Wednesday, May 28, 2014

Senyum Karyamin dan Surabanglus = Mood Susah

Kemarin saya membaca sebuah buku kumpulan cerpen karya Ahmad Tohari, "Senyum Karyamin". Saya sudah membelinya beberapa waktu lalu, tapi baru sempat membaca. Saya pikir saya ingin mengenal Tohari dari cerpennya terlebih dahulu. Saya penasaran dari dulu tentang bukunya yang berjudul "Ronggeng Dukuh Paruk" tapi belum juga berkesempatan membaca. Pernah menonton filmnya, meski tidak secara intens (baca: konsentrasi) dan tidak tertarik. Dan itu belum juga mengubah kenyataan bahwa saya belum membaca bukunya itu.

Nah, dari pengantar kumpulan cerpen ini saya sudah merasa bahwa cerpen-cerpennya akan tentang kesusahan wong cilik, rakyat jelata yang berjuang hidup sehari-hari dan ketidakadilan hidup yang mereka tanggung. Dan rupanya dugaan saya tidak meleset.

Kumpulan cerpen ini dibuka dengan "Senyum Karyamin"--judul yang dijadikan judul buku. Berkisah tentang Karyamin, seorang kuli yang mengambil batu kali untuk dijual pada tengkulak. Gaya berceritanya memang menarik, kita diajak mengenali tokoh dan masalahnya dengan pertama-tama diceritai tentang kondisi tubuh Karyamin yang lemah karena belum sarapan. Ia berkali-kali jatuh berikut batu yang diangkutnya sebab lemah. Hingga akhirnya memutuskan pulang, karena disarankan pula oleh kawan-kawannya. Dari obrolan kawan-kawan tersebut, kita diajak lebih mengenal Karyamin, istrinya, tengkulak yang telat membayar, dsb. Celotehan mereka hanya ditimpali senyuman oleh Karyamin.

Saat memutuskan pulang, Karyamin menolak tawaran nasi pecel tak jauh dari sungai sebab ia tak ingin berhutang pada sang pedagang. Pedagang itu pun menanggung hutang para kuli batu yang belum bisa membayar sebab tengkulak tak kunjung memberi upah. Cerpen ini berakhir miris saat dalam perjalanan pulang, petugas desa meminta Karyamin membayar sumbangan untuk korban kelaparan di Afrika. Helllooo...korban kelaparan di Afrika? Sementara Karyamin sedari pagi menahan lapar hingga mata berkunang-kunang dan harus pulang. Karyamin tertawa saat mendengarnya bukan lagi tersenyum, dan saat itu pula tubuhnya ambruk jatuh ke jurang.

Tragis.

Dan oke saya masih penasaran dengan cerita berikutnya. Saya melahap kisah kedua, ketiga, dan keempat berjudul "Surabanglus". Surabanglus rupanya adalah sebutan untuk singkong beracun yang dibakar oleh dua orang tokoh (dianggap sebagai pencuri kayu) yang kelaparan sebab bersembunyi dari kejaran polisi hutan. Seorang tokoh menyadari bahwa singkong tersebut beracun sebelum sempat memakannya. Tokoh ini melarang temannya untuk makan singkong tersebut, dan ia kemudian berhasil turun gunung mencari makanan sebab temannya sudah sangat lemah menahan lapar. Pada akhir cerita, surabanglus tinggal kulit saat tokoh tersebut berhasil kembali membawa makanan. Ia memeluknya temannya yang meregang nyawa karena memamah surabanglus. Tak kalah tragisnya dengan kisah Karyamin.

Dan saya merasa cukup membaca buku kumpulan cerpen ini. Saya tidak mau melanjutkan membaca karena empat kisahnya sudah membuat mood saya ikut susah.



*Salut for Tohari.

2 comments:

Nia Janiar said...

Wah, sama Neni. Tahun lalu saya beli buku Ahmad Tohari (tapi lupa judulnya). Itu juga gak saya baca karena awal-awalnya juga udah bikin mood susah. Hehe..

Neni said...

iyaaa, dan saya sempet kelintas di pikiran, kyknya lebih baik nulis ttg hal-hal yg menyenangkan krn dgn gt kita bisa berbagi kesenangan.

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...