Thursday, August 20, 2009

Peri Tidur

Aku bertemu Peri Tidur.
Ia mengenakan gaun berwarna ungu lembut, gaun yang berkilau meski tak satu pun kulihat ada batu permata atau manik-manik yang menempel di sana. Pendek kata, ia bercahaya. Terlebih wajahnya! Semu merah muda pada pipinya menambah kesan indah pada wajahnya yang bening. Dan dua matanya terang, berkilat, dan hitam pekat.

Aku mendengarnya bersenandung. Saat itulah aku menyadari kehadirannya. Senandung yang membuat mengantuk, membuai...

"Kenapa kau tak tidur?" tanyanya pelan dan terdengar sedih. Aku berniat menoleh ke kiri dan kanan untuk memastikan apakah ia bertanya padaku, tapi aku urungkan. Rasanya bodoh sekali melakukan hal itu padahal aku tahu pasti tak ada orang lain di tempat ini.

"Kenapa kau tak mau tidur?" ulangnya. Ia memiringkan kepalanya saat bertanya demikian. Tangan kirinya memegang pinggiran bangku kayu lapuk yang ia duduki, sementara tangan kanannya ia simpan di pangkuan. Kakinya diayun-ayunkan pelan... Sungguh menggemaskan. Aku tidak bisa menimbang-nimbang apa yang menjadikannya demikian memikat. Entah apakah karena gaunnya, gerak-geriknya, suaranya, wajahnya yang bercahaya, ayunan kakinya, atau mungkin karena kayu lapuk yang didudukinya dan sekitar yang gelap gulita hingga di tengah suasana ini, ia berjaya, bercahaya—kontras!

"Kau tahu tidak, aku sudah lelah bersenandung untukmu!" lanjutnya.

"Untukku?" Kata ini meluncur begitu saja, karenanya aku agak terkejut mendengar suaraku sendiri.

"Ya, untukmu. Karena kau tidak tidur. Kenapa menolak untuk tidur?" tanyanya lagi. Kali ini ia menegakkan kepalanya juga tubuhnya. Kedua tangannya saling menggenggam di pangkuan.

"Tak bisa tidur."

"Kenapa?"

"Bukan urusanmu." Peri Tidur tampak terkejut, dan aku merasa bersalah berbicara seperti itu pada makhluk seindah dia.

"Sungguh, aku tidak bisa tidur," sambungku lebih ramah.

"Tapi kenapa, pasti ada sebabnya?" tanyanya lagi sambil menggeser posisi duduknya, seolah mengisyaratkan padaku untuk duduk di dekatnya.

Aku pun mendekat, dan terasa ada waktu yang hilang saat aku sadar aku sudah duduk di sampingnya. Aku mencium wangi bunga atau daun atau perpaduan keduanya. Mungkin juga dicampur sedikit buah karena wanginya segar dan sedikit asam seperti citrus. Kiraku, wangi itu berasal dari rambutnya yang tergerai atau dari tubuhnya atau perpaduan keduanya. Entahlah. Ia memandangiku, menunggu jawaban.

"Aku tak tahu kenapa tak bisa tidur," ujarku putus asa. Aku memang tak tahu kenapa tubuhku menolak untuk tidur. Aku bahkan tak butuh kopi untuk bisa bertahan sampai pagi.

"Bukan tak tahu. Kau mencoba melupakan dan memilih tak tahu apa-apa."

"Mungkin...," jawabku sedikit tersinggung. Meski ia cantik, ia tak berhak menghakimiku.

"Maukah menemaniku sebentar?" tanyanya pelan. Suaranya lembut. Aku memandangnya—ragu. "Aku tak punya teman. Aku selalu terjaga di saat kalian tidur. Dan aku harus tidur saat kalian terjaga, agar aku tetap terjaga saat kalian tidur keesokan malam...," lanjutnya, terdengar seperti merajuk.

"Kau tidak menyukainya?" tanyaku heran.

"Apa?" Ia balik bertanya dan menatapku. Matanya memantulkan bayanganku.

"Menjadi Peri Tidur. Kau tidak suka?"

