Friday, January 30, 2009

Sendal Jepit dan Pengamen

Minggu, 14 Sept 2008--waktunya "nge-date" bareng Mbak Erna (dulunya kami 1 kost).
Ketemu di Blok M, disambut hujan angin. Untung hujan tak lama, karena Mbak Erna mengajak ke Tanah Abang. Setelah berpikir lama, dan setelah putar2 Ramayana, aku pun rela diajak ke sana meski tak niat belanja.

Sepanjang perjalanan, Mbak Erna yang hobi "mendongeng" dan sedikit "GorDes" (Gorowok Desa) tak henti2 bercerita. Aku bahkan tak menyadari kehadiran pengamen lantaran telingaku dibajak oleh suaranya. Hingga Sang Pengamen menghadapkan gitarnya ke arah kami dan memetiknya sedikit lebih keras dari yang seharusnya. Aku dan Mbak Erna saling pandang--heran.

"Kenapa??" tanya Mbak Erna dengan alis melengkung.

"Mbaknya gordes teuing sih...," jawabku asal tanpa prasangka buruk.

"Oh iya ya? Gua ga tau deh, kalau ketemu lu gordes gua keluar ... padahal kalau ma orang lain, gua mah lemah lembut...," sambung Mbak Erna juga tanpa prasangka macam2.

Dan sungguh di luar dugaan, pengamen yang buru2 menyelesaikan lagunya nyeletuk: "Tolong hargai dulu, Bu. Dengerin dulu suara orang nyanyi..."

"IIHH...apa??! Orang dari tadi juga ngobrol bedua," cetus Mbak Erna tak terima.

"Iya tapi sayanya keganggu ... hargai dulu suara orang. Satu bus suara ibu semua!" ujar Pengamen sambil menyodorkan plastik permen ke bangku depan. Dan sesampainya di bangku kami, ia masih merasa perlu membela harga dirinya: "Ga ngasih juga ga pa-pa, asal hargai aja ... ga pa-pa ga ngasih juga..."

"Ih..! Baru ini deh gua dimarahin pengamen..."

"Udah biarin aja...," jawabku pendek karena cukup shock juga dengan kejadian ini.

Untuk beberapa saat kami terdiam, tapi kemudian Mbak Erna kembali berceloteh. Mungkin untuk mengobati harga dirinya, atau mungkin juga untuk menunjukkan pada penumpang lain bahwa seorang pengamen tak bisa mempengaruhinya. Untuk menghormatinya, aku menjawab seadanya.

Setibanya di Tanah Abang; macet. Bangunan berwarna hijau yang mencolok tampak sangat dekat di depan mata, tapi tak kunjung tercapai, stuck. Akhirnya kami diturunkan beberapa ratus meter dari bangunan tersebut.

"Masih jauh ya, Mbak?"

"Ya itu, bangunan ijo itu..lu ga liat? Ga pa-pa ya jalan kaki, kan namanya juga jalan2?"

Dan aku baru tahu saat itu, bahwa aku telah salah persepsi tentang Tanah Abang. Aku pikir Tanah Abang serupa pasar2 kain tradisional dengan los2 panjang berjajar. Eh ternyata, serupa Pasar baru di Bandung, bahkan lebih wah untuk model bangunannya.

Sebelum sampai di Bangunan Hijau tersebut, aku dan Mbak Erna mampir di Masjid karena sudah waktunya Dzuhur. Aku melamun sambil menunggu Mbak Erna selesai shalat. Maklum mood ku sedang tidak bagus hari ini.

"Lu ngelamun aja, lu... Gua yang dimarahin pengamen, kok jadi lu yang menderita gitu... biasa aja kali, gua aja biasa."

Aku tertawa mendengarnya.

Selesai shalat, di pintu masjid, Mbak Erna bilang: "Neni, sendal gua ga ada... Neni?"

"Hah? Ga ada Mbak?" aku membeo.

"Ga ada.."

