Thursday, August 15, 2013

Review N-Ach Project

Well, ini mungkin agak terlambat. Berhubung kemarin libur Lebaran saya pulang tanpa bawa laptop dan hanya modal smartphone yang kurang asyik untuk ketik panjang, jadi baru bisa me-review project untuk diri sendiri kemarin.

N-Ach Project digadangkan selama 2 minggu, dari total waktu yang ditentukan ada 3 kali saya alpa posting. Jadi, bisa dibilang proyek ini gagal (jika dilihat dari konsistensi terhadap janji). Tapi, untuk hal lain, misal dalam hal niat atau usaha untuk memenuhi target, hasilnya tidak terlalu buruk. Saya jadi lumayan produktif atau terpaksa produktif demi memenuhi janji pada diri sendiri. 

Nah, dalam hal kualitas tulisan... oke saya mengaku, beberapa tulisan lahir karena dipaksa. Dan yang namanya terpaksa, kadang hasilnya ya maksa. Beberapa tulisan hadir sekedar hadir sebagai penggugur kewajiban. Tanpa ruh, tanpa isi. Tapi untungnya tidak semua tulisan. Semoga, hehehe.... 

Beberapa tulisan panjang memang terkesan sangat personal dan berani. Berani dalam artian saya mengungkapkan perasaan di media publik seberani itu. Terus terang untuk orang yang melankolis dan tertutup seperti saya (melabeli diri sendiri), hal tersebut kadang memalukan. Makanya saya lebih suka menulis puisi karena tidak harus gamblang menggambarkan keadaan. Tapi tetap saja, emosi dari tulisan bisa terbaca oleh orang lain--meski bisa saja mereka salah interpretasi. 

Dan mungkin tulisan personal seperti itu, bagi sebagian orang, memalukan dan tidak penting. Karena katanya, hal-hal pribadi hendaknya tidak dibagi apalagi di publikasi. Entahlah. 

Mungkin ini ada pengaruh dari bacaan yang saya baca belakangan, intinya tentang mengakui perasaan sendiri, mengenalinya, dan menerima. Saya jadi lebih santai membuka diri, menyatakan emosi. Saya tidak tahu apakah pemahaman saya akibat membaca bacaan tersebut yang kemudian turut mempengaruhi kondisi psikologi saya ada dalam kadar dan aplikasi yang benar, tapi yang pasti saya lebih nyaman. Nyaman terhadap adanya diri saya sebagai pribadi--seada-adanya saya. 

N-Ach project: A desire to be effective or challenged sangat membantu saya untuk kembali produktif nge-blog. Sejak Agustus tahun 2012 lalu, blog ini nyaris tidak diisi. Pemiliknya mengalami disorientasi atau tiba-tiba lupa bagaimana cara menulis puisi. Cerpen apalagi---entah sejak kapan saya kehilangan kemampuan menulis fiksi. 

Dipikir-pikir, tulisan review ini berubah jadi curcol. Penyakit deh! Hehehee... 

Intinya, project kemarin ini yang membawa saya kembali "berpikir" untuk membuat blog lilalily yang tahun ini berusia 5 tahun tetap "bersuara". Dan proses kreatif dalam menulis blog pribadi seharusnya menjadi kegiatan menyenangkan, karena kontennya tidak harus yang berat, tapi lebih personal dan dekat. Kadang-kadang, kegiatan menulis terhambat karena merasa takut tulisan yang dibagi tidak penting. Padahal, selama tidak menyalahi hak asasi atau melukai orang lain, apa salahnya? Toh, judulnya juga blog pribadi. -->> (Ini lebih merupakan pesan untuk diri sendiri, hehhee... !)

Happy blogging... :)







Wednesday, August 14, 2013

Bandung, Here I Come

Di tangan kanan bergantung tas warna pink berisi penuh pakaian, sementara di tangan kiri ada tas berwarna maroon campur krem berisi penuh oleh-oleh; saya siap berangkat ke Bandung. Tak lupa, tas kecil cokelat diselempangkan di bahu.

Papah saya yang mengantar ke tempat angkot warna kuning ngetem, tujuan Bakauheni. Saya duduk di depan, di samping supir yang sibuk menyetir. Perjalanan terasa garing hingga sampai didaerah Blambangan, seorang lelaki dengan logat Lampung yang kental yang ternyata teman si supir ikut naik. Nah, sejak laki-laki ini naik, ia duduk di belakang supir dan tak henti bicara. Bicara dengan bahasa Lampung. Setidaknya ada suara yang mengusik telinga. Musik di mobil tidak dihidupkan, dan ini menjadi masalah bagi pria Lampung yang satu itu. "Adu kelot mawat penumpang, musik mak diukhion muneh...," ujarnya. Sang supir menjawab santai tapi tidak mengikuti permintaannya yang ingin musik di mobil diperdengarkan.

Banyak yang mereka bicarakan sepanjang perjalanan, apalagi saat mobil harus terpaksa menyusul penumpang langsung ke rumah mereka. Ada-ada saja celetukan lelaki tersebut yang mengundang senyum. Si supir bahkan bilang (dalam bahasa Lampung), "Ga kebayang saya kalo kamu tua nanti cerewetnya kayak apa." Si laki-laki malah tertawa dan tetap banyak bicara. Sampai akhirnya dia membuat saya dan beberapa penumpang terbahak. Duh, susah payah saya nahan diri untuk berhenti tertawa. 


Ceritanya ada seorang ibu yang naik angkot ini, diantar oleh seorang perempuan dan anak kecil. Begitu si ibu naik, si anak nangis sambil lari menjauh. Dan ini adalah jalan trans sumatra yang banyak mobil ngebut. Saya sempet khawatir juga liat tuh anak kalau-kalau lari ke tengah jalan. Terlebih lagi perempuan yang bersama si anak. Dia lari mengejar tapi ragu karena mungkin takut justru membuat si anak lari lebih jauh. 

Melihat hal tersebut, laki-laki cerewet tak tinggal diam. Dengan logat Lampung yang kental dia berseru, "Jangan bunuh diriii, kamu... susah buatnya...." 

Saya dan beberapa penumpang kontan terbahak. Untungnya si anak sudah digandeng perempuan yang bersamanya. Tapi tak cukup berkata begitu, lelaki cerewet ini menambahkan, "Udah jangan nangis, mak kamu mau berangkat dulu."


Kok ya kepikiran bicara dengan nada bercanda begitu sama anak kecil saat orang lain khawatir liat tuh anak lari-lari sambil nangis di pinggir jalan raya.


Hehehee begitu ceritanya. Saya mengetik postingan ini di kapal ferri Dharma Kencana IX, di depan ada live musik oleh biduan bergaun mini warna fuschia dengan ikat pinggang besar warna hitam yang bagi saya dipasang ketinggian (di atas pinggang). Well, mungkin memang model pakaiannya seperti itu kali ya. Untung suaranya lumayan jadi ga mengganggu telinga.

Demikian cerita perjalanan yang biasa saja ini. Neni melaporkan dari Selat Sunda... :)


P.S: Kapal sebentar lagi sandar di Pelabuhan Merak. Arus balik ramai lancar. Penumpang kapal masih ramai tapi tidak terlalu padat.


Tuesday, August 06, 2013

N-Ach #12: Tentang E-Book

Ssssstttt....Saya sedang menyelesaikan sebuah bacaan. Dari sebuah e-book. Tapi isinya gas bisa saya ceritakan semua di sini. Yang pasti setelah saya membaca petunjuk di buku tersebut dan lalu belajar menerapkan ilmunya, percaya atau tidak.... it works!

Kadang-kadang kita memang perlu belajar dari pengalaman orang lain untuk lebih bisa memahami keadaan yang  sedang kita hadapi. Atau kadang-kadang kita lebih bisa memaknai sesuatu setelah kita mengetahuinya dari kacamata orang lain.

Hasil yang saya peroleh memang belum maksimal. Jalan masih panjang. Tapi dengan adanya buku ini perjalanan jadi lebih mudah dan menyenangkan! :)

Doakan saya agar berhasil dan selamat sampai tujuan....

Monday, August 05, 2013

N-Ach #11: Di Lengkung Hati


Karena pelangi yang melengkung busur
di ujung cakrawala sore itu
selalu tahu:
ada mejikuhibiniu
di lengkung hatimu




N-Ach #10: Jatuh

Jika pun suatu hari nanti
takdir tidak berpihak pada kita,
aku tegaskan dari sekarang:
ya, aku pernah sangat jatuh cinta padamu
dan sungguh tak ingin menyesalinya--
pengalaman jatuh yang satu itu.

