Tiba-tiba saja pikiran tentang ini merayapi dinding benak.
Kita mengenal konsep awal dan akhir. Sebab yang mengawali sesuatu akan berakibat sebuah akhir. Yang hidup pada akhirnya akan mati. Yang muda pasti akan tua. Yang tadinya suka atau cinta bisa saja berubah bosan dan berhenti samasekali mencinta.
Pada titik tersebut: hidup, muda, dan cinta menemukan ajalnya ketika sampai pada mati, tua, dan tak lagi cinta atau benci.
Tapi benarkah semua sungguhan berakhir? Sementara kita kerap mendengar bahkan mengimani konsep tentang adanya kehidupan setelah mati. Yang tua akan digantikan yang lebih muda. Bahkan, saat kita berhenti mencintai sesuatu atau seseorang, seringkali kita akan segera menemukan objek baru untuk dilimpahi cinta. Nah, jika sudah begini, bukankah yang semula adalah akhir justru menjadi titik tolak lahirnya sebuah awal yang baru? Kiranya inilah kehidupan; berkesinambungan.
Semua ada waktunya: ada tanggal terbit dan tanggal kadaluwarsa. Ada masa dimana sesuatu yang awalnya hangat akan berubah menjadi dingin bahkan basi.
Karenanya, jangan heran atas reaksiku saat mendengar kabar terbaru darimu. Rasaku padamu sudah basi sejak lama. Meskipun cukup lama waktu yang kubutuhkan berikut deretan usaha yang kuupayakan demi melupakanmu; saat rasa ini sampai pada tanggal kadaluwarsa, semua baik-baik saja.
Aku turut berbahagia saat mendengar kabar pernikahanmu. Lalu cepat lupa.
Karena kini, sudah ada dia yang memenuhi hati dan isi kepala!
*Ditulis di sesi pertemuan Reading Lights Writers' Circle. Tema: "Berakhirnya suatu masa..."
Saturday, December 25, 2010
Tuesday, December 21, 2010
Lelaki Tua di Suhu Minus Lima
Dia berdiri melongok ke bawah jembatan, dimana mengalir sungai kecil yang cukup jernih. Seluruh pakaiannya hitam termasuk topi model lama yang menutupi sebagian rambutnya yang seluruhnya putih, seputih salju di sekitar. Saya pun mengenal lelaki ini hanya sebatas tampak belakang. Atau sebut saja sebatas punggung.
Meski sekelilingnya tertutup salju dan membeku, air sungai yang mengalir di bawah jembatan sama sekali tidak terganggu. Bahkan itik-itik liar masih berenang riang di sana. Saya tidak mengira bahwa itik masih bisa berenang di air yang pasti demikian dingin.
Lelaki tua di jembatan terlihat gusar, lalu buru-buru mengeluarkan sesuatu dari kantung yang dibawanya. Remah roti. Cepat ia taburkan ke bawah jembatan. Lalu, entah apa yang dilihatnya, ia berlari menyebrang jalan sambil memegang kantung berisi remah roti yang terguncang-guncang. Saya tak bisa berhenti memandanginya meski sambil terus melangkah. Lelaki tua menuju sisi lain jembatan, ia menabur semua remah roti yang dibawanya. Begitu selesai, ia melenggang tenang seolah baru saja selesai menunaikan tugas penting. Rupanya, itik liar berenang ke sisi lain jembatan dan lelaki tua mengejar demi memberikan remah roti yang sengaja disisihkannya.
Saya pun melanjutkan langkah dengan pandangan ke depan (sebelumnya saya berjalan sambil melihat ke belakang--ke arah lelaki tua). Kedua telapak tangan tersembunyi di kantung jaket sebab sarung tangan tak cukup menangkal dingin. Saya berjalan sambil menunduk, demi menghangatkan sebagian wajah dengan cara menyembunyikannya di balik syal wool warna maroon. Minus lima derajat; suhu udara pagi ini. Begitu yang saya dengar dari berita prakiraan cuaca hari ini.
Saat-saat seperti ini, sebagian besar orang akan memilih untuk berada di rumah yang hangat sambil minum teh bunga kamomil, dan bukan berada di jalanan apalagi untuk alasan memberi makan itik liar di bawah jembatan!
***
Sepertinya saya memang diberi kesempatan mengenal lelaki tua hanya sebatas pungggung. Beberapa hari kemudian, saya melihatnya (tampak belakang) hendak menyeberang jalan. Jaket hitam dan topi hitam yang sama, yang menutupi rambut seputih salju, membuat saya yakin bahwa dia memang lelaki tua yang memberi makan itik liar di bawah jembatan.
*Musim Dingin di Hamburg, 2009
Meski sekelilingnya tertutup salju dan membeku, air sungai yang mengalir di bawah jembatan sama sekali tidak terganggu. Bahkan itik-itik liar masih berenang riang di sana. Saya tidak mengira bahwa itik masih bisa berenang di air yang pasti demikian dingin.