"Nah lho... ada yang minjem kali. Ke kamar mandi..."

Dan saat itu juga, kami merasa berkepentingan pada setiap orang yang keluar dari kamar mandi. Satu-persatu jamaah keluar dari kamar mandi, dan tak ada yang memakai sendal Mbak Erna.

"Ya ampun Mbak, padahal sendal Mbak jelek ya? Ga diliat gitu ada jarum pentolnya tiga? Gimana kalau bagus ya, Mbak?"

Mbak Erna terbahak, "Iya ga diliat gitu, tapaknya udah dalam gitu?"

"Rupanya, di sini akhir sendal itu, Mbak. Mbak kayaknya kehilangan banget ya, Mbak?"

"Iya, soalnya tuh sendal udah berjasa banget buat gua. Udah 6 bulan dia menemani gua kemana-mana."

Maklum sodara-sodara, sendal Mbak Erna yang berwarna Pink agak keungu-unguan itu adalah andalannya. Sendal tersebut telah sangat setia menemani langkah Mbak Erna dari mulai ke kamar mandi, ke kantor, jalan2 ke bogor, bahkan ke bank! Terakhir bertemu, pentol yang dipakai untuk menahan tali yang putus hanya dua ... dan pada pertemuan kali ini, Mbak Erna mengumumkan pentolnya sudah tiga. Dan selalu, setiap jalan bareng Mbak Erna dia pasti sesekali minta berhenti dan bilang: "Tunggu Neni ... Sendal gua, Neni..."
Dan kalau sudah begitu, aku selalu bilang : "Ya ampun Mbak, jangan malu2in saya dong, kalau putus saya mah bakal pura2 ga kenal Mbak ah..." Mbak Erna selalu tertawa mendengarnya.
*
"Gimana dong, Neni?"

"Ya udah tunggu bentar lagi aja..." Dan saat itu, aku melihat sendal jepit karet berwarna ungu full-color. Sebelumnya aku sudah melihatnya, tapi baru pada detik ini aku mendapat feeling : "Mbak, jangan2 ketuker sama yang ini?"

"Iya gitu?"

"Kayaknya iya, kan warnanya hampir sama. Kalau feeling saya mah kayaknya ketuker deh..."

"Feeling lu lagi bener ga? Gua takut dosa."

"Ga tau deh. Tapi kayaknya iya deh, Mbak ... Soalnya kalau orang niat ngambil pasti ngambilnya yang agak bagus, bukan sendal Mbak yang pentolnya ada tiga ... iya kan?"

Mbak Erna diam, berpikir.

"Aduh maaf ya, Mbak ... Saya mah orangnya jujur..."

Akhirnya kami putuskan untuk menunggui orang2 shalat, kalau2 ada salah satu diantara mereka yang memiliki sendal ini. Tapi, setelah beberapa orang yang seangkatan/berbarengan datangnya dengan kami meninggalkan masjid dan tak ada satupun yang melirik sendal tersebut, kami berpandangan:

"Gimana nih, Neni? Gua takut dosa pakai sendal orang."

"Ga tau deh Mbak, feeling saya mah ketuker sama yang tadi... tapi saya takut salah, tar saya ikut dosa lagi... Feeling Mbak gimana?"

"Gua ga da feeling!"

Akhirnya, Mbak Erna terpaksa memakai sendal tersebut.

"Mbak kayaknya kehilangan banget ya Mbak? Saya mah kebayangnya, kalau sendal itu dah benar2 ga bisa dipake, kayaknya bakal Mbak kubur. Ini mah gimana mau nguburnya ya Mbak, jasadnya aja ga ada."

"Iya, gua mah ga akan ngelepasin tuh sendal sampai dia benar2 ga bisa dipake lagi."

