besi tajam dan memotong balok es dengan sangat mudah. Tanpa pelindung tangan atau alas, ia mengangkut balok es langsung ke box minuman dingin yang biasanya diletakkan di depan setiap warung, lalu pergi begitu saja melanjutkan kayuhan. Tidak ada basa-basi (apalagi transaksi) dengan penjaga terlebih lagi dengan pengunjung warung yang sedang duduk santai. Sudah dua warung ia singgahi, dan ia hanya “berinteraksi” dengan tutup box pendingin minuman.

Melihat ini, saya menduga bahwa setiap warung pastilah sudah berlangganan es batu. Kehadiran pengantar es batu pun terkesan hanya bagai angin lalu, karena ia datang dan pergi setiap hari. Dan sepertinya karena intensitas inilah, basa-basi seolah tak lagi diperlukan apalagi diusahakan. Bukankah kita sering abai/ tak hirau pada sesuatu yang memang sudah, selalu, atau seharusnya ada. Semoga di warung berikutnya, ada penjaga warung yang tidak menganggapnya angin (meskipun ia mengendarai “kendaraan angin”).

Mengenai transaksi, mengingat harga es batu pastilah murah, kemungkinan pemilik warung membayar pesanan es batu setiap seminggu sekali atau sebulan sekali. Dan pertanyaan berikutnya adalah berapa harga sebalok es batu untuk satu bulan? Lalu berapa pula penghasilan pengantar es batunya? Di mana rumahnya? Apakah balok es itu dibuat sekaligus diantar sendiri oleh pengantar bersepeda tersebut? Karena jika ia hanya petugas pengantar, tentu penghasilannya lebih minim lagi! Apakah ada pengantar es batu lain selain dia? Bagaimana mulanya ia bisa menguasai “pasar” per-es batu-an di lingkungan perumahan Pondok Indah dan sekitarnya? Lalu bagaimana atau apa yang membuat ia bertahan sebagai pengantar es? dsb.

Pagi ini, ia tak terlihat. Jadilah pertanyaan di atas tak punya jawaban. Dan sekalipun ia terlihat, bagaimana caranya mendapat jawaban untuk pertanyaan demikian banyak, sedang pengantar es selalu gegas pergi dari satu warung ke warung lainnya. Dan aku pun tergesa-gesa melangkah menuju kantor tercinta.

Monday, April 06, 2009

Keripik Setan

Entah karena apa, tiba-tiba aku teringat keripik setan saat aku mengingatmu pagi ini. Dan aku jadi membanding-bandingkan dirimu dengan keripik setan terbuas yang pernah kumakan seminggu lalu, yang membuatku sakit perut seharian.

Aku sempat menyesal telah membeli keripik tersebut; yang warna merahnya begitu menggoda, begitu hebat menerbitkan liurku. Tapi kupikir-pikir, jikapun aku tidak membelinya minggu lalu, aku pasti membelinya minggu ini, atau minggu depan, atau bulan depan. Karena aku sudah telanjur tergoda dan tergiur oleh warna merahnya, wangi pedasnya yang samar-samar menyelinap ke hidungku, dan lain sebagainya.

Yah, paling tidak aku tidak penasaran, meskipun aku harus membayar cukup mahal untuk menebus rasa penasaran itu (menahan sakit seharian penuh). Paling tidak aku pernah mencoba, meski untuk itu aku harus memupuk keberanian ekstra tinggi, karena aku tak pernah suka pedas!

 * Sabtu, 28 Feb '09. @ RL Writer's Circle. (Metafora).

Lukisan Pohon

Teduh dan harmonis; inilah kesan pertama yang kutangkap saat aku melihat lukisan pohon di depanku. Tapi saat kupandangi berlama-lama, aku tidak suka pada cabangnya yang menumpuk--rumit dan tidak realis. Terutama satu cabang besar tepat di tengah-tengah. Dan untuk sebuah pohon, daun2nya terbilang sedikit. Untungnya, kesan ini tertutupi oleh latar yang berwarna senada dengan daun: hijau toska! Jenis warna hijau yang kupikir tidak biasa digunakan untuk melukis daun.

Di beberapa bagian, ada daun/bunga berwarna merah bata. Aku tidak suka warna ini ada di sana; seperti noda saja! Tapi, saat kucoba membayangkan lukisan dengan daun yang seluruhnya hijau toska, tentu lukisan ini akan jadi berbeda. Mungkin ia tak akan lagi teduh dan harmonis. Aku sangat suka tentang bagaimana daun-daun itu dibentuk. Kupikir, perlu waktu lama untuk menitik-nitikkan kuas sambil membentuk ratusan pola bunga berkelopak lima: pola yang menyusun dedaunan pada dua pohon yang bersisian, yang jadi objek lukisan tersebut. Mungkin untuk alasan waktu dan tenaga dalam membuat pola titik-titik itulah yang membuat daunnya jadi sedikit.

Oh ya, bukankah hidup kita juga disusun oleh mozaik-mozaik atau titik-titik kecil yang nantinya menemukan polanya sendiri? Dan setiap noda/kesalahan/anomali pada pola atau warna kehidupan adalah mungkin suatu yang diperlukan agar ia menjadi sempurna. Seperti halnya warna merah bata pada lukisan.

Warna kulit kayunya tersusun dari banyak paduan warna. Ada kilasan warna ungu yang memberi efek gelap dan warna abu-abu, juga warna cerah krem. Persis seperti kulit pohon sungguhan. Aku yakin jika kulit pohon hanya dibuat dari satu warna--cokelat tua misalnya--ia akan sangat biasa, sederhana, apa adanya.

Sebuah pola yang tidak berlaku dalam kehidupan. Karena sekecil apapun realitas yang kita temukan setiap harinya, mereka tidak disusun dari suatu konsep apa adanya, melainkan dibuat secara terencana--mungkin kompleks--dan dibuat untuk sebuah alasan, sebuah rencana yang tak mungkin sia-sia!

Sabtu, 7 Maret '09. @RLWriter'sCircle

Friday, March 13, 2009

Menginap di RSHS

Seingatku, inilah kali pertama aku menginap di rumah sakit. Sekitar pukul 10 malam--Bandung masih diguyur hujan--aku dan Elyn meluncur dengan mengendarai motor menuju RSHS; berbekal 2 ransel berisi karpet dan selimut dan sekantung camilan. Arha sudah pulas saat kami sampai, tapi kemudian terbangun karena keributan yang kami buat. Arha bermandi keringat: indikasi bagus untuk kesehatannya. Sebelum tidur kami mengobrol sejenak, Elyn menceritakan pada Arha bagaimana perjalanannya menuju kost dan kembali ke rumah sakit bersamaku. Elyn menerobos banjir yang tak diduga, melanggar jalan tak rata hingga ia oleng, lupa mengganti gigi hingga kesulitan menanjak dan akhirnya menggunakan kakinya untuk memacu motor, melewati lubang yang tidak kelihatan, dll.

