Friday, March 13, 2009

Menginap di RSHS

Seingatku, inilah kali pertama aku menginap di rumah sakit. Sekitar pukul 10 malam--Bandung masih diguyur hujan--aku dan Elyn meluncur dengan mengendarai motor menuju RSHS; berbekal 2 ransel berisi karpet dan selimut dan sekantung camilan. Arha sudah pulas saat kami sampai, tapi kemudian terbangun karena keributan yang kami buat. Arha bermandi keringat: indikasi bagus untuk kesehatannya. Sebelum tidur kami mengobrol sejenak, Elyn menceritakan pada Arha bagaimana perjalanannya menuju kost dan kembali ke rumah sakit bersamaku. Elyn menerobos banjir yang tak diduga, melanggar jalan tak rata hingga ia oleng, lupa mengganti gigi hingga kesulitan menanjak dan akhirnya menggunakan kakinya untuk memacu motor, melewati lubang yang tidak kelihatan, dll.

Pagi-pagi, perawat datang membereskan kasur, melakukan pemeriksaan, dan mengambil darah Arha. Elyn dan Sarti (teman Arha yang datang menjenguk) mengantar darah Arha yang kental ke lab, sementara aku menemani Arha. Aku tidak merasa sedang bersama seorang yang sakit. Arha sejak subuh sudah berkali-kali mengkhawatirkan aku: menyuruhku tidur lagi, menawarkan sarapan seolah-olah akulah yang sakit dan bukan dirinya. Ia juga dengan antusias bercerita tentang kost-an, dll. Ditengah pembicaraan, datang petugas kebersihan yang membuka korden pembatas ruang perawatan dan seorang gadis remaja. Awalnya, kami mengira gadis itu adalah salah satu kerabat dari dua pasien lain di ruang ini. Tapi rupanya kami salah, kami beberapa kali bertukar pandang mendengar celoteh gadis ini. Celoteh yang agak ganjil. Tanpa ada yang bertanya, ia berujar: "Nama aku Sumiyati." Ia lalu menghampiri pasien penyakit SOL dan berujar: "Teteh cepat sembuh ya, biar cepat nikah." Ia berbalik ke arah kami, "Aku juga mau nikah sebulan lagi."

Aku tak ingat bagaimana awalnya hingga Sumiyati dan Arha berbicara tentang pernikahan. Saat itu, Sumiyati sudah duduk di samping ranjang Arha. Arha kemudian bertanya apakah ia sedang menjenguk seseorang. Dan Sumiyati menjawab, "Enggak, aku juga di rawat di bawah. Ruangku di bawah, di ruang sakit jiwa."

Aku dan Arha berpandangan, aku sedikit takut mendengarnya dan takut kalau ia tiba-tiba mengamuk. Sementara Arha, ia kembali bertanya, "Sama siapa di sini, sendirian?" "Berdua sama Ibu." "Rumahnya di mana?" Sumiyati menjawab lengkap dengan nama kecamatan.

Sumiyati beralih ke jendela, menyapa seseorang yang ia panggil profesor, mengajak mengobrol, dan menyapa lebih banyak orang yang ia lihat. "Hai.. Halo.. Enggak, ini aku lagi jenguk temen." Mendengar ini, aku--yang kini duduk di kursi yang tadi diduduki Sumiyati--dan Arha lagi-lagi bertukar pandang.

"Wah, temennya banyak ya?" ujar Arha saat Sumiyati mendekatinya.

"Iya. Pacar aku ada 3."

"Oh ya? Banyak banget.."

"Iya. Ada A' Asep, ada A' Ian sama A' Beny."

"Wah banyak ya? Aku boleh minta satu, ga?" Tanya Arha. Aku tertawa mendengarnya.

"Ga boleh."

"Ga boleh ya? Soalnya aku belum punya pacar."

"Maunya yang gimana?"

"Ehm.. Bagusnya yang gimana ya kira-kira?"

"Kalau A' Beny aja gimana? Dia cakep soalnya."

"Oh ya? A' Beny ya.."

"Kalo aku sama A' Ian aja. Soalnya udah pernah dicium ma A' Ian. Pernah dipeluk juga."

"Oh gitu. Mungkin lebih kena di hati ya kalau udah pernah dicium."

Sumiyati tersenyum sangat manis mendengar Arha.

"Oh ya, siapa tadi namanya?" tanya Arha.

"Sumiyati." Lalu ia segera membaca whiteboard di atas meja, "Nama kamu Arhayani, 35 tahun."

"25 tahun," aku membenarkan.

"Oh iya. Kalau aku 18 tahun."

"Wah masih muda, ya? Masih sekolah?" tanya Arha.

"Udah enggak," jawab Sumiyati.

