Thursday, December 13, 2012

Ruang

Ada sebuah rumah. Tampak sejuk dan nyaman dari luar. Pintunya terbuka, kita sama-sama melangkah masuk dan duduk di ruang tamunya yang hangat. Sofanya sederhana saja; yang jelas empuk, berwarna merah, berukuran ramping. Sungguh sesuai dengan ukuran ruang tamu yang tidak terlalu besar ini. Mejanya terbuat dari kayu yang dipelitur--cokelat tua berukir sulur-sulur yang apik. Sepertinya pesanan. Di atas meja, terpasang secarik kecil taplak meja cantik dari Turki. Lampunya tidak nyala, tapi desainnya yang sederhana serupa bunga lotus di langit-langit itu sudah menarik perhatian sejak awal. Di pojok ruangan, tampak sebuah vas keramik yang tinggi ramping. Beberapa tangkai bunga kering ditaruh di sana. Selintas tampak jaring laba-laba berkilau terkena cahaya Matahari yang masuk dari celah jendela di seberang pojokan. Di sana, semilir angin yang sebelumnya ditimang dedauanan pohon angsana berhembus memenuhi ruangan. Sejuk namun hangat dan nyaman. Bisakah kamu bayangkan kenyamanan ruang seperti itu?

Lalu kita terlena berlama-lama duduk di sana. Berbicara dan tertawa tentang banyak hal: tentang kita terutama, tentang rasa. Sesekali kita ribut tentang hal-hal kecil yang membuat kita tidak sepaham, karena kita berbeda. Kita datang dari tempat yang jauh, dari masa lalu yang juga lebih jauh lagi, lalu tak sengaja bertemu di simpang jalan dan memutuskan berjalan berdampingan. Sungguh wajar banyak hal yang kita pertentangkan, meski kadang-kadang ada juga yang diam-diam kita syukuri dan banggakan. 

Kita lupa bahwa ruang ini bukan milik kita, bahwa kita hanyalah tamu tak diundang yang lancang masuk tanpa permisi. Rumah ini terlalu menyenangkan untuk dilewati begitu saja bukan? Apalagi setelah masing-masing kita terlalu lelah melanjutkan perjalanan yang belum tampak ujungnya. Rumah ini terlalu nyaman untuk tidak disinggahi dan ditelusuri tiap ruangnya. 

Tidak semua ruang kita suka. Seperti kebanyakan rumah pada umumnya, ruang tamu adalah yang paling tertata. Ruang ini lah yang pertama-tama memberi kesan pada orang lain--tamu tentu saja. Karenanya ia harus baik, apik, bersih, mengkilap, dan nyaman. Sebagai sebuah rumah, rumah ini menjanjikan perlindungan yang cukup memenuhi syarat kenyamanan. Namun, ada bagian atau ruang tertentu yang kurang berkenan. Tumpukan cucian, makanan basi di bak pencuci piring, gudang barang yang penuh debu dan sarang laba-laba adalah beberapa di antaranya. 

Habis semua ruang kita jelajahi, kita merasa lelah dan ingin kembali saja ke ruang tamu, yang dihembus semilir angin dari luar. Yang nyaman dan menyenangkan. Ruang ini memang masih nyaman, tapi ingatan tentang dapur yang kotor dan gudang yang berdebu sudah terekam di kepala. Harusnya bukan masalah besar, bukan? Ya, memang bukan masalah besar. Toh, rumah ini pun hanya tempat kita singgah. Dan justru inilah masalah terbesarnya. Lalu, kita pun sampai pada suatu waktu dimana kita mulai merasa bahwa tempat ini bukan untuk kita. bahwa kita harus melanjutkan perjalanan. Dan pergi adalah satu-satunya pilihan yang ada. Bayangan perjalanan panjang yang harus di tempuh di depan adalah tantangan atau ketakutan yang lain lagi. 

Apalagi saat kamu bilang, bahwa kita harus berpisah di persimpangan depan!

Kamu bilang saya bebas sekarang, menentukan langkah sendiri. Tapi apa sih sebenarnya kebebasan?
Paulo Coelho bilang, "Freedom is not the absence of commitments, but the ability to choose...what is best for me."

Dalam hal ini, saya tidak bisa memilih dan tidak punya pilihan lain, kecuali menerima! 




Tuesday, August 14, 2012

Kartu Pos The Secret Garden

Sekira 2 tahun yang lalu, itulah terakhir kali saya mendapatkan sebuah kartu pos sebagai oleh-oleh yang dibeli di sebuah museum di Irlandia. Itu pun diberikan langsung, tidak dikirim melalui pos. Tanpa bermaksud berlebihan, menerima kiriman kartu pos berperangko dari seorang sahabat di zaman yang serba digital ini adalah sebuah kemewahan varietas baru! :D

Kartu pos (tampak depan)
Andika Budiman lah pengirim kartu cantik tersebut yang bergambarkan cover buku "The Secret Garden", karangan F.Hodgson-Burnett. Kalimat pembuka dan pesan di baris terakhirnya sudah cukup membuat saya merasa betapa Dika, salah satu sahabat terbaik saya ini, begitu mengenal pribadi saya tapi tidak pernah (seingat saya) men-judge atau menghakimi saya karena sifat-sifat dan karakter saya tersebut. Karenanya, saya selalu nyaman mengenalnya... :)

Untuk urusan teman bercerita, Dika adalah pendengar yang baik tapi juga berbahaya, hehhehe.... Saya hanya perlu bercerita sedikit, lalu Dika akan sudah dapat mengenali emosi terdalam di balik cerita saya dan memahami hal-hal yang bahkan tidak saya katakan. Saya baru bercerita A-B-C, tapi ia sudah mendengar dan memahami hingga huruf N atau seterusnya. Terdengar lebay tapi begitulah adanya.

"Neni, jangan ragu mengungkapkan perasaan, apalagi jika itu ungkapan afeksi. Seperti kata Nia Janiar (sahabat kami juga--red.), niat baik tidak pernah sia-sia." Inilah sebaris pesan Dika di kartu posnya sebelum mengucap salam.

Kartu pos (bagian belakang); sengaja blur agar isinya tidak terbaca... :p

Niat baik memang tidak pernah sia-sia, Dika. Dan ini termasuk niat baik kamu mengirim kartu pos pada "sebuah ikon" yang kemudian kamu sesali karena malu atau entahlah, namun ternyata justru jadi menginspirasi. Dan yang akhirnya membuat saya menerima kartu posnya. 

Terima kasih, kartu posnya ya, Dika. Rasa kantuk yang merusak mood seharian dan rasa sebal karena kemacetan lalu lintas yang saya bawa pulang sore ini jadi hilang seketika setelah baca kartu posnya. Mudah-mudahan kamu tidak keberatan saya menulis di sini. Saya janji saya akan balas kartunya... :)

Oh iya, kartu pos yang saya terima 2 tahun yang lalu juga bergambar perempuan. Seorang perempuan bertubuh ringkih yang memegang payung dan memandang ke arah samping di kejauhan (tidak memandang ke depan). Gambar tersebut tepatnya adalah sebuah lukisan perempuan berpayung yang di pajang di museum Irlandia tersebut. Si pemberi mengatakan bahwa kartu pos itu mengingatkan dia pada sosok saya yang menurutnya terlihat begitu "confident, but fragile at the same time". Saya cukup kaget juga mendengar frasa tersebut. 




Sunday, July 29, 2012

Rasionalisasi


Sekotak mimpi

Bukankah ini sekotak mimpi
yang tidak pernah kau pesan
meski pernah diam-diam kau inginkan?
lalu kenapa saat ia melintas, hilir-mudik
bersama-sama dengan ketukan angin
di depan jendela kamarmu yang berkabut
kau malah sangat gelisah,
bahkan menjadi sedikit kesal:
(tanpa merasa perlu membuka jendela lebar-lebar)
kau malah berani berharap
ke jendela kamarmu ia akan diantar
dan singgah tidak sebentar.



Aku Tidak Lupa

Dengar, aku tidak lupa
mungkin takkan pernah lupa
rasa ini hanya kuarahkan ke mana suka
asal tidak mendarat di tempatmu sekarang berdiri
karena aku terlalu takut; itu akan membuatmu beranjak pergi.

Tersedak Mimpi

Ia lah gadis kecil yang kemarin itu
yang gemar meniupkan tiap-tiap harapan
pada kuntum-kuntum dandelion
di padang belakang

Di antara rimbun ilalang yang tinggi
angin bulan Juli berdesing sunyi
hangat mentari adalah saksi:
ia berdiri menikmati manisnya cuaca
menghirup sebanyak-banyak udara
lalu tersedak oleh mimpi
yang baru saja ia tiupkan dengan sangat hati-hati.




