Berjalan di bawah naungan mendung
sore tadi
ia tahu bahwa resah hari ini
tengah berada di simpang jalan
lalu singgah beristirahat di pucuk-pucuk cemara
menunggu saat mekar...
Esok saat matahari muncul lagi
susah hari ini akan beterbangan
ke langit biru, mengotori udara
lalu hilang begitu saja, senyap di rerumput
dan tanah-tanah lembab...
Lusa saat senja memanjakannya
ia akan lupa
bahwa hari ini pernah ada
bahwa mendung dan langit biru mengganggu tidurnya
Ia akan lupa,
saat waktu sibuk meninabobokannya...
Sunday, November 28, 2010
Saturday, November 27, 2010
Tuesday, November 23, 2010
(Apalah Namanya) ...
Saat kali pertama melihatnya saya langsung suka. Sederhana. Pepatah yang mengatakan bahwa keindahan terletak pada kesederhaan sungguh tepat disandangnya. Tapi sejak awal melihatnya, saya juga tahu bahwa ia tak bisa sembarangan saya pakai. Modelnya jelas tidak sesuai dengan karakter saya, dan karenanya kurang nyaman untuk dipakai kemana suka.
Saya menanyakan harganya: cukup terjangkau meski tidak juga bisa dikatakan murah. Saya pun diserang bimbang tentang apakah akan membelinya atau tidak usah saja. Lama saya pikirkan, hingga akhirnya saya memutuskan untuk tidak membelinya. Bukankah kita sebaiknya membeli apa yang kita butuhkan, yang akan bermanfaat dan berdaya guna.
Saya pergi meninggalkan toko dengan berat hati sebab saya telanjur suka, bahkan jatuh cinta!
Malam harinya saya merasa kacau. Tak bisa tidur. Tak tenang. Tak sabar agar matahari segera bersinar dan pagi cepat menjelang. Saya takut kehilangan. Saya tak rela jika baju tersebut telanjur dibeli orang. Tampaknya baju ini pun tidak pasaran, kemungkinan besar hanya satu-satunya. Aduh, pikiran tentang ini makin memperparah keadaan.
Akhirnya, setelah malam yang terasa lebih panjang dari biasanya, pagi pun datang. Saya kembali ke toko kemarin. Ia masih di sana. Saya langsung menebusnya. Hati lega luar biasa.
Setiba di rumah, saya memakainya--tepatnya mencobanya. (Saya bahkan tidak tahu apakah ukurannya sesuai dengan saya). Saya suka warnanya, modelnya, motif bunga-bunga sulurnya yang manis dan minimalis. Semua. Semua saya suka. Tapi tetap saja, kenyataannya adalah bahwa modelnya tidak sesuai dengan karakter saya, maka tak bisa saya pakai kapan saja.
Sampai hari ini, setelah bertahun-tahun, baju cantik hanya tersimpan rapi di lemari. Menunggu saat yang tepat dan nyaman untuk dipakai, yang entah kapan akan tiba.
Sementara bunga-bunga sulurnya mulai pudar dimakan usia.
Ia memang tidak bermanfaat sebagaimana seharusnya. Tapi bagi saya tak mengapa; memilikinya adalah yang terutama!
--Semoga ia tak merasa sia-sia.
Saya menanyakan harganya: cukup terjangkau meski tidak juga bisa dikatakan murah. Saya pun diserang bimbang tentang apakah akan membelinya atau tidak usah saja. Lama saya pikirkan, hingga akhirnya saya memutuskan untuk tidak membelinya. Bukankah kita sebaiknya membeli apa yang kita butuhkan, yang akan bermanfaat dan berdaya guna.
Saya pergi meninggalkan toko dengan berat hati sebab saya telanjur suka, bahkan jatuh cinta!
Malam harinya saya merasa kacau. Tak bisa tidur. Tak tenang. Tak sabar agar matahari segera bersinar dan pagi cepat menjelang. Saya takut kehilangan. Saya tak rela jika baju tersebut telanjur dibeli orang. Tampaknya baju ini pun tidak pasaran, kemungkinan besar hanya satu-satunya. Aduh, pikiran tentang ini makin memperparah keadaan.
Akhirnya, setelah malam yang terasa lebih panjang dari biasanya, pagi pun datang. Saya kembali ke toko kemarin. Ia masih di sana. Saya langsung menebusnya. Hati lega luar biasa.
