Wednesday, December 17, 2014

Tentang Kisah yang Tidak Boleh Dicatat

"Konon katanya kertas lebih sabar dari manusia", begitu tulis salah satu sahabat terbaik yang saya punya, Andika. Ia menuliskannya di status Facebook berisi undangan menulis di Reading Lights kemarin.

Tentu saja kertas lebih sabar dari manusia. Dia hanya 'ada', menjadi dirinya. Dia tidak akan menggurui, menghakimi, mengoreksi, dan sok perhatian atau memberi nasehat saat kita mencurahkan apa pun padanya. Dia hanya hadir, sabar merekam. Dan dengan hanya begitu, ia (bisa) membuat kita mengenali dan mengekplorasi sendiri segala rupa perasaan dan (kadang) menemukan ketenangan atau jawaban semua pertanyaan.

Karena kadang-kadang kita hanya butuh didengarkan, dipahami, dan diakui perasaannya; lalu merasa sedikit lebih lega.

Sudah lama sekali saya berhenti menulis diary--merekam sejarah diri, bersahabat dengan kertas. Selama ini saya tidak tahu apakah ada manfaat signifikan menulis diary selain yang tersebut di atas. Setumpuk diary yang saya simpan kadang terasa seperti sampah yang dibuang sayang. Atau memang itu fungsinya; menjadi tempat sampah untuk merekam segala macam emosi: harapan, suka, duka, kegundahan, termasuk pertanyaan-pertanyaan.

Meski saya berhenti menulis diary, rupanya kebiasaan 'mencatat' kejadian tidak berhenti begitu saja. Saya merekam 'catatan sejarah diri' dengan cara lain. Saya menandai kalender, membuka history chat bbm, mendengar rekaman telpon dsb untuk menelusuri kejadian yang saya alami.

Dengan kembali menelusuri catatan tersebut (meski tidak melulu di kertas), saya bisa mengenali penyebab kenapa saya merasa begini atau begitu di beberapa hari, minggu atau bulan yang lalu. Nggak nyaman banget rasanya ketika kita tahu ada yang salah, ada hal yang bikin tidak bisa tidur tapi kita nggak tahu apa sebabnya dan nggak bisa melakukan apa-apa (untuk mencegah, misalnya).

Timbul pertanyaan, jika seandainya saat itu juga bisa membaca penyebab kegundahan, mungkin nggak ya bisa mengubah keadaaan? Atau paling tidak membantu mengadakan tindakan pencegahan? Entahlah.

Sejauh ini, 'mencatat' atau 'merekam' kejadian bisa membantu menunjukkan bahwa firasat atau feeling itu memang ada. Bukan sesuatu yang diada-adakan. Hati bahkan tubuh sekalipun nggak bisa dibohongi. Mereka juga mengirim pesan/pertanda yang nggak boleh diabaikan. Dan ada perbedaan besar antara 'firasat' dan 'kecurigaan'!

Selain firasat, hal di sekeliling pun kadang memberi pesan dan pertanda tersebut. Sebagai contoh, saat hal buruk terjadi, hal-hal di sekeliling menunjukkan tanda-tanda dengan caranya sendiri pada saya: gelang kaki yang tiba-tiba putus sampai 3 kali (sebagai pertanda kejadian sama yang berulang. Saya tidak memakainya lagi karena sudah 3 kali putus, khawatir nanti putus lagi lalu hilang), plang-plang di pinggir jalan yang mengirim pesan dengan caranya sendiri, nomor HP yang error tanpa sebab--nggak bisa nelpon, lalu kalung kesayangan yang putus (sepertinya ini menjadi simbol atas sebuah kejadian fatal dan sangat sangat menyedihkan dalam sejarah hidup saya) dan hal lain yang bisa dirasakan dan dilihat tapi tidak bisa dilabeli apa/kenapa.

Ya, saya termasuk orang yang percaya ada banyak pertanda di sekeliling yang berusaha memberi tahu kita sesuatu. Bukankah katanya semesta tiap detik mengirimkan pesan-pesan yang haus dikenali. Tinggal kita bisa membacanya atau tidak, karena memang tidak mudah.

***

Meski ada kertas yang konon begitu sabar dan dapat dipercaya merekam semua cerita sekalipun, kadang ada hal yang terlalu berat bahkan untuk dituliskan (apalagi secara gamblang). Atau terlalu personal hingga takut bahwa kertas yang sabar dan setia kawan itu pun bisa membocorkannya. Menuliskan atau menceritakannya akan terasa seperti menunjukkan aib, kelemahan diri dan kemalangan yang mengibakan. Sungguh saya tidak mau dikasihani untuk hal yang satu ini. Karena sampai detik ini, ada sedikit rasa bangga dan terutama rasa heran pada diri: betapa ia kuat menanggung beban yang (kemungkinan) bisa membuat orang lain terdaftar di RSJ!

Biarkan hati dan pikiran saya yang memproses semua emosi yang tidak boleh dicatat ini. Waktu akan membantu saya. Mungkin kenangan baru yang manis-manis bisa mempercepat prosesnya.

Semoga cepat sembuh, hati....



*sebuah catatan untuk diri sendiri: selamat diri, sudah menjadi begitu kuat sejauh ini. 





Tuesday, August 19, 2014

Pagi di Pertengahan Agustus

Suatu pagi di pertengahan Agustus
adalah pagi yang gerah:
di dinding kamar, melekat aroma parfum
yang tak henti membicarakan rindu

Suatu pagi di pertengahan Agustus
adalah pagi yang hujan:
di luar, merintik pelan di sepanjang jalan
menggugurkan ingatan tentang gerah
membasuh aroma parfum dengan bau tanah basah

Lalu aku berjingkat bersama hujan,
dengan kaki telanjang, meraba jalan:
dimana kah langit menyembunyikan Matahari,
menyulam pelangi yang tengah kau pandang?  




Tuesday, August 05, 2014

Malaikat di Hari Senin

Dua hari yang lalu saya susah tidur lantaran saya merasa sangaaaaaat marah. Kepala ini rasanya panas. Saya marah karena saya sangat kecewa akan suatu hal. Saya kecewa karena saya pikir saya sudah bisa tenang tentang hal tersebut (yang sudah bukan masalah), tapi nyatanya belum tuntas. 

Saya tidak habis pikir, kenapa hal yang kemarin sudah dihindari, dibenci, dan dibuang agar jangan masuk mengganggu lagi, eh kok bisa-bisanya diundang, dibukakan pintu. Meski pintu yang dibuka hanya sedikiiit saja, saya tidak bisa menerima. Karena sekecil apapun celah yang terbuka, saya khawatir hal tersebut tetap memberikan pengaruh buruk.