Saturday, July 28, 2012

Kupu-Kupu di Telapak Tanganku

Izinkan aku merekam sekeping kenangan manis itu, Ibu:

kau lukiskan pada telapak tanganku
seekor kupu-kupu kecil
yang bersayap lengkap
namun tak bisa mengepak

di luar, langit hampir selalu abu-abu
musim semakin dingin,
daun semua gugur,
namun hati kita musim semi

kupu-kupu kecil itu mati setelah tiga hari, Ibu
namun hangat ingatan tentangnya
masih menyengat hati hingga kini--
saat diri tak tahu lagi jalan kembali
ke hangat rumahmu yang ramai namun terasa sepi

sekarang aku mengerti, Ibu
kenapa di bawah naungan langitku kini
yang selalu biru dan bermatahari
aku gemar sekali melukis bunga-bunga kecil
di telapak-telapak tangan yang subur--
mungkin diri ini mengimpi
bunga kecil akan mengundang kupu-kupu kembali




*suatu hari, di dapur yang hangat.



Thursday, July 26, 2012

Warna Laut Hari Ini

Warna laut hari ini
serupa wajahmu kemarin itu:
biru pucat,
tampak tenang:
menimang badai yang disembunyikan


lalu diam-diam
kau kayuh rinduku yang berkabut
sejauh-jauh pandangan!


Sunday, July 01, 2012

Hujan Seminggu

Kemarin aku melihat kamu di warna pelangi
lalu mendadak rindu menyergap bagai hujan
yang memang kerap turun sejak seminggu yang lalu:
adakah musim hujan yang sama
telah pula singgah di lapang hatimu?
atau hanya aku yang gelisah sendiri
di pojok musim--bimbang menimang keinginan:
antara ingin main hujan-hujanan
tapi takut sakit dan deman di keesokan?

Selembar Daun yang Terbang ke Bulan

Ada selembar daun yang terbang ke bulan, Sayang
saat malam menggigil di bulan Desember
menyaksikan dua anak kecil bermain di taman:
sepatu mereka meninggalkan jejak yang dalam
di hamparan salju yang disimbah cahaya bulan

Ada selembar daun yang terbang ke bulan, Sayang
tidakkah kau lihat bayangannya melambai-lambaikan perpisahan?
tidakkah kau dengar suaranya yang kian lama kian mirip igauan?

Ada selembar daun yang terbang ke bulan, Sayang
ada kisah yang dijejalkan ke dalam kotak kenangan



Saturday, June 23, 2012

Little Prince, Bintang, dan Aku

Saat menulis ini ada satu bintang di luar sana yg bisa terlihat dari balik pintu kamarku yang sedikit terbuka. Dia begitu genit, berkedip-kedip riang menggoda. Selagi membaca "Little Prince" untuk kali kedua, aku sudah beberapa kali menyempatkan diri menoleh bintang tersebut. Dan aku berpikir, sepertinya antena di antara kedua alis kita tidak hanya bisa menangkap basah orang yang sedang memandangi kita, tapi bisa juga menangkap basah sebuah bintang yang sedang memandangi kita!

Atau mungkin juga alasan kenapa aku bolak-balik meliriknya adalah karena Little Prince sedang berbicara tentang bintangnya. Selesai membaca, aku memeriksa keluar dan menemukan bahwa bintang-bintang malam ini begitu riang. Dan bintang yang sejak tadi bermain mata padaku adalah yg paling bersinar, paling terang, paling besar, dan satu2nya yang bisa kulihat dari tempatku tadi berbaring...


# ditulis di Jakarta, 2009.

Rinduku Padamu

Rinduku padamu
adalah abu yang masih menyimpan bara
yang ditinggalkan pengembara,
di balik rimbun pepohon nipah tepi sungai
tempat kunang-kunang berpesta
dalam gelimang cahaya

Sunday, June 17, 2012

Mwathirika: Tentang Sejarah Kehilangan dan Kehilangan Sejarah

Saya benci harus mengakui bahwa saya menangis saat menyaksikan sebuah teater boneka. Ya, teater boneka! Saya akan menceritakan sebagian besar cerita dan akhir teater boneka ini di sini, agar saya tidak lupa atau sekedar untuk membaginya pada kalian. Jadi berhati-hatilah bagi yang tidak suka spoiler.

Mwathirika adalah judul teater boneka yang saya maksud. Bertempat di gedung pertemuan IFI Bandung, 16 Juni 2012, inilah sebuah teater boneka yang berkisah tentang sejarah kehilangan dan kehilangan sejarah berlatar masa kelam Indonesia pada September 1965. Mwathirika dibawakan oleh papermoon puppet theater yang sejak awal menggunakan seni teater boneka tanpa kata untuk bicara tentang banyak hal, kepada lebih banyak orang agar sama-sama mengingat atau untuk membagi rasa.

Kisah ini terkesan sederhana, tapi dibalik kesederhanaannya ia sesungguhnya begitu kaya, baik dari ceritanya sendiri, sejarah yang melatarinya, dinamika kehidupan tokoh-tokohnya, dan lain sebagainya. Meski berlatarkan gejolak politik yang kelam, ia tidak bercerita urusan politik secara muluk dan ekstrim. Tidak "menunjuk" tentang siapa membunuh siapa. Mwathirika menceritakan kisah mereka yang mau tidak mau terkena imbas pahit dari sebuah kepentingan yang berujung pada kehilangan orang-orang terkasih.


Pertunjukkan yang mengesankan ini dimulai dengan mengenalkan Baba dan Haki; dua orang ayah yang "merupakan tetangga baik yang tinggal 'berseberangan'." Baba yang bertangan satu tinggal di rumah berwarna merah bersama dua  anaknya: Moyo (10 tahun) dan Tupu (4 tahun). Sementara Haki, tinggal di rumah berwarna hijau dengan ukuran lebih kecil di seberang rumah Baba bersama anaknya Lacuna. Lacuna adalah gadis kecil berkursi roda, bermata juga berhati besar.

(ki-ka) Moyo, Tupu, Lacuna, Haki, Baba, Anjing gila... Kisah mereka membuat saya menangis...
Keheningan di dalam ruangan, tiba-tiba hilang saat sekelompok orang bertopeng yang membawa balon merah menjajah pentas. Mereka seolah membawakan tarian dan bersuara gaduh mengelu-elukan sesuatu yang mereka lihat di layar yang menampilkan serangkain gambar. Berikutnya, teater kemudian berganti menyorot Tupu, yang baru bangun tidur dan langsung buang air di depan rumahnya. Adegan ini tentu saja menuai tawa penonton. Tupu lalu bermain sendirian di halaman rumahnya: melompat dari satu balok ke balok lain dan terjatuh. Ia lalu bermain kuda-kudaan yang terbuat dari kayu. Tepat saat ia tengah asyik menunggang kuda, tiba-tiba susana menjadi tegang akibat muncul seekor anjing hitam besar yang menyalak garang pada Tupu. Tupu yang ketakutan refleks meniup peluit merah yang selalu ia kalungkan sambil menodongkan kuda kayunya ke arah anjing. Mungkin dengan meniup peluit ia berharap sang anjing patuh padanya. 

Bersamaan dengan itu, dari dalam rumah muncullah Moyo sang kakak yang tergopoh-gopoh mengarahkan peluru ketapelnya ke arah anjing tapi tidak berhasil mengusir. Kemudian, kuda kayu pun dilemparkan ke anjing tersebut dan membuatnya lari tunggang langgang. Tupu kecil menangis, mungkin sedikit syok. Moyo berusaha menghibur adiknya. Kuda kayu yang dipakai melempar anjing rusak.

Saat Moyo kebingungan tak berhasil membujuk sang adik, Baba muncul. Ia baru saja pulang dan membawa balon merah untuk Tupu. Tupu menjadi riang kembali namun menangis lagi saat Moyo menggodanya dengan cara merebut balon merahnya dan tertawa-tawa mengikik. Kejahilan khas seorang kakak kepada adik yang disayanginya. Tak tega melihat Tupu sedih, si jahil Moyo mengembalikan balon yang segera diambil oleh Tupu lalu masuk ke rumah bersama Baba. Tak lama kemudian, Haki datang. Setelah menyapa Tupu yang kini sibuk sendiri dengan mainan barunya, ia memanggil Lacuna dan menyerahkan sebuah kotak musik. Lacuna senang sekali dengan hadiah tersebut. Bahkan Tupu pun ikut bergoyang sambil mendekati Lacuna saat mendengar musiknya. Tupu bahkan membuang balonnya dan meminta kotak musik yang tentu saja tidak diberikan oleh Lacuna.

Keesokan harinya, sekelompok sirkus keliling melewati rumah mereka. Suasana dalam ruangan menjadi demikian meriah oleh musik yang keras dan ramai, sorakan, dan tepuk tangan pemain sirkus. Kedua keluarga tertawa-tawa riang menyaksikan mereka. Dan yang menarik pada bagian ini adalah bahwa penonton diajak untuk ikut bersorak, tepuk tangan, dan pendeknya "terlibat". Perasaan terlibat pada sebuah pertunjukkan atau apa pun, meskipun kecil, ia punya dampak yang hebat. Menyenangkan sekali rasanya ada di tengah keramaian yang membahagiakan bersama boneka-boneka yang bergerak dengan bahasa tubuh selincah manusia padahal mereka hanya benda mati yang digerakkan oleh manusia-manusia kreatif dari Yogyakarta. 

