Are you flexible enough? |
Kemarin, waktu dapat tugas ngedit buku non-teks berbahasa Indonesia, saya melakukan kesalahan karena mengacu pada apa yang sudah saya ketahui sebelumnya.
Jadi begini, saudara-saudara. Apa yang sudah saya ketahui adalah bahwa kalau kita menggunakan tanda baca titik dua (:), hendaknya tidak ada spasi setelah kata sebelumnya.
Misal, saat menulis '... adalah sebagai berikut: ....', setelah 'berikut' tidak ada spasi. Tapi, setelah titik dua baru boleh dan harus ada spasinya.
Misal, saat menulis '... adalah sebagai berikut: ....', setelah 'berikut' tidak ada spasi. Tapi, setelah titik dua baru boleh dan harus ada spasinya.
Nah, mengingat hal tersebut, saat saya melihat penggunaan titik dua pada "1 : 3" (ada spasinya sebelum dan sesudah titik dua), saya menggunakan pulpen merah saya, memberi marka edit 'hapus spasi' (jadi 1:3). Setelah angka 3 tidak ada spasi karena titik dua di sini bukan pemisah yang diikuti penjelasan lanjutan--menurut pikiran saya.
Tapi, saya menjadi tidak yakin saat hampir semua titik dua yang dipakai di perbandingan selalu ada spasi. Akhirnya, saya pun bertanya pada koordinator editor sekaligus editor senior perihal titik dua ini. Beliau bilang, khusus untuk menuliskan perbandingan seperti tersebut di atas, kita hendaknya pakai spasi. Oh, baiklah.
Dengan bekal pengetahuan baru ini, saat saya bertemu penulisan ukuran yang tanpa spasi (3x2 m), saya berinisiatif memberi marka 'tambah spasi' di sana (menjadi 3 x 2 m). Karena saya pikir, kasus tanda perkalian ini mirip dengan titik dua. Ada angka-angka yang mengapit tanda baca dan mereka sama-sama menunjukkan ukuran (ukuran perbandingan dan ukuran luas).
Saat tengah asyik-asyiknya mengedit, seorang teman yang pernah mengedit buku penjas--yang tentunya banyak mencantumkan ukuran lapangan--bilang, "Kalau untuk ukuran kayak gini, nggak boleh pake spasi. Soalnya kemarin saya gitu pas ngedit penjas, sebelum dan sesudah tanda ini nggak boleh ada spasinya."
"Oh, iya? Soalnya saya acuannya ke tanda titik dua dalam menulis perbandingan, saya pikir berlaku sama juga untuk tanda perkalian;" ujar saya. Oh, baiklah. Saya salah. Maka, saya membenarkannya lagi dengan memberi catatan khusus pada layouter yang akan meng-entry hasil editan mengenai tanda-tanda ini.
Dari dulu, setiap mengedit teks berbahasa Indonesia, saya sering bermasalah dengan tanda titik (.), koma (,), titik koma (;), lalu sekarang titik dua (:) dan tanda perkalian (x). Kecil sih (ukuran tanda-tanda ini), tapi repot ngeditnya. Apalagi kalau pola penggunaan tanda bacanya berulang di semua bab; yang kalau dari awal salah penggunaannya, maka berarti yang lain juga salah. Wah, bisa habis seharian hanya untuk membenarkan tanda titik di sebuah buku 6 bab.
Dan masih banyak lagi kasus-kasus yang harus menyesuaikan dengan situasi dan kondisi, belum lagi penggunaan EYD yang benar. Ayo tebak, yang benar 'jerapah' atau 'zarafah'? Kemungkinan kalian akan menjawab 'jerapah', karena inilah yang umum kita dengar. Saya pikir juga 'jerapah'. Tapi ternyata, menurut KBBI, yang benar adalah 'zarafah'. Jadi, mengedit teks berbahasa Indonesia nggak bisa dianggap remeh.
Dan masih banyak lagi kasus-kasus yang harus menyesuaikan dengan situasi dan kondisi, belum lagi penggunaan EYD yang benar. Ayo tebak, yang benar 'jerapah' atau 'zarafah'? Kemungkinan kalian akan menjawab 'jerapah', karena inilah yang umum kita dengar. Saya pikir juga 'jerapah'. Tapi ternyata, menurut KBBI, yang benar adalah 'zarafah'. Jadi, mengedit teks berbahasa Indonesia nggak bisa dianggap remeh.
Titik dua (:) memang bukan kali (x). Jadi, tidak mesti sama aturannya. Tapi, bahkan antara sesama titik dua pun, saat digunakan dalam situasi yang berbeda, aturannya bisa berbeda. Fleksibilitas, kiranya juga berlaku di KBBI dan standar penulisan EYD. :)