Saya hanya ingin pengaruhnya hilang 100 persen--total, karena kemarin sudah mencapai level itu. Saya tidak bisa menerima 80 persen atau 99 persen lagi. Sebut saja saya terlalu menuntut, tapi kalau boleh membela diri, perempuan kurus ini tahu dengan baik apa yang ia perjuangkan. 

Parahnya saya tidak hanya marah pada keadaan, saya bahkan (forgive me for this, God) sempat marah pada Tuhan. Belakangan saya berhenti berdoa dan meminta. Saya malas meminta yang itu-itu lagi. Saya "pasrah" tidak mau banyak meminta lagi karena saya tidak ingin kecewa dan berharap. Saya lelah dengan apa yang saya minta tapi tak kunjung saya miliki sepenuhnya. Saya bahkan tidak sholat subuh kemarin karena sibuk dengan amarah, dan nyaris meninggalkan sholat ashar. AstagfirullahShame on me. 

Meski saya marah pada-Nya, Tuhan masih sayang pada saya. Ia tidak membiarkan saya terlalu lama dalam keadaan sesat seperti itu. Ia mengirimkan seorang malaikat dalam wujud seorang teman baik. 

Ia menggerakkan hati saya untuk menelpon seorang teman lama, Mbak Wati namanya. Ia adalah sahabat yang saya kenal saat bertugas meliput ke Taman Nasional Komodo, NTT lebih dari setahun yang lalu. Tepatnya di bulan Desember 2012. Sejak detik pertama saya melihatnya, hati saya tahu kami bisa menjadi sahabat.

Mbak Wati dan saya, Braga City Walk ,5 Mei 2013.

Dari obrolan telepon selama 1 jam 25 menit dengan Mbak Wati, saya mendapatkan banyak hal yang sudah lama tidak saya dengar. Saya rindu terlibat dengan obrolan seperti kemarin. Lama sekali rasanya tidak tersentuh siraman rohani yang mempertajam sisi spiritual. Saya bersyukur dan merasa 'tercerahkan'. Saya sekaligus mendadak merasa takut bahwa hati saya belakangan kian tumpul. Dan saya tidak suka dengan ini dan tidak mau.

Saya juga merasa malu. Apa yang saya hadapi bukan apa-apa jika dibandingkan dengan yang dihadapi Mbak Wati. Ujian yang harus Mbak Wati lewati sekarang tidak bisa dikatakan ringan dan ia harus melewatinya sendirian, jauh dari keluarga dan sanak saudara. Tapi Mbak Wati punya semangat yang luar biasa dan dengan kepasrahan yang sangat tinggi atas kuasa dan rencana Tuhan.

Mbak Wati juga cerita bahwa pernah ia mempertanyakan kenapa suatu hal yang jadi rahmat untuk semesta alam, malah menjadi ancaman buatnya. Jika tidak kuat iman, Mbak Wati mungkin akan sangat marah pada Tuhan, tapi ia tidak. 

"Mungkin aku adalah orang yang terpilih untuk bisa menjalani ini," kata Mbak Wati, membuat saya trenyuh. Seharusnya saya yang menghiburnya, ini malah saya yang mendapat banyak pelajaran dari seseorang yang sedang kuat-kuatnya diuji dan harus menghadapinya (nyaris) sendirian. 

Mbak Wati mengajarkan saya untuk lebih bisa ikhlas menerima apa pun yang ditawarkan hidup dan yang dilemparkan dunia. Dan terutama menerima dan menjalani rencana yang sudah diatur oleh sebaik-baiknya pengatur rencana. Saya tidak cerita penyebab kemarahan saya pada Mbak Wati, ia tidak tahu menahu sedikit pun. Tapi kata-katanya sangat mengena di hati, salah satunya adalah ini: "Jangan bosen berdoa, mungkin Allah sedang menguji kesabaran, keihklasan dan berbaik sangka Mbak Neni."

Ada banyak obrolan kami. Sempat pula membahas tentang pekerjaan dan perjalanan karir. Dan perihal ini, yang membuat saya terharu adalah bahwa malaikat yang dikirim di hari Senin malam ini bilang bahwa ia sangat respect pada saya dengan potensi yang saya punya. Dan ia heran bagaimana bisa saya tidak respect/menghargai diri saya sendiri dan tidak menyukuri apa yang saya punya dan apa yang sudah saya lewati. 

Tulisan kecil ini adalah rasa terima kasih saya pada Mbak Wati. Terima kasih sudah datang dan menarik saya pada kesadaran positif. Sungguh pengetahuan dan pondasi spiritual adalah yang paling menenangkan; mengajarkan diri untuk lebih ikhlas menerima dan berserah diri. Saat kita menerima dan pasrah, apa pun akan terasa ringan dan mudah. 

Dan saya berharap, suatu hari nanti saat saya sedang merasa jatuh, marah, atau merasa kecil, saya akan dituntun untuk menemukan dan membaca tulisan ini lagi. Tentunya dengan begitu, saya ingin kembali mendapatkan pencerahan yang memulihkan semangat, bahwa apa pun yang kita lewati (pahit dan manis) adalah yang terbaik dan yang kita butuhkan untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Amin. 





Monday, June 30, 2014

Free Writing Bersama Caca & Lala: Pizza Rasa Cinta!


Bisa dibilang ini kali pertama saya menulis bersama anak-anak. Siapa sangka, ternyata saya pun belajar beberapa hal dari mereka.

Suatu pagi menjelang siang (24/6), Caca masuk ke kamar sambil main game di HP saya. Saya pun melihat kesempatan mengajak Caca dan Lala untuk menulis bersama. Awalnya saya cerita pada Caca bahwa saya sering mengirim kuis ke majalah sewaktu masih kecil dan mendapat hadiah. Saya juga menulis artikel dan pernah dimuat juga, bahkan saya bisa jalan-jalan gratis karena saya menulis. Lalu saya menunjukkan buku kumpulan cerpen bersama teman-teman klub nulis di Bandung berjudul A to Z by Request--buku yang diterbitkan pertama yang mencetak nama saya, meski hanya menyumbang 1 cerpen saja.

Melihat nama saya tertera di sana, Caca tertarik membacanya. Ia pun membawa buku tersebut ke ruang tamu. Tak lama, mamanya datang dan melihat buku tersebut. Eh, kakak ipar pun tertarik membaca dan meminjamnya untuk dibawa pulang. Caca sempat bilang, "Yah bukunya dibawa Mama, padahal Caca pengen baca."

Mendengar ini, saya lalu mengajaknya untuk belajar menulis saja. Saya menceritakan bahwa konsepnya akan sama dengan kegiatan menulis bersama dengan teman-teman di klub nulis. Meski ragu-ragu, Caca akhirnya mau juga, termasuk Lala yang baru masuk kamar.