Di akhir pertunjukkan sirkus keliling, seorang pemain sirkus menghampiri Baba yang tengah menonton dari jendela rumah dan memberikan secarik bendera merah. Belum habis keriangan atas pertunjukkan sirkus, penonton dibawa pada suasana malam saat sekelompok orang bertopeng menandai jendela rumah Baba dengan segititiga merah. Baba terbangun, membuka jendela tapi tak menemukan siapa-siapa. Ia lalu menyalakan rokoknya. Haki juga terbangun dan menyapa Baba. 

Baba yang terbangun sesaat setelah jendela rumahnya ditandai dengan segitiga merah.
Pagi-pagi sekali, Haki yang sedang menyapu halaman kaget melihat ada tanpa segitiga merah di jendela rumah Baba. Ia menghindar saat Baba yang menuju halaman menyapanya. Tak perlu waktu lama, Baba pun melihat tanda tersebut dan sangat marah. Ia berusaha menghapusnya dengan sapu lidi, tapi sia-sia. Ia kemudian tak memedulikan tanda tersebut dan segera mengambil kembali palu yang sejak tadi dibawanya untuk membetulkan kuda kayu Tupu. Sebelum selesai membetulkan kuda kayu tersebut, sekelompok orang bertopeng dan bersenjata datang dan memerintahkan Baba untuk ikut mereka. Baba tidak melawan. 

Baba berhenti melangkah ketika mendengar Moyo dan Tupu keluar untuk bermain baris-berbaris atau berakting tentara. Baba meminta waktu sejenak kepada orang-orang bertopeng. Ia menghampiri Moyo dan Tupu dan mengecup kening mereka. Ia sempatkan pula menyelesaikan kegiatannya sebelumnya, yaitu membetulkan kuda kayu. Ia serahkan kuda kayu yang sudah baik pada Tupu yang kegirangan dan menciumnya sekali lagi. Moyo sudah merasa ada yang tidak beres, tapi Baba hanya menepuk bahunya, menciumnya lagi kemudian pergi. Sejak kejadian itu, keriangan yang masih gegap gempita mewarnai hati para boneka dan para penontonnya seketika sirna.

Setelahnya, penonton diajak menyaksikan kepedihan dua anak yang masih terlalu kecil untuk hidup tanpa ayah. Siang berganti malam, malam berganti siang. Pada suatu waktu, Tupu merengek pada Moyo sambil membawa piring dan sendok. Ia lapar. Moyo kebingungan. Tiba-tiba muncul di hadapan mereka dua ekor kodok yang melompat-lompat. Tanpa pikir panjang, Moyo menangkap kedua kodok tersebut. Tupu memukul-mukulkan sendok ke piring tanda kegirangan saat Moyo berhasil menangkap mereka. Yang terlihat selanjutnya adalah kedua anak ini muntah-muntah. Kiranya mereka memakan kodok tersebut! Hari-hari selanjutnya Tupu sudah tidak mau makan.

Moyo tampak berlari-lari mengejar orang bertopeng sambil membawa sepucuk surat. Tupu ditinggal sendirian. Saat berhasil menarik perhatian seorang bertopeng, Moyo hanya berujar: "Baba Moyo" sambil menyodorkan surat yang kiranya ia tulis untuk Baba. Orang bertopeng melihat peluit merah di leher Moyo dan langsung menggiring Moyo yang tak pernah kembali lagi. Tupu menunggu di jendela hingga malam. Ia meniup-niup peluitnya sendirian dan suara peluitnya tidak lagi lantang. Saat siang, Tupu akan duduk di beranda rumah di samping balon merah yang ditaruh di pojok beranda sambil meniup peluit yang suaranya kian lama kian lemah. Sesekali ia akan melihat ke arah dimana ia berharap Moyo muncul.

Sejak kepergian Baba, saya sungguh berharap Haki akan muncul dan membantu mereka setidaknya memberi makan. Tapi rupanya, tanda segitiga merah di jendela rumah membuat Haki menjauhi mereka sebagai jalan aman. Kiranya tanda segitiga merah adalah berarti sebuah masalah. Ia bahkan marah saat Lacuna menghampiri Tupu dan berniat memberikan kotak musik yang kemarin-kemarin tidak diberikannya pada Tupu. 

Tampak Baba berada di dalam sel dan digiring keluar. Seorang bertopeng membawa benda serupa timbangan ke hadapan penonton dan menyusun boneka putih ukuran kecil yang pada dadanya tergambar segitiga merah. Setelah disusun berbaris ke belakang, seketika boneka-boneka putih tersebut roboh diiringi suara letusan balon merah pemberian Baba. Tupu kecil terkejut dibuatnya; musik latar yang serupa lolongan bernada sedih seolah menjadi penanda kesedihan yang tiba-tiba menyergap Tupu.

Ditengah kesedihan Tupu yang mendalam, Lacuna kembali menghampirinya dan menyerahkan kotak musik. Tupu menolak, ia sudah tidak butuh apa-apa lagi. Lacuna tak peduli, ia meninggalkannya begitu saja. Tupu tak memedulikan kotak musik, ia masih saja meniup peluit yang suaranya kian lemah dan pilu. Lalu Tupu dipeluk erat oleh yang menggerakkanya. Rumah Tupu dihancurkan sekelompok orang bertopeng.

Haki dan Lacuna keluar rumah membawa koper; mereka berniat pindah, lagi-lagi untuk alasan keamanan. Haki meminta Lacuna menunggunya sebentar, sebab ia harus kembali ke dalam untuk mengambil sesuatu. Sepeninggal Haki, Lacuna melihat rumah Tupu yang sudah berantakan, memanggil-manggil Tupu tapi tak beroleh jawaban. Ia hanya menemukan kotak musiknya di tempat ia meletakkan terakhir kali, topi Tupu yang segera diambilnya, dan peluit merah yang kemudian ia tiup dengan keras seolah berharap didengar oleh Tupu.

Sekembalinya Haki, ia hanya menemukan koper cokelatnya dan kursi roda Lacuna yang terbalik tanpa tuannya. 

***

Banyak simbol-simbol dalam kisah yang berdurasi sekira 55 menit ini; sebut saja segitiga merah, balon merah, bendera merah, peluit merah, boneka putih dengan tanda segitiga merah di dada, pasukan bertopeng, dan lain sebagainya. Meski penuh simbol dan pahit dikunyah, pementasan teater boneka yang sukses menuai standing applaus ini tetap mudah dipahami dan menggugah naluri kemanusiaan. Meskipun mungkin pemahaman tersebut hanyalah sebatas permukaan, ia mampu menggiring untuk berempati dan bahkan menguras air mata sejumlah penonton, termasuk saya. Lega rasanya saat mengetahui bahwa saya tidak sendirian menangis saat itu.

Tiket Mwathirika

P.S: 
September mendatang, papermoon puppet theatre akan tur keliling Amerika dalam rangka pementasan Mwathirika. Semoga sukses!


Sunday, June 10, 2012

Akan Ada Saatnya

Ada saatnya, percayalah, akan ada saatnya
kita merindukan burung-burung kecil
yang gemar menyibukkan kita dengan liuk kepaknya
yang kita usir sebab kerenyahan siulannya
yang kita abaikan sebab tulus kicaunya:

saat sepi adalah satu-satunya wacana
yang nyaring gumamannya

Ada saatnya, percayalah, akan ada saatnya
kita mengerti kemegahan bunga-bunga kecil
yang setia mengurung kita dengan warna
yang wanginya kita hina dalam kekeruhan pikir
yang ingin kita petik hanya agar ia gugur:

saat musim berhasil mengajarkan kita
bunga adalah pertanda semi telah tiba

Ada saatnya, percayalah, akan ada saatnya
burung dan bunga kecil akan genap maknanya
di hati yang menanggung luka dunia...

Wednesday, April 18, 2012

Perihal Menyimpan

Untuk satu dan lain alasan kita kadang harus "menyimpan". Tapi sampai kapan atau seberapa kuat kita harus menyimpan?

Menyimpan uang untuk membeli barang tertentu atau untuk berjaga-jaga kalau-kalau ada kebutuhan mendesak di masa datang. Menyimpan makanan di kulkas agar tetap segar. Menyimpan perhiasan hadiah seseorang sebab kita tak ingin benda kenangan tersebut rusak. Menyimpan cokelat oleh-oleh dari negeri yang jauh untuk teman-teman baik. Menyimpan buku-buku di meja untuk dibaca saat bosan atau saat merasa perlu membaca. Menyimpan rahasia untuk satu dan lain alasan, tak peduli bahwa rahasia itu telah juga menjadi rahasia umum. Atau menyimpannya sambil menunggu saat yang tepat untuk mengungkapkannya, tanpa pernah tahu kapankah saat yang paling tepat itu.