Saturday, August 03, 2013

N-Ach #9: Ragu di Ruang Tunggu

Ada ragu yang menunggu
di ruang tunggu
tak perlu kau jemput ia
atau kau tanya mengapa;
ia hanya duduk sementara di sana
sebelum waktu mengajaknya bicara
tentang apa yang kini masih rahasia

Thursday, August 01, 2013

N-Ach #8: You Are What You Think!

Well, saya absen posting lagi kemarin, hehehe.... Tapi maaf kan saya, hari ini saya akan posting tentang suatu hal yang baik untuk kita semua. 


You are what you think!--adalah motto yang sering saya pakai ketika harus menulis kolom motto di personal data FB misalnya, di formulir-formulir pendaftaran yang meminta menuliskan motto.

Kenapa? Karena saya adalah tipe orang yang kadang lebih memilih memikirkan dampak negatif dari suatu aksi atau kejadian dari pada berpikir positif. Karena saya tipe orang yang berhati-hati--takut melakukan kesalahan. Dan selain itu, hal ini muncul sepertinya akibat rasa kurang PD yang ada pada saya. Jangan ditiru. 

Saya sungguh berjuang untuk jadi orang yang lebih positif atau setidaknya PD. Kasian ya? Saat orang lain bisa berjalan dengan nyaman dengan segala yang ada di dirinya, saya (apalagi saya yang dulu) kesulitan berpikir bagaimana caranya berjalan di depan orang lain agar tampak nyaman, karena saya tidak nyaman. 

Sekarang sudah berkurang. Tapi kadang-kadang, ketika ada di lingkungan baru yang saya kurang nyaman, penyakit ini mucul. 

Hanya jangan aneh jika suatu waktu melihat saya sangat bersemangat atau PD. Itu berarti saya sedang sangat nyaman, baik dengan diri saya, lingkungan, orang-orang di sekitar saya. Well, memang kenyamanan harus kita sendiri yang menciptakan. Mengingat motto ini adalah salah satu bentuk usaha nyata untuk itu. 

Saya mengingat-ingat motto itu agar menjadi semacam pengingat diri bahwa mind over body! Saya sudah membuktikannya beberapa kali. Bahwa kekuatan pikiran bisa membantu kita mengubah atau menguasai keadaan. Misal, saat sedih, katakan pada diri sendiri bahwa kalian bahagia dengan sungguh-sungguh dan mempercayai perkataan itu, maka kalian pun akan seketika merasa bahagia atau paling tidak lebih rileks. Teorinya memang semudah itu, dan memang mudah dan tidak ada salahnya dicoba sesekali. 

Nah, hari ini saya mendapat email dari sebuah program energy healing. Saya berlangganan email mereka tapi tidak pernah terlibat. Email-emailnya hanya saya buka saja agar semua terbaca tanpa saya membaca kontennya. Tapi hari ini, email tersebut berkata bahwa saya tidak pernah memberi komentar apapun tentang email yang mereka kirim dan mereka memberi saya apa yang berjudul 3-Day Fear Cleanse

Setelah saya baca, konsepnya sama dengan apa yang diusung oleh motto saya tersebut di atas. Berikut langkah-langkahnya langsung saya copas (tapi ada yang dikurang-kurangin):

3-Day Fear Cleanse

First thing: Make sure you do this in the evening, preferably before bed - because what we're going to do here is reflect on the day that just went by. Find a quiet place with no distractions. Maybe you could sit in your bedroom for a while. Get seated comfortably. Take 3 deep breaths, try and clear your mind.


Step 1
Think of a moment in the day where you feel a subconscious fear may have been blocking your abundance. Maybe it was a conversation you had at work. Maybe it was when you were buying something in a store. Maybe it was just a random thought you had that made you feel poor or unworthy.

Write down the feeling you were experiencing in that moment. 
For example: I didn't call back that potential client because I figured he wouldn't like me anyway. Or, I was nervous to check my bank account because I was afraid there wouldn't be enough money in it.

Step 2
Create a Target Statement, which you do by first rephrasing your earlier statement.
For example, if your earlier statement was: I was nervous to check my bank account because I was afraid there wouldn't be enough money in it...

Then you would rephrase it to: Even though I'm nervous to check my bank account because I'm afraid there won't be enough money in it, I deeply and profoundly love and accept myself anyway.

Step 3
Tap on it. Start Tapping on the meridian points on your face and body while focusing on the emotional resistance to access and eliminate the emotional or energetic resistance that is blocking you.

Step 4
Convert the negative target statement into a positive one, and start Tapping again.
Using the earlier example, the negative statement was: I was nervous to check my bank account because I was afraid there wouldn't be enough money in it...

And when you convert that into a positive statement, it would be: I'm confident to check my bank account and my finances, because I am abundant and I have more than enough.

Start Tapping on this statement, and while you're doing it add other positive uplifting affirmations and suggestions that will help raise your vibrations and get you into a receptive energetic state.
Sample Positive affirmations:
I am financially abundant.
I am confident about my finances.
I manifest wealth every day.

If you find yourself annoyed or frustrated with these statements, or if they don't yet feel real, this is likely because the subconscious fear is still lodged in your energetic core - which means you need to again Tap on the earlier negative statements.

I hope you enjoyed that exercise! If you want to make Tapping a daily habit and be more aware of the fears holding you back, remember to commit to the 3-Day Fear Cleanse. Just do this exercise once every evening for at least 3 days, and see how much more mindful and conscious it makes you feel about your thoughts, your fears and your actions. 

***


Untuk gampangnya, berikut form pelatihan sistem ini dan keterangan apa yang dimaksud dengan tapping dalam hal ini dan dimana letak titik yang yang harus di-tapping



Coba deh dan buktikan bagaiman metode ini bekerja untuk kalian. Kalau tidak cocok, ya jangan dipaksakan. Tapi jangan juga dihina, metode ini berhasil untuk banyak orang. 

Tuesday, July 30, 2013

N-Ach #7: Tentang Kebohongan

Kamu pikir kebohongan akan bisa menyelamatkanmu?

Mungkin. Sangat bisa.
Tapi percayalah hanya untuk sementara.
Lagi pula apa yang diharapkan dari hidup dalam kebohongan--sehebat apa pun ia?
Tidak ada.

Yang ada hanya rasa lelah harus mengarang cerita.
Rasa malu saat cerita yang diulang tidak sama.
Rasa bersalah di sudut hati nurani.
Akui saja.
Tak ada ketenangan dalam kebohongan.

Kau mungkin tertawa atas keberhasilan membohongi orang lain.
Mungkin juga mendapat keuntungan.
Tapi kau akan merasa jengah terhadap diri sendiri.
Akui saja.
Tak ada yang menyenangkan dari sebuah kebohongan.




Monday, July 29, 2013

N-Ach #6: Esensi Menerima

Sebelumnya saya ingin mengaku, kemarin saya tidak bisa memenuhi janji pada diri sendiri untuk posting blog tiap hari berturut-turut selama 2 minggu. Alasannya saya kecapean karena event di hari Sabtu dan kemarin saya habiskan waktu hampir di kasur seharian--tidur dan menikmati rasa pegal di sekujur badan. 

Tapi saya tidak merasa saya telah gagal. Saya memaafkan diri saya untuk ini, semoga tidak terulang lagi. :)


Ya sudah, hari ini saya ingin curhat. Boleh ya? Kalau tidak suka tentang tema ini, jangan lanjutkan membaca. Karena ini akan sangat personal; sebagian orang mungkin tidak nyaman dengannya. Mungkin. 

Hari ini saya ingin cerita tentang apa yang tengah saya rasakan beberapa hari belakangan. Saya merasa lega. Nyaman dengan diri saya dan kenyataan yang ada pada saya. Dan perasaan seperti ini sungguh menyenangkan. Tidak ada tuntutan, tidak ada ultimatum, tidak ada usaha yang muluk-muluk, tidak ada drama, sedih dan rasa takut lagi--yang ada hanya perasaan tenang dan menerima. 

Saya menerima bahwa tidak semua hal bisa berjalan sesuai keinginan saya. Tidak semua hal bisa saya raih. Tidak selamanya saya bisa mendapatkan segala yang saya inginkan. Meski begitu saya masih bisa tetap hidup dan bahagia. :)

Satu tahapan kehidupan sudah saya lewati--tahapan yang membuat saya menjadi orang lain tanpa saya sadari, menyangkal batasan yang selama ini saya pegang hanya karena merasa mungkin hal itu bisa mengubah keadaan, menginginkan impian yang  sebenarnya bukan impian saya sendiri, memaksakan diri berjuang untuk hal yang sepertinya tidak butuh diperjuangkan lagi; menjadi lemah dan kecil hati.

