Friday, January 30, 2009

Sendal Jepit dan Pengamen

Minggu, 14 Sept 2008--waktunya "nge-date" bareng Mbak Erna (dulunya kami 1 kost).
Ketemu di Blok M, disambut hujan angin. Untung hujan tak lama, karena Mbak Erna mengajak ke Tanah Abang. Setelah berpikir lama, dan setelah putar2 Ramayana, aku pun rela diajak ke sana meski tak niat belanja.

Sepanjang perjalanan, Mbak Erna yang hobi "mendongeng" dan sedikit "GorDes" (Gorowok Desa) tak henti2 bercerita. Aku bahkan tak menyadari kehadiran pengamen lantaran telingaku dibajak oleh suaranya. Hingga Sang Pengamen menghadapkan gitarnya ke arah kami dan memetiknya sedikit lebih keras dari yang seharusnya. Aku dan Mbak Erna saling pandang--heran.

"Kenapa??" tanya Mbak Erna dengan alis melengkung.

"Mbaknya gordes teuing sih...," jawabku asal tanpa prasangka buruk.

"Oh iya ya? Gua ga tau deh, kalau ketemu lu gordes gua keluar ... padahal kalau ma orang lain, gua mah lemah lembut...," sambung Mbak Erna juga tanpa prasangka macam2.

Dan sungguh di luar dugaan, pengamen yang buru2 menyelesaikan lagunya nyeletuk: "Tolong hargai dulu, Bu. Dengerin dulu suara orang nyanyi..."

"IIHH...apa??! Orang dari tadi juga ngobrol bedua," cetus Mbak Erna tak terima.

"Iya tapi sayanya keganggu ... hargai dulu suara orang. Satu bus suara ibu semua!" ujar Pengamen sambil menyodorkan plastik permen ke bangku depan. Dan sesampainya di bangku kami, ia masih merasa perlu membela harga dirinya: "Ga ngasih juga ga pa-pa, asal hargai aja ... ga pa-pa ga ngasih juga..."

"Ih..! Baru ini deh gua dimarahin pengamen..."

"Udah biarin aja...," jawabku pendek karena cukup shock juga dengan kejadian ini.

Untuk beberapa saat kami terdiam, tapi kemudian Mbak Erna kembali berceloteh. Mungkin untuk mengobati harga dirinya, atau mungkin juga untuk menunjukkan pada penumpang lain bahwa seorang pengamen tak bisa mempengaruhinya. Untuk menghormatinya, aku menjawab seadanya.

Setibanya di Tanah Abang; macet. Bangunan berwarna hijau yang mencolok tampak sangat dekat di depan mata, tapi tak kunjung tercapai, stuck. Akhirnya kami diturunkan beberapa ratus meter dari bangunan tersebut.

"Masih jauh ya, Mbak?"

"Ya itu, bangunan ijo itu..lu ga liat? Ga pa-pa ya jalan kaki, kan namanya juga jalan2?"

Dan aku baru tahu saat itu, bahwa aku telah salah persepsi tentang Tanah Abang. Aku pikir Tanah Abang serupa pasar2 kain tradisional dengan los2 panjang berjajar. Eh ternyata, serupa Pasar baru di Bandung, bahkan lebih wah untuk model bangunannya.

Sebelum sampai di Bangunan Hijau tersebut, aku dan Mbak Erna mampir di Masjid karena sudah waktunya Dzuhur. Aku melamun sambil menunggu Mbak Erna selesai shalat. Maklum mood ku sedang tidak bagus hari ini.

"Lu ngelamun aja, lu... Gua yang dimarahin pengamen, kok jadi lu yang menderita gitu... biasa aja kali, gua aja biasa."

Aku tertawa mendengarnya.

Selesai shalat, di pintu masjid, Mbak Erna bilang: "Neni, sendal gua ga ada... Neni?"

"Hah? Ga ada Mbak?" aku membeo.

"Ga ada.."

"Nah lho... ada yang minjem kali. Ke kamar mandi..."

Dan saat itu juga, kami merasa berkepentingan pada setiap orang yang keluar dari kamar mandi. Satu-persatu jamaah keluar dari kamar mandi, dan tak ada yang memakai sendal Mbak Erna.

"Ya ampun Mbak, padahal sendal Mbak jelek ya? Ga diliat gitu ada jarum pentolnya tiga? Gimana kalau bagus ya, Mbak?"

Mbak Erna terbahak, "Iya ga diliat gitu, tapaknya udah dalam gitu?"

"Rupanya, di sini akhir sendal itu, Mbak. Mbak kayaknya kehilangan banget ya, Mbak?"

"Iya, soalnya tuh sendal udah berjasa banget buat gua. Udah 6 bulan dia menemani gua kemana-mana."