Peri Tidur lama memandangiku. Kemudian ia tertawa singkat, mengalihkan pandangan ke jauh langit yang penuh bintang, menyilangkan kakinya dan mengayunkannya pelan. "Aku tidak boleh bilang tidak suka, sama seperti aku tidak bisa bilang bahwa aku selalu suka menjadi Peri Tidur." Ia menoleh sambil tersenyum padaku.

Mataku berkedip cepat, karena tak mengerti dan sekaligus berusaha menghindari matanya.

"Ada banyak hal yang membuatku suka menjadi Peri Tidur, tapi ada juga yang membuatku tidak suka." 

"Maksudnya?" Aku berharap ia menjelaskan padaku hal-hal tersebut.

"Jangan memintaku merinci apa yang aku sukai dan apa yang ku benci dengan menjadi seorang Peri Tidur. Seringkali, apa yang kusukai hari ini bisa saja mengesalkanku keesokan hari, begitu pun sebaliknya," jawab Peri Tidur sambil memandang jauh ke depan. "Aku hanya harus menerima saat perasaan suka atau tidak suka datang, atau aku menyangkalnya." Lagi-lagi ia melirik mencari mataku dan tersenyum manja.

Aku lagi-lagi terkejut, ada perasaan aneh menjalari dada, entah karena mendengar kalimat terakhirnya atau karena matanya tiba-tiba menemukan mataku.

"Aku bisa apa lagi, coba? Aku tidak bisa menolak takdirku sebagai Peri Tidur." lanjutnya membela diri.

Aku hanya bisa mengangguk, menunduk. Tak tahu harus bicara apa.

"Seperti sekarang, misalnya...," Peri Tidur belum selesai rupanya. Dan ini membuatku senang karena berarti aku tak perlu mengatakan sesuatu. Aku meliriknya tanpa mencoba melihat matanya.

"Biasanya aku selalu kesal melihatmu tak juga tidur, sementara aku sudah kehabisan lagu. Aku merasa gagal. Aku tidak suka. Tapi malam ini, aku senang bisa bicara denganmu... Aku belajar menerima kamu yang tidak bisa tidur. Ini tidak mudah, tapi aku lega jadinya."

"Aku tidak mengerti...," ujarku.

"Ini melanggar peraturan. Tapi untuk malam ini, kupikir tidak masalah sesekali melanggar peraturan...," lanjut peri tidur tanpa peduli pada perkataanku. Ia mendongak ke langit. Tersenyum lebar dan lepas tanpa beban. Ia gerakkan tubuhnya ke kiri dan kanan.

Aku pun tersenyum, seolah tertular kebahagian yang tengah ia rasakan.

"Mulai hari ini, apakah kau memilih tidur atau tidak tidur, aku akan merasa suka dan tidak suka sekaligus," lanjutnya lagi sambil tetap memandang langit. "Mungkin akan lebih sulit untuk menerima kedua perasaan ini secara bersamaan, tapi tak masalah. Aku memilihnya, dan akan terbiasa."

Aku masih juga tak bisa mengerti apa yang ia bicarakan.

"Aku harus pergi sekarang," ujarnya tiba-tiba. Ia melambaikan tangan di depan mataku, tersenyum, dan pergi begitu saja.

Aku tidak sempat mengatakan sesuatu, dan menyesal karenanya. Aku mengulang-ulang apa yang dikatakan Peri Tidur tadi, mencoba memahaminya. Tiba-tiba, walaupun aku masih tidak sepenuhnya mengerti maksud Peri Tidur—untuk pertama kalinya setelah setahun terakhir—aku ingin tidur dan berhenti menjadi insomniac! Aku ingin belajar menerima mimpi-mimpi yang datang berulang. Mimpi tentang kecelakaan malam itu, tentang darah Katharina di tanganku, tentang Katharina yang meninggal di depan mata, sementara aku hanya menderita luka ringan di bagian kepala.

2 comments:

Anonymous said...

apa ini nyata

Neni said...

ini hanya fiksi belaka kok... =)

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...