Seperti yang sudah disebutkan, prosedurnya mengadopsi apa yang saya praktekkan di klub nulis RLWC. Thanks to RLWC. Saya menentukan tiga tema (cupcakes, pizza, dan boneka anjing) yang ditulis dikertas lalu digulung dan diundi. Saya kasih waktu 10 menit. Selesai menulis, kami membacakan karya kami secara bergantian sesuai hasil 'hom-pim-pah'. Saya juga merekam suara mereka membacakan tulisan masing-masing.

Pada sesi pertama, Lala mendapat giliran pertama membaca. Ia begitu malu-malu membacakan ceritanya. Saat menulis pun ia banyak komentar, "Nulisnya gimana?" Saya mengusulkan, "Ya tulis aja, apa pun. Tulis aja 'duh nulis apa ya, misalnya.". Alhasil, tulisannya pun singkat saja. Di bawah ini nanti adalah tulisannya yang kedua. Setelah mendengar tulisan Aunty dan kakaknya, ia jadi lebih bersemangat menulis. Kami bahkan melewati 4 atau 5 kali sesi menulis, karena Lala minta nulis lagi dan lagi.

Berikut adalah beberapa hal yang saya pelajari kemarin:

Jujur dan apa adanya adalah hal pertama khas anak-anak. Itu pula yang saya rasakan saat saya mendengar tulisan mereka. Ada kesan tersendiri yang ditangkap oleh indera saat saya mendengar cara mereka menerjemahkan tema ke dalam tulisan.  

Meski sederhana, Caca bisa menuangkan idenya tentang "Cupcakes" di kertas dengan lancar dan jujur. 

Tulisan Caca, tema "Cupcakes"
Selain tulisan singkat di atas, Caca juga bahkan bisa menulis cerpen utuh dan selesai sebelum waktu yang ditentukan habis. Cerpen yang juga membuat saya terkesan, meski sederhana khas anak-anak. Saya tidak menyangka akan bakat mereka. Saya langsung membandingkan dengan diri sendiri; saat saya seusia mereka, belum tentu saya bisa menulis seperti itu.

Dari kegiatan menulis bersama ini, tentu saya juga berkesempatan mengenali emosi, perasaan, dan keinginan mereka. Saya jadi tahu, bahwa Caca belum pernah makan cupcakes dan bertanya-tanya seperti apa rasanya. Saya sempat bilang bahwa nanti kami akan belajar bikin cupcakes. Mereka sangat bersemangat dan terus menagih janji saya. Sayang saya belum bisa memenuhinya. Belum browsing resep dan bahannya saya belum tahu harus cari ke mana. Tapi dari game yang mereka mainkan, mereka menuliskan untuk saya resep cupcakes, hanya saja tidak ada takaran untuk tiap bahan. Duh, jadi makin merasa berdosa belum bisa ngajak mereka bikin. 

Saya jadi lebih mengenal mereka melalui media tulisan. Jika tidak melewati kegiatan ini, saya mungkin tidak pernah tahu bahwa Caca belum pernah makan cupcakes dan ia bertanya-tanya seperti apa rasanya. 

Saya juga jadi tahu bahwa meski masih kecil, Lala mengerti makna kata "Kecewa" dan bisa mengungkapkan makna kecewa dengan apik dalam sebuah cerita. Selama ini, Lala tampak jarang mengungkapkan emosinya. Ia banyak diam tapi diamnya adalah memperhatikan. Ia sangat peka terhadap lingkungan serta keadaan dan perasaan orang lain. Tapi ia jarang bicara tentang dirinya, keinginannya apalagi emosinya. Mendengar ia membacakan tulisan kecewa, saya (lagi-lagi) terkesan. 

Dalam tulisannya, tokoh aku menantikan kejutan ultah. Aku bahkan berpikir untuk berdandan cantik demi menyambut kejutan. Eh,di akhir cerita, aku harus kecewa karena kejutan yang ditunggu tak datang sebab ayah dan mama sangat sibuk. Kasian.... Saya langsung menanyakan kapan ia akan ultah, dan berjanji dalam hati akan mengingatnya. 

Tulisan Lala, tema "Kecewa"

Saya pernah membaca bawasannya feeling message atau ungkapan perasaan tentang apa yang kita alami (atau cara kita memaknai sesuatu) akan jauh lebih mengena dan menarik untuk didengar dari pada hanya ungkapan fakta tentang apa yang terjadi. Di dalamnya terdapat emosi. Feeling message memberi kita kesempatan untuk mengenali emosi seseorang lebih jauh. Hal ini terbukti saat saya mendengar setiap tulisan pengalaman mereka.

Selanjutnya yang saya pelajari saat menulis bersama mereka....hmmm... mungkin kalian pernah mendengar tips menulis bahwa sebelum menulis adalah penting menentukan siapa yang akan membaca tulisan kita (target pembaca). Selama ini, saya tahu tentang ini tapi sepertinya tidak sungguh-sungguh menerapkannya. Pentingnya tips ini baru sangat saya sadari saat saya menulis bersama mereka. Saat saya tahu pasti bahwa tulisan saya ditujukan untuk mereka atau tahu pasti siapa yang akan mendengar (atau membaca) tulisan saya, otomatis gaya bahasa, sebutan, dan cara saya menulis sudah terbentuk sejak awal.

Di tulisan saya yang bertema "Pizza", saya memilih memakai sebutan Aunty (panggilan mereka untuk saya), paman (panggilan untuk hubby-ku) dan Nyai (panggilan untuk nenek mereka) dan bukannya menyebut 'aku', 'hubby-ku', 'mama mertua-ku. Ada perbedaan besar hanya dengan mengganti panggilan (sebutan untuk tokoh) lantaran sudah tahu siapa target pembacanya--terkesan lebih spesifik dan lebih dekat.

Saya menulis: 
Suatu hari, paman pulang bawa pizza ukuran besar. Yummy. Pizzanya rasa sapi lada hitam. Enak deh. Rasanya hampir mirip semur daging buatan Nyai. Saat Aunty dan Paman makan pizza, Nyai datang. Nyai pun ditawari pizza, tapi langsung menolak. 

Akhirnya ya udah deh, Aunty pun makan 2 potong besar pizza, eh malah 3 potong! Besoknya, Aunty juga sarapan pizza. Pizzanya masih bagus kok, soalnya Aunty simpan di kulkas. Saat ingin dimakan, pizzanya dihangatkan dulu di rice cooker...... dst.

Oh ya ada kejadian lucu tentang tulisan pizza ini. Rupanya kalimat pembuka tulisan ini sangat melekat di ingatan Lala. Hingga, saat kami sudah selesai menulis dan sedang duduk bersama, Lala mengulang kalimat pembuka tersebut, "Suatu hari paman pulang bawa pizza...."