Pernah terlintas membelikan Mbak Erna sendal baru, sekalian kenang2an kalau2 dia jadi kembali ke Padang dan kerja di sana. Tapi, ga semudah itu memberi sendal pada Mbak Erna. Mbak Erna punya koleksi sendal lain, ia juga cukup mampu beli yang baru. Masalahnya adalah Mbak Erna sepertinya telah jatuh hati pada sendal ini. Kalaupun ia membeli sendal baru yang persis sama, aku tak yakin Mbak Erna akan menyayangi sendal baru itu seperti ia menyayangi sendal yang hilang.

Mbak Erna tipe orang yang sangat memilih segala sesuatu yang masuk dalam kehidupannya. Memilihnya dengan hati dan benar2 menjaga pilihan hatinya. Pernah aku dan Mbak Erna beli tas, dan tas yang ia beli belum pernah dipakainya dengan alasan ia sangat suka tas itu. Tas berwarna coklat, dengan aksen manik2 dan bulu2 benang. Ia sangat takut manik2nya lepas dan bulu2nya rontok! Tas yang jika didiskon hingga 95% sekalipun, tak kan pernah terpikir untuk kubeli! Karena aku tak akan punya cukup rasa percaya diri untuk menyandangnya; karena aku tak mau mengundang perhatian orang2 dengan manik2 dan bulu2nya...dll.

Orang bilang : 'U'll never know what you've got till it's gone." Buat Mbak Erna, kata2 ini ga berlaku karena ia tahu pasti apa yang dia punya, dan walau pun begitu (atau justru karena itu), dia tetap merasa sangat kehilangan.

Thursday, January 29, 2009

Membaca Pikiran Mustafa

Sabtu, 24 Januari 2009.

Hari ini di harian Kompas, aku tak bisa berhenti memandangi sebuah foto lagi dan lagi. Ada seorang anak kecil bernama Mustafa (5) sedang duduk dalam posisi jongkok dengan latar belakang reruntuhan bangunan. Gaza-Palestina nama tempat ia berada. Dan reruntuhan tersebut adalah rumahnya yang terkena bom pada tanggal 27 Desember 2008. Foto Mustafa diambil pada hari Jumat, 23 Januari 2009.

Seperti yang terlihat di foto, tatapan mata Mustafa kosong. Tangan kanannya memegangi paha kanan, sementara tangan kirinya, dengan keempat jari terkepal, menutup bibirnya. Sedangkan jempolnya berkhianat dari keempat jari lain saat ia memutuskan menekan pipi Mustafa.

Melihat ekspresi Mustafa, aku seolah tersihir. Tak bisa berpaling dari memandangi wajah polosnya untuk waktu yang cukup lama. Dengan tatapan kosong, dan jari-jari yang membekap mulutnya, gaya melamun Mustafa tampak seperti gaya melamun seorang dewasa. Aku tiba-tiba jadi sangat penasaran, kira-kira gerangan apa yang sedang dipikirkan anak sekecil ini, yang duduk di antara reruntuhan rumahnya.

Dan aku mendadak kehilangan kemampuan mengira-ngira... Aku tak punya ide meski hanya untuk mengira-ngira... Atau aku tak tega atau tak berani mengira-ngira pikiran anak ini.

Semakin aku mencoba mengira-ngira, semakin mataku berkaca-kaca.

Akhirnya kuputuskan menyerah. Aku hanya bisa berdoa semoga Mustafa masih percaya pada kekuatan doa dan masih menjaga mimpi kanak-kanak yang semoga tak senasib dengan rumahnya. Agar ia masih bisa berdiri menyambut esok hari (meski tak pasti).

Bukankah doa dan mimpi (yang bisa menjadi motor sebuah atau serangkaian aksi) bisa menembus batas-batas kemustahilan, menghancurkan dinding penghalang, melesat melampaui kenyataan (yang dikenal orang kebanyakan), atau (khusus untuk Mustafa) mungkin mimpi bisa sekedar membuatnya percaya bahwa esok yang lebih baik pastilah ada.

Wednesday, January 28, 2009

Suatu Pagi...

