Saya hampir lupa tentang ini: sekepal nasi asin. Makanya sekarang saya ingin menulisnya, biar tidak lupa lagi.
Sewaktu kecil, saat di rumah belum ada rice cooker dan sepertinya rice cooker belum begitu populer seperti sekarang atau rice cooker belum masuk desa, Mamak (harusnya Mamah, tapi berubah jadi Mamak) memasak nasi dengan priuk dan tanpa dipindah ke kukusan. Alhasil, jika priuk terlalu lama dibiarkan di kompor meski dengan api kecil, akan terbentuklah kerak nasi yang tebal di dasarnya.
Nah, karena kami diajarkan untuk tidak membuang makanan, kerak ini tidak boleh dibuang. Sayang. Biasanya kerak nasi akan ditaburi garam dan dimakan dalam keadaan panas; seperti camilan. Saya tidak terlalu suka dengan kerak nasi ini. Tapi saya suka dengan kerak nasi yang lunak/ tipis. Biasanya Mamak akan mengepal-ngepal kerak lunak yang sudah ditabur garam hingga menyatu dan padat. Kadang-kadang Mamak sengaja membuatkan dari Nasi panas dan bukan dari kerak lunak. Setelah ditiup sebentar, Mamak akan memberikannya dengan cara mengulurkan tangannya yang memegang nasi kepal ke belakang (tanpa membalik tubuhnya), di mana saya sudah menunggu. Dulu saya sering malas makan, tapi saya tidak menolak jika diberi sekepal nasi panas ini. Pernah saya bertanya tentang kenapa nasi kepal harus diberikan dengan cara tersebut di atas (lewat belakang). Karena saya pikir pasti ada alasan yang melatarbelakanginya; mungkin cara ini semacam syarat atau ritual yang harus dijalani atau ah saya tidak tahu apa yang tengah saya pikirkan saat itu.
Mendengar pertanyaan ini, Mamak pun bilang bahwa tidak ada alasan atau maksud khusus apalagi mitos tentang cara tersebut. Mamak melakukannya karena kebetulan kami (baca: saya dan adik) ada di belakang Mamak. Kemudian cara ini jadi kebiasaan--tepatnya, kami jadi keterusan--karena kami hanya mau menerima nasi kepal dengan cara begitu. Saya jadi ingat, memang pernah suatu hari saat menunggui Mamak yang sedang memindahkan nasi ke baki, Mamak membuatkan sekepal nasi asin dan memberikannya pada saya begitu saja (tidak lewat belakang). Saya menolak. Lucunya, saya langsung bangkit dari posisi duduk di samping untuk kemudian pindah ke belakang Mamak dan memintanya untuk memberikan nasi kepal ke belakang.
Jadi sebenarnya sayalah yang telah menjadikannya sebagai ritual dan bukan sedang mematuhi ritual seperti dugaan saya sebelumnya. Saya lupa kapan terakhir kali makan nasi kepal buatan Mamak. Sepertinya saya perlu sesekali membuatnya sendiri sambil bernostalgia (halahh...). Karena tentu Mamak akan merasa aneh jika saya minta dibuatkan nasi ini di usia yang sekarang. Mungkin, kalian juga mau mencoba? Rasanya sederhana!
Saturday, September 05, 2009
Thursday, September 03, 2009
Serumpun Embun dan Matahari
Ada serumpun embun
pada bilah-bilah ilalang
yang tumbuh di pekarangan belakang
Ada matahari
di jauhnya langit biru terang
yang setia membakar embun,
setiap menjelang siang
Embun tak pernah jera
matahari tak kenal iba
karena sesungguhnya dengan cara itu
mereka bisa mencerna kebersamaan yang tak lama
Lalu embun akan menjelma
dalam wujud yang berbeda
dan dengan cara ini ia berdoa
bisa tiba di tempat matahari
yang ratusan juta kilometer jaraknya
dari pekarangan belakang!
*
pada bilah-bilah ilalang
yang tumbuh di pekarangan belakang
Ada matahari
di jauhnya langit biru terang
yang setia membakar embun,
setiap menjelang siang
Embun tak pernah jera
matahari tak kenal iba
karena sesungguhnya dengan cara itu
mereka bisa mencerna kebersamaan yang tak lama
Lalu embun akan menjelma
dalam wujud yang berbeda
dan dengan cara ini ia berdoa
bisa tiba di tempat matahari
yang ratusan juta kilometer jaraknya
dari pekarangan belakang!
*
Subscribe to:
Posts (Atom)