Pada sebuah rumah bordil yang terletak di pinggiran kota, terdapatlah sebutir kacang merah. Ya, hanya sebutir saja. Bukan satu gelas apalagi satu kilo--satuan yang biasa dijadikan patokan ukuran untuk produk kacang-kacangan.
Jika merunut sejarah keberadaan si Kacang Merah di rumah tersebut, maka bolehlah kita mengulang bagian pembukaan kisah ini: Pada sebuah rumah bordil yang terletak di pinggiran kota, terdamparlah sebutir kacang merah. Ya, hanya sebutir saja. Tidak lebih tidak kurang.
Sejak terdampar di rumah ini, Kacang Merah sudah berpindah-pindah tempat dan atau ruang berkali-kali. Tentu saja bukan atas keinginannya sendiri. Ia berpindah-pindah sebab tersepak orang-orang yang lalu lalang di rumah ini, rumah yang terlihat kecil dari luar tapi memiliki demikian banyak kamar.
Tempat yang paling ia sukai dulu adalah berada di belakang pintu depan. Tapi sial, suatu hari ia tak sengaja tersapu oleh OB rumah bordil ini hingga terpojok di sudut luar pintu depan. Saat itu Kacang Merah berharap ia terlempar ke tanah, ke halaman. Tapi malang tak dapat ditolak, bukannya justru menjauhi rumah, ia malah kembali terpental ke ruang depan sebab terinjak ujung sepatu seorang pelanggan tetap yang sedang berkunjung ke rumah ini. Kacang Merah kembali tersepak ke sana kemari, pernah juga hingga ke dapur, terbuang ke tong sampah, dan dibuang di pekarangan belakang. Saat ia menjejak tanah, bukan main senangnya Kacang Merah. Namun kesenangannya tak berlangsung lama, seekor ayam jago berniat menelannya. Ayam lain juga menginginkannya, berusaha merebutnya dari si ayam jago. Mereka berkejaran, hingga masuk ke dapur rumah bordil. Lalu diusir koki. Ayam jago kaget dan menjatuhkan Kacang Merah di dapur dan meninggalkannya di sana. Lalu Kacang Merah kembali tersepak ke sana kemari hingga akhirnya kini tersudut di kusen jendela salah satu kamar.
Pada awalnya Kacang Merah bersuka hati terdampar di jendela ini, karena ia aman dari sepatu-sepatu atau sapu yang memindahkannya ke sana kemari. Tapi lama kelamaan Kacang Merah tak ingin berada di kamar ini atau kamar manapun di rumah ini. Ia merasa ingin mati saja. Keinginan yang juga tak bisa terpenuhi, sebab sebagai bangsa kacang-kacangan ia tak bisa mudah mati. Makin hari ia makin murung saja. Sepanjang hari dihabiskannya waktu dengan hanya memandang ke luar jendela. Berharap ia bisa melompat keluar. Tapi harapan tinggal harapan, jendela ini tak pernah dibuka tak peduli berapa banyak orang yang datang dan pergi mengisi kamar ini. Datang dan pergi silih berganti.
Ia harus puas hanya bisa memandangi pemandangan di luar jendela, memandangi petani yang sedang sibuk memaculi sawahnya di seberang jalan sana, sambil bermimpi bahwa suatu hari nanti ia bisa menginjak tanah dan bertumbuh.
Jika kalian bertanya bagaimana awal ia bisa terdampar di sini, tentu hanya Kacang Merah yang tahu. Tapi, akibat terlalu lama tinggal di sini, bertemu demikian banyak orang-orang yang berbeda-beda--kecuali pekerja dan pelanggan tetap rumah ini tentu saja-- ia tak lagi bisa mengingat awal mula keberadaannya di rumah bordil ini. Mungkin juga tanpa sadarnya sendiri, ia berusaha melupakan hal tersebut. Ia bahkan terkadang lupa bahwa ia hanyalah sebutir kacang merah dan bukannya saksi sejarah rumah bordil di pinggiran kota.
*Cerita aneh tersebut di atas ditulis saat latihan menulis di RL Writers' Circle ( 23 Okt 2010).
Tema: Menulis dengan menggunakan kata-kata: "kacang merah", "memacul", "rumah bordil."
Delivery status notification.
2 hours ago
1 comments:
Betul nook, kacang merah seharusnya berada di tanah, agar bisa tumbuh menjadi tanaman yang berguna bagi orang lain.., what a sad story..but i like.
Post a Comment