Maklum sodara-sodara, sendal Mbak Erna yang berwarna Pink agak keungu-unguan itu adalah andalannya. Sendal tersebut telah sangat setia menemani langkah Mbak Erna dari mulai ke kamar mandi, ke kantor, jalan2 ke bogor, bahkan ke bank! Terakhir bertemu, pentol yang dipakai untuk menahan tali yang putus hanya dua ... dan pada pertemuan kali ini, Mbak Erna mengumumkan pentolnya sudah tiga. Dan selalu, setiap jalan bareng Mbak Erna dia pasti sesekali minta berhenti dan bilang: "Tunggu Neni ... Sendal gua, Neni..."
Dan kalau sudah begitu, aku selalu bilang : "Ya ampun Mbak, jangan malu2in saya dong, kalau putus saya mah bakal pura2 ga kenal Mbak ah..." Mbak Erna selalu tertawa mendengarnya.
*
"Gimana dong, Neni?"

"Ya udah tunggu bentar lagi aja..." Dan saat itu, aku melihat sendal jepit karet berwarna ungu full-color. Sebelumnya aku sudah melihatnya, tapi baru pada detik ini aku mendapat feeling : "Mbak, jangan2 ketuker sama yang ini?"

"Iya gitu?"

"Kayaknya iya, kan warnanya hampir sama. Kalau feeling saya mah kayaknya ketuker deh..."

"Feeling lu lagi bener ga? Gua takut dosa."

"Ga tau deh. Tapi kayaknya iya deh, Mbak ... Soalnya kalau orang niat ngambil pasti ngambilnya yang agak bagus, bukan sendal Mbak yang pentolnya ada tiga ... iya kan?"

Mbak Erna diam, berpikir.

"Aduh maaf ya, Mbak ... Saya mah orangnya jujur..."

Akhirnya kami putuskan untuk menunggui orang2 shalat, kalau2 ada salah satu diantara mereka yang memiliki sendal ini. Tapi, setelah beberapa orang yang seangkatan/berbarengan datangnya dengan kami meninggalkan masjid dan tak ada satupun yang melirik sendal tersebut, kami berpandangan:

"Gimana nih, Neni? Gua takut dosa pakai sendal orang."

"Ga tau deh Mbak, feeling saya mah ketuker sama yang tadi... tapi saya takut salah, tar saya ikut dosa lagi... Feeling Mbak gimana?"

"Gua ga da feeling!"

Akhirnya, Mbak Erna terpaksa memakai sendal tersebut.

"Mbak kayaknya kehilangan banget ya Mbak? Saya mah kebayangnya, kalau sendal itu dah benar2 ga bisa dipake, kayaknya bakal Mbak kubur. Ini mah gimana mau nguburnya ya Mbak, jasadnya aja ga ada."

"Iya, gua mah ga akan ngelepasin tuh sendal sampai dia benar2 ga bisa dipake lagi."

Pernah terlintas membelikan Mbak Erna sendal baru, sekalian kenang2an kalau2 dia jadi kembali ke Padang dan kerja di sana. Tapi, ga semudah itu memberi sendal pada Mbak Erna. Mbak Erna punya koleksi sendal lain, ia juga cukup mampu beli yang baru. Masalahnya adalah Mbak Erna sepertinya telah jatuh hati pada sendal ini. Kalaupun ia membeli sendal baru yang persis sama, aku tak yakin Mbak Erna akan menyayangi sendal baru itu seperti ia menyayangi sendal yang hilang.

Mbak Erna tipe orang yang sangat memilih segala sesuatu yang masuk dalam kehidupannya. Memilihnya dengan hati dan benar2 menjaga pilihan hatinya. Pernah aku dan Mbak Erna beli tas, dan tas yang ia beli belum pernah dipakainya dengan alasan ia sangat suka tas itu. Tas berwarna coklat, dengan aksen manik2 dan bulu2 benang. Ia sangat takut manik2nya lepas dan bulu2nya rontok! Tas yang jika didiskon hingga 95% sekalipun, tak kan pernah terpikir untuk kubeli! Karena aku tak akan punya cukup rasa percaya diri untuk menyandangnya; karena aku tak mau mengundang perhatian orang2 dengan manik2 dan bulu2nya...dll.

Orang bilang : 'U'll never know what you've got till it's gone." Buat Mbak Erna, kata2 ini ga berlaku karena ia tahu pasti apa yang dia punya, dan walau pun begitu (atau justru karena itu), dia tetap merasa sangat kehilangan.

4 comments:

- said...

Hahahaha :D gokil banget. Terus pulangnya gimana? Telanjang kaki alias nyeker? Atau nekat pakai sandal ungu itu?

ps: Titip ya, buat si Mbak Erna. Saya turut berduka cita atas kepergian sandal jepit kesayangannya T_T

Neni said...

Mbak erna dengan berat hati pulang dengan sandal ungu. Tapi sebulan kemudian tuh sendal dibalikin lagi ke masjid, karena dia ga enak nyimpennya apalagi untuk dipake.

Iya...nanti saya salamin deh...hehe... =)

- said...

Neni, lama tidak post. Sibuk ya? :)

Neni said...

No idea, mbak....hehehe...
jadi malu.... =)

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...