Cukup untuk semua itu.

Saya kini sampai pada keadaan saya yang apa adanya saya: yang tidak perlu lagi merasa takut kehilangan (karena saya sudah menerima bahwa saya tidak pernah memiliki); tidak perlu merasa terhina karena penolakan sebab saya sudah berhenti meminta; tidak perlu lagi mempertanyakan banyak hal karena saya sudah menerima kenyataan yang ada di depan mata; tidak perlu lagi berharap dan lalu kecewa sendiri; tidak perlu menyalahkan orang lain karena orang lain pun punya alasan dan motif sendiri atas tindakan mereka dan itu bukan urusan saya; tidak perlu juga merasa menyesal atas semua kesalahan yang pernah saya lakukan. 

Saya menerima semuanya (dan semoga bisa mengambil banyak pelajaran).



Untuk sampai pada tahap ini, memang tidak mudah saudara-saudara. Waktu memang punya cara sendiri untuk menunjukkan pada kita apa yang benar-benar penting atau tidak, termasuk juga untuk mengobati banyak hal. 



Saturday, July 27, 2013

N-Ach #5: Senja Mediterania

Baru pulang workshop yang diadain di kantor "Dari Timur Matahari" bareng Marischka Prudence dan Barry Kusuma. Dari pembicaranya jelas ini workshop tentang travel blogging dan travel photo blogging.

Dan hampir lupa belum posting hari ini. Saya ingin share foto aja, ya.... Tidak nyambung dengan pembukaan sih. Ini dia fotonya:

kaki saya yang paling kanan, yang kiri adalah kaki seorang anak kecil

Foto tersebut diambil pada musim panas 2010, tepatnya dalam tur naik kapal dari Köycegis-Dalyan-Turtle Beach di Turki. Senja Mediterania keren... Matahari terbenam bisa sangat bulat sempurna dan ukurannya besar. 

Kalau yang ini adalah pemandangan sepanjang jalan sebelum sunset:

kapal sewaan untuk tur. setiap kapal sepertinya harus pasang bendera Turki.

Ngantuk.... good night... have a sound and deep sleep, everybody. :)




Friday, July 26, 2013

N-Ach #4: Unsere Garten

Gambar lagi... gambar males....

garten
roses




Thursday, July 25, 2013

N-Ach #3: Bunga Kuning

Saya sedang suka warna kuning.
Dulu sekali waktu masih kecil, kuning adalah warna favorit saya.
Belakangan tiba-tiba saya yang memuja ungu ini jadi kepincut lagi sama warna kuning.

Nah, hari ini saya gambar bunga kuning.
Ini dianya (dengan background yang berbeda):



Saya pakai background hitam--lihat bedanya:



Background biru terang:



Saya ga bisa milih yang mana yang paling oke, jadi tiga versi saya upload semua.
Hahahaha... pemborosan memang.


Wednesday, July 24, 2013

N-Ach #2: Perih di Ujung Jemari

Pernah kah kalian merasakan perih di ujung-ujung jari sebab menahan sedih sendirian? Rasa sedih karena kehilangan sesuatu yang sepertinya tidak bisa lagi diusahakan merupakan jenis sedih yang lumayan menyesakkan ya? Iya ga sih?

Belakangan saya merasakan perih itu—perih di ujung-ujung jemari, bukan lagi di hati. Perih dalam artian harfiah—perih sungguhan, bukan sebatas bahasa. Saya tidak tahu apakah ada saluran perih dari hati ke ujung jari atau semata itu hanya sensasi perasaan saja. Sejauh yang bisa saya ingat, baru kali ini saya merasa perih jenis ini. Kalau perih di hati, saya sudah melewatinya dan itu juga cukup menyiksa.

Ada rasa syukur saat saya bisa merasakan perih seperti itu. Karena saya percaya itu dapat berarti bahwa hati saja masih bekerja dengan baik. Hati saya masih bisa merasa. Mungkin hati saya ingin memberi tahu bahwa sudah waktunya saya menyerah, melepas keinginan, dan merelakan dengan lapang. Suatu proses yang tidak mudah.

Hanya aneh saja kok bisa saat sedih, rasa perih yang seharusnya di hati itu malah bertransformasi menjadi perih di ujung-ujung jemari? 

Semoga kalian tidak menganggap saya berlebihan karena mengungkapkan perasaan ini. Jika kalian pernah atau suatu hari nanti bisa merasakannya, kalian akan mengerti yang saya maksudkan.

Dan kalau perasaan seperti itu menghampiri kalian, bersikaplah berani: rasakan, terima, jangan ditahan atau dilawan. Kenali perasaan sendiri dan akui. Tidak ada salahnya merasa sedih. Toh sedih juga adalah bagian dari emosi kita yang juga butuh diakui. Hanya usahakan jangan biarkan berlarut. Temukan hal positif dari kesedihan yang bisa membantu melegakan perasaan. Meski saya sangat tahu hal ini tidaklah mudah. 

***

Sehubungan dengan merasakan emosi ini, kemarin saya menonton video self-help yang terkait dengan berani mengenali perasaan dan terhubung dengan emosi diri kita yang paling sejati. Rori Raye nama pembicaranya bilang bahwa kita harus berani mengakui emosi sendiri saat kita marah, sedih, terluka, senang, bersyukur dan perasaan lainnya. Rasakan apa yang bisa dirasakan.

Rasakan amarah tanpa mengungkapkannya pada orang yang membuat kita marah. Rasakan perasaan sedih dan kecewa tanpa berkeinginan untuk menghakimi penyebabnya. Jika ingin menangis, rasakan tanpa menunjuk orang lain untuk bertanggung jawab karena membuat kita menangis. Cukup merasakan dan mengakui bahwa perasaan itu ada. Dan ini langkah yang baik dari pada mengeluhkan perasaan tersebut. 

Ia juga mengajarkan bagaimana caranya terhubung dengan emosi terdalam kita. Kuncinya adalah dengan membayangkan gelombang laut, lantai dasar lautan, dan arus (flow). 

Langkahnya adalah sebagai berikut: bayangkan sebuah samudera. Salami hingga ke dasarnya. Berdiri di dasar samudera, rasakan gerakan air dan lihat ikan-ikan yang berenang. Bayangkan tubuh kita ada di sana merasakan arus atau gelombang lautan. Ikuti dan rasakan gerakan gelombang air laut yang tenag dengan menggerakkan tangan sesuai arus. Dan biarkan diri kita "terhubung" dengan perasaan terdalam yang tengah dirasakan. Akui dan terima perasaan tersebut. Setelah beberapa saat, ini akan membuat kita lebih rileks… Dan sungguh lega saat bisa rileks dan kembali pada kondisi yang positif.  

Pada akhirnya, Rori bilang bahwa entah bagaimana, energi dari dalam diri kita akan bekerja dengan cara yang tidak kita ketahui dan akan memberi efek menyembuhkan. Energi positif dari dalam diri akan juga mempengaruhi hal yang di luar diri kita. Saat kita lebih positif, kita akan mempunyai pandangan yang berbeda tentang dunia, tentang masalah kita. Orang lain pun akan bisa merasakan energi positif tersebut dan bereaksi dengan cara yang berbeda pada kita. 

Mungkin kalian berpikir hal ini buang-buang waktu dan tidak masuk akal. Merasakan emosi memang mungkin tidak secara langsung menyelesaikan masalah kita. Tapi saya percaya bahwa ada beberapa hal yang memang tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan secara langsung atau pun dengan menggunakan logika. Saya percaya, teknik ini memiliki caranya sendiri untuk “mengoreksi” emosi dan menanggapi masalah penyebab emosi tadi. 

Cara ini memberi kita kesempatan untuk menyembuhkan diri sendiri!

Have a rocking Wednesday, everybody! Cheers….. :)



# Bandung, 24 Juli 2013

Tuesday, July 23, 2013

N-Ach #1: Menu ala Turki

Nah ini dia edisi perdana N-Ach Project. Dan hari ini adalah hari ke-14 puasa. Yuk kita mulai.....

Pernah dengar ungkapan bahwa dapur Turki terkenal sebagai dapur yang paling kaya? Kaya dalam hal ini adalah dalam hal cita rasa, varian makanan dan ragam bumbu masakan khas Turki. Hidup setahun bersama keluarga Turki membuat saya mengenal dan mencicip kekhasan dan kekayaan masakan mereka. Masakan Turki kaya bumbu seperti halnya masakan kita, dan untuk jenis kue, rasanya bisa sangat manis. Kue Baglava misalnya; uuuhh giung kalau kata orang Sunda mah.