Setiba di rumah, saya memakainya--tepatnya mencobanya. (Saya bahkan tidak tahu apakah ukurannya sesuai dengan saya). Saya suka warnanya, modelnya, motif bunga-bunga sulurnya yang manis dan minimalis. Semua. Semua saya suka. Tapi tetap saja, kenyataannya adalah bahwa modelnya tidak sesuai dengan karakter saya, maka tak bisa saya pakai kapan saja.
Sampai hari ini, setelah bertahun-tahun, baju cantik hanya tersimpan rapi di lemari. Menunggu saat yang tepat dan nyaman untuk dipakai, yang entah kapan akan tiba.
Sementara bunga-bunga sulurnya mulai pudar dimakan usia.
Ia memang tidak bermanfaat sebagaimana seharusnya. Tapi bagi saya tak mengapa; memilikinya adalah yang terutama!
--Semoga ia tak merasa sia-sia.
Saturday, November 20, 2010
(Ini bukan sekedar tentang) Sup
Saya menghadapi Sup Linze panas yang disuguhkan dengan bimbang. Erva, teman yang berbagi apartemen dengan saya, sengaja membuatkan sebab saya tampak mulai terjangkit tanda-tanda terkena flu: kepala pusing, hidung mampet, letih dan lesu, jantung berdebar-debar tak karuan. (Saya tidak yakin apakah tanda-tanda terakhir juga gejala flu, tapi jantung berdebar-debar tanpa alasan jelas ini sungguh membuat tak nyaman hati dan badan).
"Ayo dimakan, Sara. Selagi hangat." Sudah dua kali Erva, yang berdarah Turki-Jerman, bilang begitu sebelum akhirnya menghilang di balik pintu karena harus pergi memenuhi janji.
Sup ini biasanya selalu jadi favorit saya, tapi tidak hari ini. Saya sama sekali tidak berselera memakannya. Sup hanyalah makanan pembuka, penyulut selera sebelum sampai di menu utama,kami sering menambahkan air perasan jeruk nipis, agar sedikit asam...salah satu syarat yang harus dipenuhi makanan pembuka.
Tapi jika saya sedang tidak nafsu makan makanan utama, untuk apa memakan sup sebagai pembuka?
Tapi Erva sudah susah payah membuatkan.
Saya bisa membuangnya di wastafel, Erva tidak akan tahu. Tapi apa saya tega?
Akhirnya, saya pun memakannya pelan-pelan, paling tidak saya mencicipnya, menghargai yang sudah susah payah membuatkan.
Saya muntah, pada suapan ke tiga.
Salah siapa?
*coretan pagi...
"Ayo dimakan, Sara. Selagi hangat." Sudah dua kali Erva, yang berdarah Turki-Jerman, bilang begitu sebelum akhirnya menghilang di balik pintu karena harus pergi memenuhi janji.
Sup ini biasanya selalu jadi favorit saya, tapi tidak hari ini. Saya sama sekali tidak berselera memakannya. Sup hanyalah makanan pembuka, penyulut selera sebelum sampai di menu utama,kami sering menambahkan air perasan jeruk nipis, agar sedikit asam...salah satu syarat yang harus dipenuhi makanan pembuka.
Tapi jika saya sedang tidak nafsu makan makanan utama, untuk apa memakan sup sebagai pembuka?
Tapi Erva sudah susah payah membuatkan.
Saya bisa membuangnya di wastafel, Erva tidak akan tahu. Tapi apa saya tega?
Akhirnya, saya pun memakannya pelan-pelan, paling tidak saya mencicipnya, menghargai yang sudah susah payah membuatkan.
Saya muntah, pada suapan ke tiga.
Salah siapa?
*coretan pagi...
Thursday, November 18, 2010
A Pale Moon in a Shining Winter Afternoon!
I was once walking in early afternoon while staring at the pale moon.
But couldn't stop looking back to see the shinning sun in the opposite side.
Then, I heard the solid snow cracked beneath my black boots.
Hey, it's a pale moon in a shining winter afternoon!
What a combination!
You know what? The day before I said to someone that there won't be the sun and the moon at once in the afternoon sky. Well, yes, sometimes we see the moon still hanging in the early morning sky but not in the afternoon's. And in early morning, the sun is not so bright and shining so the moon wouldn't be threatened.