Lelaki tua di jembatan terlihat gusar, lalu buru-buru mengeluarkan sesuatu dari kantung yang dibawanya. Remah roti. Cepat ia taburkan ke bawah jembatan. Lalu, entah apa yang dilihatnya, ia berlari menyebrang jalan sambil memegang kantung berisi remah roti yang terguncang-guncang. Saya tak bisa berhenti memandanginya meski sambil terus melangkah. Lelaki tua menuju sisi lain jembatan, ia menabur semua remah roti yang dibawanya. Begitu selesai, ia melenggang tenang seolah baru saja selesai menunaikan tugas penting. Rupanya, itik liar berenang ke sisi lain jembatan dan lelaki tua mengejar demi memberikan remah roti yang sengaja disisihkannya.
Saya pun melanjutkan langkah dengan pandangan ke depan (sebelumnya saya berjalan sambil melihat ke belakang--ke arah lelaki tua). Kedua telapak tangan tersembunyi di kantung jaket sebab sarung tangan tak cukup menangkal dingin. Saya berjalan sambil menunduk, demi menghangatkan sebagian wajah dengan cara menyembunyikannya di balik syal wool warna maroon. Minus lima derajat; suhu udara pagi ini. Begitu yang saya dengar dari berita prakiraan cuaca hari ini.
Saat-saat seperti ini, sebagian besar orang akan memilih untuk berada di rumah yang hangat sambil minum teh bunga kamomil, dan bukan berada di jalanan apalagi untuk alasan memberi makan itik liar di bawah jembatan!
***
Sepertinya saya memang diberi kesempatan mengenal lelaki tua hanya sebatas pungggung. Beberapa hari kemudian, saya melihatnya (tampak belakang) hendak menyeberang jalan. Jaket hitam dan topi hitam yang sama, yang menutupi rambut seputih salju, membuat saya yakin bahwa dia memang lelaki tua yang memberi makan itik liar di bawah jembatan.
*Musim Dingin di Hamburg, 2009
Labels:
Bangku Kenangan,
Jejak Langkah,
Jerman,
Taman Pikir
Happy or Unhappy
What makes you think that I'm happy or not happy?
Moreover, me myself sometimes can't predict the idea of feeling happy or unhappy to come.
It's a vast field of world, of issues, of people around us, and of the feeling itself.
They oftentimes influence my feeling; it's my fault. I just can't always choose to be happy facing what's happening.
I may be happy this time, and then feeling sad within another second. That's an extreme shift of emotion, yes I know. But, it's possible, right?
The ups and downs are the rhythm of life's tunes. I'm still learning to enjoy the beat and get used to it.
*bengong iseng: Bandung, 20 Desember 2010*
Moreover, me myself sometimes can't predict the idea of feeling happy or unhappy to come.
It's a vast field of world, of issues, of people around us, and of the feeling itself.
They oftentimes influence my feeling; it's my fault. I just can't always choose to be happy facing what's happening.
I may be happy this time, and then feeling sad within another second. That's an extreme shift of emotion, yes I know. But, it's possible, right?
The ups and downs are the rhythm of life's tunes. I'm still learning to enjoy the beat and get used to it.
*bengong iseng: Bandung, 20 Desember 2010*
Sunday, December 19, 2010
Tangga
Saya melihat ada tangga, di depan sana.
Sederhana, natural, dari bebatuan alam, melingkar turun dipagari pepohonan hijau.
Lalu ujungnya menghilang dibalik rerimbun pohon.
Saya suka tangga ini, tapi ragu untuk melangkah menitinya.
Sebab saya tak tahu, akan ada apa dibalik rerimbun pohon yang menyembunyikan kemana tangga ini menuju...
Tapi saya penasaran...
juga ragu...
Sekarang saya masih berdiri di dekat tangga, sibuk menimbang-nimbang langkah...
Teman Perjalanan
Saya bertemu dengannya sewaktu dalam perjalanan balik mudik, dari Lampung menuju Bandung. Ia berdiri di belakang saya saat mengantri tiket ferry. Ia menanyakan sesuatu pada saya, kalau tidak salah harga tiket. Dan dimulai dari sana kami resmi berteman, teman seperjalanan.
Sebagaimana biasa, arus balik setelah Lebaran selalu penuh sesak. Antrian tiket demikian panjang. Cuaca demikian panas. Jalur antrian diteduhi terpal, dilengkapi kipas angin besar sebagai penyejuk yang sebenarnya tidak terlalu membantu. Melewati antrian tiket, kami berjalan menuju ferry. Dari kejauhan ferry sudah tampak penuh sesak. Ia bilang bahwa kami harus cepat, agar dapat tempat duduk. Tapi percuma, ferry sudah telanjur dipadati penumpang arus balik. Banyak orang terhenti di tangga menuju kabin penumpang, sebab tidak ada lagi ruang di atas sana, sebagian lagi memilih duduk beralaskan koran di tempat yang harusnya tempat parkir kendaraan yang juga menumpang kapal. Kami pun tidak bisa kemana-mana selain ikut duduk beralaskan koran di ruang yang demikian panas.
