Sunday, February 26, 2012

Gadis Berkerudung Senja

Ialah gadis kecil berkerudung senja
matanya adalah sepasang lampu jalan
yang meletup-letup disambar salju tengah malam
entah hitam muda, entah hitam tua--aku lupa

senyumnya adalah bunga musim semi
cerah segar layaknya berkaleng-kaleng warna pagi
entah terpana, entah penuh tanya
lekat ia memandangku--aku tertular ceria

gigil angin menjelang musim dingin,
menyeretnya segera--
menghilang di ujung jalan:
belum usai kami menuntas penasaran

desing angin di sudut Kota Hamburg kala itu
berbisik padaku sebuah rahasia:
hari itu adalah pertama dan terakhir kami berjumpa




Disorientasi

aku bahkan sudah berhasil menanam cahaya
berwarna-warni
juga batang-batang pegagan
di sebuah vas bunga sederhana
dekat meja telepon.

tapi entah untuk apa. atau mengapa.

Apa Maksudnya Ini?!

Apa-apaan ini?!
aku merindukanmu
saat kau ada di dekatku--
tepat di sisiku!


(5 April tahun lewat)

Menjerang Kenangan

Mari menjerang kenangan,
biar matang!

Sudah kubisikkan pada api
bahwa kenangan ini adalah menu istimewa!





Saturday, February 25, 2012

Tentang Rasa Sebuah Buku

Boothman, penulis buku How to Make People Like You in 90 Seconds or Less, bilang bahwa sebenarnya kita tidak jatuh cinta kepada seseorang, kita jatuh cinta pada perasaan yang kita temukan saat kita bersama seseorang tersebut. Nah! 

Tulisan ini akan tidak membahas tentang perasaan antara seseorang dan seseorang yang lain. Maka ijinkan saya mengadaptasi kutipan Boothman tadi menjadi sebagai berikut: sebenarnya kita tidak jatuh cinta kepada sesuatu, kita jatuh cinta kepada perasaan yang kita temukan saat kita bersama sesuatu tersebut

Sesuatu di sini adalah sebuah buku. Sewaktu mulai sibuk skripsi, saya mulai juga sibuk mengunjungi perpustakaan kampus. Selain ke bagian skripsi, saya lumayan sering menyusuri lorong di antara rak-rak buku besi di bagian referensi. Dalam usaha pencarian tersebut, saya menemukan sebuah buku panduan menulis. Bukan, bukan menulis skripsi, melainkan buku panduan menulis cerpen. Sejak hari itu, buku ini jadi salah satu sarana pelarian dari kejenuhan mengerjakan skripsi berikut membacai referensinya.

Buku tersebut berjudul Berguru Kepada Sastrawan Dunia, versi terjemahan karya Josip Novakovic. Kebetulan saya juga aktif seminggu sekali mengikuti klab menulis, dan buku ini jelas punya pengaruh besar dalam usaha saya menulis cerpen tentu saja; (lagi-lagi) bukan skripsi. Sampai saya lulus, saya terus memperpanjang durasi pinjam buku tersebut setiap dua minggu sekali selama kurang lebih setahun. Karena perpus hanya memberikan jatah 3 buku sekali pinjam, maka saya hanya bisa pinjam buku referensi skripsi sebanyak dua saja. Kalau pun ada 3 buku referensi yang menarik, saya tidak akan mengorbankan buku Novakovic tersebut. Ia menjadi semacam bacaan wajib bagi saya. 

Saat mulai membaca buku tersebut, bahkan baru membaca pengantarnya saja--yang ditulis oleh Hilman "Lupus" dan saya lupa yang satu lagi siapa--saya sudah jatuh cinta. Begitu membaca lebih jauh, buku ini begitu menginspirasi saya dalam menulis cerpen. Novakovic banyak mengutip potongan tulisan dari sastrawan-sastrawan besar di dunia untuk mendukung teori yang sedang ia paparkan. Selain itu, di setiap akhir bab, ada sejumlah latihan yang bisa mengasah keterampilan atau pemahaman atas materi setiap bab, misal tentang setting, plot, karakter, atau pembuka dan penutup sebuah cerpen. Latihan-latihan tersebut kebanyakan berhasil memancing dan menggerakkan saya untuk menulis bebas. Menulis sampah pun tak masalah, yang penting saya bisa menuangkan sesuatu. Maklum, dulu saya sering sekali merasa gelisah (mungkin sekarang lebih dikenal dengan istilah 'galau') jika lama tidak menghasilkan sebuah tulisan, khususnya cerpen utuh. Buku ini jelas sebuah obat mujarab untuk kegelisahan tersebut. Tulisan-tulisan saya kala itu lebih variatif dalam hal ide cerita atau tema bahkan mungkin gaya penceritaan (dibandingkan dengan tulisan-tulisan saya sebelumnya, jangan dibandingkan dengan tulisan penulis handal), dan saya menjadi lebih produktif dalam menulis cerpen.

