Tuesday, July 30, 2013

N-Ach #7: Tentang Kebohongan

Kamu pikir kebohongan akan bisa menyelamatkanmu?

Mungkin. Sangat bisa.
Tapi percayalah hanya untuk sementara.
Lagi pula apa yang diharapkan dari hidup dalam kebohongan--sehebat apa pun ia?
Tidak ada.

Yang ada hanya rasa lelah harus mengarang cerita.
Rasa malu saat cerita yang diulang tidak sama.
Rasa bersalah di sudut hati nurani.
Akui saja.
Tak ada ketenangan dalam kebohongan.

Kau mungkin tertawa atas keberhasilan membohongi orang lain.
Mungkin juga mendapat keuntungan.
Tapi kau akan merasa jengah terhadap diri sendiri.
Akui saja.
Tak ada yang menyenangkan dari sebuah kebohongan.




Monday, July 29, 2013

N-Ach #6: Esensi Menerima

Sebelumnya saya ingin mengaku, kemarin saya tidak bisa memenuhi janji pada diri sendiri untuk posting blog tiap hari berturut-turut selama 2 minggu. Alasannya saya kecapean karena event di hari Sabtu dan kemarin saya habiskan waktu hampir di kasur seharian--tidur dan menikmati rasa pegal di sekujur badan. 

Tapi saya tidak merasa saya telah gagal. Saya memaafkan diri saya untuk ini, semoga tidak terulang lagi. :)


Ya sudah, hari ini saya ingin curhat. Boleh ya? Kalau tidak suka tentang tema ini, jangan lanjutkan membaca. Karena ini akan sangat personal; sebagian orang mungkin tidak nyaman dengannya. Mungkin. 

Hari ini saya ingin cerita tentang apa yang tengah saya rasakan beberapa hari belakangan. Saya merasa lega. Nyaman dengan diri saya dan kenyataan yang ada pada saya. Dan perasaan seperti ini sungguh menyenangkan. Tidak ada tuntutan, tidak ada ultimatum, tidak ada usaha yang muluk-muluk, tidak ada drama, sedih dan rasa takut lagi--yang ada hanya perasaan tenang dan menerima. 

Saya menerima bahwa tidak semua hal bisa berjalan sesuai keinginan saya. Tidak semua hal bisa saya raih. Tidak selamanya saya bisa mendapatkan segala yang saya inginkan. Meski begitu saya masih bisa tetap hidup dan bahagia. :)

Satu tahapan kehidupan sudah saya lewati--tahapan yang membuat saya menjadi orang lain tanpa saya sadari, menyangkal batasan yang selama ini saya pegang hanya karena merasa mungkin hal itu bisa mengubah keadaan, menginginkan impian yang  sebenarnya bukan impian saya sendiri, memaksakan diri berjuang untuk hal yang sepertinya tidak butuh diperjuangkan lagi; menjadi lemah dan kecil hati.

Cukup untuk semua itu.

Saya kini sampai pada keadaan saya yang apa adanya saya: yang tidak perlu lagi merasa takut kehilangan (karena saya sudah menerima bahwa saya tidak pernah memiliki); tidak perlu merasa terhina karena penolakan sebab saya sudah berhenti meminta; tidak perlu lagi mempertanyakan banyak hal karena saya sudah menerima kenyataan yang ada di depan mata; tidak perlu lagi berharap dan lalu kecewa sendiri; tidak perlu menyalahkan orang lain karena orang lain pun punya alasan dan motif sendiri atas tindakan mereka dan itu bukan urusan saya; tidak perlu juga merasa menyesal atas semua kesalahan yang pernah saya lakukan. 

Saya menerima semuanya (dan semoga bisa mengambil banyak pelajaran).



Untuk sampai pada tahap ini, memang tidak mudah saudara-saudara. Waktu memang punya cara sendiri untuk menunjukkan pada kita apa yang benar-benar penting atau tidak, termasuk juga untuk mengobati banyak hal. 



Saturday, July 27, 2013

N-Ach #5: Senja Mediterania

Baru pulang workshop yang diadain di kantor "Dari Timur Matahari" bareng Marischka Prudence dan Barry Kusuma. Dari pembicaranya jelas ini workshop tentang travel blogging dan travel photo blogging.

