Tuesday, July 09, 2013

Lelaki Laut dan Sepasang Sayap di Dinding

“Bapak… Bapak…,” terdengar suara anak lelaki berumur 6 tahun memanggil seorang lelaki berbahu tegap. Anak lelaki dengan mata berbinar--bulat dan besar. Mata anak cerdas, begitu sang Bapak kerap membanggakan anaknya. 

Sang Bapak saat itu tengah mengecat pagar bambu yang membatas rumah mereka. Di sela kesibukannya, ia menengok ke arah sumber suara.

“Lihat lukisan tanganku, Pak. Bu guru yang mengajarkan,” lanjut si anak yang sebelumnya meminta jatah cat dari ayahnya.

“Bagus.”

“Benar, Pak?”

Lelaki berkulit gelap itu pun mengangguk.

Anak lelaki yang masih duduk di bangku TK itu pun melonjak senang. “Raka mau bikin lukisan sayap dengan telapak tangan,“ lanjutnya kemudian.

Sang Bapak berhenti mengecat dan mendekati putranya. “Sayap?“

“Iya. Yang besar.“

“Kenapa sayap?“

“Biar Raka bisa terbang ke langit—ke tempat ibu...,“ jawabnya lugas. “Kata Bu Guru, ibu Raka sudah duluan ke langit. Benar, Pak?“

Lelaki yang dipanggil Bapak itu terdiam. Ia berjongkok, mengusap kepala anaknya dan memandanginya lekat: “Raka sungguh kangen ibu?“

Raka kecil yang baru kehilangan ibunya setahun yang lalu itu pun mengangguk cepat.

“Kalau Raka ke langit, Bapak di sini sama siapa?“

Raka terdiam, sempat bingung menjawab. Tapi kemudian ia menjawab: “Bapak bikin sayap juga, kita terbang ke sana sama-sama.“

***

Orang bilang waktu akan mampu mengobati banyak hal: kesedihan, sakit hati, kenangan pahit, kerinduan, trauma, luka dan sebagainya. Namun bagi lelaki ini—Lelaki Laut aku menyebutnya—ungkapan tersebut seolah tak berlaku.

Aku tak begitu mengenalnya. Aku hanya mendengar kisah tentangnya dari orang-orang yang kebetulan mampir ke warung ini—warung tepi pantai. Dan belakangan aku sering memperhatikannya saat ia berdiri di tepi pantai. Hampir tiap hari ia ke pantai—hampir setiap sore sepulang ia bekerja sebagai penjual koran dan majalah di sebuah kios kecil di sudut pasar. Dia akan berdiri di tempat yang sama dengan gaya yang sama; berdiri menghadap laut lalu hening dalam diam. Pandangannya seolah tak berkedip, menerawang jauh ke tengah lautan, seolah takut akan ada yang terlewat dari matanya. Ia akan berdiri seperti itu hingga Matahari terbenam, dan lalu kembali pulang.

Kabarnya, hari ini tepat 5 tahun ia menunggu tanpa putus asa. Memang kadang ia mengeluh pada Tuhan dalam doa-doa yang tak putus ia panjatkan. Tak jarang, emosinya berganti-ganti antara pasrah dan marah entah pada siapa. Tapi tetap saja itu tak mengurangi apa yang ingin ia percayai. Bahwa apa yang ia tunggu adalah suatu yang pantas ditunggu. Bahwa kerinduannya selama bertahun-tahun akan diganjar pertemuan yang membahagiakan.

Betapa keinginan itu dan rasa bersalah kerap mengusik tidurnya yang nyaris tak lagi pernah lelap. Tidur nyenyak tampaknya adalah kemewahan yang tak bisa ditebus oleh apapun kecuali dengan terjawabnya sebuah penantian panjang.





Selama itu pula, hampir setiap pagi sebelum ia pergi ke pasar, ia selalu menyempatkan diri meninggalkan jejak telapak tangannya pada sebuah dinding pembatas gang sempit, tepat di depan rumahnya. Ia hampir selalu punya stok cat putih demi ritual yang tak bisa ia tinggalkan sejak hari itu.

Ia sudah tidak bisa menghitung berapa banyak jumlah telapak tangannya yang terpampang pada dinding. Yang ia tahu, jumlahnya sudah melebihi seribu telapak tangan. Angka yang seharusnya sudah bisa mengabulkan sebuah permintaan sungguh-sungguh. Ia kerap mengasosiakan dan berharap seribu telapak tangan yang membentuk sayap ini akan sama magisnya dengan daya seribu burung kertas yang dipercaya orang Jepang bisa mengabulkan permintaan. Ia pernah membaca tentang seribu burung kertas ini pada sebuah majalah selagi ia menunggui kiosnya.