Pagi-pagi, perawat datang membereskan kasur, melakukan pemeriksaan, dan mengambil darah Arha. Elyn dan Sarti (teman Arha yang datang menjenguk) mengantar darah Arha yang kental ke lab, sementara aku menemani Arha. Aku tidak merasa sedang bersama seorang yang sakit. Arha sejak subuh sudah berkali-kali mengkhawatirkan aku: menyuruhku tidur lagi, menawarkan sarapan seolah-olah akulah yang sakit dan bukan dirinya. Ia juga dengan antusias bercerita tentang kost-an, dll. Ditengah pembicaraan, datang petugas kebersihan yang membuka korden pembatas ruang perawatan dan seorang gadis remaja. Awalnya, kami mengira gadis itu adalah salah satu kerabat dari dua pasien lain di ruang ini. Tapi rupanya kami salah, kami beberapa kali bertukar pandang mendengar celoteh gadis ini. Celoteh yang agak ganjil. Tanpa ada yang bertanya, ia berujar: "Nama aku Sumiyati." Ia lalu menghampiri pasien penyakit SOL dan berujar: "Teteh cepat sembuh ya, biar cepat nikah." Ia berbalik ke arah kami, "Aku juga mau nikah sebulan lagi."

Aku tak ingat bagaimana awalnya hingga Sumiyati dan Arha berbicara tentang pernikahan. Saat itu, Sumiyati sudah duduk di samping ranjang Arha. Arha kemudian bertanya apakah ia sedang menjenguk seseorang. Dan Sumiyati menjawab, "Enggak, aku juga di rawat di bawah. Ruangku di bawah, di ruang sakit jiwa."

Aku dan Arha berpandangan, aku sedikit takut mendengarnya dan takut kalau ia tiba-tiba mengamuk. Sementara Arha, ia kembali bertanya, "Sama siapa di sini, sendirian?" "Berdua sama Ibu." "Rumahnya di mana?" Sumiyati menjawab lengkap dengan nama kecamatan.

Sumiyati beralih ke jendela, menyapa seseorang yang ia panggil profesor, mengajak mengobrol, dan menyapa lebih banyak orang yang ia lihat. "Hai.. Halo.. Enggak, ini aku lagi jenguk temen." Mendengar ini, aku--yang kini duduk di kursi yang tadi diduduki Sumiyati--dan Arha lagi-lagi bertukar pandang.

"Wah, temennya banyak ya?" ujar Arha saat Sumiyati mendekatinya.

"Iya. Pacar aku ada 3."

"Oh ya? Banyak banget.."

"Iya. Ada A' Asep, ada A' Ian sama A' Beny."

"Wah banyak ya? Aku boleh minta satu, ga?" Tanya Arha. Aku tertawa mendengarnya.

"Ga boleh."

"Ga boleh ya? Soalnya aku belum punya pacar."

"Maunya yang gimana?"

"Ehm.. Bagusnya yang gimana ya kira-kira?"

"Kalau A' Beny aja gimana? Dia cakep soalnya."

"Oh ya? A' Beny ya.."

"Kalo aku sama A' Ian aja. Soalnya udah pernah dicium ma A' Ian. Pernah dipeluk juga."

"Oh gitu. Mungkin lebih kena di hati ya kalau udah pernah dicium."

Sumiyati tersenyum sangat manis mendengar Arha.

"Oh ya, siapa tadi namanya?" tanya Arha.

"Sumiyati." Lalu ia segera membaca whiteboard di atas meja, "Nama kamu Arhayani, 35 tahun."

"25 tahun," aku membenarkan.

"Oh iya. Kalau aku 18 tahun."

"Wah masih muda, ya? Masih sekolah?" tanya Arha.

"Udah enggak," jawab Sumiyati.

Sumiyati keluar ruangan, tapi tak lama kembali bersama seorang dokter praktek. "Sini gera'.. Sini gera'...," ajaknya pada dokter muda itu sambil menariknya ke tempat Arha. Sang dokter jadi kikuk melihat kami. Lalu Sumiyati bertanya pada Arha, "Kalau sama ini mau ga?" Belum sempat kami menjawab, dokter mundur satu langkah menghindari tatapan kami, dan bertanya pada Sumiyati, "Kenapa?"

"Soalnya teteh ini lagi nyari pacar."

Sang dokter langsung keluar ruangan, diikuti Sumiyati.

Arha mengaku alasan kenapa ia terus mengajak Sumiyati mengobrol adalah karena ia melihat Sumiyati tampak jinak.

Aku menikmati saat-saat menginap di RSHS, dan mengambil banyak pelajaran. Aku belajar dari Arha tentang keikhlasan, kesabaran, dan keceriaannya dalam melawan penyakit yang bisa dibilang tidak ringan. Aku tidak merasa bosan menungguinya, sebab ia selalu menceritakan kisah atau berujar sesuatu yang membuatku tertawa. Yang lebih mengesankan aku, Arha masih bisa bercanda tentang penyakitnya dan bahkan mau meladeni orang dengan gangguan jiwa; sesuatu yang tidak mungkin kulakukan baik saat aku sehat apalagi saat sakit.

Ketulusan Elyn sebagai sahabat terdekat Arha. Elynlah yang membawa Arha ke RSHS, mengurusi semua keperluan Arha, bolak-balik membelikan obat, membesarkan hati Arha, dan sering mengolok-olok mata kiri Arha yang menyipit dengan menyebutnya ”picek”: yang aku yakin merupakan salah satu bentuk usaha Elyn untuk menghibur Arha, untuk menganggap biasa mata yang menutup sebelah akibat saraf yang mungkin sedikit bermasalah. Padahal, sejak awal di RS, Elyn sudah berkali-kali menahan emosi menghadapi prosedur RS. Setiba di UGD, bukannya bertanya tentang keluhan pasien, seorang petugas malah berujar pada Arha: ”Kok mukanya seger gitu?!” Ia tidak kenal Arha, tidak tahu betapa Arha menguat-nguatkan dirinya padahal berjalan saja dia sudah sempoyongan; ia tidak tahu bahwa Arha sudah tidak nyambung diajak ngobrol lantaran tubuhnya sudah terlalu lemas. Setibanya di ruang perawatan kelas 2, Elyn harus bolak-balik ke apotek untuk membeli obat, cairan infus, bahkan jarum suntik untuk Arha, sehingga Dokter bisa melakukan tugasnya menyuntikkan obat tersebut, memasang infus, dll. Sistem yang aneh! Kekesalan kami pun bertambah saat mendengar Sarti bercerita tentang respon petugas pusat informasi saat ia menanyakan ruangan Arha. Petugas tersebut, saat ditanya letak ruang perawatan no. 19A, malah balik bertanya, ”Cuma nanya itu?!”