Dari sekian banyak masakan Turki, hanya beberapa saja yang bisa saya masak. Dan saya ingin membagi sedikit resep yang gampang dibuat. Bisa dibilang ini pertama kalinya saya berbagi tips atau resep masakan sepanjang karis saya nge-blog ya.... Kali aja bisa jadi menu alternatif saat buka puasa.

Saya pilih menu nasi ala Turki ya, menu utama kita. Saya juga akan memberi tips membuat salad ala Turki.

Orang Turki memasak nasi dengan cara yang sedikit berbeda dengan kita; mereka tidak pernah masak nasi tawar tanpa bumbu seperti yang biasa kita masak. Dan uniknya, berhubung makanan utama orang Eropa adalah roti, meski mereka makan nasi tetap saja roti tidak ketinggalan disuguhkan.

Untuk memasak nasi ala Turki, berikut langkah-langkahnya.

Bahan (Nasi):
Beras
Air atau air kaldu lebih baik
Sayuran kaleng (jagung manis/ wortel/ buncis/ kacang polong)
Margarin
Garam secukupnya
Merica bubuk
Yoghurt kental tawar (optional)

Cara Membuat:
  • Panaskan panci anti lengket. Panaskan margarin secukupnya (disesuaikan dengan banyaknya porsi nasi).
  • Masukkan beras yang sudah dicuci bersih dan ditiriskan. Aduk beberapa saat.
  • Masukkan air secukupnya (jika ada air kaldu lebih baik). Air kaldu akan menambah cita rasa gurih pada nasi.
  • Tambahkan garam secukupnya dan merica bubuk. Aduk.
  • Masukkan sayuran kaleng. Jagung manis saja sudah cukup menambah kaya rasa nasi ini. Namun bisa juga campuran jenis sayuran di atas dimasukkan. Aduk.
  • Tutup panci dan diamkan nasi hingga airnya larut. Setelah itu, masak nasi dengan api kecil. Masak hingga matang. 

Gampang kan? Sekarang kita bikin saladnya.

Bahan (Salad):
Selada air
Timun Jepang
Tomat
Biji buah delima atau apel potong kecil
Bawang bombay merah (optional)
Garam secukupnya
Minyak sayur 2 sdm
Air perasan jeruk lemon secukupnya
Seledri kering atau segar

Cara Membuat:
  • Potong semua bahan sayuran sesuai selera. 
  • Masukkan semua sayuran pada mangkuk saji. 
  • Tambahkan potongan apel yang sudah dipotong dadu. Atau jika mau apel bisa digantikan dengan biji buah delima merah. Dua jenis buah ini akan memberi rasa asam yang segar untuk salad yang kalian buat. 
  • Masukkan minyak sayur, air perasan jeruk lemon, garam secukupnya. Bubuhkan bubuk seledri kering. Jika tidak ada bisa juga menambahkan seledri segar. Tapi seledri segar kita rasanya cenderung lebih kuat, jadi sebaiknya sedikit saja atau tidak usah sama sekali. 
  • Jika mau, tambahkan irisan bawang bombay merah. Namun jika ingin salad yang segar, tidak pakai bawang juga ga masalah. 
  • Aduk rata. Salad segar siap disajikan. 

Tips: 
Sebaiknya mengaduk semua bahan saat salad sudah akan dihidangkan. Mengaduk salad jauh sebelum saat dihidangkan akan membuat salad tidak terlalu segar saat disantap. Salad juga hendaknya langsung dihabiskan. 

Cara menghidangkan:
  • Nasi yang sudah masak disajikan di piring saji. 
  • Untuk lauk-pauknya, kalian bisa menambahkan ayam atau ikan panggang atau apa pun. Sebenarnya ada resep untuk daging atau ikan panggang, tapi ga jauh beda dengan resep kita. Jadi sesuaikan saja dengan resep sendiri. 
  • Jangan lupa tambahkan salad sebagai menu sayurannya. 
  • Terakhir, tambahkan yoghurt kental yang tawar di atas nasi. 

Catatan: 
Rasa dingin yoghurt kental yang baru keluar dari kulkas berpadu dengan gurihnya nasi hangat ala Turki akan memberi pengalaman rasa yang berbeda untuk lidah Indonesia. Saya suka makan nasi dengan yoghurt ini. 

Orang Turki suka "membersikan" piring makanan dengan roti atau maksud saya mencocolkan roti pada bumbu makanan. 

Selamat mencoba, ya.... :)




Monday, July 22, 2013

N-Ach: A desire to be effective or challenged!


Keinginan ini datang tiba-tiba. Baru aja. 

Saya sedang harus menyelesaikan menulis destinasi Seminyak--tempat yang suatu hari nanti ingin saya kunjungi bersama pasangan saya nanti. Aamiin. Tapi, seperti yang sudah jadi kebiasaan, selesai browsing mengumpulkan bahan--ada 2500-an kata--saya butuh rehat sejenak. Nanti setelah istirahat siang saya bisa lanjutkan menulisnya, mengobrak-abrik 2000 kata tersebut menjadi tulisan baru versi saya sendiri. 

Nah, dalam waktu sejenak ini, saya pun blogwalking. Saya sampai pada sebuah blog yang menampilkan gambar penuh warna-warni dan saya heran sendiri bagaimana bisa seseorang dikaruniani bakat sekeren itu? Gambar kartun yang memadukan banyak warna tapi tetap harmonis. Namun, meski saya sangat mengagumi gambar penuh warna, yang bikin saya terinspirasi justru satu postingan tentang gambar menggunakan tinta cina warna hitam. 

ini dia gambarnya

Saya suka melihat kertas yang ditumpuk-tumpuk begitu. Kesannya ga kaku karena tidak dilem sempurna pada kertas dasar. Jadi semacam apa ya namanya, bingung nyebutnya. Kalian bisa lihat karya warna-warni lain atau blog yang dimaksud di sini

Karya sederhana tapi entah kenapa membuat saya tergerak ingin bikin yang mirip-mirip seperti itu. Bayangannya sudah ada di kepala saya. Tapi butuh waktu lama untuk bikin aplikasi gambar gitu. Saya ingin pakai karton warna biru--warna langit--sebagai dasar. Lalu aplikasi atau potongan kertas warna lain akan mewujud menjadi bunga, daun, serangga, atau rumput di sebuah taman. Saya hanya bisa gambar bunga, serangga, dan daun--menyedihkan memang.

Lalu ide lain bermunculan. Kenapa saya tidak mecoba membuat karya--baik tulisan atau doodle bunga sederhana atau apa pun--untuk kemudia diposting di blog yang nantinya bisa berfungsi sebagai salah satu alat pemantau juga. Pemantau sejauh mana saya konsisten dengan keinginan ini. 

Saya tahu karya itu akan sangat jauh kualitasnya dari gambar di blog di atas, tapi ini lebih pada keinginan untuk produktif menghasilkan sesuatu dari pada saya habiskan waktu saya untuk melamun. Belakangan ini, berapa banyak waktu yang saya habiskan untuk melamun--mikir tapi tidak membawa saya kemana-mana. Yang ada saya makin jadi pemalas. Tiduuuuur aja kerjaannya. Mata merem, tapi pikirannya ga tidur. Insomnia pun kembali melanda. Kemarin sempat sembuh, tapi sekarang kambuh lagi.

Bahkan untuk posting blog pun sangat jarang sekali. Kemarin-kemarin saya seolah kehilangan inspirasi atau kemampuan untuk menulis puisi bahkan secuil. Blank. Atau karena memang kemarin pikiran saya terkuras untuk hal lain? Jadi tak ada momen sendiri--(khususnya) berefleksi lewat tulisan. Tapi memang kadang-kadang kita bisa nulis tentang sesuatu setelah kita "berjarak" dari hal yang ingin kita tulis. Misal, beberapa tulisan saya tentang Jerman justru baru bisa saya tulis setelah saya pulang ke Indonesia--setelah saya 'berjarak' dari Jerman. Setelah Jerman hanya bisa saya kenang. 

Keinginan yang datang tiba-tiba hari ini, sungguh saya syukuri. Mungkin ini yang disebut sebagai momen keinginan berkarya. Need for achievement (N-Ach) mereka menyebutnya. Yaitu keinginan untuk berkarya atau menghasilkan sebuah karya. Untuk lebih lengkap, saya kutip dari wikipedia mengenai N-Ach ini. 