Menjelang kelulusan, mau tak mau, saya harus mengembalikan buku tersebut. Sebab sudah telanjur sayang, saya lalu memutuskan untuk membelinya. Saya menanyakan buku tersebut setiap kali ke toko buku--baik toko buku besar atau kecil--di Bandung dan di Jakarta. Saya sudah bekerja di Jakarta waktu itu, tapi masih bolak-balik Bandung tiap weekend dengan alasan utama menghadiri klab nulis. Sayangnya buku ini buku langka, mungkin tidak dicetak lagi. Menurut saya ini aneh; buku sebagus ini kok tidak dicetak ulang? Akhirnya, untuk mengatasi kekecewaan, saya membeli buku-buku panduan menulis lain. Tapi, tidak ada yang bisa menandingi buku Novakovic ini: lengkap, kaya, menginspirasi, dan jelas 'memikat hati' saya.  Membaca buku lain yang sejenis menjadi pengalaman biasa-biasa saja, membuat saya merasa bahwa buku lain tersebut bukan apa-apa.

the book I'm talking about
Kenangan atas kesan yang saya rasakan saat membaca buku tersebut dan rasa penasaran untuk memilikinya tak juga hilang bahkan setelah bertahun-tahun. Maka sewaktu saya tinggal di Hamburg-Jerman, saya memesan buku tersebut secara khusus di Thalia Buchandlung (Toko Buku Thalia). Buku yang saya pesan tentu saja yang berbahasa Inggris--bahasa aslinya--dengan judul asli Fiction Writer's Workshop: The Key Elements of A Writing Workshop. Buku ini bisa dibilang buku termahal yang pernah saya beli. Saya senang sekali saat menjemput buku ini pada tanggal 4 Maret 2010 di Thalia. Saya sudah tidak sabar ingin merasakan lagi pengalaman dan perasaan termotivasi serta terinspirasi seperti yang saya rasakan saat membaca versi Bahasa Indonesianya, Berguru Kepada Sastrawan Dunia. Tapi, apa yang terjadi kemudian saudara-saudara? Ayo tebak. Ayo coba tebak. Pasti kalian tidak bisa menebaknya. 

Saya mengantuk membaca versi aslinya ini. Boro-boro tersinspirasi!

Mereka memang buku yang sama, hanya dalam bahasa yang berbeda. Tapi kita tahu pasti, rasa setiap bahasa jelas berbeda-beda. Saya tidak akan menuliskan alasan-alasan atau kemungkinan-kemungkinan lain yang mungkin menyebabkan antiklimaks tersebut di atas. Saya hanya akan menutup tulisan ini dengan mengulang kutipan pembukanya: sebenarnya kita tidak jatuh cinta kepada sesuatu, kita jatuh cinta kepada perasaan yang kita temukan saat kita bersama sesuatu tersebut

Saturday, February 18, 2012

Tentang Daun #3

Ada selembar daun diseret angin,
lupa jalan pulang menuju petang.

Friday, February 17, 2012

Tentang Daun #2

Ada selembar daun
lincah menjaring gerimis (yang sempat usai)
di antara hiruk pikuk hujan sore tadi

Ada sebatang rumput liar
kuyup mengurai rintik (yang sempat tiada)
di antara warna-warni pelangi yang hanya hijau saja

aroma cuaca terasa pahit dan manis:
hujan tak menghadiahi apa-apa, kecuali isyarat
yang tak seberapa

Jumat Hijau

Selamat pagi, Jumat yang hijau. Kenapa hijau? Karena kostum hari ini adalah batik hijau yang dipadu cardigan warna hijau apel yang terang. Terdengar tidak penting ya? Jumat yang hijau sebab suasana hati bisa mekar meski  awalnya terasa suram. Interaksi menyenangkan dengan orang lain dan keinginan untuk bebas dari yang tidak hijau tentu berpengaruh besar atas proses mekar tersebut.