Dan hampir lupa belum posting hari ini. Saya ingin share foto aja, ya.... Tidak nyambung dengan pembukaan sih. Ini dia fotonya:

kaki saya yang paling kanan, yang kiri adalah kaki seorang anak kecil

Foto tersebut diambil pada musim panas 2010, tepatnya dalam tur naik kapal dari Köycegis-Dalyan-Turtle Beach di Turki. Senja Mediterania keren... Matahari terbenam bisa sangat bulat sempurna dan ukurannya besar. 

Kalau yang ini adalah pemandangan sepanjang jalan sebelum sunset:

kapal sewaan untuk tur. setiap kapal sepertinya harus pasang bendera Turki.

Ngantuk.... good night... have a sound and deep sleep, everybody. :)




Friday, July 26, 2013

N-Ach #4: Unsere Garten

Gambar lagi... gambar males....

garten
roses




Thursday, July 25, 2013

N-Ach #3: Bunga Kuning

Saya sedang suka warna kuning.
Dulu sekali waktu masih kecil, kuning adalah warna favorit saya.
Belakangan tiba-tiba saya yang memuja ungu ini jadi kepincut lagi sama warna kuning.

Nah, hari ini saya gambar bunga kuning.
Ini dianya (dengan background yang berbeda):



Saya pakai background hitam--lihat bedanya:



Background biru terang:



Saya ga bisa milih yang mana yang paling oke, jadi tiga versi saya upload semua.
Hahahaha... pemborosan memang.


Wednesday, July 24, 2013

N-Ach #2: Perih di Ujung Jemari

Pernah kah kalian merasakan perih di ujung-ujung jari sebab menahan sedih sendirian? Rasa sedih karena kehilangan sesuatu yang sepertinya tidak bisa lagi diusahakan merupakan jenis sedih yang lumayan menyesakkan ya? Iya ga sih?

Belakangan saya merasakan perih itu—perih di ujung-ujung jemari, bukan lagi di hati. Perih dalam artian harfiah—perih sungguhan, bukan sebatas bahasa. Saya tidak tahu apakah ada saluran perih dari hati ke ujung jari atau semata itu hanya sensasi perasaan saja. Sejauh yang bisa saya ingat, baru kali ini saya merasa perih jenis ini. Kalau perih di hati, saya sudah melewatinya dan itu juga cukup menyiksa.

Ada rasa syukur saat saya bisa merasakan perih seperti itu. Karena saya percaya itu dapat berarti bahwa hati saja masih bekerja dengan baik. Hati saya masih bisa merasa. Mungkin hati saya ingin memberi tahu bahwa sudah waktunya saya menyerah, melepas keinginan, dan merelakan dengan lapang. Suatu proses yang tidak mudah.

Hanya aneh saja kok bisa saat sedih, rasa perih yang seharusnya di hati itu malah bertransformasi menjadi perih di ujung-ujung jemari? 

Semoga kalian tidak menganggap saya berlebihan karena mengungkapkan perasaan ini. Jika kalian pernah atau suatu hari nanti bisa merasakannya, kalian akan mengerti yang saya maksudkan.

Dan kalau perasaan seperti itu menghampiri kalian, bersikaplah berani: rasakan, terima, jangan ditahan atau dilawan. Kenali perasaan sendiri dan akui. Tidak ada salahnya merasa sedih. Toh sedih juga adalah bagian dari emosi kita yang juga butuh diakui. Hanya usahakan jangan biarkan berlarut. Temukan hal positif dari kesedihan yang bisa membantu melegakan perasaan. Meski saya sangat tahu hal ini tidaklah mudah. 

***

Sehubungan dengan merasakan emosi ini, kemarin saya menonton video self-help yang terkait dengan berani mengenali perasaan dan terhubung dengan emosi diri kita yang paling sejati. Rori Raye nama pembicaranya bilang bahwa kita harus berani mengakui emosi sendiri saat kita marah, sedih, terluka, senang, bersyukur dan perasaan lainnya. Rasakan apa yang bisa dirasakan.

Rasakan amarah tanpa mengungkapkannya pada orang yang membuat kita marah. Rasakan perasaan sedih dan kecewa tanpa berkeinginan untuk menghakimi penyebabnya. Jika ingin menangis, rasakan tanpa menunjuk orang lain untuk bertanggung jawab karena membuat kita menangis. Cukup merasakan dan mengakui bahwa perasaan itu ada. Dan ini langkah yang baik dari pada mengeluhkan perasaan tersebut. 