Uang yang disimpan pada akhirnya akan juga digunakan. Makanan yang disimpan di kulkas akan pula dikeluarkan untuk dimasak dan dimakan atau justru membuangnya sebab telah busuk di kulkas sebab lupa. Perhiasan yang disimpan akan juga dipakai saat  suatu hari dengan tanpa alasan kita tiba-tiba merasa harus memakainya sebab itulah gunanya dihadiahkan. Cokelat dari negeri jauh yang disimpan untuk teman--yang sejak kepergian ke negeri jauh itu telah pula menjadi jauh dalam bilangan jarak--terpaksa harus dibuang sebab sadar bahwa cokelat tersebut telanjur kadaluarsa sebelum sempat "diantarkan". Buku-buku yang disimpan dimeja, pada akhirnya akan dibaca, meski kedudukannya sekarang adalah nomor sekian, di mana aktifitas di dunia maya rupanya telah menjajah waktu yang dulunya adalah untuk membaca. Rahasia yang disimpan pada akhirnya akan juga diungkapkan saat ia sudah "matang". Meskipun kematangan tidak menjadikan keadaan lebih baik, tapi setidaknya ia menjadikan proses melepaskan jauh lebih mudah.

Mungkin tidak berlebihan jika kita menyebutkan bahwa waktu yang jadi indikator penting dalam proses menyimpan ini. Waktu yang "mematangkan" semua alasan menyimpan, hingga apa yang kita simpan tidak lagi bisa kita pertahankan. Akan datang saatnya kita harus melepaskan (tidak menyimpan lagi), mau tidak mau, direncanakan atau tidak. 

Dan saat hari itu datang, itulah saat yang tepat. 


Trivia Hari Ini

Sebenarnya tidak ada yang teramat spesial yang terjadi di hari ini. Tapi, saya ingin menuliskannya. 

Pukul 7.57 saya sudah sampai di absensi di kantor, dan ini berarti saya tiba 3 menit lebih awal dari jam kerja yang sudah ditetapkan. On time! Awal yang bagus untuk hari ini. Sudah sempat pula memesan nasi kuning untuk sarapan. 

Sebab Nitnet* tidak dibawa ngantor, saya langsung "turun gunung" dan mengedit powerpoint Fun Learning English 6 begitu selesai sarapan. Istilah "turun gunung" memang biasa kami (teman-teman editor--red.) gunakan saat harus ke lantai bawah dan mengedit di monitor komputer. Ruang editor memang terletak di lantai dua Green House--sebutan untuk gedung yang kami huni dan kami cintai ini. Suasana sudah tidak lagi sama memang. Sepi. Meski penghuninya baru saja bertambah sejak Jumat kemarin, nuansa sepi masih belum pergi.

Sebab tidak bawa Nitnet, dan memang belum mood browsing materi karakter bangsa atau video untuk powerpoint, sebagian besar kegiatan hari ini adalah copy paste icon penunjang powerpoint lengkap dengan menambahkan efek animasi dan hyperlink-nya. Mengedit sampai saatnya makan siang. Sekarang, makan tidak lagi dikantin, melainkan membawa "misting" dan makan di meja kerja. Kebiasaan ini bermula sejak bulan April ini. 

Selesai makan, salat, dan istirahat, saya kembali turun gunung dan lanjut mengedit sampai waktu Asar. Nah, setelah salat Asar, turun gunung lagi tapi sambil bawa novel Gaardner, Dunia Sophie. Lalu ngantuk menyerang. Saya putuskan untuk naik gunung. Mengobrol bersama teman-teman editor, tentang Maemunah dan Moemaneh (pelesetan berbahasa Sunda); tentang Johari dan  pelesetannya (jauh hari); tentang golodok yang saya kira adalah kerupuk, tapi kemudian sadar bahwa yang saya maksud adalah dorokdok.

Ada Ipeh yang hari ini datang ke kantor sebelum istirahat, lalu ada juga Cimot dengan penampilan barunya (berjilbab) yang datang saat sore.

Gosip kemarin masih ramai dibicarakan, tapi saya malas ikut membahas beramai-ramai. Bukan tidak peduli, hanya merasa sedikit tidak enak--entah kenapa atau kepada siapa. 

Beberapa jam menjelang jam pulang kantor, ngantuk rupanya kian gigih menyerang terlebih saat saya membaca Dunia Sophie. Lalu tiba-tiba ingin batagor sepulang kantor. Maka tepat jam 5, berangkatlah ke Buah Batu bersama Teh Nita, tapi jadinya beli bakso malang. Ngobrol sampai magrib, dan hujan tiba-tiba deras. Saat di angkot menuju ke kostan, saya melamun di angkot--bukan tentang saya--tentang orang yang menjadi objek gosip hangat kemarin dan hari ini. Kasihan. Kalaupun memang dia bersalah, tetap saja kasihan. Sesekali berdoa agar hujan reda saat saya harus turun angkot dan berjalan ke kostan. Doa saya terkabul. Ada genangan air di jalan depan gang meski hujan hanya sebentar mengguyur.

Facebooking dan menemukan jejak sinkronisasi dengan seseorang. Tapi tidak mau terlalu dipikirkan. Lalu blogwalking dan menemukan tulisan bertema sinkronisasi. Ini yang paling berkesan, dari kuwacikecil, tentang kisah nyata yang sedih, yang diangkat ke dalam sebuah teater boneka. Lalu disambung dengan cerita sinkronisasi dari salamatahari. Sepertinya saya memang gandrung dengan cerita sinkronisasi macam ini. Maklum, saya pun pernah mengalaminya--sering malah. Tapi yang paling berkesan adalah sewaktu berada di Hamburg, Jerman. Begitu luas dan banyaknya orang asing di Hamburg, siapa sangka kalau  ternyata satu-satunya sahabat baik dari seorang sahabat yang lain (yang juga ke Jerman, tapi tinggal di lain kota) adalah juga teman Ibu angkat tempat saya menumpang selama di sana. Ibu angkat memang sering bercerita tentang teman Indonesia--begitu ia menyebutnya--yang ia kenal saat menjalani studi penyetaraan yang wajib diikuti non Eropa yang ingin kuliah di Eropa. 

Suatu hari, saya bercerita pada Ibu bahwa saya mencari alamat seseorang--yang namanya kebetulan sama dengan nama teman Ibu. Entah pada poin apa, kami tiba pada dugaan bahwa orang yang saya cari adalah teman Indonesia Ibu. Ibu menyuruh saya mengirim email pada sahabatnya yang mungkin adalah sahabat baiknya teman saya, untuk klarifikasi perihal dugaan kami. Saat email dibalas, terbukti bahwa orang yang kami bincangkan di meja makan siang itu adalah memang orang yang sama. Die Welt is klein. Dunia itu kecil! 

Saat menulis ini, di luar hujan deras sekali. Pukul 21.24 tertera di pojok kanan bawah layar Nitnet.



*my netbook.

Monday, April 02, 2012

Tentang Daun #8: Pinky Promise

Pinky promise:
sudah membiru
di jejak waktu yang renyah
dikunyah penantian.

Saturday, March 31, 2012

Tentang Daun #7: Gugur


Saat angin semalam demikian tekun mencabiki bentala,
sebatang pohon ringkih ini memang tidak sampai patah
tapi ia tahu, semua tak akan pernah sama:
daun-daun tak lagi menari di ujung rantingnya!

Wednesday, March 14, 2012

Tentang Daun #6

kepada selembar daun:
akan kuingat warna tawamu hari ini, yang berderai ditingkah siulan angin sore
yang merambat di udara lalu mengontaminasi jejak cuaca

di kantung-kantung kenangan
cerita tentang selembar daun dan cuaca
adalah dongeng di pagi hari!







Tuesday, March 06, 2012

Tentang Daun #5

rindu adalah daun
ia santun!
malam ini sudah pikun:
lulabi hilang dalam sekotak ingatan.

Cerita di Dalam Botol Bekas Selai Cokelat


Adakah riang yang kemarin itu bisa disimpan
dalam botol kosong yang dulunya berisi selai cokelat?
agar sewaktu-waktu bisa kubuka dan kucecap lagi
rasa dan renyah senyum kemarin itu, yang lumer di manis bibir
sebagai camilan saat hujan di luar penuh guntur
sementara berjalan-jalan adalah pilihan yang jauh dari bijaksana

Bukankah rindu yang mengganggu ini
sudah dibungkus riang yang kemarin itu; menjadi satu paket manis
lalu kenapa ia kini melompat-lompat lincah
sendirian di dalam botol (yang kupikir kosong),
menggedor-gedor minta dibebaskan;
memanggil-manggil keriangan yang mendadak hilang

Sesungguhnya kosong adalah juga penuh!
Botol bekas selai cokelat ini adalah selalu penuh
Isinya, yang membuatnya terkadang (tampak) kosong!