I was so amazed for the moon that I stopped walking and looked at the half moon and the sun by turns. It's just such extraordinary moment for me so I stood and enjoyed it. It "disturbed" me that the sun and the moon apparently can share the sky in the same time.
It was December 31th 2009--approaching a new year's eve or the German used to call it "Sylvester". I was on the way home from Hamburg-sightseeing with friends. It was my first new year's eve in a far away country. It should be a great time; don't you think so? But, it wasn't.
At night, the fireworks filled the sky, but not filled my heart which was painful of the intense sobbing. The fireworks lit the sky so it's full of lights, but my eyes were filled with tears.
I won't tell the reason for the intense crying. It's not the point. I wrote this only because I want to remember the moment and most of all to remember the things I've learned in that very last day of year 2009.
I wondered if I was no different with the pale moon; let say it's extraordinary to keep existing during the day time. But what's the importance? It's no use to shine in the shining winter afternoon!
But couldn't stop looking back to see the shinning sun in the opposite side.
Then, I heard the solid snow cracked beneath my black boots.
Hey, it's a pale moon in a shining winter afternoon!
What a combination!
You know what? The day before I said to someone that there won't be the sun and the moon at once in the afternoon sky. Well, yes, sometimes we see the moon still hanging in the early morning sky but not in the afternoon's. And in early morning, the sun is not so bright and shining so the moon wouldn't be threatened.
I was so amazed for the moon that I stopped walking and looked at the half moon and the sun by turns. It's just such extraordinary moment for me so I stood and enjoyed it. It "disturbed" me that the sun and the moon apparently can share the sky in the same time.
It was December 31th 2009--approaching a new year's eve or the German used to call it "Sylvester". I was on the way home from Hamburg-sightseeing with friends. It was my first new year's eve in a far away country. It should be a great time; don't you think so? But, it wasn't.
At night, the fireworks filled the sky, but not filled my heart which was painful of the intense sobbing. The fireworks lit the sky so it's full of lights, but my eyes were filled with tears.
I won't tell the reason for the intense crying. It's not the point. I wrote this only because I want to remember the moment and most of all to remember the things I've learned in that very last day of year 2009.
I wondered if I was no different with the pale moon; let say it's extraordinary to keep existing during the day time. But what's the importance? It's no use to shine in the shining winter afternoon!
Labels:
Bangku Kenangan,
English Posts,
Jerman,
Taman Pikir
Saturday, November 13, 2010
Ikatan Musim
Bukan salah langit jika ia mendung
tapi musim yang memaksanya untuk murung
Percuma pergi mencari langit biru
sebab musim menitahnya untuk kelabu
Tunggulah dulu,
bahkan langit perlu berganti warna abu-abu
agar birunya ditunggu-tunggu...
tapi musim yang memaksanya untuk murung
Percuma pergi mencari langit biru
sebab musim menitahnya untuk kelabu
Tunggulah dulu,
bahkan langit perlu berganti warna abu-abu
agar birunya ditunggu-tunggu...
Friday, November 12, 2010
Ingatan Hari Ini
Melangkah tergesa tapi tidak setergesa dua hari yang lalu, saya keluar kost-an dan menumpang angkot Elang-Gedebage menuju kantor. Dan dimulailah hari ini...
Saya ingat saya memandangi lama seorang penumpang yang baru naik, yang wajahnya mirip teman SMA. Lalu saya tenggelam dalam pikiran sendiri dan baru kembali "sadar ruang" saat mencium aroma rambut yang baru diurai dari penumpang yang duduk sedikit membelakangi saya.
Mata teralih ke luar jendela, dan saya baru sadar jalanan sepanjang Soekarno-Hatta baru saja diaspal. Bahkan jalan di jalur angkot yang saya tumpangi belum penuh diaspal, baru separuh.
Sampai di kantor tepat pukul delapan lewat sepuluh. Gerbang di dekat mesin absen masih terbuka, yang berarti saya tidak telat. Sesampai di lantai 2 ternyata briefing sudah dimulai.
Hari ini tugas saya lumayan banyak. Untuk mempermudah saya bisa meminta bantuan seseorang, tapi saya tidak mau. Lebih baik saya kerjakan sendiri daripada harus menghadapi orang tersebut. Tapi lama mencari buku referensi di perpus tak juga ketemu, saya mulai berpikir untuk meminta bantuan. Hanya terpikir, sebab saya tetap tidak mau. Tentu saya punya alasan tertentu kenapa tidak mau, alasan yang tidak ingin saya bagi di sini.
