Monday, February 28, 2011

Sore Tadi: Selembar Daun, Rumput, dan Butir Hujan


sore tadi,
saat rumpun hujan hampir lengkap
sementara angin jauh dari lelap
selembar daun gugur lirih berucap:
ingin kembali ke ranting yang senyap

kuncup rumput yang sedang mekar 
berkalang butir-butir hujan;
adakah yang lebih memilukan 
dari menangkap daun gugur
yang hijau menggapai-gapai--
likat ranting pepohonan.


Gambar dari sini.
***


Friday, February 25, 2011

Di Simpang Senja

Saat aku menyeret langkah
sambil mengunyah harapan
kemarin itu,
telah kutinggalkan kepingan jejak terserak
di simpang-siur senja

--untuk mengawasimu menelan pagi
yang sudah basi,
yang kau bungkam di hangat genggaman,
atau untuk sekedar mengeja matamu
saat tenggelam di punggungku...



*gambar dipinjam dari sini.

Thursday, February 24, 2011

Salju dalam Kepala


Rumput runcing-runcing
tersaput es
reranting telanjang menggigil
dihening angin

Adakah musim sudi menjadi saksi
sebongkah salju tersesat, bersarang
di kepalaku...



*gambar diambil dari sini.

Wednesday, February 23, 2011

Terlalu Kentara


Dia tiba-tiba merasa
Bahwa di sela-sela jemarimu
Kau sembunyikan sepi
Yang juga kau kurung di balik kelopak mata

Dia seolah mengerti
Bahwa di garis-garis wajahmu
Kau torehkan lingkar-lingkar rindu
Pada kembang ilalang yang sasar di padang api

Tapi dia diam saja, menerka-nerka
Tertular sepi dan rindu; terlalu kentara



*gambar dipinjam dari sini.

Tuesday, February 22, 2011

Pertanyaan

Bertanya aku pada camar-camar:
Adakah pasir-pasir pantai itu
telah menguburnya dalam-dalam?
Hingga ombak besar sekalipun
tak mampu mencungkil hanyutkannya
atau menyeretnya terdampar terasing
di sebuah pulau tanpa nama

Atau mungkinkah biru samudera
telah mengikatnya
di dasar yang tak tembus cahaya,
dengan senang hati menyembunyikannya
pada palung yang jauh dalam
-- terperangkap di ceruk-ceruk kenangan...


*foto: dok. pribadi

Monday, February 21, 2011

Konspirasi

Angin pagi bersekongkol dengan matahari,
pelan-pelan membunuh embun pagi,
Siapa sangka, waktu sudah diam-diam mengintip
hendak mengubur bangkainya dengan arif...


*

Saturday, February 19, 2011

Setoples Penuh Kupu-Kupu

Masihkah ingat pada setoples penuh kupu-kupu warna warni yang kau hadiahkan padaku entah berapa bulan yang lalu?

Mereka berkembang biak! Toples ini kini kian hari kian sesak saja. Aku bahkan nyaris tak mengenali mereka sebagai sekelompok kupu-kupu dalam toples. Beberapa kehilangan warna alami mereka, sebab sayapnya ternoda oleh warna sayap yang lain--mencampur baur. Bahkan, beberapa tampak mengenaskan oleh sayapnya yang compang-camping, terkoyak.

Jika mereka tetap kupertahankan, aku khawatir mereka akan mati sia-sia: megap-megap kehabisan napas, kehilangan ruang dan jarak yang bagaimana pun tetap harus ada.

Maka hari ini kuputuskan untuk melepas terbangkan mereka agar melanglang taman-taman penuh bunga, menikmati liku-liku musim, dan menghirup teduh angin yang terperangkap di tiap kepakan sayap.

Maafkan, aku tidak punya pilihan lain.

Tapi jangan khawatir; aku sisakan satu kupu-kupu terakhir di dalam toples. Ia akan jadi penanda bahwa toples ini pernah berpenghuni sepenuh-penuhnya warna...



*Gambar di atas menginspirasi tulisan ini. Ia dipinjam dari sini.

Kupu-kupu Mati

Kupu-kupu terlelap
mengimpi hangat rongga kepompong
terlupa akan sayap yang mekar

Kupu-kupu terbangun
sebab hujan tak henti mengutuki
helai sayapnya yang lumpuh kuyup

Kupu-kupu mati
tenggelam oleh sayap sendiri...



*Gambar pinjam dari sini.

Thursday, February 17, 2011

Sinkronisasi dengan Nia

Saya tidak akan banyak bicara di tulisan kali ini, sebab apa yang ingin saya tumpahkan, sudah terwakili oleh tulisan seorang teman. Bahkan ia menuliskannya dengan baik sekali.