Happiness is a choice. Mereka memang hanya kata-kata. Tapi kadang mereka tidak sesederhana itu. Mereka bisa menjadi mantra, bisa juga menjadi bumerang. Bagaimanapun, usaha menyugesti diri dengan kata-kata positif adalah jauh lebih baik dari pada membiarkan diri tenggelam pada suatu keadaan yang tidak hijau. Kalau pun gagal, paling tidak kita tahu kita telah mencoba.

Selamat hari Jumat yang hijau. Semoga selalu hijau dan cerah mekar.




Wednesday, February 15, 2012

Terperangkap

Kesiur rindu tidak berhembus searah angin
ia terperangkap, bergulung-gulung di dalam sini
menunggu dibebaskan atau meledak!

Monday, February 13, 2012

Veronika Memutuskan Mati

Disebut normal adalah sebuah konsensus. Ketakutan melanggar konsensus dan disebut tidak normal kadang-kadang membuat kita menjadi yang bukan diri sendiri. Menyangkal diri dan keinginan-keinginan terdalamnya. Konsensus tersebut bahkan membuat diri merasa bersalah jika tidak menjadi seseorang yang diharapkan orang lain atas diri kita.


**


Veronika Memutuskan Mati. Adalah judul novel karya Paolo Coelho yang baru selesai saya baca. Veronika adalah gadis muda berusia 24 tahun, cantik, pintar, bermasa depan cerah, yang memutuskan bunuh diri dengan menenggak pil tidur dosis tinggi. Rutinitas yang membuatnya merasa hidupnya akan selalu sama, monoton. Inilah alasan pertamanya ia memutuskan mati bunuh diri. Alasan kedua adalah karena ia merasa betapa banyak masalah di dunia ini (yang ia baca di koran dan majalah, yang ia tonton di televisi), sementara ia tidak bisa berbuat apa-apa.


Terdengar aneh? Mungkin. Membaca halaman-halaman selanjutnya, kita akan tahu bahwa alasan ia memutuskan mati tidak sesederhana dua poin di atas. Veronika digambarkan sebagai seseorang yang selalu berusaha terlihat bersikap baik, ramah, dan penuh kasih sayang. Ia melepas mimpinya sebagai seorang pianis demi memenuhi permintaan ibunya yang "mengorbankan hidupnya agar putrinya mendapatkan pendidikan yang baik, mahir memainkan piano dan biola, bergaun seperti putri... sementara dirinya sendiri mengenakan baju yang sama selama bertahun-tahun." Akhirnya, ia belajar hukum sesuai keinginan ibunya, tapi kemudian memilih bekerja sebagai pustakawati--sebuah pekerjaan yang stabil, yang aman. "Cinta tanpa pamrih telah membuatnya penuh rasa bersalah, ingin memenuhi harapan orang lain, meski itu berarti mengorbankan semua mimpinya." Belum lagi fakta bahwa pernikahan orang tuanya tidak harmonis, menambah-nambah beban pikiran Veronika. 


Memendam kebencian, amarah, dan mengabaikan perasaan-perasaan yang mungkin dianggap negatif jika diekspresikan telah menjadi karakter Veronika. Ia berusaha memenuhi harapan orang lain dan selalu bersikap baik dan manis. Hingga pada titik tertentu, ia tidak sanggup lagi menjadi yang diharapkan orang lain, menjadi yang bukan dirinya. Merasa hampa. Mati adalah jalan keluar yang terpikir olehnya. Ia memilih menenggak pil tidur dosis tinggi. Cara yang ia pikirkan masak-masak, yang tidak akan terlalu merepotkan orang lain dan tidak meninggalkan bekas. Cara mati yang mungkin lebih bisa diterima ibunya. Karena jika ia melompat dari gedung tinggi atau mengerat nadinya, tentu akan menimbulkan ingatan dan kenangan buruk bagi ibunya tentang kondisi mayatnya. Lihat, bahkan untuk bunuh diri, ia masih mempertimbangkan perasaan atau akibatnya bagi orang lain--khusunya ibunya.


Veronika gagal bunuh diri dan menemukan dirinya terbangun di Villete--sebuah asylum bagi penderita sakit jiwa--setelah berhari-hari koma. Saat Veronika mengutuk dirinya yang gagal bunuh diri, Dr. Igor mengatakan padanya bahwa ia akan mati dalam waktu tak lebih dari seminggu. Jantungnya sudah rusak. Jadi, ia tak perlu mengulang usahanya bunuh diri. 


