Monday, June 30, 2014

Free Writing Bersama Caca & Lala: Pizza Rasa Cinta!


Bisa dibilang ini kali pertama saya menulis bersama anak-anak. Siapa sangka, ternyata saya pun belajar beberapa hal dari mereka.

Suatu pagi menjelang siang (24/6), Caca masuk ke kamar sambil main game di HP saya. Saya pun melihat kesempatan mengajak Caca dan Lala untuk menulis bersama. Awalnya saya cerita pada Caca bahwa saya sering mengirim kuis ke majalah sewaktu masih kecil dan mendapat hadiah. Saya juga menulis artikel dan pernah dimuat juga, bahkan saya bisa jalan-jalan gratis karena saya menulis. Lalu saya menunjukkan buku kumpulan cerpen bersama teman-teman klub nulis di Bandung berjudul A to Z by Request--buku yang diterbitkan pertama yang mencetak nama saya, meski hanya menyumbang 1 cerpen saja.

Melihat nama saya tertera di sana, Caca tertarik membacanya. Ia pun membawa buku tersebut ke ruang tamu. Tak lama, mamanya datang dan melihat buku tersebut. Eh, kakak ipar pun tertarik membaca dan meminjamnya untuk dibawa pulang. Caca sempat bilang, "Yah bukunya dibawa Mama, padahal Caca pengen baca."

Mendengar ini, saya lalu mengajaknya untuk belajar menulis saja. Saya menceritakan bahwa konsepnya akan sama dengan kegiatan menulis bersama dengan teman-teman di klub nulis. Meski ragu-ragu, Caca akhirnya mau juga, termasuk Lala yang baru masuk kamar.

Seperti yang sudah disebutkan, prosedurnya mengadopsi apa yang saya praktekkan di klub nulis RLWC. Thanks to RLWC. Saya menentukan tiga tema (cupcakes, pizza, dan boneka anjing) yang ditulis dikertas lalu digulung dan diundi. Saya kasih waktu 10 menit. Selesai menulis, kami membacakan karya kami secara bergantian sesuai hasil 'hom-pim-pah'. Saya juga merekam suara mereka membacakan tulisan masing-masing.

Pada sesi pertama, Lala mendapat giliran pertama membaca. Ia begitu malu-malu membacakan ceritanya. Saat menulis pun ia banyak komentar, "Nulisnya gimana?" Saya mengusulkan, "Ya tulis aja, apa pun. Tulis aja 'duh nulis apa ya, misalnya.". Alhasil, tulisannya pun singkat saja. Di bawah ini nanti adalah tulisannya yang kedua. Setelah mendengar tulisan Aunty dan kakaknya, ia jadi lebih bersemangat menulis. Kami bahkan melewati 4 atau 5 kali sesi menulis, karena Lala minta nulis lagi dan lagi.

Berikut adalah beberapa hal yang saya pelajari kemarin:

Jujur dan apa adanya adalah hal pertama khas anak-anak. Itu pula yang saya rasakan saat saya mendengar tulisan mereka. Ada kesan tersendiri yang ditangkap oleh indera saat saya mendengar cara mereka menerjemahkan tema ke dalam tulisan.  

Meski sederhana, Caca bisa menuangkan idenya tentang "Cupcakes" di kertas dengan lancar dan jujur. 

Tulisan Caca, tema "Cupcakes"
Selain tulisan singkat di atas, Caca juga bahkan bisa menulis cerpen utuh dan selesai sebelum waktu yang ditentukan habis. Cerpen yang juga membuat saya terkesan, meski sederhana khas anak-anak. Saya tidak menyangka akan bakat mereka. Saya langsung membandingkan dengan diri sendiri; saat saya seusia mereka, belum tentu saya bisa menulis seperti itu.

Dari kegiatan menulis bersama ini, tentu saya juga berkesempatan mengenali emosi, perasaan, dan keinginan mereka. Saya jadi tahu, bahwa Caca belum pernah makan cupcakes dan bertanya-tanya seperti apa rasanya. Saya sempat bilang bahwa nanti kami akan belajar bikin cupcakes. Mereka sangat bersemangat dan terus menagih janji saya. Sayang saya belum bisa memenuhinya. Belum browsing resep dan bahannya saya belum tahu harus cari ke mana. Tapi dari game yang mereka mainkan, mereka menuliskan untuk saya resep cupcakes, hanya saja tidak ada takaran untuk tiap bahan. Duh, jadi makin merasa berdosa belum bisa ngajak mereka bikin. 

Saya jadi lebih mengenal mereka melalui media tulisan. Jika tidak melewati kegiatan ini, saya mungkin tidak pernah tahu bahwa Caca belum pernah makan cupcakes dan ia bertanya-tanya seperti apa rasanya. 