Ia juga mengajarkan bagaimana caranya terhubung dengan emosi terdalam kita. Kuncinya adalah dengan membayangkan gelombang laut, lantai dasar lautan, dan arus (flow). 

Langkahnya adalah sebagai berikut: bayangkan sebuah samudera. Salami hingga ke dasarnya. Berdiri di dasar samudera, rasakan gerakan air dan lihat ikan-ikan yang berenang. Bayangkan tubuh kita ada di sana merasakan arus atau gelombang lautan. Ikuti dan rasakan gerakan gelombang air laut yang tenag dengan menggerakkan tangan sesuai arus. Dan biarkan diri kita "terhubung" dengan perasaan terdalam yang tengah dirasakan. Akui dan terima perasaan tersebut. Setelah beberapa saat, ini akan membuat kita lebih rileks… Dan sungguh lega saat bisa rileks dan kembali pada kondisi yang positif.  

Pada akhirnya, Rori bilang bahwa entah bagaimana, energi dari dalam diri kita akan bekerja dengan cara yang tidak kita ketahui dan akan memberi efek menyembuhkan. Energi positif dari dalam diri akan juga mempengaruhi hal yang di luar diri kita. Saat kita lebih positif, kita akan mempunyai pandangan yang berbeda tentang dunia, tentang masalah kita. Orang lain pun akan bisa merasakan energi positif tersebut dan bereaksi dengan cara yang berbeda pada kita. 

Mungkin kalian berpikir hal ini buang-buang waktu dan tidak masuk akal. Merasakan emosi memang mungkin tidak secara langsung menyelesaikan masalah kita. Tapi saya percaya bahwa ada beberapa hal yang memang tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan secara langsung atau pun dengan menggunakan logika. Saya percaya, teknik ini memiliki caranya sendiri untuk “mengoreksi” emosi dan menanggapi masalah penyebab emosi tadi. 

Cara ini memberi kita kesempatan untuk menyembuhkan diri sendiri!

Have a rocking Wednesday, everybody! Cheers….. :)



# Bandung, 24 Juli 2013

Tuesday, July 23, 2013

N-Ach #1: Menu ala Turki

Nah ini dia edisi perdana N-Ach Project. Dan hari ini adalah hari ke-14 puasa. Yuk kita mulai.....

Pernah dengar ungkapan bahwa dapur Turki terkenal sebagai dapur yang paling kaya? Kaya dalam hal ini adalah dalam hal cita rasa, varian makanan dan ragam bumbu masakan khas Turki. Hidup setahun bersama keluarga Turki membuat saya mengenal dan mencicip kekhasan dan kekayaan masakan mereka. Masakan Turki kaya bumbu seperti halnya masakan kita, dan untuk jenis kue, rasanya bisa sangat manis. Kue Baglava misalnya; uuuhh giung kalau kata orang Sunda mah.

Dari sekian banyak masakan Turki, hanya beberapa saja yang bisa saya masak. Dan saya ingin membagi sedikit resep yang gampang dibuat. Bisa dibilang ini pertama kalinya saya berbagi tips atau resep masakan sepanjang karis saya nge-blog ya.... Kali aja bisa jadi menu alternatif saat buka puasa.

Saya pilih menu nasi ala Turki ya, menu utama kita. Saya juga akan memberi tips membuat salad ala Turki.

Orang Turki memasak nasi dengan cara yang sedikit berbeda dengan kita; mereka tidak pernah masak nasi tawar tanpa bumbu seperti yang biasa kita masak. Dan uniknya, berhubung makanan utama orang Eropa adalah roti, meski mereka makan nasi tetap saja roti tidak ketinggalan disuguhkan.

Untuk memasak nasi ala Turki, berikut langkah-langkahnya.

