Thursday, December 13, 2012

Ruang

Ada sebuah rumah. Tampak sejuk dan nyaman dari luar. Pintunya terbuka, kita sama-sama melangkah masuk dan duduk di ruang tamunya yang hangat. Sofanya sederhana saja; yang jelas empuk, berwarna merah, berukuran ramping. Sungguh sesuai dengan ukuran ruang tamu yang tidak terlalu besar ini. Mejanya terbuat dari kayu yang dipelitur--cokelat tua berukir sulur-sulur yang apik. Sepertinya pesanan. Di atas meja, terpasang secarik kecil taplak meja cantik dari Turki. Lampunya tidak nyala, tapi desainnya yang sederhana serupa bunga lotus di langit-langit itu sudah menarik perhatian sejak awal. Di pojok ruangan, tampak sebuah vas keramik yang tinggi ramping. Beberapa tangkai bunga kering ditaruh di sana. Selintas tampak jaring laba-laba berkilau terkena cahaya Matahari yang masuk dari celah jendela di seberang pojokan. Di sana, semilir angin yang sebelumnya ditimang dedauanan pohon angsana berhembus memenuhi ruangan. Sejuk namun hangat dan nyaman. Bisakah kamu bayangkan kenyamanan ruang seperti itu?

Lalu kita terlena berlama-lama duduk di sana. Berbicara dan tertawa tentang banyak hal: tentang kita terutama, tentang rasa. Sesekali kita ribut tentang hal-hal kecil yang membuat kita tidak sepaham, karena kita berbeda. Kita datang dari tempat yang jauh, dari masa lalu yang juga lebih jauh lagi, lalu tak sengaja bertemu di simpang jalan dan memutuskan berjalan berdampingan. Sungguh wajar banyak hal yang kita pertentangkan, meski kadang-kadang ada juga yang diam-diam kita syukuri dan banggakan. 

Kita lupa bahwa ruang ini bukan milik kita, bahwa kita hanyalah tamu tak diundang yang lancang masuk tanpa permisi. Rumah ini terlalu menyenangkan untuk dilewati begitu saja bukan? Apalagi setelah masing-masing kita terlalu lelah melanjutkan perjalanan yang belum tampak ujungnya. Rumah ini terlalu nyaman untuk tidak disinggahi dan ditelusuri tiap ruangnya. 

Tidak semua ruang kita suka. Seperti kebanyakan rumah pada umumnya, ruang tamu adalah yang paling tertata. Ruang ini lah yang pertama-tama memberi kesan pada orang lain--tamu tentu saja. Karenanya ia harus baik, apik, bersih, mengkilap, dan nyaman. Sebagai sebuah rumah, rumah ini menjanjikan perlindungan yang cukup memenuhi syarat kenyamanan. Namun, ada bagian atau ruang tertentu yang kurang berkenan. Tumpukan cucian, makanan basi di bak pencuci piring, gudang barang yang penuh debu dan sarang laba-laba adalah beberapa di antaranya. 

Habis semua ruang kita jelajahi, kita merasa lelah dan ingin kembali saja ke ruang tamu, yang dihembus semilir angin dari luar. Yang nyaman dan menyenangkan. Ruang ini memang masih nyaman, tapi ingatan tentang dapur yang kotor dan gudang yang berdebu sudah terekam di kepala. Harusnya bukan masalah besar, bukan? Ya, memang bukan masalah besar. Toh, rumah ini pun hanya tempat kita singgah. Dan justru inilah masalah terbesarnya. Lalu, kita pun sampai pada suatu waktu dimana kita mulai merasa bahwa tempat ini bukan untuk kita. bahwa kita harus melanjutkan perjalanan. Dan pergi adalah satu-satunya pilihan yang ada. Bayangan perjalanan panjang yang harus di tempuh di depan adalah tantangan atau ketakutan yang lain lagi. 

Apalagi saat kamu bilang, bahwa kita harus berpisah di persimpangan depan!

Kamu bilang saya bebas sekarang, menentukan langkah sendiri. Tapi apa sih sebenarnya kebebasan?
Paulo Coelho bilang, "Freedom is not the absence of commitments, but the ability to choose...what is best for me."

Dalam hal ini, saya tidak bisa memilih dan tidak punya pilihan lain, kecuali menerima! 




Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...