Selain itu, ada pemandangan lain yang menarik perhatianku di ruang perawatan yang dihuni tiga pasien ini. Aku bersimpati pada seorang pasien perempuan yang berbicara saja sudah tidak jelas dan sangat kurus dan sudah tidak bisa ke kamar mandi lagi. Tapi aku lebih bersimpati pada ibunya yang juga sangat kurus dan terlalu tua untuk menungguinya seorang diri! Seorang diri! Ibu setua itu sudah seharusnya beristirahat di rumah dan menikmati hari tua. Aku tak tega membayangkan ibu ini harus bolak-balik naik-turun ke lantai 1 untuk membeli obat di apotek. Karena begitulah sistemnya, jika mau disuntik obat, yang menjaga pasienlah yang harus menyediakannya. Tapi mudah-mudahan para perawat dan dokter berbaik hati pada ibu ini, dan membawakan obat untuk anaknya.

***

Aku menikmati saat-saat menginap di RSHS. Tidur beralas karpet, berbantal tas, dan (untungnya) berselimut bukanlah suatu masalah; suara mengorok seorang bapak yang menunggui ibunya (pasien di sebelah Arha) yang sambung menyambung sepanjang malam bukanlah gangguan. Aku, Elyn, dan Arha beberapa kali tergelak mendengar irama mengorok yang masih perlu dilatih agar terdengar lebih terlatih; bangun pukul 3 dini hari untuk membeli infus di apotek bukanlah suatu yang menyusahkan, kecuali jika mengingat bahwa sistem membeli obat seperti ini sangatlah aneh.

Mohon doanya ya teman-teman, agar Arha cepat sembuh. Karena bisa dibilang penyakit Arha bukanlah penyakit ringan, meski bukan juga penyakit yang teramat serius. Semoga!

Wednesday, February 25, 2009

Menjelang Resign

Sabtu, 7 Feb '09, iklan lowongan yang kami pasang untuk mencari sekretaris yang nantinya menggantikanku dimuat di Kompas. Pada hari itu juga, cv dan lamaran memenuhi inbox email perusahaan. Hari minggu, kami masuk untuk mengurusi pajak dan keuangan, aku sudah mem-print smua berkas yang masuk dan menelpon beberapa orang untuk interview besok.

Senin, 9 Feb '09, tugas pertamaku mengecek email dan mengeprint berkas lamaran yang masuk. Dan membalas email yang tidak memenuhi kualifikasi, sesuai keputusan ibu direktur.

Dua orang pelamar datang memenuhi undangan. Seorang pelamar, datang sangat terlambat tanpa ada pemberitahuan sebelumnya. Aku pun menanyakan kenapa ia terlambat.

Ia menjawab sesuatu seperti : "... Ibu saya ... Pecah."

Aku mendengarkan, tapi informasi yang ia sampaikan tidak masuk ke telingaku dengan sempurna. Begitu Bu Dir bertanya kenapa ia terlambat, ragu-ragu aku menjawab: "Saya kurang tahu bu, kalau ga salah ban mobil ibunya pecah."

Sang pelamar menjalani proses interview dan tes menulis surat dalam Bahasa Inggris dan menerjemahkan. Setelah sekian puluh menit, Bu Dir memanggilku ke ruangannya, menyatakan pelamar tersebut tidak memenuhi kualifikasi dan memintaku untuk menyilakannya pulang. Akupun menuju ruangan interview dan menyampaikan pesan Bu Dir untuk menyilakannya pulang dan menunggu hasil interview, serta tak lupa menanyakan kembali alasan keterlambatannya dan kali ini kupasang telinga baik-baik.

Ia menjawab: "Ini.. Ibuku kan punya varises.. Pecah. Jadi tadi aku ke RS dulu.."

"Ooh...," aku menjawab singkat. Saat itu, yang terlintas di pikiranku adalah bukannya merasa bersalah telah 'menyamakan' betis ibunya dengan ban mobil, aku justru merasa malu pada Bu Dir karena telah memberi info yang salah. Aku memang sering tidak konsentrasi seperti ini, dan intensitas kemunculannya meningkat sejak aku memutuskan untuk resign! Aku tipe orang yang hanya melihat/mendengar apa yang ingin kulihat/kudengar, atau aku melihat tapi tak benar2 melihat. Aku juga sangat kurang bagus dalam hal lateral thinking.

Selasa, 10 Feb '09, aku datang di jam makan siang karena ada keperluan di luar kantor. Lagi-lagi ada dua orang pelamar. Email yang masuk makin banyak hingga aku tak mungkin mengeprint semua, kecuali cv yang memenuhi syarat.

Dari sekian banyak lamaran yang masuk, ada beberapa yang melekat dalam ingatan. Pelamar yang paling pertama kukirimi email notifikasi (tidak memenuhi kualifikasi) dan yang paling mendapat sorotan dari kami adalah email dari seorang yang dari pose fotonya saja sudah "menarik perhatian". Pelamar ini terlalu memaksakan diri untuk menulis lamaran dalam Bahasa Inggris.

Bukan bermaksud menghina--Bahasa Inggrisku juga tidak begitu bagus--tapi paling tidak aku sering membuka kamus untuk memastikan pilihan dan penulisan kata sudah benar, sehingga aku tak akan menulis reading menjadi reeding, knowledge dengan knowled sebanyak 2 kali, graphic design dengan disaint grafis, photoshop dengan photo shope, dan translator dengan translater. Uniknya, ia menulis kata translater di bagian pengalaman kerja di mana ia pernah bekerja sebagai penerjemah selama 3 bulan. Pengalaman kerja sebelumnya juga hanya 3 bulan. Dan pengalaman terakhirnya adalah bekerja di sebuah perusahaan selama 2 minggu!

Ada juga pelamar yang lupa mengganti Attention suratnya, sehingga meski surat tersebut dikirim ke email kami, surat tersebut ditujukan kepada PT lain. Masih dimaklumi walau kami jadi tidak berminat memanggilnya. Ada pula pelamar yang mengirim lamaran sekaligus ke email beberapa perusahaan. Sepertinya ia tidak tahu bahwa semua alamat email yang ia tuju akan tetap terbaca di semua email penerima. Ada beberapa cv yang dibuat dan dimodifikasi dengan sungguh-sungguh, dihiasi bunga-bunga sambil tak lupa memajang foto gaya. Beberapa melampirkan foto close up yang diambil dengan kamera HP. Bahkan ada foto pelamar yang memakai T-shirt "U Can See"!

