Tuesday, August 05, 2014

Malaikat di Hari Senin

Dua hari yang lalu saya susah tidur lantaran saya merasa sangaaaaaat marah. Kepala ini rasanya panas. Saya marah karena saya sangat kecewa akan suatu hal. Saya kecewa karena saya pikir saya sudah bisa tenang tentang hal tersebut (yang sudah bukan masalah), tapi nyatanya belum tuntas. 

Saya tidak habis pikir, kenapa hal yang kemarin sudah dihindari, dibenci, dan dibuang agar jangan masuk mengganggu lagi, eh kok bisa-bisanya diundang, dibukakan pintu. Meski pintu yang dibuka hanya sedikiiit saja, saya tidak bisa menerima. Karena sekecil apapun celah yang terbuka, saya khawatir hal tersebut tetap memberikan pengaruh buruk.

Saya hanya ingin pengaruhnya hilang 100 persen--total, karena kemarin sudah mencapai level itu. Saya tidak bisa menerima 80 persen atau 99 persen lagi. Sebut saja saya terlalu menuntut, tapi kalau boleh membela diri, perempuan kurus ini tahu dengan baik apa yang ia perjuangkan. 

Parahnya saya tidak hanya marah pada keadaan, saya bahkan (forgive me for this, God) sempat marah pada Tuhan. Belakangan saya berhenti berdoa dan meminta. Saya malas meminta yang itu-itu lagi. Saya "pasrah" tidak mau banyak meminta lagi karena saya tidak ingin kecewa dan berharap. Saya lelah dengan apa yang saya minta tapi tak kunjung saya miliki sepenuhnya. Saya bahkan tidak sholat subuh kemarin karena sibuk dengan amarah, dan nyaris meninggalkan sholat ashar. AstagfirullahShame on me. 

Meski saya marah pada-Nya, Tuhan masih sayang pada saya. Ia tidak membiarkan saya terlalu lama dalam keadaan sesat seperti itu. Ia mengirimkan seorang malaikat dalam wujud seorang teman baik. 

Ia menggerakkan hati saya untuk menelpon seorang teman lama, Mbak Wati namanya. Ia adalah sahabat yang saya kenal saat bertugas meliput ke Taman Nasional Komodo, NTT lebih dari setahun yang lalu. Tepatnya di bulan Desember 2012. Sejak detik pertama saya melihatnya, hati saya tahu kami bisa menjadi sahabat.

Mbak Wati dan saya, Braga City Walk ,5 Mei 2013.

Dari obrolan telepon selama 1 jam 25 menit dengan Mbak Wati, saya mendapatkan banyak hal yang sudah lama tidak saya dengar. Saya rindu terlibat dengan obrolan seperti kemarin. Lama sekali rasanya tidak tersentuh siraman rohani yang mempertajam sisi spiritual. Saya bersyukur dan merasa 'tercerahkan'. Saya sekaligus mendadak merasa takut bahwa hati saya belakangan kian tumpul. Dan saya tidak suka dengan ini dan tidak mau.

Saya juga merasa malu. Apa yang saya hadapi bukan apa-apa jika dibandingkan dengan yang dihadapi Mbak Wati. Ujian yang harus Mbak Wati lewati sekarang tidak bisa dikatakan ringan dan ia harus melewatinya sendirian, jauh dari keluarga dan sanak saudara. Tapi Mbak Wati punya semangat yang luar biasa dan dengan kepasrahan yang sangat tinggi atas kuasa dan rencana Tuhan.

Mbak Wati juga cerita bahwa pernah ia mempertanyakan kenapa suatu hal yang jadi rahmat untuk semesta alam, malah menjadi ancaman buatnya. Jika tidak kuat iman, Mbak Wati mungkin akan sangat marah pada Tuhan, tapi ia tidak. 

"Mungkin aku adalah orang yang terpilih untuk bisa menjalani ini," kata Mbak Wati, membuat saya trenyuh. Seharusnya saya yang menghiburnya, ini malah saya yang mendapat banyak pelajaran dari seseorang yang sedang kuat-kuatnya diuji dan harus menghadapinya (nyaris) sendirian. 

Mbak Wati mengajarkan saya untuk lebih bisa ikhlas menerima apa pun yang ditawarkan hidup dan yang dilemparkan dunia. Dan terutama menerima dan menjalani rencana yang sudah diatur oleh sebaik-baiknya pengatur rencana. Saya tidak cerita penyebab kemarahan saya pada Mbak Wati, ia tidak tahu menahu sedikit pun. Tapi kata-katanya sangat mengena di hati, salah satunya adalah ini: "Jangan bosen berdoa, mungkin Allah sedang menguji kesabaran, keihklasan dan berbaik sangka Mbak Neni."

Ada banyak obrolan kami. Sempat pula membahas tentang pekerjaan dan perjalanan karir. Dan perihal ini, yang membuat saya terharu adalah bahwa malaikat yang dikirim di hari Senin malam ini bilang bahwa ia sangat respect pada saya dengan potensi yang saya punya. Dan ia heran bagaimana bisa saya tidak respect/menghargai diri saya sendiri dan tidak menyukuri apa yang saya punya dan apa yang sudah saya lewati. 

Tulisan kecil ini adalah rasa terima kasih saya pada Mbak Wati. Terima kasih sudah datang dan menarik saya pada kesadaran positif. Sungguh pengetahuan dan pondasi spiritual adalah yang paling menenangkan; mengajarkan diri untuk lebih ikhlas menerima dan berserah diri. Saat kita menerima dan pasrah, apa pun akan terasa ringan dan mudah. 

Dan saya berharap, suatu hari nanti saat saya sedang merasa jatuh, marah, atau merasa kecil, saya akan dituntun untuk menemukan dan membaca tulisan ini lagi. Tentunya dengan begitu, saya ingin kembali mendapatkan pencerahan yang memulihkan semangat, bahwa apa pun yang kita lewati (pahit dan manis) adalah yang terbaik dan yang kita butuhkan untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Amin. 





2 comments:

Nia Janiar said...

Are you ok now, Neni?

Neni said...

Iam okay, now Niaww... :) thanks

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...