Waktu terasa berlari, azan zuhur memanggil. Sesampai di masjid, saya ingat sekali rupa sendal jepit warna oranye yang parkir di tempat saya melepas sepatu. Tali temalinya masih kuat tapi di bagian tumitnya sudah bolong--cekung. Saya bilang ke temen: "Meni awet ya?"
Temen saya mengiyakan, "Kuat ya, teh? Cocok buat ke masjid."
Selesai shalat saya sangat ingat saat seorang rekan kerja bilang, "Hayoo... Neni ngelamun..."
Seingat saya kemarin dan kemarinnya lagi ada juga beberapa teman yang menegur saya begitu.
Saat mengambil sepatu, saya pun melihat sendal bolong tadi dipakai oleh bapak tua penjaga dan petugas kebersihan masjid. Lalu melintaslah sebuah rencana di kepala tentang sendal bolong dan bapak tua.
Saat makan di kantin, masih jelas di kepala tumpukan kertas berbentuk gulungan raksasa ditumpuk di depan pintu masuk kantin, hingga saat kami selesai makan dan melewati antrian para pegawai lelaki yang baru shalat jumat, kami seolah melewati jalur sempit serupa labirin. Saya sempat bertanya bagaimana caranya menumpuk gulungan-gulungan kertas raksasa tersebut hingga tinggi menumpuk.
Dari beberapa kejadian di atas, yang paling nempel di kepala adalah sendal jepit bolong. Bagian lain masih normal, tapi bagian tumit sudah bolong.
Ada banyak kejadian dan interaksi hari ini, tapi hanya segini yang saya ingat atau tepatnya ingin saya ingat. Ehhmm..atau yang ingin saya tulis...
Ada banyak teman tapi hanya sedikit yang teman sejati. Ada banyak kejadian, tapi hanya beberapa yang sampai di telinga kita. Ada banyak tempat yang kita kunjungi, tapi tak banyak tempat yang bisa kita sebut rumah. Ada banyak lelaki tapi hanya satu yang ada di hati (halah! :D).
Tak ada kejadian random, semua ada alasannya. Termasuk adanya alasan kenapa saya menulis tulisan yang kurang penting ini.
Saya ingat saya memandangi lama seorang penumpang yang baru naik, yang wajahnya mirip teman SMA. Lalu saya tenggelam dalam pikiran sendiri dan baru kembali "sadar ruang" saat mencium aroma rambut yang baru diurai dari penumpang yang duduk sedikit membelakangi saya.
Mata teralih ke luar jendela, dan saya baru sadar jalanan sepanjang Soekarno-Hatta baru saja diaspal. Bahkan jalan di jalur angkot yang saya tumpangi belum penuh diaspal, baru separuh.
Sampai di kantor tepat pukul delapan lewat sepuluh. Gerbang di dekat mesin absen masih terbuka, yang berarti saya tidak telat. Sesampai di lantai 2 ternyata briefing sudah dimulai.
Hari ini tugas saya lumayan banyak. Untuk mempermudah saya bisa meminta bantuan seseorang, tapi saya tidak mau. Lebih baik saya kerjakan sendiri daripada harus menghadapi orang tersebut. Tapi lama mencari buku referensi di perpus tak juga ketemu, saya mulai berpikir untuk meminta bantuan. Hanya terpikir, sebab saya tetap tidak mau. Tentu saya punya alasan tertentu kenapa tidak mau, alasan yang tidak ingin saya bagi di sini.
Waktu terasa berlari, azan zuhur memanggil. Sesampai di masjid, saya ingat sekali rupa sendal jepit warna oranye yang parkir di tempat saya melepas sepatu. Tali temalinya masih kuat tapi di bagian tumitnya sudah bolong--cekung. Saya bilang ke temen: "Meni awet ya?"
Temen saya mengiyakan, "Kuat ya, teh? Cocok buat ke masjid."
Selesai shalat saya sangat ingat saat seorang rekan kerja bilang, "Hayoo... Neni ngelamun..."
Seingat saya kemarin dan kemarinnya lagi ada juga beberapa teman yang menegur saya begitu.
Saat mengambil sepatu, saya pun melihat sendal bolong tadi dipakai oleh bapak tua penjaga dan petugas kebersihan masjid. Lalu melintaslah sebuah rencana di kepala tentang sendal bolong dan bapak tua.