Saya menyebut ini sinkronisasi--meminjam istilah Dee di salah satu postingan blognya. Sinkronisasi adalah saat kita mengalami hal-hal yang memiliki keterhubungan satu dan lainnya. Misal, saat saya teringat seorang teman dan berniat menghubunginya, eh tahu-tahu teman tersebut menghubungi saya duluan saat itu juga, saat saya tengah memikirkannya, dsb. Atau seperti sekarang ini, saat saya tengah terpikir atau merasakan suatu hal, eh ternyata seorang teman sudah menuliskannya. Jadi, saya tinggal menghubungkan tulisan ini dengan tulisannya.

Oh iya, nama teman yang saya sebut-sebut sejak awal tadi adalah Nia. Cek tulisan singkat nan padat bergizinya di sini.

Terkadang, tidak tahu sesuatu memang lebih baik daripada tahu.

 *Gambar dipinjam dari sini.

Monday, February 14, 2011

Tanda Tanya

berapa banyak lagi tanda tanya
yang hendak kau curi jawab darinya

berapa banyak lagi bukti
yang mau kau kumpulkan demi luka-luka

saat ini percuma saja:
membelokkan arah angin
menerbangkan remah kenangan
yang masih mengeyangkan rindu masalalu

sungguh, suara di gigir malam mengundang pagi
berkicau pada pucuk-pucuk asa
namun senja terlalu cepat menua
membungkam sisa-sisa tawa yang terbakar,
lalu lekas padam...


*Bandung, 14 Februari 2001; pukul 04:37

Gambar dari sini.

Sunday, February 13, 2011

The Broken String

Meski sudah bertahun-tahun berlalu, aku masih sangat ingat hari itu...

Maaf, aku baru saja memutus satu senar harpa milik orang tuamu. Harpa warisan turun temurun keluargamu yang hampir semuanya pemusik. Aku sungguh tidak sengaja. Kan sudah kubilang; aku tidak berbakat dan sama sekali tidak bisa memainkan alat musik apapun, terlebih harpa. Tapi kau memaksaku untuk coba-coba. Sekarang, satu senarnya putus, lalu kita bisa apa?

Kau bilang tidak apa-apa, saat melihat ekspresi kaget pada wajahku. Tapi wajahmu demikian merah memendam marah atau ketakutan akan dimarahi, atau kombinasi keduanya. Aku tidak bisa menebaknya dengan pasti.

"Aku akan coba perbaiki, kamu tenang saja," ujarmu kemudian, membuatku lebih tenang.

"Aku akan bantu," sahutku cepat.

"Tidak perlu, tunggu saja di kursi itu."

Aku memandangimu--sedikit meragukanmu. Kau pun tampak tidak yakin dengan ucapanmu sendiri. Lalu gegas menghindari mataku dan menyibukkan diri dengan senar putus pada harpa. Untuk menghargaimu dan menjaga harga dirimu, aku diam dan menurut dan memaksakan diri untuk bersikap seolah-olah aku percaya kau bisa menanganinya.

Aku duduk dekat jendela sambil memandangimu yang hanya berdiri diam, tampak serius. Saat kau balik menatapku, aku khawatir jangan-jangan kau tahu aku meragukanmu. Maka aku cepat berbalik, memandang ke luar jendela. Melalui kaca jendela, meski samar, aku bisa melihat betapa khawatir dan serius ekspresimu saat memandangi senar yang putus. Aku semakin merasa bersalah.

Dengan sangat hati-hati aku memanggilmu. Ragu-ragu, aku bilang, "Bagaimana kalau seandainya senar yang putus dibuang saja?"

"Apa?!" nada suaramu yang tinggi membuatku kaget.

"Maaf. Ehm, maksudku... Harpa ini kan hampir tidak pernah dimainkan, kalau satu senarnya hilang mungkin tidak akan ketahuan."

"Tidak boleh begitu...," ujarmu tak sabar. "Jika senarnya diputus, bagaimana dengan mamamu nanti."

"Apa hubungannya dengan mamaku? Maksudmu ibumu mungkin? Aku tahu, ibumu pasti akan marah."

"Bukan. Ini tentang mamamu."

Aku bingung. Aku pun hanya bisa megerjap-ngerjapkan mata, menunggu penjelasan lebih lanjut.

"Kalau aku membuang senar putus ini, bisa-bisa aku tak jadi menikahimu nanti."

Aku menggaruk kepala, kian bingung, "Kamu ngomong apa sih? Memangnya siapa yang mau menikah? Anak kecil tidak boleh menikah."

"Aku bilang kan nanti, sekitar sepuluh tahun lagi."

"Lalu, apa hubungannya dengan mamaku?"