Mendengar ini kontan saya bertanya, "Terus...? Pizzanya rasa apa?" Karena di tulisan saya, rasa pizza adalah kalimat lanjutannya. Saya ingin menguji ingatannya.

Belum sempat Lala menjawab, Caca nyeletuk dengan entengnya, "Rasa cintaaaa...."

Hahaha.... Pizza rasa cinta! Kami tertawa bersama mendengarnya.

Di tulisan lain, saya menutup tulisan dengan sebuah pertanyaan. Dan selesai saya membacanya, mereka langsung menjawab pertanyaan saya tersebut. Mungkin mereka merasa harus menjawabnya, sebab merasa tulisan saya ditujukan untuk mereka. 

***

Sudah lama saya tidak mempraktekkan free writing bersama. Kegiatan kemarin menjadi semacam nostalgia, hanya saja teman menulisnya anak-anak. Karenanya, saya 'mengalami' dan belajar beberapa hal baru. 








Saturday, June 28, 2014

Seminggu Bersama Caca dan Lala

Seminggu belakangan, sejak hubby terbang ke pulau nun jauh di sana, ada dua keponakan yang menginap di rumah sini. Ada Caca (10 thn) dan Lala (7 tahun).

Meski mereka lebih banyak sibuk main game di Ipad pamannya (hubbyku--red.) atau di HP saya, kehadiran dua bocah yang sedang libur sekolah ini membuat ramai rumah. Ada saja tingkah atau celotehan mereka yang membuat tertawa, terheran-heran, takjub, juga termasuk kesal. Tapi, kesan tersebut yang membuat hari-hari belakangan jadi lebih 'kaya'--kaya dalam hal emosi, cerita dan lainnya. 

Saat bangun pagi, hal pertama yang mereka cari adalah Ipad, dan sebelum tidur hal terakhir yang mereka lakukan adalah men-charge Ipad agar bisa langsung dipakai esok paginya. Sarapan Ipad. Bisa dibilang mereka hanya berhenti ketika harus makan, mandi atau ketika Nyai (panggilan untuk nenek mereka a.k.a mama mertua) mereka melarang. Saat Caca yang pegang Ipad, Lala akan pegang dan main game di HP saya dan sebaliknya. 

Meski hampir seharian mereka sibuk dengan game masing-masing, mereka tak pernah membiarkan saya berlama-lama sendiri. Terlebih lagi Lala. Setiap saya masuk kamar, bisa dipastikan tak lama ia akan masuk dan menyapa. Sambil membawa Ipad ia akan berbaring main game di dekat saya. Pernah pagi-pagi sekali, ditengah kesibukan main game, tiba-tiba ia mencium kening saya. Tanpa rasa berdosa. Saat saya memandanginya, ia hanya tertawa malu. Kadang saya menggodanya, "Siapa yang sayang aunty?" Lalu Lala dengan cepat menjawab, "Nggak ada."

Pernah juga suatu kali ia masuk (tanpa Ipad di tangan sebab dipakai oleh Caca), hanya untuk bertanya "Aunty kok ga keluar-keluar kamar?" Atau beberapa kali, ia sekedar datang memeluk atau ragu-ragu menciumi pipi aunty-nya yang sibuk dengan HP.

Bahkan ketika di depan TV; saat Ipad di tangan Caca, dapat dipastikan Lala akan nempel pada saya; memeluk lengan saya atau kadang-kadang melotot pada saya saat saya menasehati ia, misal saat saya menyuruh mandi atau makan atau melarang ini itu. Kami juga pernah adu melotot tapi sambil tertawa-tawa. Pokoknya kalau aunty-nya tampak diam, Lala tidak akan tinggal diam. Dengan caranya sendiri ia berusaha 'ada' untuk saya. Saya merasa disayang.

Lain Lala, lain Caca... Caca lebih sering membuat saya takjub dengan pertanyaan-pertanyaannya. Pernah dia bertanya, "Aunty, emang kalau cokelat diliatin aja bisa abis ya?" Hahahah.... Bagaimana cerita cokelat dipelototin bisa abis?

***

Sebagai orang dewasa (ceileehh...), saya prihatin dan merasa bersalah melihat mereka sibuk dengan game. Saya mengadili diri saya sendiri "Aunty macam apa saya ini, ga bisa mengajak mereka melakukan sesuatu yang bisa mengalihkan mereka dari game."

Dengan pendekatan pelan-pelan, saya berhasil mengalihkan mereka. Meski tak banyak pengalihan yang saya lakukan, paling tidak porsi main game mereka berkurang. Hari Selasa kemarin (24/6), kami melakukan ritual menulis bersama. Saya tidak menyangka dengan kemampuan mereka menulis, terlebih Caca. Ia bahkan menulis cerpen utuh hanya dalam waktu sekira 15 menit.

Konsepnya sama dengan klub nulis yang saya ikuti; pertama akan ada tema yang diundi, setiap orang mendapat satu tema dan harus menulis dengan tema tersebut selama waktu yang ditentukan, lalu akhirnya setiap orang akan membacakan masing-masing tulisan karyanya.

Lala yang tadinya malu-malu dan ogah-ogahan jadi ketagihan menulis. Aunty-nya sudah bosan dan ngantuk, ia masih semangat ingin nulis lagi. Saya akan ceritakan karya mereka dan apa yang saya pelajari dari mereka, khususnya tentang menulis, di tulisan terpisah.

Kami juga membaca buku bersama. Caca menghabiskan novel tebal Sundea, berjudul "Dunia Adin" dalam 2 hari. Woww... Aunty aja butuh waktu berminggu-minggu. Kalau Lala ini manja, dia nggak mau baca sendiri. Saya pun membacakannya cerita dari "Salamatahari". Saya minta ia memilih sendiri cerita mana yang ingin dia dengar dengan melihat daftar judul-judul. Sejak itu, besoknya ketika akan tidur, dia akan bilang, "Salamatahari...." sambil menyodorkan buku kecil yang tadinya hanya dimain-mainkan pita kuningnya. Saya akan membacakan 2 atau 3 cerita, lalu ia pun tidur.

Kadang ia masih mengganggu saya, saat saya sibuk menerima telpon pamannya atau bbman dengan teman. Jadi dia yang balik nyuruh tidur, ya usap-usap pipi atau pencet-pencet hidung saya, sambil curi-curi cium pipi malu-malu. 

Pernah ia bilang sambil mencet hidung, "si pesek..."
"Siapa yang pesek?" tanya saya.
"Aunty..."
"Emang  Lala mancung?"
"Enggak...hehehehe..."
Saya pun terbahak mendengarnya. 

Pernah saya suruh ia lekas tidur sementara saya sibuk bbman, dia bilang: "Enggak. Saya nggak mau tidur. Saya belum siap."

Ealaaahhh....apaaa kali? hahaa....