Kesadaran akan kematian membangkitkan semangat hidup. Selama menunggu kematian, Veronika sampai pada suatu kesadaran, bahwa di usianya yang tinggal beberapa hari, ia ingin melakukan hal-hal yang belum pernah ia lakukan. Ia memiliki keberanian meluapkan amarah, merasakan kebencian, dan melakukan sesuatu tanpa takut dianggap tidak sopan, mengenali serta mengakui sifat cabul di dalam dirinya yang selama ini ia pendam, dan melakukan apa yang sangat ia inginkan tanpa takut penilaian orang lain. 


Saat kesadaran akan kematian mengusiknya, pada suatu malam di mana bulan bersinar terang, Veronika menangis terisak setelah mendapat ijin dari perawat penjaga untuk memainkan piano di salah satu ruang di Villete. Ia menangis entah karena apa, mungkin menyesali atau meragukan keputusannya meminum pil-pil tersebut atau karena takut menghadapi kematian. "Ketika kuminum pil-pil itu, aku ingin membunuh orang yang kubenci. Aku tidak tahu ada Veronika lain dalam diriku, Veronika yang kusayangi." Begitu ujarnya saat perawat berkata bahwa ia tak mengerti apa yang membuat seseorang ingin mengakhiri hidupnya. "Apa yang membuat orang benci diri sendiri?" tanya perawat kemudian. "Sifat pengecut barangkali. Atau mungkin takut bertindak salah, atau tidak dapat memenuhi harapan orang lain...," jawab Veronika.


Malam itu Veronika memainkan musik secara sembarangan sebanyak puluhan kali sambil mengeluarkan perasaan negatif dalam dirinya berikut kebencian-kebencian yang selama ini ia pendam. Setelah ia merasa puas, kedamaian membungkusnya. Ia lalu memainkan sonata penghormatan pada bulan, taman, dll. Bertepatan dengan itu, alunan musiknya menarik perhatian seorang skizofrenia, Eduard. Malam-malam selanjutnya, Veronika memainkan piano atas permintaan Eduard yang menunjukkan ketertarikan pada musik. Membuat Veronika merasa memiliki seseorang yang mengerti dirinya, mimpi terbesarnya. Berawal dari piano, ditambah dengan kesadaran bahwa kematian sudah dekat bagi Veronika (tinggal 24 jam saja), dan serangkaian kejadian yang jalin-menjalin di Villete, mereka berdua memutuskan kabur untuk menikmati kembali kehidupan di luar Villete dan menyadari pentingnya memperjuangkan keinginan terbesar mereka.


Dan percayalah, kalian mungkin tak menyangka apalagi bisa menebak akhir ceritanya.


***


Selesai membaca Veronika Memutuskan Mati, saya jadi banyak berpikir tentang konsep diri sendiri. Beberapa minggu yang lalu, saya sempat membenci diri sendiri. Mengapa saya tidak bisa sepositif orang lain saat menyikapi masalah, tidak sedewasa dan senyantai orang lain dalam memandang kehidupan lengkap dengan dinamika di dalamnya, tidak punya teman sebanyak orang lain, tidak pandai menjaga hubungan baik dengan teman yang seada-adanya itu, tidak semenyenangkan dan seramah orang lain, tidak seberuntung orang lain, tidak seluwes orang lain saat berinteraksi dan menentukan sikap, dsb. 


Salah satu pemicu perasaan benci diri tersebut adalah sederhana saja. Ia muncul sebagai hasil akumulasi dari beberapa kejadian yang kurang menyenangkan yang terjadi belakangan. Salah satunya, saya merasa telah merusak suasana saat bersama dengan teman-teman, merasa sebagai orang yang tidak "asyik" dan terlalu sensitif dalam merespons sikap orang lain yang membuat saya tidak nyaman. Saya merasa tidak mampu menjadi seseorang yang diharapkan orang lain--yang bertindak dan bersikap sesuai konsensus dan etika pergaulan tak tertulis. Yang bisa memendam perasaan negatif atau paling tidak bisa mengekspresikannya dengan cara yang lebih benar.


Mungkin Veronika benar. Saya pengecut. Saya mengabaikan perasaan saya sendiri. Saya takut bertindak salah, atau tidak dapat memenuhi harapan orang lain. Mungkin karena hal-hal tersebut, kemarin-kemarin, saya benci sekali dengan diri saya.


