Melangkah tergesa tapi tidak setergesa dua hari yang lalu, saya keluar kost-an dan menumpang angkot Elang-Gedebage menuju kantor. Dan dimulailah hari ini...
Saya ingat saya memandangi lama seorang penumpang yang baru naik, yang wajahnya mirip teman SMA. Lalu saya tenggelam dalam pikiran sendiri dan baru kembali "sadar ruang" saat mencium aroma rambut yang baru diurai dari penumpang yang duduk sedikit membelakangi saya.
Mata teralih ke luar jendela, dan saya baru sadar jalanan sepanjang Soekarno-Hatta baru saja diaspal. Bahkan jalan di jalur angkot yang saya tumpangi belum penuh diaspal, baru separuh.
Sampai di kantor tepat pukul delapan lewat sepuluh. Gerbang di dekat mesin absen masih terbuka, yang berarti saya tidak telat. Sesampai di lantai 2 ternyata briefing sudah dimulai.
Hari ini tugas saya lumayan banyak. Untuk mempermudah saya bisa meminta bantuan seseorang, tapi saya tidak mau. Lebih baik saya kerjakan sendiri daripada harus menghadapi orang tersebut. Tapi lama mencari buku referensi di perpus tak juga ketemu, saya mulai berpikir untuk meminta bantuan. Hanya terpikir, sebab saya tetap tidak mau. Tentu saya punya alasan tertentu kenapa tidak mau, alasan yang tidak ingin saya bagi di sini.
Waktu terasa berlari, azan zuhur memanggil. Sesampai di masjid, saya ingat sekali rupa sendal jepit warna oranye yang parkir di tempat saya melepas sepatu. Tali temalinya masih kuat tapi di bagian tumitnya sudah bolong--cekung. Saya bilang ke temen: "Meni awet ya?"
Temen saya mengiyakan, "Kuat ya, teh? Cocok buat ke masjid."
Selesai shalat saya sangat ingat saat seorang rekan kerja bilang, "Hayoo... Neni ngelamun..."
Seingat saya kemarin dan kemarinnya lagi ada juga beberapa teman yang menegur saya begitu.
Saat mengambil sepatu, saya pun melihat sendal bolong tadi dipakai oleh bapak tua penjaga dan petugas kebersihan masjid. Lalu melintaslah sebuah rencana di kepala tentang sendal bolong dan bapak tua.
Saat makan di kantin, masih jelas di kepala tumpukan kertas berbentuk gulungan raksasa ditumpuk di depan pintu masuk kantin, hingga saat kami selesai makan dan melewati antrian para pegawai lelaki yang baru shalat jumat, kami seolah melewati jalur sempit serupa labirin. Saya sempat bertanya bagaimana caranya menumpuk gulungan-gulungan kertas raksasa tersebut hingga tinggi menumpuk.
Dari beberapa kejadian di atas, yang paling nempel di kepala adalah sendal jepit bolong. Bagian lain masih normal, tapi bagian tumit sudah bolong.
Ada banyak kejadian dan interaksi hari ini, tapi hanya segini yang saya ingat atau tepatnya ingin saya ingat. Ehhmm..atau yang ingin saya tulis...
Ada banyak teman tapi hanya sedikit yang teman sejati. Ada banyak kejadian, tapi hanya beberapa yang sampai di telinga kita. Ada banyak tempat yang kita kunjungi, tapi tak banyak tempat yang bisa kita sebut rumah. Ada banyak lelaki tapi hanya satu yang ada di hati (halah! :D).
Tak ada kejadian random, semua ada alasannya. Termasuk adanya alasan kenapa saya menulis tulisan yang kurang penting ini.
Writing a Novel, Scene by Scene
54 minutes ago
0 comments:
Post a Comment