Pagi ini, Minggu 18 Januari 2009, rasanya sayang menghabiskan waktu dengan berbaring. Cuaca Jakarta sedang sangat menyenangkan. Hujan semalam menyisakan hawa sejuk dan segar dan langit biru cerah dan matahari yang ramah dan tanah yang lembab basah.

Seperti cuaca pagi di Bandung Utara; tempat yang masih sangat kusuka dan sering kurindukan.

Aku pun tak menyiakan momen ini. Kuputuskan duduk di pintu kamar, menikmati cuaca yang tidak biasa menyelimuti Jakarta. Dari balik teralis melingkar--yang jika hujan menjadi cabang tempat mutiara-mutiara air bertahta--aku melihat beberapa anak laki-laki menaiki metromini yg belum beroperasi dan diparkir tak jauh dari kamarku. Seorang anak laki-laki yang dahinya tertutup rambut dan bermata sipit memandu teman-temannya untuk naik metromini dan bertingkah layaknya seorang kenek sungguhan.

Aku tertawa sendiri melihat tingkahnya yang begitu menghayati peran. Terlebih saat ia berdiri di pintu metromini, dengan satu tangan berpegang pada besi yang melintang di atas kepalanya, sementara tangan yang lain menunjuk-nunjuk ke depan seolah ia melihat penumpang dan menawarkan tumpangan. Ia pun berteriak, "Psar... psar... psar". Tentu saja penumpang itu khayalan, dan laju bus pun hanya khayalan. Tujuan pun khayalan, karena tidak ada kenek yang menyebut "Pasar" saja, sebab ada banyak pasar di Jakarta.

Sementara kenek menunjuk-nunjuk ke luar, penumpang lain duduk dengan tenang di dalam metromini. Lalu, seorang penumpang meminta turun, diikuti semua penumpang lain. Dengan fasih, sang kenek berteriak, "Kiri... Kiri... Kiri". Tak lupa ia melambai-lambaikan tangan, sambil tubuhnya condong ke sisi luar. Ia berhenti melambai, dilanjutkan dengan memukul-mukul badan metromini, dan melongok ke arah bangku supir yang kosong, seolah ingin mengintimidasi supir yang juga khayalan untuk mengindahkan ia punya permintaan. Saat mobil belum berhenti (menurut perkiraannya sendiri), ia menghalangi penumpangnya untuk tidak terburu-buru turun. Para penumpang pun menurut sambil melongok ke depan, seolah mereka memang harus berhati-hati dengan kendaraan lain di depan sana. Sang kenek melambaikan tangan lagi, demi menjaga keamanan penumpang, yang turun bergantian.

Kiraku, jalan yang mereka tempuh adalah jalur dua arah, dan sepertinya metromini berhenti di tengah-tengah. Jika jalur searah, penumpang dan kenek yang melambaikan tangan akan melihat ke belakang dan bukan ke depan.

Tak lama, melintas seorang anak bersepeda dari arah depan. Oh rupanya anak ini yg mereka pandangi, yang membuat mereka kompak memandang ke satu arah. Satu adegan yang mempertajam harmoni drama ini.

Saat pengendara sepeda melintas di depan mereka, sang Kenek pun menyilakan penumpangnya turun. Ia memegangi bahu setiap mereka yang turun, sebentuk asistensi sebagai wujud dedikasi.

Mereka (termasuk kenek) kemudian berlari mengejar si pesepeda; mengakhiri drama, meninggalkan metromini yang mendadak sepi tiada sesuara.