Kami juga sempat bikin kue bersama. Mereka ingin sekali bikin cupcakes, tapi sayang saya belum bisa merealisasikan. Awalnya karena tulisan Caca yang bertema tentang cupcakes. Saya menjadikan cupcakes sebagai tema karena mereka suka main game cupcakes. Di akhir tulisan, Caca bilang belum pernah makan cupcakes. Lalu tercetus dari saya, "Mau bikin nggak? Tar kita bikin."

Dan sodara-sodara, jangan pernah menjanjikan apapun pada anak-anak karena mereka akan ingat dan menagih janji. Karena bahannya susah kayaknya, saya tawarkan bikin kue kering, mereka juga excited. Tapi sayang alatnya nggak ada. Lalu Lala meminta, "Bikin kue bolu aja, Aunty. Pake keju dan susu." Jadilah bikin bolu tapi bolu gula merah dengan sedikit keju, hahahaa....

Mereka saya beri tugas, Lala parut keju, Caca ngayak tepung, dll. Di tengah proses bikin kue, yang marut keju nyerah karena kejunya susah diparut dan beralih jadi seksi dokumentasi, motretin aunty dan kakaknya.

Pernah kami nonton Aksi Junior Indosiar, dimana ada penceramah cilik bernama Asep. Nah, selama Asep ceramah, Lala sibuk mukul-mukulin bantal kursi ke mukanya atau dilempar-tangkap beberapa kali. Saya sempat melarang karena debunya keluar semua nantinya. Saya nggak mikir aneh-aneh tentang sikap Lala.

Lalu tiba-tiba, Caca nyeletuk begini: "Kenapa sih, La kamu La? Orang lain yang ceramah kok kamu yang malu."

Mendengarnya, saya terbahak. Saya pun ikut-ikutan menggoda Lala, "Oooh...jadi Lala suka Asep ya?" Tentu saja pertanyaan ini langsung disangkal mentah-mentah sambil melotot-melotot ga jelas.

Kami juga main game Tebak Gambar bersama. Game ini kadang-kadang bikin bingung. Kalau udah bingung gamenya dialihkan ke game lain, nanti dibuka lagi, dibahas dan didiskusikan bareng-bareng jawabannya. Setelah diendapkan, sering bisa kejawab deh.

Dan masih banyak lagi 'keajaiban' mereka yang meramaikan suasana dan hari-hari saya, khususnya seminggu ini.


Tadi siang mereka pulang. Dan rumah langsung sepi. :(




NB:
Saya ingin mengingat momen bersama mereka karena itu saya menuliskannya. 



Monday, June 23, 2014

Kenangan yang Nyaris Hilang: Pulau Lembongan Bali

Pulau Lembongan sepertinya tidak terlalu akrab ya di telinga kita. Tapi, mengunjungi pulau ini saat kalian berkesempatan ke Bali akan memberikan pengalaman tersendiri. 

Pemandangan sepanjang jalan menuju Pulau Lembongan

Pulau Lembongan memang agak jauh dari pusat pariwisata Bali, untuk mencapainya harus naik perahu kayu atau speedboat dari Pantai Sanur. Atau bagi yang berkocek tebal bisa menikmati kemewahan jasa cruise (kapal pesiar) yang memang menyediakan jasa mengunjungi pulau tersebut, lengkap dengan kemewahan lain yang bisa dinikmati di cruise-nya itu sendiri. Dibutuhkan waktu sekira satu jam dengan cruise atau speedboat dan 1,5 jam dengan menumpang perahu kayu untuk tiba di pulau tersebut. 

Meski saya tidak berkocek tebal, beruntung saya bisa mengunjungi pulau cantik di Tenggara Bali ini dengan menumpang cruise, Bali Hai II Reef Cruise namanya. Tiket menunjukkan harga Rp800.000,00 dengan mendapat fasilitas untuk menikmati hampir semua kesenangan yang ditawarkan di cruise (banana boat, snorkeling, scuba diving, village tour, coral viewer, makan siang, dll). Fasilitas seperti parasailing tidak termasuk dalam paket ini. 

Bisa dibilang saya beruntung ya bisa naik cruise gratis, tapi sayangnya sebab saya sedang bekerja (meliput--red.) maka semua kesenangan tersebut tidak bisa sepenuhnya saya nikmati. Lah wong saya harus kerja nenteng-nenteng kamera dan mengabadikan gambar. 

salah satu ruangan cruise. pemandangan air laut dengan biru sembpurna dari dalam pesiar....
Ada rasa bangga tapi juga sedih sekaligus saat saya naik cruise ini. Pasalnya hampir semua penumpang cruise (mungkin 99%) adalah bule. Orang Indonesia hanyalah para pekerjanya. Saya sempet mikir jangan-jangan hanya saya penumpang yang orang Indonesia. Lalu, saya melihat satu keluarga Indonesia saja. Orang Indonesianya ke mana? Apa kurang mampu atau memang ga tertarik ya? Kalau karena kurang mampu bayar cruise yang mahal, miris amat ya... Keindahan alam kita hanya untuk orang asing. Dan kita hanya jadi pekerja, termasuk saya yang naik karena urusan kerja. 

Tufa dan suami menikmati banana boat, saya menonton. Lalu...lalu....eh ada coral viewer. Karena tak harus berbasah-basahan dan tetap aman dengan menenteng kamera, saya ikut naik fasilitas ini. Coral viewer ini memungkinkan kita bisa melihat alam bawah laut tanpa berbasah ria (tanpa harus bersnorkeling atau diving). Coral viewer memiliki ruang yang memungkinkan kita duduk manis di bangku kayu, kedua sisi ruangnya tembus pandang dan langsung menampilkan pemandangan bawah laut di kedalaman lebih 10 meter. Nah, jadi begitu masuk coral viewer, kita akan langsung turun tangga yang mengantar kita ke ruangan bawah laut tersebut. 

ini dia coral viewer
Kesenangan melihat ikan-ikan sambil muter-muter di sekitar cruise utama ini hanya berlangsung 15 menit. Saya bisa melihat banyak ikan kecil-kecil tapi sayang ga bisa difoto. Sayangnya pula, terumbu karangnya kurang indah. Menurut seorang pegawai (orang Bali), yang datang menemani saya duduk, dulunya karang di sini banyak, tapi karena apa ya lupa, jadi banyak yang rusak. Pegawai cruise ini lumayan lama juga ngajak ngobrol padahal saya lagi malas berbasa-basi. Tapi berhubung saya lagi kerja, lumayan juga cari-cari tambahan informasi dari beliau, seperti tanya-tanya tentang kedalaman coral viewer yang kami tumpangi, penyebab rusaknya terumbu karang di sekitaran, dll.

