Friday, May 15, 2009

Pengantar Es

Kemarin sewaktu saya pergi lebih pagi menuju kantor, saya melihat pengantar es batu yang mampir di setiap warung kecil di sepanjang jalan yang saya lewati.

Ia bersepeda. Balok es yang panjangnya mencapai satu meter diikat di boncengan. Setiap kali berhenti di warung, ia mengeluarkan besi tajam dan memotong balok es dengan sangat mudah. Tanpa pelindung tangan atau alas, ia mengangkut balok es langsung ke box minuman dingin yang biasanya diletakkan di depan setiap warung, lalu pergi begitu saja melanjutkan kayuhan. Tidak ada basa-basi (apalagi transaksi) dengan penjaga terlebih lagi dengan pengunjung warung yang sedang duduk santai. Sudah dua warung ia singgahi, dan ia hanya “berinteraksi” dengan tutup box pendingin minuman.

Melihat ini, saya menduga bahwa setiap warung pastilah sudah berlangganan es batu. Kehadiran pengantar es batu pun terkesan hanya bagai angin lalu, karena ia datang dan pergi setiap hari. Dan sepertinya karena intensitas inilah, basa-basi seolah tak lagi diperlukan apalagi diusahakan. Bukankah kita sering abai/ tak hirau pada sesuatu yang memang sudah, selalu, atau seharusnya ada. Semoga di warung berikutnya, ada penjaga warung yang tidak menganggapnya angin (meskipun ia mengendarai “kendaraan angin”).

Mengenai transaksi, mengingat harga es batu pastilah murah, kemungkinan pemilik warung membayar pesanan es batu setiap seminggu sekali atau sebulan sekali. Dan pertanyaan berikutnya adalah berapa harga sebalok es batu untuk satu bulan? Lalu berapa pula penghasilan pengantar es batunya? Di mana rumahnya? Apakah balok es itu dibuat sekaligus diantar sendiri oleh pengantar bersepeda tersebut? Karena jika ia hanya petugas pengantar, tentu penghasilannya lebih minim lagi! Apakah ada pengantar es batu lain selain dia? Bagaimana mulanya ia bisa menguasai “pasar” per-es batu-an di lingkungan perumahan Pondok Indah dan sekitarnya? Lalu bagaimana atau apa yang membuat ia bertahan sebagai pengantar es? dsb.

Pagi ini, ia tak terlihat. Jadilah pertanyaan di atas tak punya jawaban. Dan sekalipun ia terlihat, bagaimana caranya mendapat jawaban untuk pertanyaan demikian banyak, sedang pengantar es selalu gegas pergi dari satu warung ke warung lainnya. Dan aku pun tergesa-gesa melangkah menuju kantor tercinta.

5 comments:

Andika said...

"Kehadiran pengantar es batu pun terkesan hanya bagai angin lalu, karena ia datang dan pergi setiap hari. Dan sepertinya karena intensitas inilah, basa-basi seolah tak lagi diperlukan apalagi diusahakan."

Waw, Neni.

Neni said...

Wow andk, knp emang? =)

- said...

Iya benar. Saya juga kadang abai pada peran-peran 'kecil' seperti itu. Padahal mereka ada, rutin, dan ternyata penting.

Neni said...

Kalau sy bkn kadang lg mbak eka, sering malah, hehe..

Neni said...

Kalau sy bkn kadang lg mbak eka, sering malah, hehe..

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...