Wednesday, August 14, 2013

Bandung, Here I Come

Di tangan kanan bergantung tas warna pink berisi penuh pakaian, sementara di tangan kiri ada tas berwarna maroon campur krem berisi penuh oleh-oleh; saya siap berangkat ke Bandung. Tak lupa, tas kecil cokelat diselempangkan di bahu.

Papah saya yang mengantar ke tempat angkot warna kuning ngetem, tujuan Bakauheni. Saya duduk di depan, di samping supir yang sibuk menyetir. Perjalanan terasa garing hingga sampai didaerah Blambangan, seorang lelaki dengan logat Lampung yang kental yang ternyata teman si supir ikut naik. Nah, sejak laki-laki ini naik, ia duduk di belakang supir dan tak henti bicara. Bicara dengan bahasa Lampung. Setidaknya ada suara yang mengusik telinga. Musik di mobil tidak dihidupkan, dan ini menjadi masalah bagi pria Lampung yang satu itu. "Adu kelot mawat penumpang, musik mak diukhion muneh...," ujarnya. Sang supir menjawab santai tapi tidak mengikuti permintaannya yang ingin musik di mobil diperdengarkan.

Banyak yang mereka bicarakan sepanjang perjalanan, apalagi saat mobil harus terpaksa menyusul penumpang langsung ke rumah mereka. Ada-ada saja celetukan lelaki tersebut yang mengundang senyum. Si supir bahkan bilang (dalam bahasa Lampung), "Ga kebayang saya kalo kamu tua nanti cerewetnya kayak apa." Si laki-laki malah tertawa dan tetap banyak bicara. Sampai akhirnya dia membuat saya dan beberapa penumpang terbahak. Duh, susah payah saya nahan diri untuk berhenti tertawa. 


Ceritanya ada seorang ibu yang naik angkot ini, diantar oleh seorang perempuan dan anak kecil. Begitu si ibu naik, si anak nangis sambil lari menjauh. Dan ini adalah jalan trans sumatra yang banyak mobil ngebut. Saya sempet khawatir juga liat tuh anak kalau-kalau lari ke tengah jalan. Terlebih lagi perempuan yang bersama si anak. Dia lari mengejar tapi ragu karena mungkin takut justru membuat si anak lari lebih jauh. 

Melihat hal tersebut, laki-laki cerewet tak tinggal diam. Dengan logat Lampung yang kental dia berseru, "Jangan bunuh diriii, kamu... susah buatnya...." 

Saya dan beberapa penumpang kontan terbahak. Untungnya si anak sudah digandeng perempuan yang bersamanya. Tapi tak cukup berkata begitu, lelaki cerewet ini menambahkan, "Udah jangan nangis, mak kamu mau berangkat dulu."


Kok ya kepikiran bicara dengan nada bercanda begitu sama anak kecil saat orang lain khawatir liat tuh anak lari-lari sambil nangis di pinggir jalan raya.


Hehehee begitu ceritanya. Saya mengetik postingan ini di kapal ferri Dharma Kencana IX, di depan ada live musik oleh biduan bergaun mini warna fuschia dengan ikat pinggang besar warna hitam yang bagi saya dipasang ketinggian (di atas pinggang). Well, mungkin memang model pakaiannya seperti itu kali ya. Untung suaranya lumayan jadi ga mengganggu telinga.

Demikian cerita perjalanan yang biasa saja ini. Neni melaporkan dari Selat Sunda... :)


P.S: Kapal sebentar lagi sandar di Pelabuhan Merak. Arus balik ramai lancar. Penumpang kapal masih ramai tapi tidak terlalu padat.


2 comments:

Nia Janiar said...

Orang kayaknya gitu bisa jadi teman perjalanan yang menyebalkan sekaligus menyenangkan yah. Hehee.

Neni said...

hehehhe iyaaa... tapi untuk orang yang blak-blakan kyk dia, kyknya lbh byk menyenangkannya...

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...