Baiklah, mulai sekarang aku tidak akan lagi mengunjungi taman ini. Tapi bukan karena kamu melarangku. Aku berhenti datang untuk sementara saja. Sebab musim semakin dingin membungkus belahan bumi di mana kita tinggal. Sebagian besar pohon sudah kehilangan daun, angin di permulaan musim dingin sudah makin garang, dan hujan makin sering datang.
Matahari memang masih rajin bersinar, tapi sudah kehilangan hangat.
Sekali lagi kutegaskan, aku berhenti datang ke taman ini bukan karena mengindahkan laranganmu. Aku akan tetap datang saat musim kembali bersahabat.
Bahkan, jika pun salju masih tebal mengubur tanah taman ini, aku akan sesekali datang saat matahari cerah. Walau sekedar untuk melintas—mencetak jejak-jejak sepatu yang dalam. Tentu kamu masih ingat: aku paling suka mendengar suara sepatu beradu dengan salju segar yang demikian halus dan lunak. Aku masih sering berjalan sambil memandang ke belakang, memandangi cetak-cetak sepatu yang kutinggalkan. Tapi sekarang aku harus lebih berhati-hati, sebab kamu tak lagi menggandeng tanganku dan menjadi pemanduku jalanku. Bisa-bisa aku menabrak orang yang juga lalu lalang. Aku juga masih suka sesekali menyambut hujan salju, tentu saja aku akan memakai jaketku yang ber-
hoody; sesuai pesanmu. Agar kepalaku tetap hangat, agar aku tidak sakit; terutama sakit kepala atau flu.
Saat hujan salju tidak terlalu lebat, aku akan selalu ingat untuk membentangkan syal sutraku yang berwarna
maroon, syal yang terlalu tipis untuk menghadang angin musim dingin. Tapi kau tahu alasan utama mempertahankan kebiasaan yang satu ini: aku sengaja selalu membawanya—selain syal
wool yang membebat leherku—agar bisa kubentangkan hingga aku bisa memperhatikan bentuk keping salju yang turun.
Aku memang masih selalu kebingungan atau tepatnya tidak bisa mengingat teori yang kau ceritakan: bahwa tiap keping salju yang turun di suatu daerah tertentu bisa menjadi petunjuk bagi kita untuk mengenali karakteristik daerah itu. Bahwa bentuk bintang sederhana mencirikan ini; bentuk keping yang serupa bintang dengan detail lebih kompleks mencirikan itu; bentuk seperti bunga mencirikan begini atau begitu; dan lain sebagainya. Jangankan teori tentang hubungan keping salju dan karakteristik suatu tempat, aku bahkan tidak bisa ingat ada berapa jenis keping salju berikut nama masing-masing mereka—yang bisa kau hafal dengan sempurna. Cukup bagiku untuk tahu bahwa bentuk mereka berbeda-beda, dan menyenangkan memilih yang mana yang jadi bentuk favoritku.
“
Take a closer look”; kalimatmu inilah yang membuatku pertama kali sadar bahwa serpih-serpih salju memiliki bentuk yang berbeda-beda. Membuatku berpikir betapa Tuhan demikian detail: Ia merasa perlu menciptakan serpihan salju dengan berbagai bentuk dan detail yang dibuat dengan sangat seksama. Dan kreasi-Nya ini bukannya tanpa tujuan dan makna.
Sesekali, aku akan juga membuat boneka salju di taman ini. Akan kubawa wortel dan kelereng dengan dua warna yang berbeda untuk mata. Aku sengaja membawa kelereng dengan warna berbeda: warna hitam dan biru, yang masing-masing mewakili warna mataku dan matamu. Lalu untuk tangannya, aku akan mencari dan menemukan ranting-ranting di taman ini. Tentu aku butuh waktu yang lebih lama dalam membuat boneka salju, sebab kau tak lagi ada membantuku. Tapi tidak masalah, setiap mengenang momen yang pernah kubagi denganmu, aku merasa cukup.
Oh ya, saat ada salju yang memberati ranting pohon yang bisa kujangkau, aku akan mengambilnya dan mencicip salju tawar yang cepat lumer di lidah. Aku tidak akan kapok meski dulu kita pernah sakit perut sebab terlalu banyak memakan salju.
Maaf jika aku tak mengindahkan pesanmu; aku akan tetap datang ke taman ini meski kau melarangku. Toh, kau pun tak pernah mengindahhkan inginku: untuk meninggalkan istrimu dan menikah denganku.
***
“
Take a closer look,” kembali terngiang kalimatmu. Kalimat pertama yang kudengar darimu. Yang membuatku menyadari keindahan bermacam bentuk keping salju dan sekaligus keindahan biru matamu, yang kini membawa biru di hatiku.
“
Take a closer look,” giliranku kini yang mengatakan ini padamu. Coba lihat, meski hatiku membiru, ia masih berfungsi dengan sangat baik. Kamu tidak sebegitunya mengenalku jika mengira ia justru akan membeku.
Bandung, 27 Oktober 2010