Saya bertemu dengannya sewaktu dalam perjalanan balik mudik, dari Lampung menuju Bandung. Ia berdiri di belakang saya saat mengantri tiket ferry. Ia menanyakan sesuatu pada saya, kalau tidak salah harga tiket. Dan dimulai dari sana kami resmi berteman, teman seperjalanan.
Sebagaimana biasa, arus balik setelah Lebaran selalu penuh sesak. Antrian tiket demikian panjang. Cuaca demikian panas. Jalur antrian diteduhi terpal, dilengkapi kipas angin besar sebagai penyejuk yang sebenarnya tidak terlalu membantu. Melewati antrian tiket, kami berjalan menuju ferry. Dari kejauhan ferry sudah tampak penuh sesak. Ia bilang bahwa kami harus cepat, agar dapat tempat duduk. Tapi percuma, ferry sudah telanjur dipadati penumpang arus balik. Banyak orang terhenti di tangga menuju kabin penumpang, sebab tidak ada lagi ruang di atas sana, sebagian lagi memilih duduk beralaskan koran di tempat yang harusnya tempat parkir kendaraan yang juga menumpang kapal. Kami pun tidak bisa kemana-mana selain ikut duduk beralaskan koran di ruang yang demikian panas.
Selanjutnya saya sibuk memperhatikan orang-orang sekitar tempat saya duduk. Ada bayi yang tidur beralas koran diantara karung dan dus-dus barang bawaan penumpang, ada yang cuek tidur berbantalkan tas berisi pakaian, ada yang makan bekal perjalanan, ada yang ngegosip, para lelaki merokok, dsb.
Tapi entah kenapa, sebab ada seorang teman, perjalanan kali ini terasa ringan-ringan saja. Kami berbagi makanan, bertukar cerita yang umum-umum saja; tentang mau kemana dari mana, kerja apa dimana, membicarakan tentang keadaan kapal dan penumpang lain di sekitar kami, dsb.
Setelah kurang lebih tiga jam berlayar, kami pun merapat di pelabuhan Merak. Dari dermaga, kami harus berjalan lagi menuju tempat parkir bus yang akan membawa kami ke kota tujuan masing-masing. Sekali lagi sebab bersama seorang teman, beban yang saya bawa tidak terlalu menyusahkan rasanya, udara panas tak terlalu mengganggu.
Hingga setiba di terminal bus, kami pun berpisah. Sampai saat itu, saya tidak tahu namanya apalagi nomor telponnya. Dia pun sebalikanya. Kami tidak saling menanyakan. Mungkin karena masing-masing kami tahu bahwa kemungkinan besar kami tidak akan bertemu lagi; atau bahwa kami memang cukup menjadi teman seperjalanan.
Saat menuliskan ini, saya bahkan tidak lagi ingat wajahnya. Tapi saya masih sangat ingat bahwa dia adalah salah seorang teman saya: teman perjalanan. Kalau saya tidak bersamanya saat itu, kemungkinan besar saya sangat tidak menikmati perjalanan menyebrang dengan ferry yang penuh sesak, yang membuat saya harus duduk beralaskan koran di tempat kendaraan yang demikian panas dan bau sebab mesin-mesin kendaraan itu sendiri.
Happy Holidays – Some Gifts for You
2 days ago
0 comments:
Post a Comment