Aku masih tersenyum sendiri mengingat momen saat sang Kenek menunjuk-nunjuk penumpang khayalan yang berdiri di pinggir jalan yang juga khayalan. Tiba-tiba, terlintas dalam kesadaran bahwa setiap profesi--sesederhana apa pun itu--membutuhkan keterampilan. Seorang kenek baiknya lincah dan gesit memandu dan melindungi penumpang saat mereka naik/ turun, terlebih jika metromini berhenti di tengah jalan di antara kendaraan lain yang kebanyakan berlomba menguasai jalanan. Seorang kenek juga hendaknya bersuara lantang agar bisa berteriak keras, cepat, tegas, dan jelas (setidaknya jelas untuk dirinya sendiri). Mungkin, kenek pun belajar teknik bagaimana membuat irama ketukan koin pada rangka metromini baik itu pada kaca, besi, atau dindingnya sebagai tanda kepada supir untuk berhenti. Ia juga mungkin belajar, bagaimana menggoyang beberapa koin di genggaman agar penumpang tahu ia sedang menagih, dan sepertinya ia juga belajar bagaimana teknik mencolek bahu penumpang yang sedang melamun hingga lupa membayar... :->

Seekor Kupu-kupu dan Gerombolan Semut

Pada suatu perjalanan dari Jakarta menuju Bandung, aku menjadi saksi perjuangan bertahan hidup antara dua makhluk kecil. Saat itu hari pertama long weekend (4 hari). Alhasil, kemacetan tol Cipularang sudahlah suatu kewajaran bahkan keharusan.
Travel yang kutumpangi stuck! Diam di tempat, sama seperti puluhan kendaraan yang menyemut di depan dan di belakang travel.

Dan fenomena ini berakibat pada lahirnya fenomena lain. Aku melihat banyak pria keluar dari mobil, menyingkir ke semak-semak tepi jalan dan membuang hajat di antara rimbun dedaun liar! Sangat banyak! Dari ujung depan maupun ujung belakang, dari sisi kanan maupun kiri jalan. Tapi jangan bayangkan mereka berdiri berjajar, jaraknya berjauhan antara satu pria dan pria lain, dan mereka menyingkir bergantian, tidak serempak. Dan aku yang sejak awal bertekad menikmati perjalanan hari ini harus memalingkan wajah dari pemandangan tersebut, demi menjaga keindahan/ esensi perjalanan. Apa bagusnya menyaksikan punggung laki-laki di semak-semak? Ups..tapi bukan berarti aku ingin melihat bagian depan mereka saat itu, lho.. :-P

Jadilah aku memandangi rerumputan di sisi mobil melalui jendela yang tertutup. Aku melihat seekor kupu-kupu putih yang sedang hinggap di hijau rumput tepian jalan beraspal. Aneh. Tidak biasanya kupu-kupu hinggap berlama-lama di rerumputan, di dekat aspal pula. Lama kuperhatikan, aku merasa ganjil dengan kelincahan si kupu-kupu. Ia mengepak-ngepakkan sayapnya tapi tidak kemana-mana. Hanya sedikit bergeser ke kiri, ke depan, ke kanan, lalu sedikit berputar di tempat itu juga. Mungkinkah sayapnya terluka, tanyaku dalam hati. Kemudian, samar-samar aku melihat sesuatu bergerak di dekat kupu-kupu, di sekitar aspal berbalut pasir. Kutempelkan dahiku ke kaca mobil untuk menyiasati penglihatan. Dan aku melihat segerombol semut merah mengepung si kupu-kupu. Mereka berusaha mencabik sayapnya yang tipis rapuh dan mengoyak tubuhnya yang lunak. Gerakan lincah yang ganjil rupanya bentuk usaha kupu-kupu untuk membebaskan diri dari semut-semut. Dan sepertinya kupu-kupu itu lelah dan mungkin sebentar lagi menyerah, karena kulihat makin lama ia makin tak lincah.

Aku tak tahu apakah kupu-kupu ini sudah terluka atau cacat sayap, saat semut menyerangnya. Atau apakah memang sejak awal semut menyerangnya lebih dulu, lalu berusaha menyantapnya. Jika yang pertama adalah sebab prosesi ini, sungguh tragis nasib kupu-kupu harus berakhir di perut puluhan semut kecil, yang mungkin tidak pernah diketahuinya ada. Jika yang kedua jawabannya, betapa semut sekecil itu bisa berbahaya bagi seekor kupu-kupu yang bersayap, yang badannya puluhan kali lebih besar dari mereka. Kebersamaan gerombolan semut, meneguhkan kekuatan mereka.