Need for achievement (N-Ach) refers to an individual's desire for significant accomplishment, mastering of skills, control, or high standards. The term was first used by Henry Murray and associated with a range of actions.

This personality trait is characterized by an enduring and consistent concern with setting and meeting high standards of achievement. This need is influenced by internal drive for action (intrinsic motivation), and the pressure exerted by the expectations of others (extrinsic motivation).

Well, untuk kasus saya, sebenarnya bukan untuk tujuan sehebat definisi di atas. Ini adalah sebuah keinginan untuk menantang diri sendiri. Mungkin definisi berikut yang juga saya kutip dari wikipedia lebih mewakili niat ini: A desire to be effective or challenged!


Saya ingin menantang diri saya untuk lebih bisa mengontrol diri dengan cara, memosting atau membuat minimal satu saja karya setiap harinya. Tapi, berhubung keinginan ini saya publish, saya juga harus konsisten kan ya. Nah, ada ketakutan saya tidak bisa memenuhi standar yang saya buat sendiri ini. Sepertinya saya butuh seseorang sebagai 'polisi' yang akan mengawasi dan mengingatkan niat saya ini. Muncul satu nama dalam kepala. Semoga ia bersedia. Nanti malam akan saya pinang ia untuk tugas mulia ini, hahahaha....

Atau mungkin kalian mau membantu saya untuk lebih konsisten terhadap keinginan ini? :)

Kalau pun tidak ada yang bersedia, saya akan coba sendiri. Saya akan menargetkan untuk aktif memosting sesuatu setiap harinya dalam waktu 2 minggu ke depan, dimulai besok. Besok tanggal 23 Juli. Maka dua minggu dari besok, proyek N-Ach ini akan berakhir pada tanggal 6 Agustus. Doakan saya bisa konsisten. Itu saja dulu. Itung-itung belajar disiplin untuk diri sendiri--disiplin dalam memenuhi janji pada diri sendiri. 



Wednesday, July 17, 2013

Semua Tentang (Kenangan)



tak bisa kuingat tanggal hari itu atau bulannya
entah Mei atau Juni atau awal Juli--
yang pasti Hamburg tengah menyemai musim semi

aku berdiri di sebuah halte
Oberschleems Haltestelle namanya:
udara dipenuhi serbuk bunga berwarna putih
yang mengotori udara, masuk ke rumah melalui jendela
dan yang bisa membuatmu terbatuk

(seketika) aku merasa asing:
di tengah keterasingan kota
yang tak pernah kuimpikan bisa kupijak,
di tengah kikuknya hidup bersama bangsa arya
yang tiba-tiba dinobatkan menjadi keluarga

--di mana kau kala itu,
saat aku tengah terasing dan merasa sendiri?

ada banyak yang ingin kuceritakan:
tentang musim yang baru kupahami,
tentang bunga yang tak pernah kulihat,
tentang makanan yang asing di lidah,
tentang bahasa yang mulai kuakrabi tapi susah kukuasai,
tentang jalan-jalan yang sepertinya tak kan bisa lagi kutelusuri,
tentang orang-orang yang mungkin tak kan lagi bisa kutemui,
tentang negeri yang ribuan mil jauhnya dari sepetak Bumi yang kita kenal,
tentang rindu. tentang pilu. tentang tawa. tentang airmata. tentang takjub. dan semua tentang yang lain.

--adakah kau turut merasa keterasingan yang sama,
wahai belahan jiwa?




*kenangan di salah satu sudut tepi jalan Billstedt, Hamburg; musim semi 2010










luka baru

aku memang tidak pernah cerita
tentang luka lama yang kupikir sudah sembuh sempurna

--sampai kau datang hari itu
membuatku menemukan keberanian baru,
mengidamkan segala rupa suka

lalu entah di mana atau apa sebabnya
suka dan luka berlomba
untuk hadir dalam tiap cerita kita

dalam masa itu
aku sadar:
lukaku yang dulu hanya menjelma luka baru
--yang (sialnya) tak ingin kuobati.


Memintal Pelangi


aku masih memintal pelangi
yang kemarin itu juga
ditemani hujan yang salah musim--
hujan di bulan Juli;

--betapa hati ingin menyelesaikannya segera
tapi benangnya yang berwarna-warni harapan itu
kau bawa serta.

aku bisa saja menggantinya dengan benang yang lain
yang lebih cerah mungkin
tapi aku tak ingin, mungkin belum ingin
bagiku—sempurna adalah menyelesaikan apa yang sudah dimulai.

Monday, July 15, 2013

Rindu Pulang

(Sleeping) Angel
Photo courtesy: www.patrickowen.net
Ia tidak tidur
tidakkah kau lihat
matanya bergerak cepat mengeja mimpi:
tentang rimis sore hari dan jalur pelangi setelahnya

Ia tidak tidur
takkah terdengar pilu igaunya;
ada kata-kata yang akan sia-sia saja
meski bisa diungkapkan

Ia tidak tidur
adakah kau rasa
perih yang merambat hingga ke ujung-ujung jari:
saat jejak ingatan menggumamkan lagu rindu

Sungguh ia tidak tidur—setidaknya dengan tenang:
apa rasanya memiliki sayap tapi tak bisa terbang?
dan tak bisa pulang?



Tuesday, July 09, 2013

Lelaki Laut dan Sepasang Sayap di Dinding

“Bapak… Bapak…,” terdengar suara anak lelaki berumur 6 tahun memanggil seorang lelaki berbahu tegap. Anak lelaki dengan mata berbinar--bulat dan besar. Mata anak cerdas, begitu sang Bapak kerap membanggakan anaknya. 

Sang Bapak saat itu tengah mengecat pagar bambu yang membatas rumah mereka. Di sela kesibukannya, ia menengok ke arah sumber suara.

“Lihat lukisan tanganku, Pak. Bu guru yang mengajarkan,” lanjut si anak yang sebelumnya meminta jatah cat dari ayahnya.

“Bagus.”

“Benar, Pak?”

Lelaki berkulit gelap itu pun mengangguk.

Anak lelaki yang masih duduk di bangku TK itu pun melonjak senang. “Raka mau bikin lukisan sayap dengan telapak tangan,“ lanjutnya kemudian.

Sang Bapak berhenti mengecat dan mendekati putranya. “Sayap?“

“Iya. Yang besar.“

“Kenapa sayap?“

“Biar Raka bisa terbang ke langit—ke tempat ibu...,“ jawabnya lugas. “Kata Bu Guru, ibu Raka sudah duluan ke langit. Benar, Pak?“

Lelaki yang dipanggil Bapak itu terdiam. Ia berjongkok, mengusap kepala anaknya dan memandanginya lekat: “Raka sungguh kangen ibu?“

Raka kecil yang baru kehilangan ibunya setahun yang lalu itu pun mengangguk cepat.

“Kalau Raka ke langit, Bapak di sini sama siapa?“

Raka terdiam, sempat bingung menjawab. Tapi kemudian ia menjawab: “Bapak bikin sayap juga, kita terbang ke sana sama-sama.“

***

Orang bilang waktu akan mampu mengobati banyak hal: kesedihan, sakit hati, kenangan pahit, kerinduan, trauma, luka dan sebagainya. Namun bagi lelaki ini—Lelaki Laut aku menyebutnya—ungkapan tersebut seolah tak berlaku.

Aku tak begitu mengenalnya. Aku hanya mendengar kisah tentangnya dari orang-orang yang kebetulan mampir ke warung ini—warung tepi pantai. Dan belakangan aku sering memperhatikannya saat ia berdiri di tepi pantai. Hampir tiap hari ia ke pantai—hampir setiap sore sepulang ia bekerja sebagai penjual koran dan majalah di sebuah kios kecil di sudut pasar. Dia akan berdiri di tempat yang sama dengan gaya yang sama; berdiri menghadap laut lalu hening dalam diam. Pandangannya seolah tak berkedip, menerawang jauh ke tengah lautan, seolah takut akan ada yang terlewat dari matanya. Ia akan berdiri seperti itu hingga Matahari terbenam, dan lalu kembali pulang.

Kabarnya, hari ini tepat 5 tahun ia menunggu tanpa putus asa. Memang kadang ia mengeluh pada Tuhan dalam doa-doa yang tak putus ia panjatkan. Tak jarang, emosinya berganti-ganti antara pasrah dan marah entah pada siapa. Tapi tetap saja itu tak mengurangi apa yang ingin ia percayai. Bahwa apa yang ia tunggu adalah suatu yang pantas ditunggu. Bahwa kerinduannya selama bertahun-tahun akan diganjar pertemuan yang membahagiakan.

