Sunday, May 24, 2009

Tentang Kepekaan

"Lu nggak peka, Neni. Lu hanya mikirin diri lu sendiri," suara Mbak Erna menyerobot masuk ke telinga. 

"Masa sih, Mbak? Perasaan, saya cukup peka deh. Saya dulu pernah nyebut temen nggak peka, karena saya ngerasa lebih peka. Eh, sekarang malah saya yang Mbak bilang nggak peka."

"Buktinya lu nggak ngeh dengan hubungan mereka kalau nggak ada yang ngomong ke elu, kan?"

"Iya sih. Tapi saya kan mikirnya mereka temen deket banget. Jadi ya biasa aja. Emang darimana sih Mbak bisa baca hubungan mereka, Mbak kan baru ketemu mereka?"

"Ya keliatan, Neni." Mbak Erna pun membeberkan teorinya tentang bagaimana seharusnya dua orang lawan jenis menjalin hubungan, yang mana dilanggar oleh 2 orang yang sedang kami bicarakan. Sejak malam itu, kepekaan kerap mewarnai obrolan kami yang berbagi satu kamar kost-an.

"Saya mah emang suka nggak ngeh sama hal-hal yang bukan urusan saya," aku membela diri suatu hari. Lalu aku pun menceritakan bagaimana aku sering kesulitan menghafal jalan/tempat/bangunan yang tidak pernah berurusan denganku atau tidak pernah kukunjungi, meskipun sering kulewati; sebagai contoh kasus.

"Iya itu karena lu mikirin diri lu sendiri. Yang penting buat lu aja yang lu ingat. Cepet lu ngeh kalau nyangkut diri lu. Kalau nggak, lu cuek."

"Gitu ya, Mbak? Iya kali ya," ujarku pasrah. Pada kesempatan lain, aku bertanya: "Emang gimana sih Mbak caranya biar bisa peka?" Mbak Erna menjawab panjang tapi aku lupa detailnya. Intinya Mbak Erna menyarankan untuk latihan membaca situasi dan lingkungan agar kemudian tahu bagaimana membawa dan menempatkan diri. 

Obrolan tentang kepekaan pun terus berlanjut. Tak jarang setiap aku bertanya tentang hal-hal tertentu yang Mbak Erna tak tahu, Mbak Erna akan bilang "Wah gua nggak peka deh masalah begitu" untuk membela diri. Hingga suatu pagi, dalam perjalanan menuju kantor, kepekaan lagi-lagi terselip dalam obrolan kami. Mbak Erna sekali lagi bilang bahwa ia tidak peka dengan hal yang sedang kami bahas (aku lupa tentang apa). Tiba-tiba sebuah pemahaman masuk perlahan tapi pasti ke kepalaku.

"Mbak, orang kan beda-beda ya... pengalamannya beda-beda... jadi kepekaannya beda-beda juga. Mbak peka ke satu hal, saya pekanya ke hal lain," ujarku sambil mengeluarkan Handphone, menyetel kamera, dan mengarahkannya ke langit. Aku memotret langit pagi itu.

Bersamaan dengan itu, dalam hati aku berkata dan percaya: Inilah salah satu kepekaanku. Aku peka akan warna dan tekstur langit yang berbeda pagi ini; sesuatu yang luput dari perhatian Mbak Erna yang berjalan lurus ke depan mendahuluiku.

Friday, May 15, 2009

Pengantar Es

Kemarin sewaktu saya pergi lebih pagi menuju kantor, saya melihat pengantar es batu yang mampir di setiap warung kecil di sepanjang jalan yang saya lewati.

Ia bersepeda. Balok es yang panjangnya mencapai satu meter diikat di boncengan. Setiap kali berhenti di warung, ia mengeluarkan besi tajam dan memotong balok es dengan sangat mudah. Tanpa pelindung tangan atau alas, ia mengangkut balok es langsung ke box minuman dingin yang biasanya diletakkan di depan setiap warung, lalu pergi begitu saja melanjutkan kayuhan. Tidak ada basa-basi (apalagi transaksi) dengan penjaga terlebih lagi dengan pengunjung warung yang sedang duduk santai. Sudah dua warung ia singgahi, dan ia hanya “berinteraksi” dengan tutup box pendingin minuman.

Melihat ini, saya menduga bahwa setiap warung pastilah sudah berlangganan es batu. Kehadiran pengantar es batu pun terkesan hanya bagai angin lalu, karena ia datang dan pergi setiap hari. Dan sepertinya karena intensitas inilah, basa-basi seolah tak lagi diperlukan apalagi diusahakan. Bukankah kita sering abai/ tak hirau pada sesuatu yang memang sudah, selalu, atau seharusnya ada. Semoga di warung berikutnya, ada penjaga warung yang tidak menganggapnya angin (meskipun ia mengendarai “kendaraan angin”).

Mengenai transaksi, mengingat harga es batu pastilah murah, kemungkinan pemilik warung membayar pesanan es batu setiap seminggu sekali atau sebulan sekali. Dan pertanyaan berikutnya adalah berapa harga sebalok es batu untuk satu bulan? Lalu berapa pula penghasilan pengantar es batunya? Di mana rumahnya? Apakah balok es itu dibuat sekaligus diantar sendiri oleh pengantar bersepeda tersebut? Karena jika ia hanya petugas pengantar, tentu penghasilannya lebih minim lagi! Apakah ada pengantar es batu lain selain dia? Bagaimana mulanya ia bisa menguasai “pasar” per-es batu-an di lingkungan perumahan Pondok Indah dan sekitarnya? Lalu bagaimana atau apa yang membuat ia bertahan sebagai pengantar es? dsb.

Pagi ini, ia tak terlihat. Jadilah pertanyaan di atas tak punya jawaban. Dan sekalipun ia terlihat, bagaimana caranya mendapat jawaban untuk pertanyaan demikian banyak, sedang pengantar es selalu gegas pergi dari satu warung ke warung lainnya. Dan aku pun tergesa-gesa melangkah menuju kantor tercinta.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...