Bahan (Nasi):
Beras
Air atau air kaldu lebih baik
Sayuran kaleng (jagung manis/ wortel/ buncis/ kacang polong)
Margarin
Garam secukupnya
Merica bubuk
Yoghurt kental tawar (optional)

Cara Membuat:
  • Panaskan panci anti lengket. Panaskan margarin secukupnya (disesuaikan dengan banyaknya porsi nasi).
  • Masukkan beras yang sudah dicuci bersih dan ditiriskan. Aduk beberapa saat.
  • Masukkan air secukupnya (jika ada air kaldu lebih baik). Air kaldu akan menambah cita rasa gurih pada nasi.
  • Tambahkan garam secukupnya dan merica bubuk. Aduk.
  • Masukkan sayuran kaleng. Jagung manis saja sudah cukup menambah kaya rasa nasi ini. Namun bisa juga campuran jenis sayuran di atas dimasukkan. Aduk.
  • Tutup panci dan diamkan nasi hingga airnya larut. Setelah itu, masak nasi dengan api kecil. Masak hingga matang. 

Gampang kan? Sekarang kita bikin saladnya.

Bahan (Salad):
Selada air
Timun Jepang
Tomat
Biji buah delima atau apel potong kecil
Bawang bombay merah (optional)
Garam secukupnya
Minyak sayur 2 sdm
Air perasan jeruk lemon secukupnya
Seledri kering atau segar

Cara Membuat:
  • Potong semua bahan sayuran sesuai selera. 
  • Masukkan semua sayuran pada mangkuk saji. 
  • Tambahkan potongan apel yang sudah dipotong dadu. Atau jika mau apel bisa digantikan dengan biji buah delima merah. Dua jenis buah ini akan memberi rasa asam yang segar untuk salad yang kalian buat. 
  • Masukkan minyak sayur, air perasan jeruk lemon, garam secukupnya. Bubuhkan bubuk seledri kering. Jika tidak ada bisa juga menambahkan seledri segar. Tapi seledri segar kita rasanya cenderung lebih kuat, jadi sebaiknya sedikit saja atau tidak usah sama sekali. 
  • Jika mau, tambahkan irisan bawang bombay merah. Namun jika ingin salad yang segar, tidak pakai bawang juga ga masalah. 
  • Aduk rata. Salad segar siap disajikan. 

Tips: 
Sebaiknya mengaduk semua bahan saat salad sudah akan dihidangkan. Mengaduk salad jauh sebelum saat dihidangkan akan membuat salad tidak terlalu segar saat disantap. Salad juga hendaknya langsung dihabiskan. 

Cara menghidangkan:
  • Nasi yang sudah masak disajikan di piring saji. 
  • Untuk lauk-pauknya, kalian bisa menambahkan ayam atau ikan panggang atau apa pun. Sebenarnya ada resep untuk daging atau ikan panggang, tapi ga jauh beda dengan resep kita. Jadi sesuaikan saja dengan resep sendiri. 
  • Jangan lupa tambahkan salad sebagai menu sayurannya. 
  • Terakhir, tambahkan yoghurt kental yang tawar di atas nasi. 

Catatan: 
Rasa dingin yoghurt kental yang baru keluar dari kulkas berpadu dengan gurihnya nasi hangat ala Turki akan memberi pengalaman rasa yang berbeda untuk lidah Indonesia. Saya suka makan nasi dengan yoghurt ini. 

Orang Turki suka "membersikan" piring makanan dengan roti atau maksud saya mencocolkan roti pada bumbu makanan. 

Selamat mencoba, ya.... :)




Monday, July 22, 2013

N-Ach: A desire to be effective or challenged!


Keinginan ini datang tiba-tiba. Baru aja. 

Saya sedang harus menyelesaikan menulis destinasi Seminyak--tempat yang suatu hari nanti ingin saya kunjungi bersama pasangan saya nanti. Aamiin. Tapi, seperti yang sudah jadi kebiasaan, selesai browsing mengumpulkan bahan--ada 2500-an kata--saya butuh rehat sejenak. Nanti setelah istirahat siang saya bisa lanjutkan menulisnya, mengobrak-abrik 2000 kata tersebut menjadi tulisan baru versi saya sendiri. 