Saturday, March 03, 2012

Tentang Daun #4

adakah yang lebih berharga
dari selembar daun yang bisa kau ajak bicara?

meski obrolan daun tak mengantar ke mana-mana
pun tak juga sampai di suatu pada
tapi kata-kata adalah juga perjalanan
adalah pembebasan

akhirnya,
daun ini akan selamanya hijau
di langit harapan.

Sunday, February 26, 2012

Gadis Berkerudung Senja

Ialah gadis kecil berkerudung senja
matanya adalah sepasang lampu jalan
yang meletup-letup disambar salju tengah malam
entah hitam muda, entah hitam tua--aku lupa

senyumnya adalah bunga musim semi
cerah segar layaknya berkaleng-kaleng warna pagi
entah terpana, entah penuh tanya
lekat ia memandangku--aku tertular ceria

gigil angin menjelang musim dingin,
menyeretnya segera--
menghilang di ujung jalan:
belum usai kami menuntas penasaran

desing angin di sudut Kota Hamburg kala itu
berbisik padaku sebuah rahasia:
hari itu adalah pertama dan terakhir kami berjumpa




Disorientasi

aku bahkan sudah berhasil menanam cahaya
berwarna-warni
juga batang-batang pegagan
di sebuah vas bunga sederhana
dekat meja telepon.

tapi entah untuk apa. atau mengapa.

Apa Maksudnya Ini?!

Apa-apaan ini?!
aku merindukanmu
saat kau ada di dekatku--
tepat di sisiku!


(5 April tahun lewat)

Menjerang Kenangan

Mari menjerang kenangan,
biar matang!

Sudah kubisikkan pada api
bahwa kenangan ini adalah menu istimewa!





Saturday, February 25, 2012

Tentang Rasa Sebuah Buku

Boothman, penulis buku How to Make People Like You in 90 Seconds or Less, bilang bahwa sebenarnya kita tidak jatuh cinta kepada seseorang, kita jatuh cinta pada perasaan yang kita temukan saat kita bersama seseorang tersebut. Nah! 

Tulisan ini akan tidak membahas tentang perasaan antara seseorang dan seseorang yang lain. Maka ijinkan saya mengadaptasi kutipan Boothman tadi menjadi sebagai berikut: sebenarnya kita tidak jatuh cinta kepada sesuatu, kita jatuh cinta kepada perasaan yang kita temukan saat kita bersama sesuatu tersebut

Sesuatu di sini adalah sebuah buku. Sewaktu mulai sibuk skripsi, saya mulai juga sibuk mengunjungi perpustakaan kampus. Selain ke bagian skripsi, saya lumayan sering menyusuri lorong di antara rak-rak buku besi di bagian referensi. Dalam usaha pencarian tersebut, saya menemukan sebuah buku panduan menulis. Bukan, bukan menulis skripsi, melainkan buku panduan menulis cerpen. Sejak hari itu, buku ini jadi salah satu sarana pelarian dari kejenuhan mengerjakan skripsi berikut membacai referensinya.

Buku tersebut berjudul Berguru Kepada Sastrawan Dunia, versi terjemahan karya Josip Novakovic. Kebetulan saya juga aktif seminggu sekali mengikuti klab menulis, dan buku ini jelas punya pengaruh besar dalam usaha saya menulis cerpen tentu saja; (lagi-lagi) bukan skripsi. Sampai saya lulus, saya terus memperpanjang durasi pinjam buku tersebut setiap dua minggu sekali selama kurang lebih setahun. Karena perpus hanya memberikan jatah 3 buku sekali pinjam, maka saya hanya bisa pinjam buku referensi skripsi sebanyak dua saja. Kalau pun ada 3 buku referensi yang menarik, saya tidak akan mengorbankan buku Novakovic tersebut. Ia menjadi semacam bacaan wajib bagi saya. 

Saat mulai membaca buku tersebut, bahkan baru membaca pengantarnya saja--yang ditulis oleh Hilman "Lupus" dan saya lupa yang satu lagi siapa--saya sudah jatuh cinta. Begitu membaca lebih jauh, buku ini begitu menginspirasi saya dalam menulis cerpen. Novakovic banyak mengutip potongan tulisan dari sastrawan-sastrawan besar di dunia untuk mendukung teori yang sedang ia paparkan. Selain itu, di setiap akhir bab, ada sejumlah latihan yang bisa mengasah keterampilan atau pemahaman atas materi setiap bab, misal tentang setting, plot, karakter, atau pembuka dan penutup sebuah cerpen. Latihan-latihan tersebut kebanyakan berhasil memancing dan menggerakkan saya untuk menulis bebas. Menulis sampah pun tak masalah, yang penting saya bisa menuangkan sesuatu. Maklum, dulu saya sering sekali merasa gelisah (mungkin sekarang lebih dikenal dengan istilah 'galau') jika lama tidak menghasilkan sebuah tulisan, khususnya cerpen utuh. Buku ini jelas sebuah obat mujarab untuk kegelisahan tersebut. Tulisan-tulisan saya kala itu lebih variatif dalam hal ide cerita atau tema bahkan mungkin gaya penceritaan (dibandingkan dengan tulisan-tulisan saya sebelumnya, jangan dibandingkan dengan tulisan penulis handal), dan saya menjadi lebih produktif dalam menulis cerpen.

Menjelang kelulusan, mau tak mau, saya harus mengembalikan buku tersebut. Sebab sudah telanjur sayang, saya lalu memutuskan untuk membelinya. Saya menanyakan buku tersebut setiap kali ke toko buku--baik toko buku besar atau kecil--di Bandung dan di Jakarta. Saya sudah bekerja di Jakarta waktu itu, tapi masih bolak-balik Bandung tiap weekend dengan alasan utama menghadiri klab nulis. Sayangnya buku ini buku langka, mungkin tidak dicetak lagi. Menurut saya ini aneh; buku sebagus ini kok tidak dicetak ulang? Akhirnya, untuk mengatasi kekecewaan, saya membeli buku-buku panduan menulis lain. Tapi, tidak ada yang bisa menandingi buku Novakovic ini: lengkap, kaya, menginspirasi, dan jelas 'memikat hati' saya.  Membaca buku lain yang sejenis menjadi pengalaman biasa-biasa saja, membuat saya merasa bahwa buku lain tersebut bukan apa-apa.

the book I'm talking about
Kenangan atas kesan yang saya rasakan saat membaca buku tersebut dan rasa penasaran untuk memilikinya tak juga hilang bahkan setelah bertahun-tahun. Maka sewaktu saya tinggal di Hamburg-Jerman, saya memesan buku tersebut secara khusus di Thalia Buchandlung (Toko Buku Thalia). Buku yang saya pesan tentu saja yang berbahasa Inggris--bahasa aslinya--dengan judul asli Fiction Writer's Workshop: The Key Elements of A Writing Workshop. Buku ini bisa dibilang buku termahal yang pernah saya beli. Saya senang sekali saat menjemput buku ini pada tanggal 4 Maret 2010 di Thalia. Saya sudah tidak sabar ingin merasakan lagi pengalaman dan perasaan termotivasi serta terinspirasi seperti yang saya rasakan saat membaca versi Bahasa Indonesianya, Berguru Kepada Sastrawan Dunia. Tapi, apa yang terjadi kemudian saudara-saudara? Ayo tebak. Ayo coba tebak. Pasti kalian tidak bisa menebaknya. 

Saya mengantuk membaca versi aslinya ini. Boro-boro tersinspirasi!

Mereka memang buku yang sama, hanya dalam bahasa yang berbeda. Tapi kita tahu pasti, rasa setiap bahasa jelas berbeda-beda. Saya tidak akan menuliskan alasan-alasan atau kemungkinan-kemungkinan lain yang mungkin menyebabkan antiklimaks tersebut di atas. Saya hanya akan menutup tulisan ini dengan mengulang kutipan pembukanya: sebenarnya kita tidak jatuh cinta kepada sesuatu, kita jatuh cinta kepada perasaan yang kita temukan saat kita bersama sesuatu tersebut

Saturday, February 18, 2012

Tentang Daun #3

Ada selembar daun diseret angin,
lupa jalan pulang menuju petang.

Friday, February 17, 2012

Tentang Daun #2

Ada selembar daun
lincah menjaring gerimis (yang sempat usai)
di antara hiruk pikuk hujan sore tadi

Ada sebatang rumput liar
kuyup mengurai rintik (yang sempat tiada)
di antara warna-warni pelangi yang hanya hijau saja

aroma cuaca terasa pahit dan manis:
hujan tak menghadiahi apa-apa, kecuali isyarat
yang tak seberapa

Jumat Hijau

Selamat pagi, Jumat yang hijau. Kenapa hijau? Karena kostum hari ini adalah batik hijau yang dipadu cardigan warna hijau apel yang terang. Terdengar tidak penting ya? Jumat yang hijau sebab suasana hati bisa mekar meski  awalnya terasa suram. Interaksi menyenangkan dengan orang lain dan keinginan untuk bebas dari yang tidak hijau tentu berpengaruh besar atas proses mekar tersebut.