"Nenekku pernah bilang pada ibuku; saat ada benang kusut, Ibu tidak boleh memotongnya. Ibu harus mencoba meluruskan. Karena kalau tidak, Ibu akan tidak berdamai dengan mertuanya--ibu dari ayahku. Kau bayangkan apa yang akan terjadi jika kita justru dengan sengaja memutus senar ini?"

Aku hanya diam, masih bingung.

"Aku tidak mau punya masalah dengan mamamu--calon mertuaku. Makanya, senar putus ini harus disambung lagi," jelasmu.

Saat mendengar ini, aku tiba-tiba ikut merasa khawatir tak bisa menikah denganmu. "Tapi ini kan bukan benang," ujarku, berharap fakta ini bisa mengurangi resiko kegagalan menikah denganmu di masa depan.

Kau diam--berpikir, lalu bilang, "Sama saja. Kita harus membenarkan yang kusut atau putus."

***

Di tengah kebahagiaan dan kehangatan yang menjalari hati saat mendengar petikan harpa yang menggema di gedung ini, aku bersusah payah menyembunyikan senyum sebab ingat hari itu.
Mungkin kepercayaan nenekmu tentang benang kusut itu benar; kita tidak pernah menikah.

Maya Hasan baru saja menyelesaikan petikan harpanya disambut riuh tepuk tangan penonton yang memadati gedung konser mewah ini. Aku bahkan berdiri dan penuh semangat bertepuk tangan sambil menoleh ke kanan; membalas senyum suamiku yang kupaksa menemaniku menonton konser ini.


*Gambar dari sini.

P.S:
Ditulis di Reading Light Writer's Circle; Sabtu, 12 Februari 2011.
Tema: Setting di kota besar, instrumen musik memiliki peran penting dalam cerita.

Thursday, February 10, 2011

Diam

"Dan dalam keraguan, seseorang akan merasa lebih baik diam," ujar Dewi Lestari di salah satu buku kumpulan cerpennya Recto Verso.

Untuk kesekian kalinya saya mengutip kata-kata ini, baik untuk tulisan di blog seperti sekarang ini atau untuk meng-update status di Facebook.

Setahu saya, diam sebab tengah berada dalam keadaan kebingungan bukanlah suatu yang menyenangkan. Tapi sialnya, terkadang kita memang perlu melewati fase ini: diam. Tidak mengatakan sesuatu. Tidak melangkah. Tidak melakukan sesuatu. Menyimpan dan bukannya membagi apa yang seharusnya diungkapkan. Pasif dan bukannya melakukan apa yang bisa diusahakan.

Sebab ada masa dimana diam, menunggu, memperhatikan, membaca arah dan langkah adalah suatu yang diperlukan agar tak gegabah menentukan sikap. Atau semata karena bingung!


Diam-diamlah saja dulu. Aku pun akan diam dulu.

Diam bukan berarti tak bisa dibaca dan atau dipahami. Diam adalah juga bahasa. Bahasa bingung, hahaha...

Eh maksudnya, bahkan saat diam pun kita bisa memaknai dan membacai sesuatu. Sebab tetap ada proses yang tengah berlangsung meski dalam diam.

Diam-diamlah dulu. Aku pun akan diam dulu.

Sampai bertemu nanti; saat bahasa diam ini menemukan jalannya sendiri untuk bicara pada masing-masing kita. Apapun bahasa yang nanti berhasil kita dengar atau kita terjemahkan, kita akan baik-baik saja.
Semoga.


*gambar dipinjam dari sini

Monday, February 07, 2011

Rahasia Diam

dalam jeda
aku sasar
di labirin-labirin asa

saat bersama
aku hilang
di luas misteri bahasa

sebab kita terperangkap
di lahan rahasia
yang penuh dengan diam...




*gambar dari sini

Sunday, February 06, 2011

Buanglah Pacarmu pada Tempatnya

Saya suka sekali dengan foto ini.
Eh, tepatnya dengan kata-kata yang ada di foto ini:


Thanks to Rama, teman saya yang entah dari mana mencatut foto ini.

Saya suka kata-kata tersebut mungkin ada hubungannya dengan niat saya untuk mengusir seseorang yang belakangan berhasil mengacak-acak pikiran.
Jangan salah sangka, niat ini bukan karena saya membencinya atau karena terganggu olehnya. Tapi lebih karena saya ingin menempatkannya pada tempat yang tepat.
Dan tempatnya tidak seharusnya di kepala saya. Sebab dia masih hidup di tempat terjauh: masa lalu.

Demi kebaikan saya sendiri dan (mungkin juga) dia.

Eh, tapi dia kan bukan pacar saya???



*
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...