Nah, dalam waktu sejenak ini, saya pun blogwalking. Saya sampai pada sebuah blog yang menampilkan gambar penuh warna-warni dan saya heran sendiri bagaimana bisa seseorang dikaruniani bakat sekeren itu? Gambar kartun yang memadukan banyak warna tapi tetap harmonis. Namun, meski saya sangat mengagumi gambar penuh warna, yang bikin saya terinspirasi justru satu postingan tentang gambar menggunakan tinta cina warna hitam. 

ini dia gambarnya

Saya suka melihat kertas yang ditumpuk-tumpuk begitu. Kesannya ga kaku karena tidak dilem sempurna pada kertas dasar. Jadi semacam apa ya namanya, bingung nyebutnya. Kalian bisa lihat karya warna-warni lain atau blog yang dimaksud di sini

Karya sederhana tapi entah kenapa membuat saya tergerak ingin bikin yang mirip-mirip seperti itu. Bayangannya sudah ada di kepala saya. Tapi butuh waktu lama untuk bikin aplikasi gambar gitu. Saya ingin pakai karton warna biru--warna langit--sebagai dasar. Lalu aplikasi atau potongan kertas warna lain akan mewujud menjadi bunga, daun, serangga, atau rumput di sebuah taman. Saya hanya bisa gambar bunga, serangga, dan daun--menyedihkan memang.

Lalu ide lain bermunculan. Kenapa saya tidak mecoba membuat karya--baik tulisan atau doodle bunga sederhana atau apa pun--untuk kemudia diposting di blog yang nantinya bisa berfungsi sebagai salah satu alat pemantau juga. Pemantau sejauh mana saya konsisten dengan keinginan ini. 

Saya tahu karya itu akan sangat jauh kualitasnya dari gambar di blog di atas, tapi ini lebih pada keinginan untuk produktif menghasilkan sesuatu dari pada saya habiskan waktu saya untuk melamun. Belakangan ini, berapa banyak waktu yang saya habiskan untuk melamun--mikir tapi tidak membawa saya kemana-mana. Yang ada saya makin jadi pemalas. Tiduuuuur aja kerjaannya. Mata merem, tapi pikirannya ga tidur. Insomnia pun kembali melanda. Kemarin sempat sembuh, tapi sekarang kambuh lagi.

Bahkan untuk posting blog pun sangat jarang sekali. Kemarin-kemarin saya seolah kehilangan inspirasi atau kemampuan untuk menulis puisi bahkan secuil. Blank. Atau karena memang kemarin pikiran saya terkuras untuk hal lain? Jadi tak ada momen sendiri--(khususnya) berefleksi lewat tulisan. Tapi memang kadang-kadang kita bisa nulis tentang sesuatu setelah kita "berjarak" dari hal yang ingin kita tulis. Misal, beberapa tulisan saya tentang Jerman justru baru bisa saya tulis setelah saya pulang ke Indonesia--setelah saya 'berjarak' dari Jerman. Setelah Jerman hanya bisa saya kenang. 

Keinginan yang datang tiba-tiba hari ini, sungguh saya syukuri. Mungkin ini yang disebut sebagai momen keinginan berkarya. Need for achievement (N-Ach) mereka menyebutnya. Yaitu keinginan untuk berkarya atau menghasilkan sebuah karya. Untuk lebih lengkap, saya kutip dari wikipedia mengenai N-Ach ini. 

Need for achievement (N-Ach) refers to an individual's desire for significant accomplishment, mastering of skills, control, or high standards. The term was first used by Henry Murray and associated with a range of actions.

This personality trait is characterized by an enduring and consistent concern with setting and meeting high standards of achievement. This need is influenced by internal drive for action (intrinsic motivation), and the pressure exerted by the expectations of others (extrinsic motivation).

Well, untuk kasus saya, sebenarnya bukan untuk tujuan sehebat definisi di atas. Ini adalah sebuah keinginan untuk menantang diri sendiri. Mungkin definisi berikut yang juga saya kutip dari wikipedia lebih mewakili niat ini: A desire to be effective or challenged!


Saya ingin menantang diri saya untuk lebih bisa mengontrol diri dengan cara, memosting atau membuat minimal satu saja karya setiap harinya. Tapi, berhubung keinginan ini saya publish, saya juga harus konsisten kan ya. Nah, ada ketakutan saya tidak bisa memenuhi standar yang saya buat sendiri ini. Sepertinya saya butuh seseorang sebagai 'polisi' yang akan mengawasi dan mengingatkan niat saya ini. Muncul satu nama dalam kepala. Semoga ia bersedia. Nanti malam akan saya pinang ia untuk tugas mulia ini, hahahaha....