Demikianlah aku menjadi saksi pertarungan antara gerombolan semut dan kupu-kupu. Bayangkan, satu gigitan semut merah saja bisa menyusahkan kita, apalagi untuk seekor kupu-kupu, digigit semut beramai-ramai pula.

Aku sempat bertanya-tanya, apakah kupu-kupu ini pernah melakukan kesalahan selama hidupnya hingga berakhir tragis? Atau mungkin semut-semut telah berusaha giat mendapatkan makanan selama berhari-hari dengan tekun dan sabar, hingga akhirnya mereka diganjar seekor kupu-kupu? Atau kupu-kupu pernah berdoa agar ia mati dalam keadaan berguna, dan menjadi makanan semut adalah jalannya?

Apapun itu, aku hanya mencoba percaya... Kejadian ini memang perlu terjadi untuk sebuah alasan atau beberapa alasan yg baik--bagi kupu-kupu, bagi semut-semut, dan bahkan bagi diriku sendiri.

* Renungan Sabtu, 17 Januari 2009.

Friday, January 23, 2009

Bunga Mata Bidadari

Pagi ini, di balkon depan kamarku, aku menemukan tiga kuntum bunga berkelopak lima yang berwarna merah muda. Aku tidak tahu namanya. Dan aku pun bertanya-tanya bagaimana bisa mereka terdampar di depan kamarku? Sepertinya, mereka terbawa angin yang mengiringi hujan semalaman. Ya, inilah kemungkinan satu-satunya. Inilah alasan paling masuk akal tentang bagaimana mereka bisa mampir ke sini dan menyapaku pagi ini. Eh, tunggu dulu… Bukankah hidup ini disusun oleh banyak kemungkinan-kemungkinan? Rasanya tidak adil bagi angin jika aku menuduhnya merenggut bunga ini dan mencampakkannya di sini. Tentu ada alasan lain selain terbawa angin, yang membuat bunga ini tersungkur menabrak dinding kamarku. Tidak adil juga bagi kuntum-kuntum bunga jika aku hanya mengira perjalanan yang telah mereka tempuh hanya sejauh akalku saja.

Baiklah aku akan mulai memikirkan kemungkinan lain tentang bagaimana perjalanan mereka sejak tercerabut dari tangkai hingga tiba di sini. Mungkin … Semalam, saat hujan membasuh bumi, ada seorang bidadari tersasar ke balkon depan kamarku. Hujan membuatnya kesulitan membaca arah. Angin hanya menghalangi kepak sayap selendangnya menuju langit antah berantah. Untuk sejenak, bidadari memilih mengalah, duduk bersandar di balkon kamarku yang tak selamat dari serbuan hujan angin yang pantang menyerah. Ia duduk meringkuk sambil menggigil, dan berdoa hujan segera berhenti tercurah.

Tapi bersamaan dengan itu ia tersadar; semakin lama hujan turun membasuh bumi, langit semakin kelam menyembunyikan bintang-bintang yang biasa jadi pemandu arah. Bau tanah basah mengaburkan wangi langit antah berantah. Bidadari menjadi gelisah. Selendang pun telah seluruhnya basah. Ia merasa kalah. Tak tahu bagaimana mengambil langkah. Air matanya tumpah; berleleran menyentuh air hujan yang terus tercurah. Jadilah, air mata pun berubah menjadi bunga berwarna cerah. Bunga inilah, yang wanginya mampu menembus bau tanah, menjadi petunjuk bagi enam bidadari lain yang mencarinya dengan resah. Bidadari berubah sumringah saat melihat ke-enam wajah saudarinya yang tak kalah cerah.