Maka membaca Veronika Memutuskan Mati, saya seolah mendapat pembenaran (untuk menghibur diri sendiri), bahwa kadang-kadang tidak ada salahnya mengekspresikan perasaan negatif. Apalagi perasaan negatif itu muncul akibat tindakan kurang menyenangkan dari orang lain. Saya punya hak untuk protes. Atau sekedar menunjukkan pada mereka bahwa saya tidak seharusnya diperlakukan demikian. Bahwa usaha protes saya adalah salah satu cara saya menghargai dan membela diri sendiri. Jika mereka tidak bisa menerima itu, itu urusan mereka. Jika akhirnya hubungan memburuk--kemungkinan sulit untuk menerima kenyataan tersebut--tapi mungkin itu yang terbaik. Dan saya tidak perlu terlalu merasa bersalah.



Sunday, February 05, 2012

Pintu Terlarang

Entah kenapa saya begitu ingin menuliskan tentang ini. Tentang sebuah pintu khusus di kantor tercinta. Pintu yang hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu yang memiliki kartu khusus, yang berfungsi sebagai kunci bagi pintu tersebut.

Pintu ini terletak di sebuah lorong yang dulu biasa kami lewati jika hendak makan siang ke kantin. Hingga suatu hari, bertepatan dengan musim ujian nasional anak sekolah, percetakan mencetak soal-soal ujian. Oleh karena ini, pintu ini dibuat untuk memastikan keamanan dan kerahasiaan mengenai proses percetakan. Kira-kira begitu awalnya pintu ini ada, dan mungkin juga ada alasan lain.

Nah, sejak saat itu, kami terpaksa jalan memutar untuk ke kantin, yang tentunya lebih jauh. Tapi belakangan ini, kami sengaja atau memilih kebiasaan baru. Kami akan tetap lewat lorong tempat pintu khusus tersebut berada dengan cara menguntit orang yang memiliki akses melaluinya. Jika kebetulan tidak ada yang lewat, kami akan menunggu sebentar kedatangan orang dengan kartu khusus, sehingga kami tak perlu jalan memutar.

Orang-orang dengan kartu khusus ini, ada yang dengan terpaksa membiarkan kami melewati lorong tersebut, ada yang--meski melihat kami menuju pintu--dengan sengaja menutup pintu tanpa menahannya sehingga kembali terkunci, ada pula yang memang berbaik hati dengan tulus menyilakan kami lewat.

Menghadapi orang-orang tersebut di atas, tentu kami akan bersenang hati jika bertemu yang berbaik hati bahkan terharu pada seorang bapak yang tak hendak lewat tapi berkenan membukakan pintu khusus bagi kami. Dan kami akan menggerutu jika ada orang di depan kami yang membiarkan pintu tertutup/terkunci padahal ia tahu kami hendak lewat. Beruntung orang tipe ini sedikit kami temui.

Perusahaan ini terdiri dari beberapa anak perusahaan, dan pintu ini kemungkinan adalah salah satu cara untuk menandai wilayah antar anak perusahaan yang satu dan lainnya. Kadang-kadang saya berpikir, bagaimana seandainya saya berada di posisi orang-orang dengan kartu khusus tersebut. Kemungkinan besar saya akan menjadi orang-orang yang sebal atau terpaksa membiarkan pegawai anak perusahaan lain lewat pintu tersebut. Apalagi misalnya sudah jadi peraturan tak tertulis bahwa pintu tersebut memang tidak boleh diakses orang lain selain kami. Saya mungkin sebal sekali pada orang yang memaksa lewat sana padahal jelas tidak dianjurkan. Karena pertimbangan inilah, saat teman-teman saya sebal tingkat tinggi tentang orang-orang yang membanting pintu di depan kami, level sebal saya jauh di bawah mereka.

Meski begitu, bagaimana pun juga, saya sangat menghargai orang-orang yang berbesar hati menginjinkan orang lain lewat di jalur khusus mereka dengan mengabaikan peraturan demi alasan kemanusiaan, solidaritas, kesopanan, toleransi, atau semacamnya. Dan ini jadi alarm pengingat bagi diri sendiri bahwa kadang-kadang kita harus bersikap fleksibel terhadap peraturan--bahwa peraturan boleh dilanggar dengan pertimbangan situasi dan kondisi apalagi untuk alasan kemanusiaan.


Friday, February 03, 2012

kamu, aku, dan ibu


kamu pasti tidak pernah tahu tentang ini:
berbicara tentangmu adalah ikatan antara aku dan ibuku 

sejak kuputuskan berhenti bicara tentangmu
kami kesulitan menemukan tema bicara—
sama seperti dulu, saat kami belum mengenal kamu


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...