Selanjutnya saya sibuk memperhatikan orang-orang sekitar tempat saya duduk. Ada bayi yang tidur beralas koran diantara karung dan dus-dus barang bawaan penumpang, ada yang cuek tidur berbantalkan tas berisi pakaian, ada yang makan bekal perjalanan, ada yang ngegosip, para lelaki merokok, dsb.
Tapi entah kenapa, sebab ada seorang teman, perjalanan kali ini terasa ringan-ringan saja. Kami berbagi makanan, bertukar cerita yang umum-umum saja; tentang mau kemana dari mana, kerja apa dimana, membicarakan tentang keadaan kapal dan penumpang lain di sekitar kami, dsb.
Setelah kurang lebih tiga jam berlayar, kami pun merapat di pelabuhan Merak. Dari dermaga, kami harus berjalan lagi menuju tempat parkir bus yang akan membawa kami ke kota tujuan masing-masing. Sekali lagi sebab bersama seorang teman, beban yang saya bawa tidak terlalu menyusahkan rasanya, udara panas tak terlalu mengganggu.
Hingga setiba di terminal bus, kami pun berpisah. Sampai saat itu, saya tidak tahu namanya apalagi nomor telponnya. Dia pun sebalikanya. Kami tidak saling menanyakan. Mungkin karena masing-masing kami tahu bahwa kemungkinan besar kami tidak akan bertemu lagi; atau bahwa kami memang cukup menjadi teman seperjalanan.
Saat menuliskan ini, saya bahkan tidak lagi ingat wajahnya. Tapi saya masih sangat ingat bahwa dia adalah salah seorang teman saya: teman perjalanan. Kalau saya tidak bersamanya saat itu, kemungkinan besar saya sangat tidak menikmati perjalanan menyebrang dengan ferry yang penuh sesak, yang membuat saya harus duduk beralaskan koran di tempat kendaraan yang demikian panas dan bau sebab mesin-mesin kendaraan itu sendiri.
Sebagaimana biasa, arus balik setelah Lebaran selalu penuh sesak. Antrian tiket demikian panjang. Cuaca demikian panas. Jalur antrian diteduhi terpal, dilengkapi kipas angin besar sebagai penyejuk yang sebenarnya tidak terlalu membantu. Melewati antrian tiket, kami berjalan menuju ferry. Dari kejauhan ferry sudah tampak penuh sesak. Ia bilang bahwa kami harus cepat, agar dapat tempat duduk. Tapi percuma, ferry sudah telanjur dipadati penumpang arus balik. Banyak orang terhenti di tangga menuju kabin penumpang, sebab tidak ada lagi ruang di atas sana, sebagian lagi memilih duduk beralaskan koran di tempat yang harusnya tempat parkir kendaraan yang juga menumpang kapal. Kami pun tidak bisa kemana-mana selain ikut duduk beralaskan koran di ruang yang demikian panas.
Selanjutnya saya sibuk memperhatikan orang-orang sekitar tempat saya duduk. Ada bayi yang tidur beralas koran diantara karung dan dus-dus barang bawaan penumpang, ada yang cuek tidur berbantalkan tas berisi pakaian, ada yang makan bekal perjalanan, ada yang ngegosip, para lelaki merokok, dsb.
Tapi entah kenapa, sebab ada seorang teman, perjalanan kali ini terasa ringan-ringan saja. Kami berbagi makanan, bertukar cerita yang umum-umum saja; tentang mau kemana dari mana, kerja apa dimana, membicarakan tentang keadaan kapal dan penumpang lain di sekitar kami, dsb.
Setelah kurang lebih tiga jam berlayar, kami pun merapat di pelabuhan Merak. Dari dermaga, kami harus berjalan lagi menuju tempat parkir bus yang akan membawa kami ke kota tujuan masing-masing. Sekali lagi sebab bersama seorang teman, beban yang saya bawa tidak terlalu menyusahkan rasanya, udara panas tak terlalu mengganggu.
Hingga setiba di terminal bus, kami pun berpisah. Sampai saat itu, saya tidak tahu namanya apalagi nomor telponnya. Dia pun sebalikanya. Kami tidak saling menanyakan. Mungkin karena masing-masing kami tahu bahwa kemungkinan besar kami tidak akan bertemu lagi; atau bahwa kami memang cukup menjadi teman seperjalanan.
Saat menuliskan ini, saya bahkan tidak lagi ingat wajahnya. Tapi saya masih sangat ingat bahwa dia adalah salah seorang teman saya: teman perjalanan. Kalau saya tidak bersamanya saat itu, kemungkinan besar saya sangat tidak menikmati perjalanan menyebrang dengan ferry yang penuh sesak, yang membuat saya harus duduk beralaskan koran di tempat kendaraan yang demikian panas dan bau sebab mesin-mesin kendaraan itu sendiri.
Subscribe to:
Posts (Atom)