Perihal sayap raksasa di dinding kumal ini, beberapa orang jatuh kasihan padanya karena menganggapnya tidak bisa melepaskan diri dari kesedihan. Beberapa lagi menganggapnya konyol dan tak masuk akal atau tidak punya kerjaan. Sebagian yang lain menghargai ribuan telapak tangan itu sebagai sebuah karya seni yang bisa sedikit mempercantik gang kumuh yang menjadi lingkungan tinggal mereka.

Lima tahun yang lalu, jika kalian sempat melewati gang kumal ini, kalian hanya akan melihat dua telapak tangan kecil mungil saja. Telapak tangan milik Raka—anak lelaki satu-satunya si Lelaki Laut. Anak baik yang kini entah ada di mana.

Hingga hari ini Lelaki Laut percaya, laut tidak menelan anaknya melainkan mengantarnya ke suatu tempat. Entah di mana. Apakah di Bumi atau di langit—ia ingin lebih percaya yang pertama.

Banyak orang bilang ia terlalu tenggelam dalam perasaan bersalah dan tak bisa menerima kenyataan. Ia tak peduli. Termasuk saat orang-orang mencibirnya sebab memutuskan untuk berhenti melaut, ia tak ambil pusing. Keputusannya berhenti melaut sudah tak terbantahkan.

Raka sering merengek saat sang ayah hendak melaut dan mencari ikan. Anak yang biasanya terkenal manis itu  mendadak cengeng--seolah takut ayahnya tak akan kembali pulang. Sewaktu ibunya masih hidup, Raka tidak pernah merengek seperti itu. Ibunya selalu punya cara mengalihkan perhatian Raka. 

Hingga suatu hari, melihat rengekan Raka yang tak henti, Lelaki Laut memutuskan mengajak putranya untuk ikut melaut. Sekalian ia ingin menunjukkan bahwa laut tidaklah semenakutkan yang putranya pikir. 

Suatu Minggu pagi yang cerah, laut nampak begitu bersahabat. Lelaki Laut ditemani putranya mulai berlayar dan mengayuh perahu. Suara burung camar seolah mengantar mereka--membuat Raka yang tampak tegang sedikit lebih rileks memperhatikan kepakan burung laut itu. "Nanti kalau sayap Raka sudah jadi, Raka bisa terbang seperti burung itu ya, Pak," ujarnya yang hanya disambut senyum oleh sang Bapak. 

Alangkah sial, dalam hitungan satu jam, cuaca yang awalnya tampak bersahabat mendadak tak ramah. Badai datang tiba-tiba mengombang-ambingkan perahu kecil yang mereka tumpangi. Langit menangis diselingi suara petir. Raka ikut menangis. Lelaki Laut memeluk putranya sambil kebingungan antara memikirkan keselamatan anaknya dan menguras air laut yang menderasi perahu yang dipermainkan badai. Hingga akhirnya, setelah beberapa saat terombang-ambing, perahu tersebut terbentur karang. Perahu mereka pecah.

Meski panik, Lelaki Laut berusaha tetap tenang demi anaknya. Ia memeluk Raka dan menjaga agar kepala Raka tetap di atas permukaan laut. Susah payah, ia berhasil menjangkau bilah kayu dari perahunya yang pecah. Ia berpesan pada Raka untuk tidak melepaskan pegangan pada bilah tersebut sebelum ia menjangkau bilah lain untuk dirinya sendiri.

Raka kecil sudah tidak menangis kala itu. Ketenangan entah karena apa atau mungkin justru ketakutan luar biasa membungkam tangisnya. Sesekali ia terbatuk sebab air laut tertelan olehnya.

“Tetap pegangan. Jangan menangis. Anak Bapak tidak boleh cengeng. Kita akan baik-baik saja. Kita akan pulang,” ujar Lelaki Laut setengah berteriak ditengah perjuangannya untuk menjangkau bilah kayu Raka yang kian menjauh terseret gelombang.

Selesai berkata demikian, gelombang besar datang menghempas. Mereka pun terpisah hingga sekarang.

***

Pagi-pagi sekali, Lelaki Laut memandangi sayap besar di hadapannya. Masih jelas terngiang percakapan terakhirnya dengan Raka tentang sayap besar yang akan mengantarnya menuju langit. Tiba-tiba, untuk pertama kalinya dalam 5 tahun penantian, terlintas dalam pikirannya: jika seandainya Raka sudah terbang ke tempat ibunya, mengapa sayap ini belum juga membawanya....




#ditulis pada sesi menulis RLWC, 10 September 2010; interpretasi dari sebuah foto.

0 comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...