Saat makan di kantin, masih jelas di kepala tumpukan kertas berbentuk gulungan raksasa ditumpuk di depan pintu masuk kantin, hingga saat kami selesai makan dan melewati antrian para pegawai lelaki yang baru shalat jumat, kami seolah melewati jalur sempit serupa labirin. Saya sempat bertanya bagaimana caranya menumpuk gulungan-gulungan kertas raksasa tersebut hingga tinggi menumpuk.
Dari beberapa kejadian di atas, yang paling nempel di kepala adalah sendal jepit bolong. Bagian lain masih normal, tapi bagian tumit sudah bolong.
Ada banyak kejadian dan interaksi hari ini, tapi hanya segini yang saya ingat atau tepatnya ingin saya ingat. Ehhmm..atau yang ingin saya tulis...
Ada banyak teman tapi hanya sedikit yang teman sejati. Ada banyak kejadian, tapi hanya beberapa yang sampai di telinga kita. Ada banyak tempat yang kita kunjungi, tapi tak banyak tempat yang bisa kita sebut rumah. Ada banyak lelaki tapi hanya satu yang ada di hati (halah! :D).
Tak ada kejadian random, semua ada alasannya. Termasuk adanya alasan kenapa saya menulis tulisan yang kurang penting ini.
Thursday, November 11, 2010
Ini Itu
Saya peringatkan sejak sekarang, tulisan ini akan lagi bersifat pribadi (setelah sekian lama). Jadi boleh berhenti sampai di sini jika sedang tak ingin mendengar keluh kesah suara hati gundah gulana gegap gempita (*blah!) dari seorang saya.
Hari ini, jika diibaratkan seperti jalanan, emosi dan optimisme saya dalam "memandang" dunia naik turun dan berkelok-kelok bikin pusing. Sampai-sampai untuk kesekian kalinya dalam kurun dua bulan sejak saya menjejak kaki di Indonesia, saya ingin diam saja. Menyerah sementara tapi entah untuk apa, dalam tujuan apa, apalagi visi dan misi selanjutnya jelas tidak ada. Hanya ingin diam, berharap dari diam itu akan ada jalan terbuka lebar dengan sendirinya. Hanya ingin diam, tanpa lagi usaha macam-macam. Hanya ingin diam menunggu, entah apa untuk apa atau siapa. Hah pusing kan?
Tapi ya tapi, diam yang sedang saya bahas di sini hanya untuk satu jenis diam, tidak berlaku untuk diam yang lain. Toh saya harus tetap melanjutkan aktifitas, menjawab "panggilan" pekerjaan, bertemu teman-teman, makan dan minum, melaksanakan ibadah, termasuk merasa bingung, merasa sendirian, merasa dibenci lalu balik membenci, merasa dimanfaatkan dan sedih sebab tidak pernah bisa membebaskan diri dari keadaan yang terus terulang itu di mana pun ia "hinggap", juga masih tetap bermimpi meski kadang ragu kadang angkuh.
Hari ini saya sempat merasa diam saya sedikit berhasil, tapi oh tapi karena saya tidak bisa berkomitmen dan karena mempertimbangkan banyak hal dan banyak ketakutan ini itu, saya melanggar aksi diam yang saya gagas sendiri. Dan sepertinya saya harus diam lagi. Karena pelanggaran tadi, saya merusak harapan yang sempat terbit.
Jelas saya sedang bingung ini. Baiknya saya akhiri saja sebelum makin membingungkan. Saya jadi ingat kata Dewi Lestari dalam salah satu cerpennya di Recto Verso: "Dan dalam keraguan, orang akan merasa lebih baik diam."
Lalu tiba-tiba saya tergerak membuka dan membaca blog Paulo Coelho dan menemukan 2 kalimat pendek yang membuat saya kembali tak ingin diam.
"It's worth it. Just don't quit."
Lalu saya kembali ke jalanan naik turun dan berkelok-kelok tadi dan kembali pusing saat sadar saya tidak punya peta dan tak tahu akan kemana saya melangkah dan di mana akan "sampai".
Karena saya kembali ragu-ragu, sepertinya saya akan diam (lagi) dulu.
Saya ijin untuk diam, boleh ya? Sementara saja, sampai saya tahu cara menyiasati jalanan tadi dan berkurang pusing.