Hey.. What do they expect?!

Seumur hidupku tak pernah terlintas untuk menjadi sekretaris. Aku bahkan memandang sebelah mata profesi ini, karena imej yang kurang baik tentang beberapa sekretaris. Kita memang sering mengidap penyakit men-generalisasi-kan sesuatu bukan? (hehe...membela diri). Dan siapa sangka, menjadi sekretaris adalah pekerjaan pertamaku setelah lulus kuliah. Mungkin ini yang dinamakan "termakan omongan sendiri". Dan pengalaman selama 1 tahun 2 bulan ini mengajarkanku bahwa menjadi sekretaris tidaklah semudah yang kubayangkan dan tidaklah senista yang kupikirkan. Karena tidak mungkin aku menistakan diriku sendiri, kan? Hehe...

Tuesday, February 24, 2009

SKYCAR

Skycar….

Disebut-sebut sebagai mobil terbang masa depan, solusi kemacetan lalu lintas.

Moller M400X Skycar, diciptakan oleh Paul S. Moller dari California, Amerika. Setelah melewati berbagai uji coba, prototype pertama Skycar sukses terbang pada tanggal 26 Agustus 2002.

Disebut Skycar karena pesawat ini memiliki ukuran dan di-desain layaknya mobil. Skycar ini dilengkapi dengan system thrust deflection vanes yang membuat mobil jadi-jadian (pesawat bukan, mobil juga bukan) ini dapat take off/landing secara vertikal pada hampir setiap jenis permukaan. Skycar juga dilengkapi dengan system komputerisasi untuk mengoperasikannya (dikutip dari majalah Terbang, Edisi Agustus-September 2004).

Yup…satu lagi kemajuan teknologi manusia. Terdengar menarik bahwa ada mobil yang bisa terbang. Dan sepertinya, mobil pesawat ini tidak berisik dan tidak punya baling-baling seperti helicopter yang menerbangkan apapun disekitar tempatnya mendarat. Dapat dibayangkan saat orang lain sibuk mengeluh, menggerutu, memencet klakson, berteriak, protes, dsb karena kemacetan, mobil ini akan dengan sangat anggun terbang, memukau setiap orang yang melihat.

Dan beberapa orang pun akan bermimpi, menabung, mengkredit, bahkan berhutang, dll sebagai usaha untuk memiliki mobil bergengsi ini. Dan masalah akan muncul saat sudah banyak orang memiliki mobil jenis ini. Lalu lintas udara—bukan tidak mungkin—akan semakin padat. Lalu, akan pula dibutuhkan rambu-rambu lalu lintas di udara agar Skycar tidak saling tabrak.

Rambu lalu lintas udara? Hmm…menurut kalian, akan seperti apa rupanya? Apakah rambu ini akan dipancang dengan tiang maha tinggi? Di pasang di pohon-pohon? Atau di gantung di…langit, mungkin?

Selain rambu—yang paling utama, tentu diperlukan adanya jalur yang jelas agar Skycar berlalu lintas dengan rapi di udara. Kira-kira, bagaimana membuat jalur penerbangan untuk mobil jenis ini? Tidak terpikir, untuk orang awam seperti saya. Di aspal? Tidak mungkin. Dipasang tali/kawat memanjang sebagai batas/marka jalan? Ehm…kayaknya kok kurang efektif ya. Atau mungkin akan ada alat canggih baru yang mampu menjadi solusi dalam hal ini. Menggunakan Positioning System?

Selain rambu-rambu dan jalan, saya pikir perlu juga ada polantas udara. Bukankah banyak orang yang tidak “kenal” dan bersikap sombong terhadap rambu-rambu lalu lintas? Kira-kira, pos polantas udara ini akan bagaimana? Pos pohon mungkin? Seperti rumah-rumah pohon. Atau mungkin para polantas tidak perlu pos, hanya berpatroli dengan Skycar juga.

Kalau Skycar banyak, kasihan burung-burung. Sudah pohon sebagai rumah banyak ditebangi, eh…kok ya jalur terbang mereka juga dibajak. Sesekali akan ada burung yang tertabrak Skycar lalu mati sia-sia, seperti halnya nasib ayam, tikus got, yang kerap jadi korban di jalan raya darat.

Oh iya, katanya, Skycar dilengkapi delapan mesin, jadi kalau ada satu atau lebih mesin yang tidak berfungsi, Skycar masih dapat beroperasi dengan baik. Nah, kalau kedelapan mesin mati, kira-kira gimana ya?

Selain itu, katanya, jika pesawat mobil ini mengalami guncangan karena turbulensi, system komputer yang ada akan langsung menstabilkannya.

Kalau tiba-tiba mogok, gimana? Apakah pesawat bisa bertahan di udara sampai ada jasa derek mobil datang? Derek mobil? Di udara?!

Kalau sudah begini, lebih enak macet di jalan raya (darat). Kita masih bisa teriak-teriak memarahi pengemudi di depan; mencet klakson sekeras-kerasnya; kalau tenggorokan mulai sakit, kita tinggal panggil pedagang kaki lima untuk beli minuman, dan kalau minuman sudah habis padahal kita masih haus, kita bisa pukul setir sebagai ungkapan kekesalan, tanpa harus takut mobil meluncur/jatuh ke bawah. Dan bla…bla…bla…

Well, tulisan ini hanya unek-unek seorang awam. Tapi, bukan berarti menentang perkembangan teknologi. Bukan juga skeptis. Hanya menulis apa yang terlintas di pikiran. Hanya kurang setuju pada artikel yang jadi sumber tulisan ini, yang membanding-bandingkan mobil dengan pesawat ini. Jelas-jelas bukan bandingan; mobil ya mobil, pesawat bandingkan lagi dengan pesawat dong! Sungguh tidak BER-PERI-KE-MOBIL-AN! Hehe…=p

Berikut kutipan yang kurang saya setujui:

Skycar VS Mobil

Mari kita bandingkan M400 Skycar dengan mobil yang paling canggih maupun mewah. Secanggih apapun mobil yang Anda miliki tetap memiliki berbagai keterbatasan, bahkan Anda tidak bisa berbuat apa-apa apabila terjebak dalam kemacetan. (Terbang, 2004).

Jadi, harap maklum kalau saya me-mobil-kan (mengibaratkan sebagai mobil) pesawat Skycar dalam tulisan ini!

Friday, January 30, 2009

Sendal Jepit dan Pengamen

Minggu, 14 Sept 2008--waktunya "nge-date" bareng Mbak Erna (dulunya kami 1 kost).
Ketemu di Blok M, disambut hujan angin. Untung hujan tak lama, karena Mbak Erna mengajak ke Tanah Abang. Setelah berpikir lama, dan setelah putar2 Ramayana, aku pun rela diajak ke sana meski tak niat belanja.