Atau mungkin kalian mau membantu saya untuk lebih konsisten terhadap keinginan ini? :)

Kalau pun tidak ada yang bersedia, saya akan coba sendiri. Saya akan menargetkan untuk aktif memosting sesuatu setiap harinya dalam waktu 2 minggu ke depan, dimulai besok. Besok tanggal 23 Juli. Maka dua minggu dari besok, proyek N-Ach ini akan berakhir pada tanggal 6 Agustus. Doakan saya bisa konsisten. Itu saja dulu. Itung-itung belajar disiplin untuk diri sendiri--disiplin dalam memenuhi janji pada diri sendiri. 



Wednesday, July 17, 2013

Semua Tentang (Kenangan)



tak bisa kuingat tanggal hari itu atau bulannya
entah Mei atau Juni atau awal Juli--
yang pasti Hamburg tengah menyemai musim semi

aku berdiri di sebuah halte
Oberschleems Haltestelle namanya:
udara dipenuhi serbuk bunga berwarna putih
yang mengotori udara, masuk ke rumah melalui jendela
dan yang bisa membuatmu terbatuk

(seketika) aku merasa asing:
di tengah keterasingan kota
yang tak pernah kuimpikan bisa kupijak,
di tengah kikuknya hidup bersama bangsa arya
yang tiba-tiba dinobatkan menjadi keluarga

--di mana kau kala itu,
saat aku tengah terasing dan merasa sendiri?

ada banyak yang ingin kuceritakan:
tentang musim yang baru kupahami,
tentang bunga yang tak pernah kulihat,
tentang makanan yang asing di lidah,
tentang bahasa yang mulai kuakrabi tapi susah kukuasai,
tentang jalan-jalan yang sepertinya tak kan bisa lagi kutelusuri,
tentang orang-orang yang mungkin tak kan lagi bisa kutemui,
tentang negeri yang ribuan mil jauhnya dari sepetak Bumi yang kita kenal,
tentang rindu. tentang pilu. tentang tawa. tentang airmata. tentang takjub. dan semua tentang yang lain.

--adakah kau turut merasa keterasingan yang sama,
wahai belahan jiwa?




*kenangan di salah satu sudut tepi jalan Billstedt, Hamburg; musim semi 2010










luka baru

aku memang tidak pernah cerita
tentang luka lama yang kupikir sudah sembuh sempurna

--sampai kau datang hari itu
membuatku menemukan keberanian baru,
mengidamkan segala rupa suka

lalu entah di mana atau apa sebabnya
suka dan luka berlomba
untuk hadir dalam tiap cerita kita

dalam masa itu
aku sadar:
lukaku yang dulu hanya menjelma luka baru
--yang (sialnya) tak ingin kuobati.


Memintal Pelangi


aku masih memintal pelangi
yang kemarin itu juga
ditemani hujan yang salah musim--
hujan di bulan Juli;

--betapa hati ingin menyelesaikannya segera
tapi benangnya yang berwarna-warni harapan itu
kau bawa serta.

aku bisa saja menggantinya dengan benang yang lain
yang lebih cerah mungkin
tapi aku tak ingin, mungkin belum ingin
bagiku—sempurna adalah menyelesaikan apa yang sudah dimulai.

Monday, July 15, 2013

Rindu Pulang

(Sleeping) Angel
Photo courtesy: www.patrickowen.net
Ia tidak tidur
tidakkah kau lihat
matanya bergerak cepat mengeja mimpi:
tentang rimis sore hari dan jalur pelangi setelahnya

Ia tidak tidur
takkah terdengar pilu igaunya;
ada kata-kata yang akan sia-sia saja
meski bisa diungkapkan

Ia tidak tidur
adakah kau rasa
perih yang merambat hingga ke ujung-ujung jari:
saat jejak ingatan menggumamkan lagu rindu

Sungguh ia tidak tidur—setidaknya dengan tenang:
apa rasanya memiliki sayap tapi tak bisa terbang?
dan tak bisa pulang?



Tuesday, July 09, 2013

Lelaki Laut dan Sepasang Sayap di Dinding

“Bapak… Bapak…,” terdengar suara anak lelaki berumur 6 tahun memanggil seorang lelaki berbahu tegap. Anak lelaki dengan mata berbinar--bulat dan besar. Mata anak cerdas, begitu sang Bapak kerap membanggakan anaknya. 

Sang Bapak saat itu tengah mengecat pagar bambu yang membatas rumah mereka. Di sela kesibukannya, ia menengok ke arah sumber suara.

“Lihat lukisan tanganku, Pak. Bu guru yang mengajarkan,” lanjut si anak yang sebelumnya meminta jatah cat dari ayahnya.