Sumiyati keluar ruangan, tapi tak lama kembali bersama seorang dokter praktek. "Sini gera'.. Sini gera'...," ajaknya pada dokter muda itu sambil menariknya ke tempat Arha. Sang dokter jadi kikuk melihat kami. Lalu Sumiyati bertanya pada Arha, "Kalau sama ini mau ga?" Belum sempat kami menjawab, dokter mundur satu langkah menghindari tatapan kami, dan bertanya pada Sumiyati, "Kenapa?"

"Soalnya teteh ini lagi nyari pacar."

Sang dokter langsung keluar ruangan, diikuti Sumiyati.

Arha mengaku alasan kenapa ia terus mengajak Sumiyati mengobrol adalah karena ia melihat Sumiyati tampak jinak.

Aku menikmati saat-saat menginap di RSHS, dan mengambil banyak pelajaran. Aku belajar dari Arha tentang keikhlasan, kesabaran, dan keceriaannya dalam melawan penyakit yang bisa dibilang tidak ringan. Aku tidak merasa bosan menungguinya, sebab ia selalu menceritakan kisah atau berujar sesuatu yang membuatku tertawa. Yang lebih mengesankan aku, Arha masih bisa bercanda tentang penyakitnya dan bahkan mau meladeni orang dengan gangguan jiwa; sesuatu yang tidak mungkin kulakukan baik saat aku sehat apalagi saat sakit.

Ketulusan Elyn sebagai sahabat terdekat Arha. Elynlah yang membawa Arha ke RSHS, mengurusi semua keperluan Arha, bolak-balik membelikan obat, membesarkan hati Arha, dan sering mengolok-olok mata kiri Arha yang menyipit dengan menyebutnya ”picek”: yang aku yakin merupakan salah satu bentuk usaha Elyn untuk menghibur Arha, untuk menganggap biasa mata yang menutup sebelah akibat saraf yang mungkin sedikit bermasalah. Padahal, sejak awal di RS, Elyn sudah berkali-kali menahan emosi menghadapi prosedur RS. Setiba di UGD, bukannya bertanya tentang keluhan pasien, seorang petugas malah berujar pada Arha: ”Kok mukanya seger gitu?!” Ia tidak kenal Arha, tidak tahu betapa Arha menguat-nguatkan dirinya padahal berjalan saja dia sudah sempoyongan; ia tidak tahu bahwa Arha sudah tidak nyambung diajak ngobrol lantaran tubuhnya sudah terlalu lemas. Setibanya di ruang perawatan kelas 2, Elyn harus bolak-balik ke apotek untuk membeli obat, cairan infus, bahkan jarum suntik untuk Arha, sehingga Dokter bisa melakukan tugasnya menyuntikkan obat tersebut, memasang infus, dll. Sistem yang aneh! Kekesalan kami pun bertambah saat mendengar Sarti bercerita tentang respon petugas pusat informasi saat ia menanyakan ruangan Arha. Petugas tersebut, saat ditanya letak ruang perawatan no. 19A, malah balik bertanya, ”Cuma nanya itu?!”

Selain itu, ada pemandangan lain yang menarik perhatianku di ruang perawatan yang dihuni tiga pasien ini. Aku bersimpati pada seorang pasien perempuan yang berbicara saja sudah tidak jelas dan sangat kurus dan sudah tidak bisa ke kamar mandi lagi. Tapi aku lebih bersimpati pada ibunya yang juga sangat kurus dan terlalu tua untuk menungguinya seorang diri! Seorang diri! Ibu setua itu sudah seharusnya beristirahat di rumah dan menikmati hari tua. Aku tak tega membayangkan ibu ini harus bolak-balik naik-turun ke lantai 1 untuk membeli obat di apotek. Karena begitulah sistemnya, jika mau disuntik obat, yang menjaga pasienlah yang harus menyediakannya. Tapi mudah-mudahan para perawat dan dokter berbaik hati pada ibu ini, dan membawakan obat untuk anaknya.

***

Aku menikmati saat-saat menginap di RSHS. Tidur beralas karpet, berbantal tas, dan (untungnya) berselimut bukanlah suatu masalah; suara mengorok seorang bapak yang menunggui ibunya (pasien di sebelah Arha) yang sambung menyambung sepanjang malam bukanlah gangguan. Aku, Elyn, dan Arha beberapa kali tergelak mendengar irama mengorok yang masih perlu dilatih agar terdengar lebih terlatih; bangun pukul 3 dini hari untuk membeli infus di apotek bukanlah suatu yang menyusahkan, kecuali jika mengingat bahwa sistem membeli obat seperti ini sangatlah aneh.

Mohon doanya ya teman-teman, agar Arha cepat sembuh. Karena bisa dibilang penyakit Arha bukanlah penyakit ringan, meski bukan juga penyakit yang teramat serius. Semoga!

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...