Betapa keinginan itu dan rasa bersalah kerap mengusik tidurnya yang nyaris tak lagi pernah lelap. Tidur nyenyak tampaknya adalah kemewahan yang tak bisa ditebus oleh apapun kecuali dengan terjawabnya sebuah penantian panjang.





Selama itu pula, hampir setiap pagi sebelum ia pergi ke pasar, ia selalu menyempatkan diri meninggalkan jejak telapak tangannya pada sebuah dinding pembatas gang sempit, tepat di depan rumahnya. Ia hampir selalu punya stok cat putih demi ritual yang tak bisa ia tinggalkan sejak hari itu.

Ia sudah tidak bisa menghitung berapa banyak jumlah telapak tangannya yang terpampang pada dinding. Yang ia tahu, jumlahnya sudah melebihi seribu telapak tangan. Angka yang seharusnya sudah bisa mengabulkan sebuah permintaan sungguh-sungguh. Ia kerap mengasosiakan dan berharap seribu telapak tangan yang membentuk sayap ini akan sama magisnya dengan daya seribu burung kertas yang dipercaya orang Jepang bisa mengabulkan permintaan. Ia pernah membaca tentang seribu burung kertas ini pada sebuah majalah selagi ia menunggui kiosnya.

Perihal sayap raksasa di dinding kumal ini, beberapa orang jatuh kasihan padanya karena menganggapnya tidak bisa melepaskan diri dari kesedihan. Beberapa lagi menganggapnya konyol dan tak masuk akal atau tidak punya kerjaan. Sebagian yang lain menghargai ribuan telapak tangan itu sebagai sebuah karya seni yang bisa sedikit mempercantik gang kumuh yang menjadi lingkungan tinggal mereka.

Lima tahun yang lalu, jika kalian sempat melewati gang kumal ini, kalian hanya akan melihat dua telapak tangan kecil mungil saja. Telapak tangan milik Raka—anak lelaki satu-satunya si Lelaki Laut. Anak baik yang kini entah ada di mana.

Hingga hari ini Lelaki Laut percaya, laut tidak menelan anaknya melainkan mengantarnya ke suatu tempat. Entah di mana. Apakah di Bumi atau di langit—ia ingin lebih percaya yang pertama.

Banyak orang bilang ia terlalu tenggelam dalam perasaan bersalah dan tak bisa menerima kenyataan. Ia tak peduli. Termasuk saat orang-orang mencibirnya sebab memutuskan untuk berhenti melaut, ia tak ambil pusing. Keputusannya berhenti melaut sudah tak terbantahkan.

Raka sering merengek saat sang ayah hendak melaut dan mencari ikan. Anak yang biasanya terkenal manis itu  mendadak cengeng--seolah takut ayahnya tak akan kembali pulang. Sewaktu ibunya masih hidup, Raka tidak pernah merengek seperti itu. Ibunya selalu punya cara mengalihkan perhatian Raka. 

Hingga suatu hari, melihat rengekan Raka yang tak henti, Lelaki Laut memutuskan mengajak putranya untuk ikut melaut. Sekalian ia ingin menunjukkan bahwa laut tidaklah semenakutkan yang putranya pikir. 

Suatu Minggu pagi yang cerah, laut nampak begitu bersahabat. Lelaki Laut ditemani putranya mulai berlayar dan mengayuh perahu. Suara burung camar seolah mengantar mereka--membuat Raka yang tampak tegang sedikit lebih rileks memperhatikan kepakan burung laut itu. "Nanti kalau sayap Raka sudah jadi, Raka bisa terbang seperti burung itu ya, Pak," ujarnya yang hanya disambut senyum oleh sang Bapak. 

Alangkah sial, dalam hitungan satu jam, cuaca yang awalnya tampak bersahabat mendadak tak ramah. Badai datang tiba-tiba mengombang-ambingkan perahu kecil yang mereka tumpangi. Langit menangis diselingi suara petir. Raka ikut menangis. Lelaki Laut memeluk putranya sambil kebingungan antara memikirkan keselamatan anaknya dan menguras air laut yang menderasi perahu yang dipermainkan badai. Hingga akhirnya, setelah beberapa saat terombang-ambing, perahu tersebut terbentur karang. Perahu mereka pecah.

Meski panik, Lelaki Laut berusaha tetap tenang demi anaknya. Ia memeluk Raka dan menjaga agar kepala Raka tetap di atas permukaan laut. Susah payah, ia berhasil menjangkau bilah kayu dari perahunya yang pecah. Ia berpesan pada Raka untuk tidak melepaskan pegangan pada bilah tersebut sebelum ia menjangkau bilah lain untuk dirinya sendiri.

Raka kecil sudah tidak menangis kala itu. Ketenangan entah karena apa atau mungkin justru ketakutan luar biasa membungkam tangisnya. Sesekali ia terbatuk sebab air laut tertelan olehnya.

“Tetap pegangan. Jangan menangis. Anak Bapak tidak boleh cengeng. Kita akan baik-baik saja. Kita akan pulang,” ujar Lelaki Laut setengah berteriak ditengah perjuangannya untuk menjangkau bilah kayu Raka yang kian menjauh terseret gelombang.

Selesai berkata demikian, gelombang besar datang menghempas. Mereka pun terpisah hingga sekarang.

***

Pagi-pagi sekali, Lelaki Laut memandangi sayap besar di hadapannya. Masih jelas terngiang percakapan terakhirnya dengan Raka tentang sayap besar yang akan mengantarnya menuju langit. Tiba-tiba, untuk pertama kalinya dalam 5 tahun penantian, terlintas dalam pikirannya: jika seandainya Raka sudah terbang ke tempat ibunya, mengapa sayap ini belum juga membawanya....




#ditulis pada sesi menulis RLWC, 10 September 2010; interpretasi dari sebuah foto.

Monday, June 10, 2013

Hari Pencerahan Diri

Mungkin hari ini bisa dibilang hari pencerahan bagi saya.

Awan gelap kelabu yang kemarin menghantui hari-hari, meski berganti-ganti dengan cahaya Matahari yang sesekali menghangatkan, kini perlahan sirna. Semoga hari ini dan besok langit di dalam kepala dan hati ini tetap dan terus cerah biru. Kalau pun akan ada gelap, itu hanya akan sementara dan tidak akan merubah diri ini menjadi asing lalu hilang arah.

Self-esteem! Betapa saya mesti berjuang untuk memiliki self-esteem positif. Saya memang tidak sempurna, tapi bukankah Tuhan sudah memberi saya begitu banyak berkah yang masih susah payah diusahakan orang lain? Hanya karena saya kesusahan dalam satu hal, kenapa jadi melupakan kebaikan lain yang begitu banyak, yang saya terima bahkan tanpa saya minta?

Saat naik angkot menuju kantor, ada seorang kakek buta yang ikut menumpang angkot yang sama. Melihatnya--tanpa mendeskriditkan si kakek--saya tiba-tiba merasa betapa beruntung. Betapa bersyukur!
Saya punya kedua mata yang sehat. 
Tubuh yang sehat tanpa cacat. 
Otak yang ga bego-bego amat meski juga ga pinter-pinter amat. 
Keluarga yang baik dan orangtua yang sangat mendukung dan berpikiran terbuka. 
Teman-teman yang baik dan menyenangkan, meski tidak sangat banyak.
Pendidikan yang juga baik, meski susah payah tapi bisa selesai juga.
Pekerjaan yang menyenangkan. Setelah malang melintang di beberapa tempat sebelumnya.
Materi yang cukup.
Intuisi yang memang sih masih butuh diasah. 
Keselamatan saat saya pergi ke mana pun. Seorang teman pernah bilang, bahwa insyaallah kemana pun saya pergi, saya akan aman. Tidak akan ada orang yang berani berbuat macam-macam. Aamiin. 
Kemudahan dan luck dalam banyak hal. Saya sering memenangkan hadiah, misalnya, hehehehe...
Dan masih banyak lagi yang lainnya. 

Berbicara tentang diri yang kesusahan mengasuh self-esteem positif, ini terkait dengan keinginan yang begitu kuat dalam hati, tapi nampak sulit sekali saya capai. Saya pesimis. Saya sering berpikir negatif. Kurva pikiran positif dan negatif datang silih berganti datang menyiksa logika. Saya sempat menyerah beberapa kali untuk mencapai keinginan itu. Tapi dalam usaha itu, saya semakin menyadari saya tidak bisa (atau belum bisa) menyerah. 