“Bagus.”

“Benar, Pak?”

Lelaki berkulit gelap itu pun mengangguk.

Anak lelaki yang masih duduk di bangku TK itu pun melonjak senang. “Raka mau bikin lukisan sayap dengan telapak tangan,“ lanjutnya kemudian.

Sang Bapak berhenti mengecat dan mendekati putranya. “Sayap?“

“Iya. Yang besar.“

“Kenapa sayap?“

“Biar Raka bisa terbang ke langit—ke tempat ibu...,“ jawabnya lugas. “Kata Bu Guru, ibu Raka sudah duluan ke langit. Benar, Pak?“

Lelaki yang dipanggil Bapak itu terdiam. Ia berjongkok, mengusap kepala anaknya dan memandanginya lekat: “Raka sungguh kangen ibu?“

Raka kecil yang baru kehilangan ibunya setahun yang lalu itu pun mengangguk cepat.

“Kalau Raka ke langit, Bapak di sini sama siapa?“

Raka terdiam, sempat bingung menjawab. Tapi kemudian ia menjawab: “Bapak bikin sayap juga, kita terbang ke sana sama-sama.“

***

Orang bilang waktu akan mampu mengobati banyak hal: kesedihan, sakit hati, kenangan pahit, kerinduan, trauma, luka dan sebagainya. Namun bagi lelaki ini—Lelaki Laut aku menyebutnya—ungkapan tersebut seolah tak berlaku.

Aku tak begitu mengenalnya. Aku hanya mendengar kisah tentangnya dari orang-orang yang kebetulan mampir ke warung ini—warung tepi pantai. Dan belakangan aku sering memperhatikannya saat ia berdiri di tepi pantai. Hampir tiap hari ia ke pantai—hampir setiap sore sepulang ia bekerja sebagai penjual koran dan majalah di sebuah kios kecil di sudut pasar. Dia akan berdiri di tempat yang sama dengan gaya yang sama; berdiri menghadap laut lalu hening dalam diam. Pandangannya seolah tak berkedip, menerawang jauh ke tengah lautan, seolah takut akan ada yang terlewat dari matanya. Ia akan berdiri seperti itu hingga Matahari terbenam, dan lalu kembali pulang.

Kabarnya, hari ini tepat 5 tahun ia menunggu tanpa putus asa. Memang kadang ia mengeluh pada Tuhan dalam doa-doa yang tak putus ia panjatkan. Tak jarang, emosinya berganti-ganti antara pasrah dan marah entah pada siapa. Tapi tetap saja itu tak mengurangi apa yang ingin ia percayai. Bahwa apa yang ia tunggu adalah suatu yang pantas ditunggu. Bahwa kerinduannya selama bertahun-tahun akan diganjar pertemuan yang membahagiakan.

Betapa keinginan itu dan rasa bersalah kerap mengusik tidurnya yang nyaris tak lagi pernah lelap. Tidur nyenyak tampaknya adalah kemewahan yang tak bisa ditebus oleh apapun kecuali dengan terjawabnya sebuah penantian panjang.





Selama itu pula, hampir setiap pagi sebelum ia pergi ke pasar, ia selalu menyempatkan diri meninggalkan jejak telapak tangannya pada sebuah dinding pembatas gang sempit, tepat di depan rumahnya. Ia hampir selalu punya stok cat putih demi ritual yang tak bisa ia tinggalkan sejak hari itu.

Ia sudah tidak bisa menghitung berapa banyak jumlah telapak tangannya yang terpampang pada dinding. Yang ia tahu, jumlahnya sudah melebihi seribu telapak tangan. Angka yang seharusnya sudah bisa mengabulkan sebuah permintaan sungguh-sungguh. Ia kerap mengasosiakan dan berharap seribu telapak tangan yang membentuk sayap ini akan sama magisnya dengan daya seribu burung kertas yang dipercaya orang Jepang bisa mengabulkan permintaan. Ia pernah membaca tentang seribu burung kertas ini pada sebuah majalah selagi ia menunggui kiosnya.

Perihal sayap raksasa di dinding kumal ini, beberapa orang jatuh kasihan padanya karena menganggapnya tidak bisa melepaskan diri dari kesedihan. Beberapa lagi menganggapnya konyol dan tak masuk akal atau tidak punya kerjaan. Sebagian yang lain menghargai ribuan telapak tangan itu sebagai sebuah karya seni yang bisa sedikit mempercantik gang kumuh yang menjadi lingkungan tinggal mereka.