Happiness is a choice. Mereka memang hanya kata-kata. Tapi kadang mereka tidak sesederhana itu. Mereka bisa menjadi mantra, bisa juga menjadi bumerang. Bagaimanapun, usaha menyugesti diri dengan kata-kata positif adalah jauh lebih baik dari pada membiarkan diri tenggelam pada suatu keadaan yang tidak hijau. Kalau pun gagal, paling tidak kita tahu kita telah mencoba.

Selamat hari Jumat yang hijau. Semoga selalu hijau dan cerah mekar.




Wednesday, February 15, 2012

Terperangkap

Kesiur rindu tidak berhembus searah angin
ia terperangkap, bergulung-gulung di dalam sini
menunggu dibebaskan atau meledak!

Monday, February 13, 2012

Veronika Memutuskan Mati

Disebut normal adalah sebuah konsensus. Ketakutan melanggar konsensus dan disebut tidak normal kadang-kadang membuat kita menjadi yang bukan diri sendiri. Menyangkal diri dan keinginan-keinginan terdalamnya. Konsensus tersebut bahkan membuat diri merasa bersalah jika tidak menjadi seseorang yang diharapkan orang lain atas diri kita.


**


Veronika Memutuskan Mati. Adalah judul novel karya Paolo Coelho yang baru selesai saya baca. Veronika adalah gadis muda berusia 24 tahun, cantik, pintar, bermasa depan cerah, yang memutuskan bunuh diri dengan menenggak pil tidur dosis tinggi. Rutinitas yang membuatnya merasa hidupnya akan selalu sama, monoton. Inilah alasan pertamanya ia memutuskan mati bunuh diri. Alasan kedua adalah karena ia merasa betapa banyak masalah di dunia ini (yang ia baca di koran dan majalah, yang ia tonton di televisi), sementara ia tidak bisa berbuat apa-apa.


Terdengar aneh? Mungkin. Membaca halaman-halaman selanjutnya, kita akan tahu bahwa alasan ia memutuskan mati tidak sesederhana dua poin di atas. Veronika digambarkan sebagai seseorang yang selalu berusaha terlihat bersikap baik, ramah, dan penuh kasih sayang. Ia melepas mimpinya sebagai seorang pianis demi memenuhi permintaan ibunya yang "mengorbankan hidupnya agar putrinya mendapatkan pendidikan yang baik, mahir memainkan piano dan biola, bergaun seperti putri... sementara dirinya sendiri mengenakan baju yang sama selama bertahun-tahun." Akhirnya, ia belajar hukum sesuai keinginan ibunya, tapi kemudian memilih bekerja sebagai pustakawati--sebuah pekerjaan yang stabil, yang aman. "Cinta tanpa pamrih telah membuatnya penuh rasa bersalah, ingin memenuhi harapan orang lain, meski itu berarti mengorbankan semua mimpinya." Belum lagi fakta bahwa pernikahan orang tuanya tidak harmonis, menambah-nambah beban pikiran Veronika. 


Memendam kebencian, amarah, dan mengabaikan perasaan-perasaan yang mungkin dianggap negatif jika diekspresikan telah menjadi karakter Veronika. Ia berusaha memenuhi harapan orang lain dan selalu bersikap baik dan manis. Hingga pada titik tertentu, ia tidak sanggup lagi menjadi yang diharapkan orang lain, menjadi yang bukan dirinya. Merasa hampa. Mati adalah jalan keluar yang terpikir olehnya. Ia memilih menenggak pil tidur dosis tinggi. Cara yang ia pikirkan masak-masak, yang tidak akan terlalu merepotkan orang lain dan tidak meninggalkan bekas. Cara mati yang mungkin lebih bisa diterima ibunya. Karena jika ia melompat dari gedung tinggi atau mengerat nadinya, tentu akan menimbulkan ingatan dan kenangan buruk bagi ibunya tentang kondisi mayatnya. Lihat, bahkan untuk bunuh diri, ia masih mempertimbangkan perasaan atau akibatnya bagi orang lain--khusunya ibunya.


Veronika gagal bunuh diri dan menemukan dirinya terbangun di Villete--sebuah asylum bagi penderita sakit jiwa--setelah berhari-hari koma. Saat Veronika mengutuk dirinya yang gagal bunuh diri, Dr. Igor mengatakan padanya bahwa ia akan mati dalam waktu tak lebih dari seminggu. Jantungnya sudah rusak. Jadi, ia tak perlu mengulang usahanya bunuh diri. 


Kesadaran akan kematian membangkitkan semangat hidup. Selama menunggu kematian, Veronika sampai pada suatu kesadaran, bahwa di usianya yang tinggal beberapa hari, ia ingin melakukan hal-hal yang belum pernah ia lakukan. Ia memiliki keberanian meluapkan amarah, merasakan kebencian, dan melakukan sesuatu tanpa takut dianggap tidak sopan, mengenali serta mengakui sifat cabul di dalam dirinya yang selama ini ia pendam, dan melakukan apa yang sangat ia inginkan tanpa takut penilaian orang lain. 


Saat kesadaran akan kematian mengusiknya, pada suatu malam di mana bulan bersinar terang, Veronika menangis terisak setelah mendapat ijin dari perawat penjaga untuk memainkan piano di salah satu ruang di Villete. Ia menangis entah karena apa, mungkin menyesali atau meragukan keputusannya meminum pil-pil tersebut atau karena takut menghadapi kematian. "Ketika kuminum pil-pil itu, aku ingin membunuh orang yang kubenci. Aku tidak tahu ada Veronika lain dalam diriku, Veronika yang kusayangi." Begitu ujarnya saat perawat berkata bahwa ia tak mengerti apa yang membuat seseorang ingin mengakhiri hidupnya. "Apa yang membuat orang benci diri sendiri?" tanya perawat kemudian. "Sifat pengecut barangkali. Atau mungkin takut bertindak salah, atau tidak dapat memenuhi harapan orang lain...," jawab Veronika.


Malam itu Veronika memainkan musik secara sembarangan sebanyak puluhan kali sambil mengeluarkan perasaan negatif dalam dirinya berikut kebencian-kebencian yang selama ini ia pendam. Setelah ia merasa puas, kedamaian membungkusnya. Ia lalu memainkan sonata penghormatan pada bulan, taman, dll. Bertepatan dengan itu, alunan musiknya menarik perhatian seorang skizofrenia, Eduard. Malam-malam selanjutnya, Veronika memainkan piano atas permintaan Eduard yang menunjukkan ketertarikan pada musik. Membuat Veronika merasa memiliki seseorang yang mengerti dirinya, mimpi terbesarnya. Berawal dari piano, ditambah dengan kesadaran bahwa kematian sudah dekat bagi Veronika (tinggal 24 jam saja), dan serangkaian kejadian yang jalin-menjalin di Villete, mereka berdua memutuskan kabur untuk menikmati kembali kehidupan di luar Villete dan menyadari pentingnya memperjuangkan keinginan terbesar mereka.


Dan percayalah, kalian mungkin tak menyangka apalagi bisa menebak akhir ceritanya.


***


Selesai membaca Veronika Memutuskan Mati, saya jadi banyak berpikir tentang konsep diri sendiri. Beberapa minggu yang lalu, saya sempat membenci diri sendiri. Mengapa saya tidak bisa sepositif orang lain saat menyikapi masalah, tidak sedewasa dan senyantai orang lain dalam memandang kehidupan lengkap dengan dinamika di dalamnya, tidak punya teman sebanyak orang lain, tidak pandai menjaga hubungan baik dengan teman yang seada-adanya itu, tidak semenyenangkan dan seramah orang lain, tidak seberuntung orang lain, tidak seluwes orang lain saat berinteraksi dan menentukan sikap, dsb. 


Salah satu pemicu perasaan benci diri tersebut adalah sederhana saja. Ia muncul sebagai hasil akumulasi dari beberapa kejadian yang kurang menyenangkan yang terjadi belakangan. Salah satunya, saya merasa telah merusak suasana saat bersama dengan teman-teman, merasa sebagai orang yang tidak "asyik" dan terlalu sensitif dalam merespons sikap orang lain yang membuat saya tidak nyaman. Saya merasa tidak mampu menjadi seseorang yang diharapkan orang lain--yang bertindak dan bersikap sesuai konsensus dan etika pergaulan tak tertulis. Yang bisa memendam perasaan negatif atau paling tidak bisa mengekspresikannya dengan cara yang lebih benar.


Mungkin Veronika benar. Saya pengecut. Saya mengabaikan perasaan saya sendiri. Saya takut bertindak salah, atau tidak dapat memenuhi harapan orang lain. Mungkin karena hal-hal tersebut, kemarin-kemarin, saya benci sekali dengan diri saya.


