Thursday, November 11, 2010

Ini Itu

Saya peringatkan sejak sekarang, tulisan ini akan lagi bersifat pribadi (setelah sekian lama). Jadi boleh berhenti sampai di sini jika sedang tak ingin mendengar keluh kesah suara hati gundah gulana gegap gempita (*blah!) dari seorang saya.

Hari ini, jika diibaratkan seperti jalanan, emosi dan optimisme saya dalam "memandang" dunia naik turun dan berkelok-kelok bikin pusing. Sampai-sampai untuk kesekian kalinya dalam kurun dua bulan sejak saya menjejak kaki di Indonesia, saya ingin diam saja. Menyerah sementara tapi entah untuk apa, dalam tujuan apa, apalagi visi dan misi selanjutnya jelas tidak ada. Hanya ingin diam, berharap dari diam itu akan ada jalan terbuka lebar dengan sendirinya. Hanya ingin diam, tanpa lagi usaha macam-macam. Hanya ingin diam menunggu, entah apa untuk apa atau siapa. Hah pusing kan?

Tapi ya tapi, diam yang sedang saya bahas di sini hanya untuk satu jenis diam, tidak berlaku untuk diam yang lain. Toh saya harus tetap melanjutkan aktifitas, menjawab "panggilan" pekerjaan, bertemu teman-teman, makan dan minum, melaksanakan ibadah, termasuk merasa bingung, merasa sendirian, merasa dibenci lalu balik membenci, merasa dimanfaatkan dan sedih sebab tidak pernah bisa membebaskan diri dari keadaan yang terus terulang itu di mana pun ia "hinggap", juga masih tetap bermimpi meski kadang ragu kadang angkuh.

Hari ini saya sempat merasa diam saya sedikit berhasil, tapi oh tapi karena saya tidak bisa berkomitmen dan karena mempertimbangkan banyak hal dan banyak ketakutan ini itu, saya melanggar aksi diam yang saya gagas sendiri. Dan sepertinya saya harus diam lagi. Karena pelanggaran tadi, saya merusak harapan yang sempat terbit.

Jelas saya sedang bingung ini. Baiknya saya akhiri saja sebelum makin membingungkan. Saya jadi ingat kata Dewi Lestari dalam salah satu cerpennya di Recto Verso: "Dan dalam keraguan, orang akan merasa lebih baik diam."

Lalu tiba-tiba saya tergerak membuka dan membaca blog Paulo Coelho dan menemukan 2 kalimat pendek yang membuat saya kembali tak ingin diam.
"It's worth it. Just don't quit."
Lalu saya kembali ke jalanan naik turun dan berkelok-kelok tadi dan kembali pusing saat sadar saya tidak punya peta dan tak tahu akan kemana saya melangkah dan di mana akan "sampai".

Karena saya kembali ragu-ragu, sepertinya saya akan diam (lagi) dulu.
Saya ijin untuk diam, boleh ya? Sementara saja, sampai saya tahu cara menyiasati jalanan tadi dan berkurang pusing.

0 comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...