Lima tahun yang lalu, jika kalian sempat melewati gang kumal ini, kalian hanya akan melihat dua telapak tangan kecil mungil saja. Telapak tangan milik Raka—anak lelaki satu-satunya si Lelaki Laut. Anak baik yang kini entah ada di mana.

Hingga hari ini Lelaki Laut percaya, laut tidak menelan anaknya melainkan mengantarnya ke suatu tempat. Entah di mana. Apakah di Bumi atau di langit—ia ingin lebih percaya yang pertama.

Banyak orang bilang ia terlalu tenggelam dalam perasaan bersalah dan tak bisa menerima kenyataan. Ia tak peduli. Termasuk saat orang-orang mencibirnya sebab memutuskan untuk berhenti melaut, ia tak ambil pusing. Keputusannya berhenti melaut sudah tak terbantahkan.

Raka sering merengek saat sang ayah hendak melaut dan mencari ikan. Anak yang biasanya terkenal manis itu  mendadak cengeng--seolah takut ayahnya tak akan kembali pulang. Sewaktu ibunya masih hidup, Raka tidak pernah merengek seperti itu. Ibunya selalu punya cara mengalihkan perhatian Raka. 

Hingga suatu hari, melihat rengekan Raka yang tak henti, Lelaki Laut memutuskan mengajak putranya untuk ikut melaut. Sekalian ia ingin menunjukkan bahwa laut tidaklah semenakutkan yang putranya pikir. 

Suatu Minggu pagi yang cerah, laut nampak begitu bersahabat. Lelaki Laut ditemani putranya mulai berlayar dan mengayuh perahu. Suara burung camar seolah mengantar mereka--membuat Raka yang tampak tegang sedikit lebih rileks memperhatikan kepakan burung laut itu. "Nanti kalau sayap Raka sudah jadi, Raka bisa terbang seperti burung itu ya, Pak," ujarnya yang hanya disambut senyum oleh sang Bapak. 

Alangkah sial, dalam hitungan satu jam, cuaca yang awalnya tampak bersahabat mendadak tak ramah. Badai datang tiba-tiba mengombang-ambingkan perahu kecil yang mereka tumpangi. Langit menangis diselingi suara petir. Raka ikut menangis. Lelaki Laut memeluk putranya sambil kebingungan antara memikirkan keselamatan anaknya dan menguras air laut yang menderasi perahu yang dipermainkan badai. Hingga akhirnya, setelah beberapa saat terombang-ambing, perahu tersebut terbentur karang. Perahu mereka pecah.

Meski panik, Lelaki Laut berusaha tetap tenang demi anaknya. Ia memeluk Raka dan menjaga agar kepala Raka tetap di atas permukaan laut. Susah payah, ia berhasil menjangkau bilah kayu dari perahunya yang pecah. Ia berpesan pada Raka untuk tidak melepaskan pegangan pada bilah tersebut sebelum ia menjangkau bilah lain untuk dirinya sendiri.

Raka kecil sudah tidak menangis kala itu. Ketenangan entah karena apa atau mungkin justru ketakutan luar biasa membungkam tangisnya. Sesekali ia terbatuk sebab air laut tertelan olehnya.

“Tetap pegangan. Jangan menangis. Anak Bapak tidak boleh cengeng. Kita akan baik-baik saja. Kita akan pulang,” ujar Lelaki Laut setengah berteriak ditengah perjuangannya untuk menjangkau bilah kayu Raka yang kian menjauh terseret gelombang.

Selesai berkata demikian, gelombang besar datang menghempas. Mereka pun terpisah hingga sekarang.

***

Pagi-pagi sekali, Lelaki Laut memandangi sayap besar di hadapannya. Masih jelas terngiang percakapan terakhirnya dengan Raka tentang sayap besar yang akan mengantarnya menuju langit. Tiba-tiba, untuk pertama kalinya dalam 5 tahun penantian, terlintas dalam pikirannya: jika seandainya Raka sudah terbang ke tempat ibunya, mengapa sayap ini belum juga membawanya....




#ditulis pada sesi menulis RLWC, 10 September 2010; interpretasi dari sebuah foto.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...