Selesai makan siang, saya mengajak Tufa dan suaminya untuk ikut village tour ke Pulau Lembongan. Cruise tidak menuju ke pulau ini, ia hanya berenti (stand by) di pontoon (kira-kira tempat parkir gitu deh). Kami harus menumpang speedboat lagi untuk sampai di Lembongan. Jadwal village Tour setiap 1 jam sekali. 

cantiiik...
Seorang tour guide sudah menyambut kami. Rombongan terdiri dari sekira 10 orang. Banyak rumput laut tampak dijemur di sepanjang jalan perkampungan di Pulau Lembongan. Memang banyak penduduk yang bekerja sebagai petani rumput laut.

Kami juga di antar melihat pohon yang usianya ratusan tahun, di dekat pohon banyak terdapat kuburan sementara orang-orang Bali yang belum bisa di Ngaben karena alasan biaya. Maklum biaya Ngaben bisa puluhan juta, dan sebelum dana itu terkumpul, jasad dikubur sampai waktunya nanti di bakar dengan upacara Ngaben. Bisa sampai belasan tahun, jasad tersebut belum bisa diNgaben-kan.


rombongan tour
Tour berlangsung sekira 45 menit. Kami berjalan menyusuri kampung; melihat puskesmas, mengobrol bersama pengrajin tenun ikat, melihat anak manjat pohon. Untuk para turis asing, atraksi ini menarik. Beberapa dari mereka mencoba ikut memanjat pohon dan tertawa-tawa riang karenanya. Kami juga mengunjungi toko yang menjual kain khas tradisional. Kami disuguhi air kelapa muda di toko ini. 

Selesai village tour, kami duduk di sebuah warung sambil menunggu boat yang menjemput datang. Tidak merasa bosan-bosan amat karena pemandangannya menyejukkan mata, menyenangkan hati yang gundah gulana... *apa coba? hehe....

kami duduk di bawah warung tepi pantai menunggu jemputan dan dimanjakan dengan pemandangan cantik ini
***

Kenapa kenangan ini saya bilang nyaris hilang? Saya bahkan lupa nama pulau yang sempat saya kunjungi dengan pesiar tersebut, kemewahan yang (seharusnya) bisa saya nikmati dan secara gratis pula, serta keindahan alam yang (seharusnya) sangat mengesankan saya, dan kenangan lainnya yang seharusnya terekam baik di memori mereka yang suka jalan-jalan. 

Untung ada tulisan news di web Kemenparekraf yang menjadi dokumentasi singkat perjalanan ke sana. Dari artikel tersebut, saya bisa menggali ingatan saat ke Lembongan. Ini link nya di sini

Semua hal yang sebelumnya menjadi impian dan membuat iri banyak pecinta jalan-jalan itu jadi tidak penting dan nyaris terlupakan (karena tidak dinikmati) dan sebabnya adalah karena... GALAU. Heheheh... jadi pada akhir Januari 2013 itu adalah masa yang sangat rentan (ceileh); istilahnya mah badan di mana pikiran ke mana... (aduhai curcol).

Uppss... sebelum jadi curhat colongan, dan karena galaunya sudah lewat, jadi mending bahas latar belakang penugasan saya ke sana.

Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, akhir Januari 2013, saya ditugaskan meliput dan menemani kegiatan pemenang lomba lari New York Marathon yang berlibur ke Bali, namanya Tufa dari Ethiopia. Apa hubungannya New York Marathon dan Bali dan saya? 

Jadi ceritanya ajang New York Marathon itu kan ditonton ratusan juta penduduk dunia, nah, Kemenparekraf melihat ini sebagai peluang besar untuk mempromosikan keindahan dan pariwisata Indonesia (khususnya Bali). Kemenparekraf pun menjadi salah satu sponsor untuk event dunia tersebut dengan memberi hadiah gratis jalan-jalan bagi pemenang lomba marathon. Dengan harapan, keindahan Bali akan kian tersiar melalui cerita pengalaman para pemenang lari yang diundang berlibur gratis ke Bali. 

Saya menemani mereka selama 3 hari di Bali, termasuk sehari perjalan PP ke Yogyakarta. Kala itu saya masih menjadi copywriter untuk konten website resmi Kemenparekraf. 

Demikian. :)




Wednesday, May 28, 2014

Senyum Karyamin dan Surabanglus = Mood Susah

Kemarin saya membaca sebuah buku kumpulan cerpen karya Ahmad Tohari, "Senyum Karyamin". Saya sudah membelinya beberapa waktu lalu, tapi baru sempat membaca. Saya pikir saya ingin mengenal Tohari dari cerpennya terlebih dahulu. Saya penasaran dari dulu tentang bukunya yang berjudul "Ronggeng Dukuh Paruk" tapi belum juga berkesempatan membaca. Pernah menonton filmnya, meski tidak secara intens (baca: konsentrasi) dan tidak tertarik. Dan itu belum juga mengubah kenyataan bahwa saya belum membaca bukunya itu.

Nah, dari pengantar kumpulan cerpen ini saya sudah merasa bahwa cerpen-cerpennya akan tentang kesusahan wong cilik, rakyat jelata yang berjuang hidup sehari-hari dan ketidakadilan hidup yang mereka tanggung. Dan rupanya dugaan saya tidak meleset.

Kumpulan cerpen ini dibuka dengan "Senyum Karyamin"--judul yang dijadikan judul buku. Berkisah tentang Karyamin, seorang kuli yang mengambil batu kali untuk dijual pada tengkulak. Gaya berceritanya memang menarik, kita diajak mengenali tokoh dan masalahnya dengan pertama-tama diceritai tentang kondisi tubuh Karyamin yang lemah karena belum sarapan. Ia berkali-kali jatuh berikut batu yang diangkutnya sebab lemah. Hingga akhirnya memutuskan pulang, karena disarankan pula oleh kawan-kawannya. Dari obrolan kawan-kawan tersebut, kita diajak lebih mengenal Karyamin, istrinya, tengkulak yang telat membayar, dsb. Celotehan mereka hanya ditimpali senyuman oleh Karyamin.

Saat memutuskan pulang, Karyamin menolak tawaran nasi pecel tak jauh dari sungai sebab ia tak ingin berhutang pada sang pedagang. Pedagang itu pun menanggung hutang para kuli batu yang belum bisa membayar sebab tengkulak tak kunjung memberi upah. Cerpen ini berakhir miris saat dalam perjalanan pulang, petugas desa meminta Karyamin membayar sumbangan untuk korban kelaparan di Afrika. Helllooo...korban kelaparan di Afrika? Sementara Karyamin sedari pagi menahan lapar hingga mata berkunang-kunang dan harus pulang. Karyamin tertawa saat mendengarnya bukan lagi tersenyum, dan saat itu pula tubuhnya ambruk jatuh ke jurang.

Tragis.

