Saya menghadapi Sup Linze panas yang disuguhkan dengan bimbang. Erva, teman yang berbagi apartemen dengan saya, sengaja membuatkan sebab saya tampak mulai terjangkit tanda-tanda terkena flu: kepala pusing, hidung mampet, letih dan lesu, jantung berdebar-debar tak karuan. (Saya tidak yakin apakah tanda-tanda terakhir juga gejala flu, tapi jantung berdebar-debar tanpa alasan jelas ini sungguh membuat tak nyaman hati dan badan).
"Ayo dimakan, Sara. Selagi hangat." Sudah dua kali Erva, yang berdarah Turki-Jerman, bilang begitu sebelum akhirnya menghilang di balik pintu karena harus pergi memenuhi janji.
Sup ini biasanya selalu jadi favorit saya, tapi tidak hari ini. Saya sama sekali tidak berselera memakannya. Sup hanyalah makanan pembuka, penyulut selera sebelum sampai di menu utama,kami sering menambahkan air perasan jeruk nipis, agar sedikit asam...salah satu syarat yang harus dipenuhi makanan pembuka.
Tapi jika saya sedang tidak nafsu makan makanan utama, untuk apa memakan sup sebagai pembuka?
Tapi Erva sudah susah payah membuatkan.
Saya bisa membuangnya di wastafel, Erva tidak akan tahu. Tapi apa saya tega?
Akhirnya, saya pun memakannya pelan-pelan, paling tidak saya mencicipnya, menghargai yang sudah susah payah membuatkan.
Saya muntah, pada suapan ke tiga.
Salah siapa?
*coretan pagi...
Writing a Novel, Scene by Scene
41 minutes ago
0 comments:
Post a Comment