Sepanjang perjalanan, Mbak Erna yang hobi "mendongeng" dan sedikit "GorDes" (Gorowok Desa) tak henti2 bercerita. Aku bahkan tak menyadari kehadiran pengamen lantaran telingaku dibajak oleh suaranya. Hingga Sang Pengamen menghadapkan gitarnya ke arah kami dan memetiknya sedikit lebih keras dari yang seharusnya. Aku dan Mbak Erna saling pandang--heran.

"Kenapa??" tanya Mbak Erna dengan alis melengkung.

"Mbaknya gordes teuing sih...," jawabku asal tanpa prasangka buruk.

"Oh iya ya? Gua ga tau deh, kalau ketemu lu gordes gua keluar ... padahal kalau ma orang lain, gua mah lemah lembut...," sambung Mbak Erna juga tanpa prasangka macam2.

Dan sungguh di luar dugaan, pengamen yang buru2 menyelesaikan lagunya nyeletuk: "Tolong hargai dulu, Bu. Dengerin dulu suara orang nyanyi..."

"IIHH...apa??! Orang dari tadi juga ngobrol bedua," cetus Mbak Erna tak terima.

"Iya tapi sayanya keganggu ... hargai dulu suara orang. Satu bus suara ibu semua!" ujar Pengamen sambil menyodorkan plastik permen ke bangku depan. Dan sesampainya di bangku kami, ia masih merasa perlu membela harga dirinya: "Ga ngasih juga ga pa-pa, asal hargai aja ... ga pa-pa ga ngasih juga..."

"Ih..! Baru ini deh gua dimarahin pengamen..."

"Udah biarin aja...," jawabku pendek karena cukup shock juga dengan kejadian ini.

Untuk beberapa saat kami terdiam, tapi kemudian Mbak Erna kembali berceloteh. Mungkin untuk mengobati harga dirinya, atau mungkin juga untuk menunjukkan pada penumpang lain bahwa seorang pengamen tak bisa mempengaruhinya. Untuk menghormatinya, aku menjawab seadanya.

Setibanya di Tanah Abang; macet. Bangunan berwarna hijau yang mencolok tampak sangat dekat di depan mata, tapi tak kunjung tercapai, stuck. Akhirnya kami diturunkan beberapa ratus meter dari bangunan tersebut.

"Masih jauh ya, Mbak?"

"Ya itu, bangunan ijo itu..lu ga liat? Ga pa-pa ya jalan kaki, kan namanya juga jalan2?"

Dan aku baru tahu saat itu, bahwa aku telah salah persepsi tentang Tanah Abang. Aku pikir Tanah Abang serupa pasar2 kain tradisional dengan los2 panjang berjajar. Eh ternyata, serupa Pasar baru di Bandung, bahkan lebih wah untuk model bangunannya.

Sebelum sampai di Bangunan Hijau tersebut, aku dan Mbak Erna mampir di Masjid karena sudah waktunya Dzuhur. Aku melamun sambil menunggu Mbak Erna selesai shalat. Maklum mood ku sedang tidak bagus hari ini.

"Lu ngelamun aja, lu... Gua yang dimarahin pengamen, kok jadi lu yang menderita gitu... biasa aja kali, gua aja biasa."

Aku tertawa mendengarnya.

Selesai shalat, di pintu masjid, Mbak Erna bilang: "Neni, sendal gua ga ada... Neni?"

"Hah? Ga ada Mbak?" aku membeo.

"Ga ada.."

"Nah lho... ada yang minjem kali. Ke kamar mandi..."

Dan saat itu juga, kami merasa berkepentingan pada setiap orang yang keluar dari kamar mandi. Satu-persatu jamaah keluar dari kamar mandi, dan tak ada yang memakai sendal Mbak Erna.

"Ya ampun Mbak, padahal sendal Mbak jelek ya? Ga diliat gitu ada jarum pentolnya tiga? Gimana kalau bagus ya, Mbak?"

Mbak Erna terbahak, "Iya ga diliat gitu, tapaknya udah dalam gitu?"

"Rupanya, di sini akhir sendal itu, Mbak. Mbak kayaknya kehilangan banget ya, Mbak?"

"Iya, soalnya tuh sendal udah berjasa banget buat gua. Udah 6 bulan dia menemani gua kemana-mana."

Maklum sodara-sodara, sendal Mbak Erna yang berwarna Pink agak keungu-unguan itu adalah andalannya. Sendal tersebut telah sangat setia menemani langkah Mbak Erna dari mulai ke kamar mandi, ke kantor, jalan2 ke bogor, bahkan ke bank! Terakhir bertemu, pentol yang dipakai untuk menahan tali yang putus hanya dua ... dan pada pertemuan kali ini, Mbak Erna mengumumkan pentolnya sudah tiga. Dan selalu, setiap jalan bareng Mbak Erna dia pasti sesekali minta berhenti dan bilang: "Tunggu Neni ... Sendal gua, Neni..."
Dan kalau sudah begitu, aku selalu bilang : "Ya ampun Mbak, jangan malu2in saya dong, kalau putus saya mah bakal pura2 ga kenal Mbak ah..." Mbak Erna selalu tertawa mendengarnya.
*
"Gimana dong, Neni?"

"Ya udah tunggu bentar lagi aja..." Dan saat itu, aku melihat sendal jepit karet berwarna ungu full-color. Sebelumnya aku sudah melihatnya, tapi baru pada detik ini aku mendapat feeling : "Mbak, jangan2 ketuker sama yang ini?"

"Iya gitu?"

"Kayaknya iya, kan warnanya hampir sama. Kalau feeling saya mah kayaknya ketuker deh..."

"Feeling lu lagi bener ga? Gua takut dosa."

"Ga tau deh. Tapi kayaknya iya deh, Mbak ... Soalnya kalau orang niat ngambil pasti ngambilnya yang agak bagus, bukan sendal Mbak yang pentolnya ada tiga ... iya kan?"

Mbak Erna diam, berpikir.

"Aduh maaf ya, Mbak ... Saya mah orangnya jujur..."

Akhirnya kami putuskan untuk menunggui orang2 shalat, kalau2 ada salah satu diantara mereka yang memiliki sendal ini. Tapi, setelah beberapa orang yang seangkatan/berbarengan datangnya dengan kami meninggalkan masjid dan tak ada satupun yang melirik sendal tersebut, kami berpandangan:

"Gimana nih, Neni? Gua takut dosa pakai sendal orang."

"Ga tau deh Mbak, feeling saya mah ketuker sama yang tadi... tapi saya takut salah, tar saya ikut dosa lagi... Feeling Mbak gimana?"