Dan oke saya masih penasaran dengan cerita berikutnya. Saya melahap kisah kedua, ketiga, dan keempat berjudul "Surabanglus". Surabanglus rupanya adalah sebutan untuk singkong beracun yang dibakar oleh dua orang tokoh (dianggap sebagai pencuri kayu) yang kelaparan sebab bersembunyi dari kejaran polisi hutan. Seorang tokoh menyadari bahwa singkong tersebut beracun sebelum sempat memakannya. Tokoh ini melarang temannya untuk makan singkong tersebut, dan ia kemudian berhasil turun gunung mencari makanan sebab temannya sudah sangat lemah menahan lapar. Pada akhir cerita, surabanglus tinggal kulit saat tokoh tersebut berhasil kembali membawa makanan. Ia memeluknya temannya yang meregang nyawa karena memamah surabanglus. Tak kalah tragisnya dengan kisah Karyamin.

Dan saya merasa cukup membaca buku kumpulan cerpen ini. Saya tidak mau melanjutkan membaca karena empat kisahnya sudah membuat mood saya ikut susah.



*Salut for Tohari.

Wednesday, April 23, 2014

Menakjubi Kanawa

Kanawa Island atau Pulau Kanawa mungkin tidak terlalu akrab di telinga, apalagi jika dibandingkan dengan Pink Beach yang pasirnya berwarna sesuai namanya itu. Meski begitu, pulau cantik ini layak dikunjungi dalam rangkaian perjalanan Anda menjelajahi kehidupan liar TNK. Ya, pulau ini berada dalam kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) di Nusa Tenggara Timur. Di kawasan inilah satu-satunya habitat alami komodo di dunia. Karena keunikannya, TNK pernah dinominasikan dalam daftar tujuh keajaiban dunia.

Saya berkesempatan mengunjungi Pulau Kanawa pada awal Desember 2012 bersama pemenang quiz yang diadakan Kemenparekraf. Saya ditugaskan meliput kegiatan perjalanan tersebut dan menuliskan beritanya. Kami berkesempatan menjejak Kanawa setelah mengunjungi Pulau Rinca yang merupakan salah satu dari 3 pulau yang menjadi habitat alami komodo. Dari Pulau Rinca, Pulau Kanawa dapat ditempuh dengan menggunakan speedboat sekitar....ehhhmmm berapa lama ya.... agak lupa.... mungkin sekitar 45 menit. 

Selain cantik, di pulau ini kita juga bisa berenang dan snorkeling. Airnya yang biru kehijauan itu duuuh jernihnya sungguh mengundang untuk diselami. Alam bawah lautnya memang kalah indah jika dibandingkan Pink Beach. Tapi perlu kalian tahu, berhubung saya belum pernah snorkeling dan butuh latihan, pelatih dadakan snorkeling saya bilang bahwa snorkeling di Pulau Kanawa adalah momen tepat untuk berlatih menyiapkan diri snorkeling di Pink Beach keesokan harinya. "Nyesel kamu kalau ga belajar snorkeling di sini, besok di Pink Beach itu lebih bagus." 

Mendengar ini saya pun semangat belajar snorkeling, beberapa kali rasanya mual ingin muntah setiap kali snorkel (selang atau apa itu namanya) dimasukkan ke mulut agar saya bisa leluasa bernapas dan melihat pemandangan bawah laut. Susahnya bernapas lewat hidung. 

Sebelum menakjubi bawah lautnya, yuk intip kecantikan pulau ini.

Picture speaks a thousand words. So, enjoy the beauty of this island since the first time you step your feet on the nearest jetty.


Welcome di Pulau Kanawa; speedboat nya parkir di sini ya...
Untuk sampai ke pulau, kita harus melewati jetty yang tampak eksotik ini. Dan jangan lupa buka mata lebar-lebar, rekam keindahan pemandangan sekitar: bukit gundul, barisan cottage di kejauhan, langit biru yang maha luas, dan birunya laut yang menenangkan. :)

Exotic wooden jetty
Jukung biru ini langsung menarik perhatian saat masih di parkir di dekat jetty. Eh, ternyata ada yang punyanya.
two fishermen
 Ayo, kita makin dekat dengan pulau. Makin cantik kan?

What a beautiful scenery, right?
Birunya laut dibingkai gugusan pasir putiiiiih bersih, lalu berlatarkan langit yang juga biru; aduhai siapakah gerangan pelukisnya?
kuning. ngambang. :D
Hup, sesampainya di ujung jetty, nih tulisan penanda Pulau Kanawa siap menyambut. Jangan lupa foto-foto narsis di sini. Saking sibuknya foto-foto, tas kamera ketinggalan tergantung di sini. Untung ada yang bawain.


Saya tidak tahu nama pohon ini apa, tapi pohon ini lah yang banyak terdapat di sini. Rindang dan teduh; pas untuk bersantai selagi menikmati pemandangan alam dan atau sesudah snorkeling.

Dan lihat, ternyata jetty-nya lumayan panjang ya. Jangan lupa pakai sunblock karena saat melintasinya atau saat berenang, Matahari akan memandikan kita dengan cahayanya tanpa ampun.


siap-siap snorkeling
snorkeling di laut jernih biru kehijauan.

ngintip dari balik pohon tepi pantai
Transportasi:
Untuk tiba ke Pulau Kanawa ini, sebelumnya kalian harus terbang dengan pesawat kecil dari Denpasar, Bali menuju Labuan Bajo, NTT. Perjalanan ditempuh selama kurang lebih 1 jam. Dari Labuan Bajo, pergilah ke dermaga, dan penjelajahan bisa dimulai dari sini. Tidak hanya kehidupan hutan liar berikut satwa endemiknya yang terancam punah (komodo) dan satwa liar lainnya, keindahan pantai di bagian Timur Indonesia akan menjadi destinasi yang tak mudah dilupakan.

Nah, besok saya akan menuliskan pengalaman yang mengesankan saat saya menyelami keindahan bawah laut Pink Beach. Sensasinya melekat dalam kenangan karena sangat kuatnya kesan yang saya dapat kala itu.  

Sunday, March 02, 2014

Haiiihhh

Siapa sangka, pagi ini Facebook memberi saya sebuah kesadaran!

Dari media social paling banyak dihuni umat dunia ini, saya bisa melihat perkembangan, kabar, cerita teman-teman yang kini jaraknya sudah jauh sekali. Melihat postingan beberapa teman tentang kabar mereka, karya atau prestasi mereka sekecil apa pun itu, saya merasa ketinggalan!

Kemana saja saya selama ini? Saat orang lain masih terus mengejar mimpi, berkarya, mencipta, saya kemana atau di mana?

Duuh ini nih yang dinamakan serangan need for achievement. Saya ingin kembali berkarya. Tapi ngapain?!

PR besar.