Kalau sudah begini, sudah seharusnya saya berusaha sekuat tenaga untuk memperbaiki dan bukan meninggalkan (masalah/keinginan terkuat), bukan? Kenapa terus-terusan memutuskan menyerah, padahal belum rela, wahai diri? Kenapa tidak bersabar sedikit lebih banyak dan belajar sungguh-sungguh untuk tidak mengulang kesalahan yang sama? 

Jika saya masih seperti kemarin, masalah ini akan juga tak kunjung selesai (entah itu selesai happy atau sad ending). Yang jelas ini harus selesai dan tidak terkatung-katung seperti sekarang.

Kalau sudah maksimal usaha, tapi masih gelap. Mungkin ya itulah saatnya untuk melepaskan dan merelakan. Dan saya berdoa semoga diberi kemudahan dalam proses ini. Menerima itulah salah satu kunci menghadapi setiap masalah. Menerima dengan positif.

Izinkan saya mengutip ini: "Acceptance doesn't mean you're giving up and not trying anymore. In contrast, it means you're looking at yourself and your situation realistically."

Langkah pertama yang harus dilakukan sepertinya adalah memetakan masalah. Kemudian mempelajari pola munculnya masalah. Menemukan cara untuk mengatasinya atau mencegahnya. Lalu tak lupa sambil berdoa pada Tuhan pemilik segala. Berdoa dengan keyakinan akan terkabul, dan bahwa Tuhan itu Maha Baik, sangat dekat dan Maha Pengabul Doa. Ia juga bisa melakukan keajaiban! Yang muskil sekalipun dalam pikir manusia. Apa yang tak bisa jika Ia berkenan?!

Tujuan menulis ini sebagai pengingat diri. Agar ingat hal positif yang saya pelajari hari ini. Dan lalu mempraktekkannya. 

Terdengar sangat pribadi, ya? Memang. Lalu kenapa? :)




Thursday, May 30, 2013

Perihal Komunikasi

Kenapa kadang-kadang berkomunikasi dengan orang asing yang kita temui menjadi lebih mudah dibandingkan berkomunikasi dengan orang-orang yang (seharusnya) memiliki kedekatan personal dengan kita?

Berapa banyak anak yang lebih memilih curhat dengan teman-teman atau pacar dibanding dengan orangtuanya sendiri? Berapa banyak pasangan yang mengeluhkan pasangannya pada teman-temannya ketimbang membicarakan masalah langsung dengan orang yang bersangkutan?

Komunikasi adalah sebuah keterampilan. Saya pernah dengar atau baca bahwa orang yang pandai berkomunikasi adalah orang yang bisa "menguasai dunia". Oke mungkin kata dalam tanda petik itu agak berlebihan, tapi saya setuju dan mengamini bahwa komunikasi itu penting adanya.

Belakangan sejak menjadi penulis untuk e-magz, saya harus beberapa kali bertemu orang baru sebagai narasumber dan mewawancarai mereka untuk kebutuhan artikel. Ada masa dimana saya merasa menyenangkan sekali bertemu orang-orang baru (dan biasanya orang-orang yang memiliki pengaruh atau sukses dalam hal tertentu--karena itulah mereka diwawancara). Mereka selalu punya cerita yang menarik, yang baru saya dengar, yang membuat saya berkali-kali menyimpulkan bahwa memang setiap orang (dalam bidangnya masing2) itu memiliki persona yang hebat dan kuat, sesederhana apa pun penampilan mereka. Mereka selalu punya cerita. Bahkan apapun profesi mereka, selalu ada cerita yang menarik untuk digali. Saya pernah tanya-tanya seorang perempuan yang dipanggil ke rumah untuk memijat, dan bahkan dia pun punya cerita menarik seputar profesinya. Tadinya saya malas tanya-tanya, tapi dengan mengingat pengalaman mewawancarai orang, saya jadi ngobrol banyak sama ibu tukang pijat ini. 

Saya bukan tipe orang yang mudah berinteraksi dengan sembarang orang. Tapi saya juga bisa langsung sangat dekat dan akrab dengan orang-orang tertentu. Orang-orang tertentu yang saya merasa nyaman bahkan dari awal saya bertemu dengannya, yang memiliki ikatan kesamaan dengan saya baik itu disadari atau tidak. Dan orang-orang seperti ini tidak bisa dikatakan banyak. Tapi dengan menjalani profesi baru ini, saya pikir jika saya mau mudah saja berinteraksi dengan seseorang. Itu kuncinya, jika saya mau. Jika saya mau saya bisa mendengarkan dan bertanya pada seseorang dan memberi kesempatan padanya untuk membuka diri. Tapi kadang-kadang, males aja berinteraksi dengan orang asing secara sengaja (di luar kebutuhan pekerjaan).

Lalu saat saya sudah berpikir bahwa banyak hal menarik yang bisa digali dari diri seseorang yang baru kita kenal, kenapa saya masih kesulitan berkomunikasi dengan orang-orang terdekat atau yang seharusnya dekat secara personal. Atau justru karena identitas personal itulah, misal udah tau seluk beluknya jadi ga ada lagi yang perlu ditanyakan, ga ada lagi bahan pembicaraan yang perlu diusahakan? Berbeda saat wawancara, kita memang diniatkan untuk menggali info sebanyak-banyaknya karena tuntutan kerjaan. Atau memang mudah saja tersinggung dan menyatakan ketidaksukaan kepada orang terdekat, karena ya sudah dekat? Lalu ini jadi pemicu keributan. Atau karena dekat secara personal lah yang justru membuat apa-apa diambil hati sehingga menimbulkan amarah dan sakit hati (meski tanpa sengaja)? Karena kalau ga terlalu dekat mungkin tidak akan terlalu terganggu dan peduli, bodo amat ga ambil pusing orang lain mau ngomong apa atau berbuat apa juga. Atau memang ga sinkron aja arah komunikasinya jadi ga juga bisa dijembatani komunikasinya? Atau mungkin keinginan untuk komunikasi tidak dibarengi dengan cara berkomunikasi yang efektif dan  tepat? Gitu kah?


Dan bagaimana pun komunikasi melibatkan dua orang atau lebih. It takes two to tanggo. Saat seseorang ingin mengubah pola komunikasi sementara yang lain bertahan dengan kebiasaan lama, percuma juga. Saat salah satu pihak sudah tidak ingin mengusahakan, pihak lain juga mau ga mau juga akan berhenti mengusahakan. Lalu miskomunikasi akan menjadi unfinished business, yang kalau tidak besar hati diterima akan tetap menghantui pikiran sampai beberapa waktu ke depan. 



Monday, April 29, 2013

"E" hingga Kartu Tarot

"E" untuk Energi! 

Inilah judul pameran tunggal Prilla Tania, seorang lulusan Studio Patung FSRD ITB, di Selasar Sunaryo Art Space yang berlangsung pada 19 April-11 Mei 2013. 

Hari ini ada jadwal artist talk-nya pukul 15.00 WIB, katanya. Karena itu, saya dan Dika (teman baik yang saya kenal di klab nulis) memutuskan ke sana. Biasanya kami akan pergi ke tempat seperti ini bertiga dengan Nia. Nia kerja di Jakarta sekarang, jadi ga bisa ikut deh kecuali kalau Nia lagi ke Bandung. 

Saya tidak akan banyak berkomentar tentang pameran ini kecuali pengalaman saya sebagai penikmat seni yang tidak paham seni. Setibanya di sana, kami langsung ke Ruang Sayap. Di dinding sebelah kiri dekat pintu masuk, tampak pengantar dari kurator dalam Bahasa Inggris.


Mengutip ucapan kurator, Chabib D.H, "Pameran 'E' merupakan buah kesimpulannya (Prilla--red.) dari proses pencarian dan kegelisahannya terhadap persoalan pangan." 

Lalu apa hubungannya dengan energi? Dalam siklus produksi dan konsumsi pangan, ada daur energi yang terjadi. Kita butuh makanan untuk sumber energi. Makanan yang dijual biasanya dikemas dalam kemasan yang tidak bisa di daur ulang atau yang membutuhkan energi besar untuk mendaur ulangnya. Kira-kira gitu. Sebenarnya konsep tentang energi ini lebih kompleks dan dalam dari yang tadi saya uraikan. Tapi saya bingung menyampaikannya. 

Prilla sendiri menghindari atau meminimalisir membeli makanan dengan kemasan yang tak bisa di daur ulang. Ia bahkan berkebun, menanam berbagai bahan pangan yang tentunya tidak perlu dikemas dan tidak menghabiskan energi untuk sampai ke tangannya. Prilla yang gemar masak makanan Eropa bahkan nekat menanam tanaman impor untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Niat bener!