Maka membaca Veronika Memutuskan Mati, saya seolah mendapat pembenaran (untuk menghibur diri sendiri), bahwa kadang-kadang tidak ada salahnya mengekspresikan perasaan negatif. Apalagi perasaan negatif itu muncul akibat tindakan kurang menyenangkan dari orang lain. Saya punya hak untuk protes. Atau sekedar menunjukkan pada mereka bahwa saya tidak seharusnya diperlakukan demikian. Bahwa usaha protes saya adalah salah satu cara saya menghargai dan membela diri sendiri. Jika mereka tidak bisa menerima itu, itu urusan mereka. Jika akhirnya hubungan memburuk--kemungkinan sulit untuk menerima kenyataan tersebut--tapi mungkin itu yang terbaik. Dan saya tidak perlu terlalu merasa bersalah.



Sunday, February 05, 2012

Pintu Terlarang

Entah kenapa saya begitu ingin menuliskan tentang ini. Tentang sebuah pintu khusus di kantor tercinta. Pintu yang hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu yang memiliki kartu khusus, yang berfungsi sebagai kunci bagi pintu tersebut.

Pintu ini terletak di sebuah lorong yang dulu biasa kami lewati jika hendak makan siang ke kantin. Hingga suatu hari, bertepatan dengan musim ujian nasional anak sekolah, percetakan mencetak soal-soal ujian. Oleh karena ini, pintu ini dibuat untuk memastikan keamanan dan kerahasiaan mengenai proses percetakan. Kira-kira begitu awalnya pintu ini ada, dan mungkin juga ada alasan lain.

Nah, sejak saat itu, kami terpaksa jalan memutar untuk ke kantin, yang tentunya lebih jauh. Tapi belakangan ini, kami sengaja atau memilih kebiasaan baru. Kami akan tetap lewat lorong tempat pintu khusus tersebut berada dengan cara menguntit orang yang memiliki akses melaluinya. Jika kebetulan tidak ada yang lewat, kami akan menunggu sebentar kedatangan orang dengan kartu khusus, sehingga kami tak perlu jalan memutar.

Orang-orang dengan kartu khusus ini, ada yang dengan terpaksa membiarkan kami melewati lorong tersebut, ada yang--meski melihat kami menuju pintu--dengan sengaja menutup pintu tanpa menahannya sehingga kembali terkunci, ada pula yang memang berbaik hati dengan tulus menyilakan kami lewat.

Menghadapi orang-orang tersebut di atas, tentu kami akan bersenang hati jika bertemu yang berbaik hati bahkan terharu pada seorang bapak yang tak hendak lewat tapi berkenan membukakan pintu khusus bagi kami. Dan kami akan menggerutu jika ada orang di depan kami yang membiarkan pintu tertutup/terkunci padahal ia tahu kami hendak lewat. Beruntung orang tipe ini sedikit kami temui.

Perusahaan ini terdiri dari beberapa anak perusahaan, dan pintu ini kemungkinan adalah salah satu cara untuk menandai wilayah antar anak perusahaan yang satu dan lainnya. Kadang-kadang saya berpikir, bagaimana seandainya saya berada di posisi orang-orang dengan kartu khusus tersebut. Kemungkinan besar saya akan menjadi orang-orang yang sebal atau terpaksa membiarkan pegawai anak perusahaan lain lewat pintu tersebut. Apalagi misalnya sudah jadi peraturan tak tertulis bahwa pintu tersebut memang tidak boleh diakses orang lain selain kami. Saya mungkin sebal sekali pada orang yang memaksa lewat sana padahal jelas tidak dianjurkan. Karena pertimbangan inilah, saat teman-teman saya sebal tingkat tinggi tentang orang-orang yang membanting pintu di depan kami, level sebal saya jauh di bawah mereka.

Meski begitu, bagaimana pun juga, saya sangat menghargai orang-orang yang berbesar hati menginjinkan orang lain lewat di jalur khusus mereka dengan mengabaikan peraturan demi alasan kemanusiaan, solidaritas, kesopanan, toleransi, atau semacamnya. Dan ini jadi alarm pengingat bagi diri sendiri bahwa kadang-kadang kita harus bersikap fleksibel terhadap peraturan--bahwa peraturan boleh dilanggar dengan pertimbangan situasi dan kondisi apalagi untuk alasan kemanusiaan.


Friday, February 03, 2012

kamu, aku, dan ibu


kamu pasti tidak pernah tahu tentang ini:
berbicara tentangmu adalah ikatan antara aku dan ibuku 

sejak kuputuskan berhenti bicara tentangmu
kami kesulitan menemukan tema bicara—
sama seperti dulu, saat kami belum mengenal kamu


Sunday, January 29, 2012

Fleksibilitas: Tentang (:) dan (x)

Are you flexible enough?

Kemarin, waktu dapat tugas ngedit buku non-teks berbahasa Indonesia, saya melakukan kesalahan karena mengacu pada apa yang sudah saya ketahui sebelumnya.

Jadi begini, saudara-saudara. Apa yang sudah saya ketahui adalah bahwa kalau kita menggunakan tanda baca titik dua (:), hendaknya tidak ada spasi setelah kata sebelumnya.
Misal, saat menulis '... adalah sebagai berikut: ....', setelah 'berikut' tidak ada spasi. Tapi, setelah titik dua baru boleh dan harus ada spasinya. 

Nah, mengingat hal tersebut, saat saya melihat penggunaan titik dua pada "1 : 3" (ada spasinya sebelum dan sesudah titik dua), saya menggunakan pulpen merah saya, memberi marka edit 'hapus spasi' (jadi 1:3). Setelah angka 3 tidak ada spasi karena titik dua di sini bukan pemisah yang diikuti penjelasan lanjutan--menurut pikiran saya.

Tapi, saya menjadi tidak yakin saat hampir semua titik dua yang dipakai di perbandingan selalu ada spasi. Akhirnya, saya pun bertanya pada koordinator editor sekaligus editor senior perihal titik dua ini. Beliau bilang, khusus untuk menuliskan perbandingan seperti tersebut di atas, kita hendaknya pakai spasi. Oh, baiklah. 

Dengan bekal pengetahuan baru ini, saat saya bertemu penulisan ukuran yang tanpa spasi (3x2 m), saya berinisiatif memberi marka 'tambah spasi' di sana (menjadi 3 x 2 m). Karena saya pikir, kasus tanda perkalian ini mirip dengan titik dua. Ada angka-angka yang mengapit tanda baca dan mereka sama-sama menunjukkan ukuran (ukuran perbandingan dan ukuran luas). 

Saat tengah asyik-asyiknya mengedit, seorang teman yang pernah mengedit buku penjas--yang tentunya banyak mencantumkan ukuran lapangan--bilang, "Kalau untuk ukuran kayak gini, nggak boleh pake spasi. Soalnya kemarin saya gitu pas ngedit penjas, sebelum dan sesudah tanda ini nggak boleh ada spasinya." 

"Oh, iya? Soalnya saya acuannya ke tanda titik dua dalam menulis perbandingan, saya pikir berlaku sama juga untuk tanda perkalian;" ujar saya. Oh, baiklah. Saya salah. Maka, saya membenarkannya lagi dengan memberi catatan khusus pada layouter yang akan meng-entry hasil editan mengenai tanda-tanda ini.

Dari dulu, setiap mengedit teks berbahasa Indonesia, saya sering bermasalah dengan tanda titik (.), koma (,), titik koma (;), lalu sekarang titik dua (:) dan tanda perkalian (x). Kecil sih (ukuran tanda-tanda ini), tapi repot ngeditnya. Apalagi kalau pola penggunaan tanda bacanya berulang di semua bab; yang kalau dari awal salah penggunaannya, maka berarti yang lain juga salah. Wah, bisa habis seharian hanya untuk membenarkan tanda titik di sebuah buku 6 bab.

Dan masih banyak lagi kasus-kasus yang harus menyesuaikan dengan situasi dan kondisi, belum lagi penggunaan EYD yang benar. Ayo tebak, yang benar 'jerapah' atau 'zarafah'? Kemungkinan kalian akan menjawab 'jerapah', karena inilah yang umum kita dengar. Saya pikir juga 'jerapah'. Tapi ternyata, menurut KBBI, yang benar adalah 'zarafah'. Jadi, mengedit teks berbahasa Indonesia nggak bisa dianggap remeh.

Titik dua (:) memang bukan kali (x). Jadi, tidak mesti sama aturannya. Tapi, bahkan antara sesama titik dua pun, saat digunakan dalam situasi yang berbeda, aturannya bisa berbeda. Fleksibilitas, kiranya juga berlaku di KBBI dan standar penulisan EYD. :)


Wednesday, January 25, 2012

Daun Gugur

Daun ini sudah berubah warna menjadi kuning
--daun gugur.
Ia pernah begitu hijau.
Tapi itu dulu.
Tidak lagi sekarang ini, apalagi nanti.

Adiaeu.