Friday, February 28, 2014

Yang Berubah dari Bandung

Jangan terlalu serius. Tentu saja tulisan ini tulisan ringan yang sifatnya subjektif di sana-sini sodara-sodara, apalagi mengingat ditulis oleh saya berdasarkan pengamatan sekilas saat berkesempatan kembali mengunjungi Bandung pada awal Februari lalu (tepatnya pada 6-9 Februari 2014). 

Time flies
Ga kerasa udah sekitar 3 bulan saya meninggalkan kota yang pernah 'membesarkan' saya ini dan kota yang membuat saya jatuh cinta padanya sejak kunjungan pertama berpuluh tahun lalu. 

Dan pada kesempatan kunjungan kali ini, tentu saja ada beberapa perubahan yang terasa, baik secara fisik atau non-fisik. Nah loh? Perubahan fisik jelas terlihat dari tampilan Bandung dan sangat mungkin dirasakan oleh orang lain. Tapi perubahan non-fisik (saya ga tau istilah yang lebih tepatnya) mungkin akan sangat personal.

Saya berkesempatan lagi merasakan udara Bandung yang terasa dingin menggigiti kulit. Saya merasa betapa cepat saya melupakan aroma cuaca Bandung. Tapi sayangnya saya ga sempat ketemu banyak teman-teman, kecuali seorang teman baik sejak masa kuliah, Eva namanya. 

Saya mau jujur, salah satu alasan utama saya ke Bandung adalah karena saya sangat ingiiiin sekali sungguh benar-benar berjalan bergandengan tangan bersama Hubby tercinta di sepanjang jalan Braga, di bawah payung warna-warni yang 'digantung' di langit.  Setiap Sabtu malam, Braga Culinary Night Festival, adalah salah satu perubahan yang terjadi di Kota Bandung yang digagas sendiri oleh walikota kebanggaan, Ridwan Kamil. 

Dan kenapa saya begitu ingin jalan di sana? Pasalnya saya pernah melihat sebuah foto di FB yang bergambar payung warna-warni 'digantung' di antara dua gedung bergaya klasik di antah berantah di luar negeri sana. Di luar negeri! Dan saya bermimpi bisa jalan di sepanjang jalan itu bersama seseorang. Nah, ketika ternyata payung semacam ini hadir di Bandung, apa salah jika saya berpikir inilah momen untuk mewujudkan mimpi saya. Walaupun payungnya ga sepenuh dan sebanyak luar negeri. *fiuh


Tapi keinginan ini sepertinya belum boleh terwujud. Mendengar kabar Braga sangat padat setiap kali payung-payung tersebut 'digantung' di langit dan mengingat hubby ingin makan menu favoritnya di salah satu cafe, jadwal ke Braga gagal. Tapi saya ga sedih, nyatanya bukan tempatnya, tapi bersama siapa yang lebih penting kan? hihii... :p

Perubahan lain yang juga digagas oleh sang arsitek kenamaan ini adalah taman-taman di Bandung. Saya pernah menulis artikel news tentang rencana Ridwan Kamil untuk menjadikan sekira 100 lebih taman kota di Bandung menjadi taman tematik. Selain bertema, taman-taman akan diberi label/nama, dirapikan, ditambah fasilitasnya (bahkan kabarnya akan ada toilet umum di taman). Waktu itu taman pertama yang 'dirapikan' adalah Taman Cempaka. Taman ini bertema fotografi dan simbol yang terdapat di sana adalah huruf 'C', untuk 'camera'--media super penting dalam ranah fotografi. 

Dan saya sengaja meminta hubby lewat sana sehabis mengunjungi Gasibu di hari Minggu pagi. Fotografi bisa dinikmati di taman ini. Ide yang unik ya? Biasanya foto dipajang dan dipamerkan di ruangan tertutup, lah ini di taman terbuka. Ada banyak foto yang dipajang rapi di media khusus di salah satu sisi taman. Saya tidak turun, tidak sempat ambil foto. Terakhir dulu, saya baru melihat bangku taman, ayunan, dan mainan lain di taman ini dicat dengan warna cerah.

Taman ini punya tempat khusus di hati; saya pernah sengaja mengunjunginya pada suatu sore bersama Nia, Andika, Marti--jalan kaki dari rumah Nia. Serasa menjadi anak kecil lagi saat main ayunan dan minta teman mengayunkan atau menahan ayunan agar berhenti, lalu jerit-jerit saat ayunan terlalu tinggi. Dan foto-foto narsis tentunya tak lupa.

Foto gadis-gadis ini diambil oleh Andika

Selain Taman Cempaka, sudah ada banyak taman lain yang dipercantik. Tapi sayang, saya belum berkesempatan ninggalin jejak kaki di sana. 

Gasibu juga sudah berbeda ya. Entah sejak kapan, mungkin sudah lama hanya saya baru tau karena memang jarang ke sana. Pagi-pagi sekali kami memutuskan ke Gasibu, dengan misi utama mencari sarapan. Lalu sekalian menemani suami belanja (Loh kok kebalik yah? hehe...kidding... :p). 

Lapangan gasibu bersih dari penjual pasar kaget, dan khusus untuk mereka yang ingin berolahraga. Jadi lahan lapak para pedagang yang direlokasi ke sepanjang jalan sekitaran. 

Kemacetan di Gasibu sini masih belum berubah ternyata sodara-sodara. Dan keberadaan pengamen (yang saya sering sebel dengernya ngamen sambil ceramah saklek) masih juga bercokol di perempatan lampu merah Binong adalah hal kecil lain yang belum berubah di Bandung. *penting!

**

Oh ya, dalam perjalanan menuju Bandung, Bandung terasa kian 'jauh'. Jauh dalam bilangan jarak sudah pasti, tapi jauh yang ini rasanya asing. Mungkin karena Bandung sudah bukan lagi tempat saya berdomisili, bekerja, nongkrong bareng saat weekend bersama sahabat, dan tempat pulang kedua setelah rumah ortu di Lampung. Bandung cukuplah kini menjadi kota kenangan dan dikunjungi sesekali saja.  

Saat memasuki kamar kost, perasaan asing lain datang. Ini lebay ga ya terdengarnya di telinga kalian? hehhe....Yang jelas, saat hidup membuat kalian harus memilih dan atau mengambil keputusan besar, manuver tak pelak harus dijalani sepaket dengan segala risiko dan harapan baru. Tentu saja, manuver ini akan membawa banyak perubahan dan banyak 'sensasi'. Hihii...

Meski saya mencintai Kota Kembang ini, saya--pada akhirnya, tanpa pernah saya duga jalannya--memutuskan meninggalkannya dengan sukarela dan sukahati dan tanpa dendam tentu saja. 

Ada cinta yang lain, yang menarik saya untuk kembali ke kampung halaman. ;)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...