"Gua ga da feeling!"

Akhirnya, Mbak Erna terpaksa memakai sendal tersebut.

"Mbak kayaknya kehilangan banget ya Mbak? Saya mah kebayangnya, kalau sendal itu dah benar2 ga bisa dipake, kayaknya bakal Mbak kubur. Ini mah gimana mau nguburnya ya Mbak, jasadnya aja ga ada."

"Iya, gua mah ga akan ngelepasin tuh sendal sampai dia benar2 ga bisa dipake lagi."

Pernah terlintas membelikan Mbak Erna sendal baru, sekalian kenang2an kalau2 dia jadi kembali ke Padang dan kerja di sana. Tapi, ga semudah itu memberi sendal pada Mbak Erna. Mbak Erna punya koleksi sendal lain, ia juga cukup mampu beli yang baru. Masalahnya adalah Mbak Erna sepertinya telah jatuh hati pada sendal ini. Kalaupun ia membeli sendal baru yang persis sama, aku tak yakin Mbak Erna akan menyayangi sendal baru itu seperti ia menyayangi sendal yang hilang.

Mbak Erna tipe orang yang sangat memilih segala sesuatu yang masuk dalam kehidupannya. Memilihnya dengan hati dan benar2 menjaga pilihan hatinya. Pernah aku dan Mbak Erna beli tas, dan tas yang ia beli belum pernah dipakainya dengan alasan ia sangat suka tas itu. Tas berwarna coklat, dengan aksen manik2 dan bulu2 benang. Ia sangat takut manik2nya lepas dan bulu2nya rontok! Tas yang jika didiskon hingga 95% sekalipun, tak kan pernah terpikir untuk kubeli! Karena aku tak akan punya cukup rasa percaya diri untuk menyandangnya; karena aku tak mau mengundang perhatian orang2 dengan manik2 dan bulu2nya...dll.

Orang bilang : 'U'll never know what you've got till it's gone." Buat Mbak Erna, kata2 ini ga berlaku karena ia tahu pasti apa yang dia punya, dan walau pun begitu (atau justru karena itu), dia tetap merasa sangat kehilangan.

Thursday, January 29, 2009

Membaca Pikiran Mustafa

Sabtu, 24 Januari 2009.

Hari ini di harian Kompas, aku tak bisa berhenti memandangi sebuah foto lagi dan lagi. Ada seorang anak kecil bernama Mustafa (5) sedang duduk dalam posisi jongkok dengan latar belakang reruntuhan bangunan. Gaza-Palestina nama tempat ia berada. Dan reruntuhan tersebut adalah rumahnya yang terkena bom pada tanggal 27 Desember 2008. Foto Mustafa diambil pada hari Jumat, 23 Januari 2009.

Seperti yang terlihat di foto, tatapan mata Mustafa kosong. Tangan kanannya memegangi paha kanan, sementara tangan kirinya, dengan keempat jari terkepal, menutup bibirnya. Sedangkan jempolnya berkhianat dari keempat jari lain saat ia memutuskan menekan pipi Mustafa.

Melihat ekspresi Mustafa, aku seolah tersihir. Tak bisa berpaling dari memandangi wajah polosnya untuk waktu yang cukup lama. Dengan tatapan kosong, dan jari-jari yang membekap mulutnya, gaya melamun Mustafa tampak seperti gaya melamun seorang dewasa. Aku tiba-tiba jadi sangat penasaran, kira-kira gerangan apa yang sedang dipikirkan anak sekecil ini, yang duduk di antara reruntuhan rumahnya.

Dan aku mendadak kehilangan kemampuan mengira-ngira... Aku tak punya ide meski hanya untuk mengira-ngira... Atau aku tak tega atau tak berani mengira-ngira pikiran anak ini.

Semakin aku mencoba mengira-ngira, semakin mataku berkaca-kaca.

Akhirnya kuputuskan menyerah. Aku hanya bisa berdoa semoga Mustafa masih percaya pada kekuatan doa dan masih menjaga mimpi kanak-kanak yang semoga tak senasib dengan rumahnya. Agar ia masih bisa berdiri menyambut esok hari (meski tak pasti).

Bukankah doa dan mimpi (yang bisa menjadi motor sebuah atau serangkaian aksi) bisa menembus batas-batas kemustahilan, menghancurkan dinding penghalang, melesat melampaui kenyataan (yang dikenal orang kebanyakan), atau (khusus untuk Mustafa) mungkin mimpi bisa sekedar membuatnya percaya bahwa esok yang lebih baik pastilah ada.

Wednesday, January 28, 2009

Suatu Pagi...

Pagi ini, Minggu 18 Januari 2009, rasanya sayang menghabiskan waktu dengan berbaring. Cuaca Jakarta sedang sangat menyenangkan. Hujan semalam menyisakan hawa sejuk dan segar dan langit biru cerah dan matahari yang ramah dan tanah yang lembab basah.

Seperti cuaca pagi di Bandung Utara; tempat yang masih sangat kusuka dan sering kurindukan.

Aku pun tak menyiakan momen ini. Kuputuskan duduk di pintu kamar, menikmati cuaca yang tidak biasa menyelimuti Jakarta. Dari balik teralis melingkar--yang jika hujan menjadi cabang tempat mutiara-mutiara air bertahta--aku melihat beberapa anak laki-laki menaiki metromini yg belum beroperasi dan diparkir tak jauh dari kamarku. Seorang anak laki-laki yang dahinya tertutup rambut dan bermata sipit memandu teman-temannya untuk naik metromini dan bertingkah layaknya seorang kenek sungguhan.

Aku tertawa sendiri melihat tingkahnya yang begitu menghayati peran. Terlebih saat ia berdiri di pintu metromini, dengan satu tangan berpegang pada besi yang melintang di atas kepalanya, sementara tangan yang lain menunjuk-nunjuk ke depan seolah ia melihat penumpang dan menawarkan tumpangan. Ia pun berteriak, "Psar... psar... psar". Tentu saja penumpang itu khayalan, dan laju bus pun hanya khayalan. Tujuan pun khayalan, karena tidak ada kenek yang menyebut "Pasar" saja, sebab ada banyak pasar di Jakarta.