Hari ini, jika diibaratkan seperti jalanan, emosi dan optimisme saya dalam "memandang" dunia naik turun dan berkelok-kelok bikin pusing. Sampai-sampai untuk kesekian kalinya dalam kurun dua bulan sejak saya menjejak kaki di Indonesia, saya ingin diam saja. Menyerah sementara tapi entah untuk apa, dalam tujuan apa, apalagi visi dan misi selanjutnya jelas tidak ada. Hanya ingin diam, berharap dari diam itu akan ada jalan terbuka lebar dengan sendirinya. Hanya ingin diam, tanpa lagi usaha macam-macam. Hanya ingin diam menunggu, entah apa untuk apa atau siapa. Hah pusing kan?
Tapi ya tapi, diam yang sedang saya bahas di sini hanya untuk satu jenis diam, tidak berlaku untuk diam yang lain. Toh saya harus tetap melanjutkan aktifitas, menjawab "panggilan" pekerjaan, bertemu teman-teman, makan dan minum, melaksanakan ibadah, termasuk merasa bingung, merasa sendirian, merasa dibenci lalu balik membenci, merasa dimanfaatkan dan sedih sebab tidak pernah bisa membebaskan diri dari keadaan yang terus terulang itu di mana pun ia "hinggap", juga masih tetap bermimpi meski kadang ragu kadang angkuh.
Hari ini saya sempat merasa diam saya sedikit berhasil, tapi oh tapi karena saya tidak bisa berkomitmen dan karena mempertimbangkan banyak hal dan banyak ketakutan ini itu, saya melanggar aksi diam yang saya gagas sendiri. Dan sepertinya saya harus diam lagi. Karena pelanggaran tadi, saya merusak harapan yang sempat terbit.
Jelas saya sedang bingung ini. Baiknya saya akhiri saja sebelum makin membingungkan. Saya jadi ingat kata Dewi Lestari dalam salah satu cerpennya di Recto Verso: "Dan dalam keraguan, orang akan merasa lebih baik diam."
Lalu tiba-tiba saya tergerak membuka dan membaca blog Paulo Coelho dan menemukan 2 kalimat pendek yang membuat saya kembali tak ingin diam.
"It's worth it. Just don't quit."
Lalu saya kembali ke jalanan naik turun dan berkelok-kelok tadi dan kembali pusing saat sadar saya tidak punya peta dan tak tahu akan kemana saya melangkah dan di mana akan "sampai".
Karena saya kembali ragu-ragu, sepertinya saya akan diam (lagi) dulu.
Saya ijin untuk diam, boleh ya? Sementara saja, sampai saya tahu cara menyiasati jalanan tadi dan berkurang pusing.
Sunday, November 07, 2010
To the Rose
I entrusted my worries
hoping they will be safe from the all thorns
To the Rose
I poured out the color of my blue heart
thinking if it may change its red bud
To the Rose
I admitted my secrets
about the life of mine,
the heart of mine
wishing they are all safe from the the rushing wind
Then the Rose-liked thing laughed at me
saying there must be misunderstanding in me
since Rose isn't Rose without thorns,
and its bud won't change color for centuries,
and Rose won't be fragrant without the rushing wind!
I wondered:
to whom had I entrusted "me"?
Bandung, 7 November 2010
I entrusted my worries
hoping they will be safe from the all thorns
To the Rose
I poured out the color of my blue heart
thinking if it may change its red bud
To the Rose
I admitted my secrets
about the life of mine,
the heart of mine
wishing they are all safe from the the rushing wind
Then the Rose-liked thing laughed at me
saying there must be misunderstanding in me
since Rose isn't Rose without thorns,
and its bud won't change color for centuries,
and Rose won't be fragrant without the rushing wind!
I wondered:
to whom had I entrusted "me"?
Bandung, 7 November 2010
Saturday, November 06, 2010
Bingkai
Saya yakin sekali bahwa semua orang, eh tidak...bahwa hampir semua orang (jika saya tidak boleh mengatakan "semua orang", sebab tidak ada yang sempurna di dunia)--mengagumi saya. Siapa yang tidak kenal dengan saya. Siapa yang tidak penasaran dengan misteri sekaligus pesona yang saya punya, siapa yang tidak tertarik mengenal saya berikut sejarah keberadaan saya di muka bumi. Banyak sudah orang-orang berbondong-bondong datang kemari dari negeri yang jauh sekali; hanya untuk melihat senyum saya, bertemu muka dengan saya, berfoto bersama tentu saja dan setelahnya berbangga sebab telah berhasil berjumpa dengan karya agung sepanjang masa. Begitu mereka biasa menyebut saya, mendeskripsikan saya, yang bagi sebagian besar orang jauh dari memadai sebagai sebuah deskripsi dan apresiasi, sebab keindahan dan karisma yang saya tawarkan tak terwakilkan oleh kata-kata.