Mereka pun pulang ke negeri antah berantah. Selendang basah tak jadi masalah, karena mereka melesat bergandengan sambil menyamakan langkah. Dalam hati, mereka berjanji takkan bermain hingga sore hari saat hujan sering tumpah. Sebelum hilang ditelan antah berantah, bidadari memandang ke bawah, tersenyum pada bunga matanya yang berwarna cerah, yang tertinggal di balkon kamarku yang basah. Hingga aku menemukan mereka saat langit pagi demikian indah, setelah semalaman menyebar hujan tanpa lelah. Atau, mungkin juga…


NOTE :
Sewaktu kecil nenekku pernah mendongengkan kisah bidadari yang saat menangis airmatanya berubah menjadi bunga. Sayang aku tak ingat kisah lengkapnya. Tapi yang pasti, bunga yang kutemukan di balkon kamar adalah bunga yang sama yang disebut-sebut nenekku sebagai bunga yang berasal dari airmata bidadari.

Sunday, January 18, 2009

DUA GELAS KOPI DI ATAS ASPAL

Selasa, 18 November 2008.

Seperti biasa, sejak kantor pindah pada bulan Maret lalu, aku berjalan kaki menuju kantor (tidak lagi naik “metromini setan”). Sebuah rutinitas: jalan yang sama, polisi cepek yang sama, pangkalan ojek yang sama, dan aku pun melihat gerobak sampah yang sama yang sesekali kujumpai dalam perjalanan menuju kantor. Sebuah gerobak buatan yang dicat bertotol-totol warna pastel di atas permukaan seng yang menjadi dindingnya. Masih kosong atau mungkin setengah isi. Tak jauh dari gerobak totol ini, parkir pula gerobak sampah lain—yang biasa dipakai oleh pengangkut sampah pada umumnya—menghadap ke arah bertentangan dengan gerobak totol.

Aku melangkah agak ke tengah jalan karena gerobak totol menghalangi jalanku. Dan betapa terkejutnya aku atau mungkin terpana atau apalah namanya saat aku melihat dua orang laki-laki duduk diantara dua gerobak sampah tersebut. Dua lelaki pemilik gerobak yang duduk santai menghadapi dua gelas kopi panas! Laki-laki yang berkumis tebal dan hitam dan mata besar—pemilik gerobak komersil—menyapaku ramah sambil mengaduk kopinya. Laki-laki yang seorang lagi—pemilik gerobak totol—mengikuti arah pandang temannya; juga tersenyum, juga sambil mengaduk segelas kopi miliknya. Sementara tangan kanan mengaduk kopi, tangan kiri mereka memegang gorengan. Sekilas tampak seperti pisang goreng.

Aku membalas tersenyum sambil gegas berlalu, ada sedikit rasa tak tega menyaksikan pemandangan di tepi jalan ini. Tapi, hanya dalam hitungan detik, saat otakku sudah sukses mencerna dan menerjemahkan keceriaan di wajah dua lelaki tadi—yang tidak sedikit pun merasa sungkan atau minder—rasa iba menguap begitu saja. Kecerian di wajah dua lelaki tadi menulariku, menjalar hingga ke hati dan membuatnya hangat.

Kuperlukan menengok sekali lagi, dan kulihat dua laki-laki pengangkut sampah tadi sedang bercakap-cakap (tampak samping). Aku juga masih melihat dua gelas kopi panas dan sebotol aqua ukuran 1 liter dan sekantung plastik hitam berisi gorengan tersaji begitu saja di atas aspal.

Sungguh masih banyak kebahagiaan yang tak terbeli dengan uang. Atau betapa banyak cara berbahagia meski dalam keterbatasan.

Sarapan di pinggir jalan dengan menu segelas kopi panas dan sedikit gorengan bersama seorang teman se-profesi; siapa yang bisa membeli momen sederhana tapi cukup menghangatkan hati ini?!
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...