Sementara kenek menunjuk-nunjuk ke luar, penumpang lain duduk dengan tenang di dalam metromini. Lalu, seorang penumpang meminta turun, diikuti semua penumpang lain. Dengan fasih, sang kenek berteriak, "Kiri... Kiri... Kiri". Tak lupa ia melambai-lambaikan tangan, sambil tubuhnya condong ke sisi luar. Ia berhenti melambai, dilanjutkan dengan memukul-mukul badan metromini, dan melongok ke arah bangku supir yang kosong, seolah ingin mengintimidasi supir yang juga khayalan untuk mengindahkan ia punya permintaan. Saat mobil belum berhenti (menurut perkiraannya sendiri), ia menghalangi penumpangnya untuk tidak terburu-buru turun. Para penumpang pun menurut sambil melongok ke depan, seolah mereka memang harus berhati-hati dengan kendaraan lain di depan sana. Sang kenek melambaikan tangan lagi, demi menjaga keamanan penumpang, yang turun bergantian.

Kiraku, jalan yang mereka tempuh adalah jalur dua arah, dan sepertinya metromini berhenti di tengah-tengah. Jika jalur searah, penumpang dan kenek yang melambaikan tangan akan melihat ke belakang dan bukan ke depan.

Tak lama, melintas seorang anak bersepeda dari arah depan. Oh rupanya anak ini yg mereka pandangi, yang membuat mereka kompak memandang ke satu arah. Satu adegan yang mempertajam harmoni drama ini.

Saat pengendara sepeda melintas di depan mereka, sang Kenek pun menyilakan penumpangnya turun. Ia memegangi bahu setiap mereka yang turun, sebentuk asistensi sebagai wujud dedikasi.

Mereka (termasuk kenek) kemudian berlari mengejar si pesepeda; mengakhiri drama, meninggalkan metromini yang mendadak sepi tiada sesuara.

Aku masih tersenyum sendiri mengingat momen saat sang Kenek menunjuk-nunjuk penumpang khayalan yang berdiri di pinggir jalan yang juga khayalan. Tiba-tiba, terlintas dalam kesadaran bahwa setiap profesi--sesederhana apa pun itu--membutuhkan keterampilan. Seorang kenek baiknya lincah dan gesit memandu dan melindungi penumpang saat mereka naik/ turun, terlebih jika metromini berhenti di tengah jalan di antara kendaraan lain yang kebanyakan berlomba menguasai jalanan. Seorang kenek juga hendaknya bersuara lantang agar bisa berteriak keras, cepat, tegas, dan jelas (setidaknya jelas untuk dirinya sendiri). Mungkin, kenek pun belajar teknik bagaimana membuat irama ketukan koin pada rangka metromini baik itu pada kaca, besi, atau dindingnya sebagai tanda kepada supir untuk berhenti. Ia juga mungkin belajar, bagaimana menggoyang beberapa koin di genggaman agar penumpang tahu ia sedang menagih, dan sepertinya ia juga belajar bagaimana teknik mencolek bahu penumpang yang sedang melamun hingga lupa membayar... :->

Seekor Kupu-kupu dan Gerombolan Semut

Pada suatu perjalanan dari Jakarta menuju Bandung, aku menjadi saksi perjuangan bertahan hidup antara dua makhluk kecil. Saat itu hari pertama long weekend (4 hari). Alhasil, kemacetan tol Cipularang sudahlah suatu kewajaran bahkan keharusan.
Travel yang kutumpangi stuck! Diam di tempat, sama seperti puluhan kendaraan yang menyemut di depan dan di belakang travel.

Dan fenomena ini berakibat pada lahirnya fenomena lain. Aku melihat banyak pria keluar dari mobil, menyingkir ke semak-semak tepi jalan dan membuang hajat di antara rimbun dedaun liar! Sangat banyak! Dari ujung depan maupun ujung belakang, dari sisi kanan maupun kiri jalan. Tapi jangan bayangkan mereka berdiri berjajar, jaraknya berjauhan antara satu pria dan pria lain, dan mereka menyingkir bergantian, tidak serempak. Dan aku yang sejak awal bertekad menikmati perjalanan hari ini harus memalingkan wajah dari pemandangan tersebut, demi menjaga keindahan/ esensi perjalanan. Apa bagusnya menyaksikan punggung laki-laki di semak-semak? Ups..tapi bukan berarti aku ingin melihat bagian depan mereka saat itu, lho.. :-P

Jadilah aku memandangi rerumputan di sisi mobil melalui jendela yang tertutup. Aku melihat seekor kupu-kupu putih yang sedang hinggap di hijau rumput tepian jalan beraspal. Aneh. Tidak biasanya kupu-kupu hinggap berlama-lama di rerumputan, di dekat aspal pula. Lama kuperhatikan, aku merasa ganjil dengan kelincahan si kupu-kupu. Ia mengepak-ngepakkan sayapnya tapi tidak kemana-mana. Hanya sedikit bergeser ke kiri, ke depan, ke kanan, lalu sedikit berputar di tempat itu juga. Mungkinkah sayapnya terluka, tanyaku dalam hati. Kemudian, samar-samar aku melihat sesuatu bergerak di dekat kupu-kupu, di sekitar aspal berbalut pasir. Kutempelkan dahiku ke kaca mobil untuk menyiasati penglihatan. Dan aku melihat segerombol semut merah mengepung si kupu-kupu. Mereka berusaha mencabik sayapnya yang tipis rapuh dan mengoyak tubuhnya yang lunak. Gerakan lincah yang ganjil rupanya bentuk usaha kupu-kupu untuk membebaskan diri dari semut-semut. Dan sepertinya kupu-kupu itu lelah dan mungkin sebentar lagi menyerah, karena kulihat makin lama ia makin tak lincah.

Aku tak tahu apakah kupu-kupu ini sudah terluka atau cacat sayap, saat semut menyerangnya. Atau apakah memang sejak awal semut menyerangnya lebih dulu, lalu berusaha menyantapnya. Jika yang pertama adalah sebab prosesi ini, sungguh tragis nasib kupu-kupu harus berakhir di perut puluhan semut kecil, yang mungkin tidak pernah diketahuinya ada. Jika yang kedua jawabannya, betapa semut sekecil itu bisa berbahaya bagi seekor kupu-kupu yang bersayap, yang badannya puluhan kali lebih besar dari mereka. Kebersamaan gerombolan semut, meneguhkan kekuatan mereka.

Demikianlah aku menjadi saksi pertarungan antara gerombolan semut dan kupu-kupu. Bayangkan, satu gigitan semut merah saja bisa menyusahkan kita, apalagi untuk seekor kupu-kupu, digigit semut beramai-ramai pula.

Aku sempat bertanya-tanya, apakah kupu-kupu ini pernah melakukan kesalahan selama hidupnya hingga berakhir tragis? Atau mungkin semut-semut telah berusaha giat mendapatkan makanan selama berhari-hari dengan tekun dan sabar, hingga akhirnya mereka diganjar seekor kupu-kupu? Atau kupu-kupu pernah berdoa agar ia mati dalam keadaan berguna, dan menjadi makanan semut adalah jalannya?