Sunday, January 15, 2012

(Bukan) Sumur Jalatunda


Bagi saya, Jalatunda bukanlah sebuah sumur. Meskipun nama Jalatunda sendiri adalah berarti sumur yang besar atau luas dalam bahasa Jawa. 

Dari sekian banyak objek wisata kawasan Dieng Plateau yang kami kunjungi tepat saat pergantian tahun kemarin, Sumur Jalatunda adalah objek yang paling ingin saya tulis, yang paling membuat saya penasaran. Kompleks wisata Dataran Tinggi Dieng terletak di Propinsi Jawa Tengah, dimana sebagian wilayahnya termasuk dalam Kabupaten Wonosobo (2 desa) dan sebagian lainnya dalam Kabupaten Banjarnegara (6 Desa). Dieng tepatnya terletak 2.093 M di atas permukaan laut. 

Peta Wisata Dieng di Pertigaan Dieng
Kalau ditanya kenapa sumur ini menarik bagi saya, saya juga tidak tahu pasti alasannya. Mungkin karena di sumur ini, saya mendapat informasi gratis dari seorang guide sekelompok anak-anak tentang sejarah yang bercampur mitos dan kepercayaan penduduk setempat atas keberadaan sumur ini. Sementara di lokasi lain, saya tidak mendapat informasi apapun kecuali nama lokasi objek wisata itu sendiri. Ketidaktahuan bisa membebaskanmu dari rasa penasaran. Ignorance is a bliss. Karena rasa penasaran seringkali membuat tidak tenang. Tapi usaha menuntaskan penasaran jelas bisa membebaskan. (Ah, ngomong apa sih?)

Atau mungkin, sumur ini mengingatkan saya akan Trevi Fountain di Roma—kolam cantik rancangan Bernini yang selesai dibangun di tahun 1762—yang membolehkan pengunjungnya melempar koin ke dalam kolam sambil mengucapkan keinginan dan demi nasib baik.

Tangga menuju Sumur Jalatunda

Pemerintah sudah melarang pengunjung melempar koin ke Sumur Jalatunda, lalu menggantinya dengan batu kali berukuran kecil (kerikil). Maka jangan heran, begitu kita sampai di ujung tangga yang mengantar kita ke dekat sumur, terlihat tumpukan batu yang beralas karung ala kadarnya. Harga tiap batu Rp500,00. Harga yang cukup murah untuk menguji keberuntungan.

Ya, keberuntungan. Menurut guide bersuara lantang seperti tukang obat keliling—sebut saja Bapak Tua (sebutan karangan saya sendiri)—ada kepercayaan bahwa orang yang berhasil melemparkan batu kali ke titik tertentu akan beruntung dan keinginannya akan terwujud. Adapun target lemparan berbeda antara perempuan dan laki-laki. Bagi perempuan, cukuplah ia mampu melempar batu ke tengah kolam untuk bisa dikatakan berhasil. Sementara untuk laki-laki, target lemparan tentu lebih jauh lagi, yaitu ke seberang sumur yang ditandai dengan rimbun pohon bunga berwarna ungu, yang tumbuh di sela-sela batuan tepian seberang sumur.

Bapak Tua menekankan bahwa batu yang digunakan adalah batu yang dibeli dari anak-anak Dieng di lokasi sumur ini. Jadi, jangan berpikir untuk membawa batu sendiri. Mendengar ini, saya jadi berpikir, sepertinya ini adalah salah satu cara menarik pengunjung dan menantang rasa penasaran mereka sambil meraup sedikit keuntungan dari penjualan batu kerikil.

Dan bukan Neni namanya kalau tidak penasaran dengan mitos-mitos macam ini. Meskipun terjebak antara percaya dan tidak, saya tak mau melewatkan kesempatan melempar batu ke sumur yang airnya berwarna hijau pekat ini. Lihat, wajah saya senang begitu saat melempar batu, walaupun gagal sebanyak dua kali.

Foto oleh Nia Janiar

Sumur Jalatunda
Percayalah, sumur yang diperkirakan berdiameter 90 M dengan kedalaman ratusan meter ini, terlihat mudah ditaklukan. Tapi begitu batu dilempar, ia seolah lenyap di antara rimbun pepohonan yang tumbuh di sekitar sumur, dan bukannya ke tengah.

Mas Wahyu, yang paling bersemangat dan paling bertenaga melemparkan batu pun tidak berhasil. Juga Pak Asep, Kang Agus, Nia, dan Eka. Mas Sis sepertinya tidak mencoba—saya tidak ingat melihatnya melempar batu. Pendek kata, tidak ada satu pun dari kami yang berhasil.

***

Adapun mengenai asal usul terbentuknya Sumur Jalatunda, Bapak Tua berkata bahwa ia terbentuk dari letusan gunung api yang berakibat terbentuknya kawah yang kemudian terisi air. Fenomena semacam ini hanya ada dua di dunia. Satu adalah Sumur Jalatunda ini dan yang satu lagi ada di Meksiko. (Nah, kenapa namanya bukan Kawah Jalatunda saja? Atau mungkin, ia terlalu dalam untuk disebut sebagai kawah?)

Selain menyebutkan asal usul secara ilmiah, Bapak Tua juga menceritakan mitos seputar sumur raksasa berwarna hijau ini. Alkisah jaman dulu kala ada seorang putri yang cantik jelita yang selalu mengenakan pakaian serba putih namun berperangai jahat. Ia sering meminta tumbal untuk dikorbankan dan ditenggelamkan di sumur ini. Disebutkan juga bahwa di dalam sumur ini, ada pintu gerbang yang menghubungkan ke kediaman ular setengah dewa.

Bapak Tua menutup penjelasannya dengan lantang berkata: "Dalamnya sumur bisa dikira, dalamnya hati siapa yang bisa mengira." Kira-kira begitu, saya tidak ingat dengan pasti.

***

Oh iya, mengenai larangan pemerintah melempar koin, mungkin alasannya adalah untuk menjaga keutuhan sumur ini. Saat saya browsing dalam rangka menutaskan penasaran akan sumur ini, saya sampai pada sebuah berita tentang Morning Glory Pool di Wyoming, Amerika Serikat. Menurut berita tersebut, mata air panas ini dulunya berwarna biru. Namun sekarang, mata air panas ini tidak lagi berwarna biru saja, muncul warna hijau, kuning dan bahkan merah di sekeliling mata air. Tersebutlah tren melempar koin ke mata air demi nasib baik yang menyebabkan fenomena ini. Kabarnya, koin yang dilempar ke mata air selama puluhan tahun ternyata memblokir ventilasi panas kolam dan mengurangi suhu di sana. Belum lagi bahan kimia koin yang tentunya turut menyebabkan reaksi berbeda dan menumbuhkan bakteri.

Morning Glory Pool.
Sumber foro dari sini.
Mengenai batu-batu yang dilempar ke Sumur Jalatunda, yang terpikir oleh saya adalah jika banyak orang melempar batuan selama bertahun-tahun ke depan, akankah sumur ini nantinya menjadi semakin dangkal? Atau ia akan tetap baik-baik saja, karena mungkin ada sebuah jalur yang mengalihkan batuan tersebut ke tempat atau gerbang lain dan bukannya menumpuk di dasar sumur. 

Thursday, January 12, 2012

Benci?

Aku benci kamu.
Aku benci kamu.
Aku benci kamu.

Berharap kata-kata tersebut menjelma doa yang terkabul.
Amin.




# Sometimes, it is not easy to be so in love with you.

Tuesday, January 10, 2012

Sepintas Renungan

Ada yang merasa bahwa dia mengetahui banyak hal yang tidak diketahui orang lain. Dan dia dengan senang hati "membagi" pengetahuannya itu dengan orang lain.

Tidakkah dia tahu, bahwa apa yang dia ketahui belumlah valid kebenarannya. Dan bahwa sebenarnya orang lain pun mungkin tahu apa yang ia ketahui, hanya saja orang lain tidak terlalu senang membagi-baginya apalagi menikmati proses membagi-bagi tersebut.

Karena terkadang ada hal-hal yang tak perlu diungkapkan. Karena kadang-kadang rasanya salah jika menjadikan kisah orang lain (apalagi kisah yang aib) sebagai bahan perbincangan. Karena kadang-kadang "membagi kisah" orang lain memang perlu tapi hendaknya tidak jadi kebutuhan apalagi kesenangan sehari-hari.

Ada banyak rasionalisasi yang didaulat untuk membela kesenangan membagi kisah aib ini. Tuker informasi lah. Iseng lah. Biar fun dan nggak boring lah. dsb. Yang nggak hobi "bertukar informasi" ga fun lah, boring lah...

Ini jaman bebas. Negara ini juga negara demokratis. Setiap orang bebas melakukan apa saja yang mereka suka. Dia juga boleh melakukan apa yang ia senangi. Maka saya pun bebas tidak menyukai yang jadi kesenangannya.

:)


#tulisan singkat setelah sekian lama istirahat menulis.








Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...