Itu kata mereka. Hampir semua orang yang mengenal saya berkata demikian. Yang tidak kenal saya, tidak termasuk dalam data.
Yang mereka tidak tahu adalah bahwa kadang saya bersedih atas kebanggaan mereka pada saya. Kebanggaan karena telah bisa bertemu muka dengan saya yang hanya bisa diam--terkurung tanpa bisa kemana. Ingin sekali rasanya sesekali keluar dari bingkai ini dan ikut pulang bersama seseorang--ke negeri yang tak pernah saya kenal, yang namanya saja sulit saya ingat karena mengejanya saja saya tidak bisa. Tapi bingkai ini sudah jadi takdir yang justru menjadikan saya bermakna. Ialah penjara yang justru membuat saya dikenal dunia yang sudah sangat berbaik hati menerima saya sedemikian berlebihan, hingga membuat saya selalu ingin tersenyum--meski ragu-ragu.
Ah tiba-tiba saya terpikir jangan-jangan dunia sengaja berlaku demikian, agar saya tetap tersenyum; meski ragu-ragu pun tak apa, justru mereka suka. Senyum misterius! Begitu mereka menyebutnya. Senyum terkutuk yang justru menjadikan alasan mereka memenjarakan saya berabad lamanya tapi sekaligus juga memuja saya.
Jika benar demikian, harusnya saya jangan lagi tersenyum. Toh saya pun memang ragu-ragu tersenyum. Tapi berabad lamanya melakukan hal yang sama setiap saat adalah penjara yang lain lagi. Saya sudah lupa bentuk ekspresi atau mimik wajah yang lain. (Atau memang saya tidak pernah mengenal mereka). Saya sudah kaku. Sejak dulu. Sekaku tubuh dan senyum saya yang melegenda: senyum Monalisa!
*Ditulis di Reading Lights Writers' Circle, Sabtu 06 Nov 2010.
Tema: Pembatasan.
Itu kata mereka. Hampir semua orang yang mengenal saya berkata demikian. Yang tidak kenal saya, tidak termasuk dalam data.
Yang mereka tidak tahu adalah bahwa kadang saya bersedih atas kebanggaan mereka pada saya. Kebanggaan karena telah bisa bertemu muka dengan saya yang hanya bisa diam--terkurung tanpa bisa kemana. Ingin sekali rasanya sesekali keluar dari bingkai ini dan ikut pulang bersama seseorang--ke negeri yang tak pernah saya kenal, yang namanya saja sulit saya ingat karena mengejanya saja saya tidak bisa. Tapi bingkai ini sudah jadi takdir yang justru menjadikan saya bermakna. Ialah penjara yang justru membuat saya dikenal dunia yang sudah sangat berbaik hati menerima saya sedemikian berlebihan, hingga membuat saya selalu ingin tersenyum--meski ragu-ragu.
Ah tiba-tiba saya terpikir jangan-jangan dunia sengaja berlaku demikian, agar saya tetap tersenyum; meski ragu-ragu pun tak apa, justru mereka suka. Senyum misterius! Begitu mereka menyebutnya. Senyum terkutuk yang justru menjadikan alasan mereka memenjarakan saya berabad lamanya tapi sekaligus juga memuja saya.
Jika benar demikian, harusnya saya jangan lagi tersenyum. Toh saya pun memang ragu-ragu tersenyum. Tapi berabad lamanya melakukan hal yang sama setiap saat adalah penjara yang lain lagi. Saya sudah lupa bentuk ekspresi atau mimik wajah yang lain. (Atau memang saya tidak pernah mengenal mereka). Saya sudah kaku. Sejak dulu. Sekaku tubuh dan senyum saya yang melegenda: senyum Monalisa!
*Ditulis di Reading Lights Writers' Circle, Sabtu 06 Nov 2010.
Tema: Pembatasan.
Subscribe to:
Posts (Atom)