Apapun itu, aku hanya mencoba percaya... Kejadian ini memang perlu terjadi untuk sebuah alasan atau beberapa alasan yg baik--bagi kupu-kupu, bagi semut-semut, dan bahkan bagi diriku sendiri.

* Renungan Sabtu, 17 Januari 2009.

Friday, January 23, 2009

Bunga Mata Bidadari

Pagi ini, di balkon depan kamarku, aku menemukan tiga kuntum bunga berkelopak lima yang berwarna merah muda. Aku tidak tahu namanya. Dan aku pun bertanya-tanya bagaimana bisa mereka terdampar di depan kamarku? Sepertinya, mereka terbawa angin yang mengiringi hujan semalaman. Ya, inilah kemungkinan satu-satunya. Inilah alasan paling masuk akal tentang bagaimana mereka bisa mampir ke sini dan menyapaku pagi ini. Eh, tunggu dulu… Bukankah hidup ini disusun oleh banyak kemungkinan-kemungkinan? Rasanya tidak adil bagi angin jika aku menuduhnya merenggut bunga ini dan mencampakkannya di sini. Tentu ada alasan lain selain terbawa angin, yang membuat bunga ini tersungkur menabrak dinding kamarku. Tidak adil juga bagi kuntum-kuntum bunga jika aku hanya mengira perjalanan yang telah mereka tempuh hanya sejauh akalku saja.

Baiklah aku akan mulai memikirkan kemungkinan lain tentang bagaimana perjalanan mereka sejak tercerabut dari tangkai hingga tiba di sini. Mungkin … Semalam, saat hujan membasuh bumi, ada seorang bidadari tersasar ke balkon depan kamarku. Hujan membuatnya kesulitan membaca arah. Angin hanya menghalangi kepak sayap selendangnya menuju langit antah berantah. Untuk sejenak, bidadari memilih mengalah, duduk bersandar di balkon kamarku yang tak selamat dari serbuan hujan angin yang pantang menyerah. Ia duduk meringkuk sambil menggigil, dan berdoa hujan segera berhenti tercurah.

Tapi bersamaan dengan itu ia tersadar; semakin lama hujan turun membasuh bumi, langit semakin kelam menyembunyikan bintang-bintang yang biasa jadi pemandu arah. Bau tanah basah mengaburkan wangi langit antah berantah. Bidadari menjadi gelisah. Selendang pun telah seluruhnya basah. Ia merasa kalah. Tak tahu bagaimana mengambil langkah. Air matanya tumpah; berleleran menyentuh air hujan yang terus tercurah. Jadilah, air mata pun berubah menjadi bunga berwarna cerah. Bunga inilah, yang wanginya mampu menembus bau tanah, menjadi petunjuk bagi enam bidadari lain yang mencarinya dengan resah. Bidadari berubah sumringah saat melihat ke-enam wajah saudarinya yang tak kalah cerah.

Mereka pun pulang ke negeri antah berantah. Selendang basah tak jadi masalah, karena mereka melesat bergandengan sambil menyamakan langkah. Dalam hati, mereka berjanji takkan bermain hingga sore hari saat hujan sering tumpah. Sebelum hilang ditelan antah berantah, bidadari memandang ke bawah, tersenyum pada bunga matanya yang berwarna cerah, yang tertinggal di balkon kamarku yang basah. Hingga aku menemukan mereka saat langit pagi demikian indah, setelah semalaman menyebar hujan tanpa lelah. Atau, mungkin juga…


NOTE :
Sewaktu kecil nenekku pernah mendongengkan kisah bidadari yang saat menangis airmatanya berubah menjadi bunga. Sayang aku tak ingat kisah lengkapnya. Tapi yang pasti, bunga yang kutemukan di balkon kamar adalah bunga yang sama yang disebut-sebut nenekku sebagai bunga yang berasal dari airmata bidadari.

Sunday, January 18, 2009

DUA GELAS KOPI DI ATAS ASPAL

Selasa, 18 November 2008.

Seperti biasa, sejak kantor pindah pada bulan Maret lalu, aku berjalan kaki menuju kantor (tidak lagi naik “metromini setan”). Sebuah rutinitas: jalan yang sama, polisi cepek yang sama, pangkalan ojek yang sama, dan aku pun melihat gerobak sampah yang sama yang sesekali kujumpai dalam perjalanan menuju kantor. Sebuah gerobak buatan yang dicat bertotol-totol warna pastel di atas permukaan seng yang menjadi dindingnya. Masih kosong atau mungkin setengah isi. Tak jauh dari gerobak totol ini, parkir pula gerobak sampah lain—yang biasa dipakai oleh pengangkut sampah pada umumnya—menghadap ke arah bertentangan dengan gerobak totol.

Aku melangkah agak ke tengah jalan karena gerobak totol menghalangi jalanku. Dan betapa terkejutnya aku atau mungkin terpana atau apalah namanya saat aku melihat dua orang laki-laki duduk diantara dua gerobak sampah tersebut. Dua lelaki pemilik gerobak yang duduk santai menghadapi dua gelas kopi panas! Laki-laki yang berkumis tebal dan hitam dan mata besar—pemilik gerobak komersil—menyapaku ramah sambil mengaduk kopinya. Laki-laki yang seorang lagi—pemilik gerobak totol—mengikuti arah pandang temannya; juga tersenyum, juga sambil mengaduk segelas kopi miliknya. Sementara tangan kanan mengaduk kopi, tangan kiri mereka memegang gorengan. Sekilas tampak seperti pisang goreng.

Aku membalas tersenyum sambil gegas berlalu, ada sedikit rasa tak tega menyaksikan pemandangan di tepi jalan ini. Tapi, hanya dalam hitungan detik, saat otakku sudah sukses mencerna dan menerjemahkan keceriaan di wajah dua lelaki tadi—yang tidak sedikit pun merasa sungkan atau minder—rasa iba menguap begitu saja. Kecerian di wajah dua lelaki tadi menulariku, menjalar hingga ke hati dan membuatnya hangat.

Kuperlukan menengok sekali lagi, dan kulihat dua laki-laki pengangkut sampah tadi sedang bercakap-cakap (tampak samping). Aku juga masih melihat dua gelas kopi panas dan sebotol aqua ukuran 1 liter dan sekantung plastik hitam berisi gorengan tersaji begitu saja di atas aspal.

Sungguh masih banyak kebahagiaan yang tak terbeli dengan uang. Atau betapa banyak cara berbahagia meski dalam keterbatasan.

Sarapan di pinggir jalan dengan menu segelas kopi panas dan sedikit gorengan bersama seorang teman se-profesi; siapa yang bisa membeli momen sederhana tapi cukup menghangatkan hati ini?!
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...