Bahan dasar karya Prilla kali ini adalah kertas atau kemasan bekas makanan yang dia potong-potong (bahkan sangat kecil) untuk membentuk beragam objek seperti kapal, orang, etalase/rak di supermarket, truk sampah, pabrik, dan lainnya yang ditempel dan disusun secara acak di salah satu sisi dinding Ruang Sayap. Karya ini berjudul: "Daur Energi". Jadi, dia memanfaatkan kemasan bekas untuk "didaur" menjadi karya seni yang mewakili konsep yang ia pegang tentang energi, industrialisasi pangan, dan ketahanan pangan. 

Untuk pameran ini, ia menghabiskan waktu 3 bulan dalam proses pengerjaan.

Lihat gambarnya biar lebih jelas:


Lihat beberapa objek lebih dekat; berikut adalah beberapa yang menjadi favorit saya:

ruang keluarga; tampak unik dari angle yang menarik
kapal yang cantik ya? tapi muatannya isinya sampah.
Ini kilang minyak lepas pantai itu bukan sih?
pabrik
perahu layar bercadik

truk berisi sampah kemasan makanan
Kalau kalian perhatikan setiap objek, saya yakin kalian akan mengagumi dan menghargai usaha, ketekunan, ketelitian dan kesabaran ekstra tinggi Prilla dalam membentuk benda dengan sedetail itu. Bayangkan dia memotong-motong kertas hingga bentuknya kecil sekali, lalu menempelnya dengan lem dengan hati-hati demi membentuk objek yang dia inginkan. 

Di sisi berlawanan dari karya "Daur Ulang", tampak tulisan di bawah ini yang juga dibuat dari kertas karton kemasan makanan. Bedanya karton yang dipakai adalah bagian yang menyatakan nilai gizi makanan yang menurut Prilla seolah kontradiktif dengan fakta bahwa makanan itu sendiri mengandung pengawet.


Setelah saya motret dan Dika selesai menonton video yang bercerita tentang "Daur Energi", kami beranjak ke Ruang B. Begitu masuk ruang, saya mengisi buku tamu, dan petugas mengatakan bahwa saya tidak boleh motret di ruang ini. Ah, sial bener! Padahal karyanya bagus juga di sini. 

Kami menonton dulu video Prilla berbicara tentang "E" dan energi dan pangan sambil ia membuat objek yang dipajang di "Daur Energi". Tuh kan bener, itu kertas dipotong-potong kecil-kecil, satu per satu, sedikit demi sedikit. Salut!

Dika masih betah nonton video, sementara saya segera masuk ke ruang...ehhmm...mungkin kalau boleh saya mengatakan ruang seni instalasi 2 dimensi. Awalnya saya tidak sadar ruang. Suara deru entah apa sejak tadi terdengar kurang nyaman di telinga. Saya melihat di depan saya, di sisi-sisi dindingnya juga terdapat bentuk-bentuk benda (juga dari karton, tapi dicat hitam). Bentuk objeknya lebih cantik; ada beberapa botol kemasan minuman mineral di sisi kiri tersangkut jaring. Lalu ada garis lurus yang ditarik yang menghubungkan tiap sisi dinding sebagai satu kesatuan "ruang", semacam pembatas. 

Mata saya bergerak (masih di dinding sisi kiri) agak ke tengah bagian bawah dinding; di sana saya melihat ada sebentuk hiu, di dinding tepat di seberang saya berdiri ada bentuk ubur-ubur. Di bagian tengah ruang, juga terdapat dinding yang memajang bentuk sampah botol kemasan. Di sisi kanan bagian bawah tampak drum berlogo tengkorak. 

Dan AHA moment menghampiri saya. Saya mendadak tahu saya ada di mana, dan apa yang sedang saya hadapi saat itu. Saya sedang menyaksikan realitas di lautan dengan makhluk lautnya dan sampah yang ngambang di atas permukaan. Garis panjang yang saya bilang semacam pembatas adalah batas permukaan laut dengan isi laut yang "menampung" ikan hiu, ubur-ubur, ikan-ikan kecil, dan drum bekas yang tenggelam di dasar. Lalu  suara deru yang tidak nyaman tadi rupanya adalah suara deburan air laut! 

Sampah di sisi kiri itu bagus, tapi sayang fotonya ga bisa dicuri. Ini saya berhasil curi foto drum yang ceritanya tenggelam di dasar lautan.



Ini dia hiu-nya.
Saya melangkah agak jauh ke ruang yang agak tersembunyi, dan saya kaget karena di salah satu dinding, ada film animasi (seperti bayangan tuyul). Film animasi anak kecil yang buang air di atas biji mangga. Mangga tumbuh, si anak yang sudah agak besar berusahan petik mangga, pohon tambah besar, anak tumbuh jadi manusia dewasa yang metik mangga, hingga ia jadi manula dan meninggal dan tengkoraknya dikubur. 

Agak jauh ke dalam, ada seni yang lain lagi. Kertas karton berbentuk pohon di taruh di lantai menghadap ke 4 sisi dinding, lalu lampu-lampu yang berada di tengah, di atur dan diarahkan sedemikian rupa ke pohon tersebut hingga bayangannya membentuk efek spesial di tiap sisi dinding. Ini dia foto curian saya. Mencuri foto ini ga mudah, karena petugasnya tuh sesekali ngecek ke ruangan. Untung ga kepergok.

Aslinya lebih keren deh, maklum hasil curian jd asal jepret.
Saya juga sempat melihat seni lain dimana kita harus mengintip ke lubang kecil di salah satu sisi dinding dari triplek. Di dalamnya, tampak kapal berisi sampah berlayar terombang-ambing ombak, bendera di tiangnya seolah berkibar-kibar ditiup angin, gelombangnya juga beriak-riak. Entah pakai efek apa tuh bisa begitu.

Sambil menunggu artist talk mulai, saya dan Dika duduk di teater terbuka sambil ngobrol banyak hal. Suara serangga musim panas nyaring bersahut-sahutan. Udara di Dago atas ini jelas sejuk, dan untung tidak hujan. 


Iseng moto kaki sendiri, hihihi....
Jam tangan kesayangan menunjukkan pukul 15.30 WIB belum ada tanda-tanda akan dimulai tuh artist talk bareng Prilla. Tadinya kami mau denger sebentar, lalu pergi aja. Tapi karena ga mulai juga kami pun beranjak ke tempat makan pempek yang direkomendasikan Dika. Dari sana kami ke Togamas untuk beli majalah Tempo edisi khusus Kartini. Saya jadi penasaran ingin baca karena terprovokasi mendengar cerita Dika tentang sosok Kartini di majalah ini. Dan karena saya ingin mencari kartu Tarot.

Tadinya saya iseng bilang ke Dika bahwa saya tertarik belajar baca Tarot tapi saya takut dosa, karena kan katanya ramalan itu dilarang dalam Islam. Tapi eh tapi Dika malah mendukung sepenuh hati. Itu salah satu jenis skill katanya. Katanya lagi, mungkin dengan mempelajari hal yang dianggap bertentangan dengan apa yang  sudah kita yakinin sejak lama akan membawa pemahaman baru terhadap keyakinan itu. Sederhananya mungkin konsep ini bisa disamakan dengan konsep bahwa untuk mengetahui apakah sesuatu itu salah, kita harus tahu juga apa itu benar atau sebaliknya.

Di Togamas, buku tentang Tarotnya ada tapi kartunya ga ada. Jadi saya hanya beli Tempo dan satu buku berjudul "Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya". Duh, Dika ini bikin saya belanja! #nyalahin orang :p.

Lalu Dika menawarkan mengantar ke Gramedia untuk cari Tarot. Nyatanya kosong juga. Lalu Dika menyarankan ke Book & Beyonds dan ke Gunung Agung yang ada di BIP. Ga ada juga, sodara-sodara. Malah pegawai Gunung Agung menyarankan nanya ke Hypermart segala, sebab katanya dulu pernah suplai ke GA. Saya samperin tuh, ya jelas ga ada lah ya.

Saya sempet tanya kenapa kok Dika bersemangat sekali mengantar saya mencari Tarot. Dika bilang, "Soalnya keinginan untuk belajar sesuatu yang baru itu kan jarang-jarang, jadi ketika ada keinginan kenapa ga diseriusin." Oh, baiklah.

Gagal dapet Tarot, kami pun pulang. Cuaca Bandung cerah tanpa hujan.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...