Daun-daun kuning beristirahat dengan tenang di pangkuan rumput hijau, hingga angin datang mengajak mereka bergoyang, atau bahkan terbang.
Langit, birunya sangat bersih dan terang, bersanding kontras dengan gumpalan-gumpalan tebal awan putih bersih. Luas sekali.
Suara mobil menderu di kejauhan, datang dan pergi melintas. Tapi tak mampu mengusik pengunjung taman bermain ini.
Sepasang remaja melintas di depanku setelah menjajal ayunan dari ban mobil; pergi berlalu untuk habiskan sisa hari minggu.
Aku duduk sendiri di bangku kayu yang dinaungi pohon besar, yang menghalangi cahaya matahari dan lagit biru.
Aku memilih duduk di bangku paling kanan.. |
Matahari ada di kantungku...
Merengek minta dikeluarkan. Tapi tak mungkin kulepaskan; ia milikku. Aku menangkapnya dengan kedua tanganku.
Angin menjelang musim semi mulai dingin. Pelan-pelan merembes masuk ke hati, dan menjadikannya dingin. Sesak. Padahal ada matahari di kantungku; dekat sekali dengan letak hati. Mungkin karena bukan pada tempatnya matahari jadi lumpuh, tak mampu menular kehangatan atau tak mau.
Tiba-tiba aku merasa ingin muntah: matahari inti bersinar demikian terik dan menyilaukan. Mungkin ia tahu ada sepotong matahari yang kusekap di kantungku. Dan sepertinya ia marah. Panasnya mencubit-cubit kulitku yang tersembunyi di balik sweater abu-abu. Meski begitu, matahari panas ini tak mampu mengusik hatiku, yang ruangnya tetap dingin dan sesak sekaligus. Membuatku tak nyaman, karena kulihat hati ini berusaha keras membentengi ruangnya agar tetap dingin demi berusaha mengintimidasiku dengan perasaan bersalah. Mendadak aku tahu, rupanya hati sedang cemburu pada matahari di kantungku.
Lalu aku mulai ragu haruskah membawa pulang matahari dan menawarinya menginap beberapa hari di rumahku. Mengabaikan hati. Atau kubuang saja ia demi mendapatkan kembali kehangatan hati?
Ah sekarang aku merasa mengantuk. Ingin tidur, lelah. Ingin melupakan matahari di kantungku dan hati yang memendam cemburu. Tapi matahari inti terus menggigiti kulitku. Anehnya aku malah menggigil.
Sepertinya harus kulepaskan saja matahari dan kukembalikan ke langit bersama matahari inti. Kantungku mulai terasa berat dan sempit, sementara hatiku tak sudi beri ruang untuknya. Tapi, mengantungi matahari bukan perkara biasa, tak banyak orang yang bisa. Ah tapi perkara mengembalikan kehangatan hati pun tak bisa dikatakan mudah. Karena hati akan tetap menyimpan semua emosi pada ruang-ruang di dalamnya. Tak mudah membersihkan mereka, baik emosi menyenangkan pun sebaliknya.
Aku menguap...
Matahari inti kian menyilaukan...
Matahari di kantungku makin gigih membebaskan diri...
Hatiku semakin beku...
Kiranya mimpi akan bisa menyelamatkan salah satu dari kami...
*Meracau @Schlemer-Weg Spielplatz
(Minggu sendu, 06.09.2010)
Draft "Meracau" |
antara jalan Matahari atau jalur Hati |
0 comments:
Post a Comment