Saya juga jadi tahu bahwa meski masih kecil, Lala mengerti makna kata "Kecewa" dan bisa mengungkapkan makna kecewa dengan apik dalam sebuah cerita. Selama ini, Lala tampak jarang mengungkapkan emosinya. Ia banyak diam tapi diamnya adalah memperhatikan. Ia sangat peka terhadap lingkungan serta keadaan dan perasaan orang lain. Tapi ia jarang bicara tentang dirinya, keinginannya apalagi emosinya. Mendengar ia membacakan tulisan kecewa, saya (lagi-lagi) terkesan. 

Dalam tulisannya, tokoh aku menantikan kejutan ultah. Aku bahkan berpikir untuk berdandan cantik demi menyambut kejutan. Eh,di akhir cerita, aku harus kecewa karena kejutan yang ditunggu tak datang sebab ayah dan mama sangat sibuk. Kasian.... Saya langsung menanyakan kapan ia akan ultah, dan berjanji dalam hati akan mengingatnya. 

Tulisan Lala, tema "Kecewa"

Saya pernah membaca bawasannya feeling message atau ungkapan perasaan tentang apa yang kita alami (atau cara kita memaknai sesuatu) akan jauh lebih mengena dan menarik untuk didengar dari pada hanya ungkapan fakta tentang apa yang terjadi. Di dalamnya terdapat emosi. Feeling message memberi kita kesempatan untuk mengenali emosi seseorang lebih jauh. Hal ini terbukti saat saya mendengar setiap tulisan pengalaman mereka.

Selanjutnya yang saya pelajari saat menulis bersama mereka....hmmm... mungkin kalian pernah mendengar tips menulis bahwa sebelum menulis adalah penting menentukan siapa yang akan membaca tulisan kita (target pembaca). Selama ini, saya tahu tentang ini tapi sepertinya tidak sungguh-sungguh menerapkannya. Pentingnya tips ini baru sangat saya sadari saat saya menulis bersama mereka. Saat saya tahu pasti bahwa tulisan saya ditujukan untuk mereka atau tahu pasti siapa yang akan mendengar (atau membaca) tulisan saya, otomatis gaya bahasa, sebutan, dan cara saya menulis sudah terbentuk sejak awal.

Di tulisan saya yang bertema "Pizza", saya memilih memakai sebutan Aunty (panggilan mereka untuk saya), paman (panggilan untuk hubby-ku) dan Nyai (panggilan untuk nenek mereka) dan bukannya menyebut 'aku', 'hubby-ku', 'mama mertua-ku. Ada perbedaan besar hanya dengan mengganti panggilan (sebutan untuk tokoh) lantaran sudah tahu siapa target pembacanya--terkesan lebih spesifik dan lebih dekat.

Saya menulis: 
Suatu hari, paman pulang bawa pizza ukuran besar. Yummy. Pizzanya rasa sapi lada hitam. Enak deh. Rasanya hampir mirip semur daging buatan Nyai. Saat Aunty dan Paman makan pizza, Nyai datang. Nyai pun ditawari pizza, tapi langsung menolak. 

Akhirnya ya udah deh, Aunty pun makan 2 potong besar pizza, eh malah 3 potong! Besoknya, Aunty juga sarapan pizza. Pizzanya masih bagus kok, soalnya Aunty simpan di kulkas. Saat ingin dimakan, pizzanya dihangatkan dulu di rice cooker...... dst.

Oh ya ada kejadian lucu tentang tulisan pizza ini. Rupanya kalimat pembuka tulisan ini sangat melekat di ingatan Lala. Hingga, saat kami sudah selesai menulis dan sedang duduk bersama, Lala mengulang kalimat pembuka tersebut, "Suatu hari paman pulang bawa pizza...."

Mendengar ini kontan saya bertanya, "Terus...? Pizzanya rasa apa?" Karena di tulisan saya, rasa pizza adalah kalimat lanjutannya. Saya ingin menguji ingatannya.

Belum sempat Lala menjawab, Caca nyeletuk dengan entengnya, "Rasa cintaaaa...."

Hahaha.... Pizza rasa cinta! Kami tertawa bersama mendengarnya.

Di tulisan lain, saya menutup tulisan dengan sebuah pertanyaan. Dan selesai saya membacanya, mereka langsung menjawab pertanyaan saya tersebut. Mungkin mereka merasa harus menjawabnya, sebab merasa tulisan saya ditujukan untuk mereka. 

***

Sudah lama saya tidak mempraktekkan free writing bersama. Kegiatan kemarin menjadi semacam nostalgia, hanya saja teman menulisnya anak-anak. Karenanya, saya 'mengalami' dan belajar beberapa hal baru. 








0 comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...