"E" untuk Energi!
Inilah judul pameran tunggal Prilla Tania, seorang lulusan Studio Patung FSRD ITB, di Selasar Sunaryo Art Space yang berlangsung pada 19 April-11 Mei 2013.
Hari ini ada jadwal artist talk-nya pukul 15.00 WIB, katanya. Karena itu, saya dan Dika (teman baik yang saya kenal di klab nulis) memutuskan ke sana. Biasanya kami akan pergi ke tempat seperti ini bertiga dengan Nia. Nia kerja di Jakarta sekarang, jadi ga bisa ikut deh kecuali kalau Nia lagi ke Bandung.
Saya tidak akan banyak berkomentar tentang pameran ini kecuali pengalaman saya sebagai penikmat seni yang tidak paham seni. Setibanya di sana, kami langsung ke Ruang Sayap. Di dinding sebelah kiri dekat pintu masuk, tampak pengantar dari kurator dalam Bahasa Inggris.
Mengutip ucapan kurator, Chabib D.H, "Pameran 'E' merupakan buah kesimpulannya (Prilla--red.) dari proses pencarian dan kegelisahannya terhadap persoalan pangan."
Lalu apa hubungannya dengan energi? Dalam siklus produksi dan konsumsi pangan, ada daur energi yang terjadi. Kita butuh makanan untuk sumber energi. Makanan yang dijual biasanya dikemas dalam kemasan yang tidak bisa di daur ulang atau yang membutuhkan energi besar untuk mendaur ulangnya. Kira-kira gitu. Sebenarnya konsep tentang energi ini lebih kompleks dan dalam dari yang tadi saya uraikan. Tapi saya bingung menyampaikannya.
Prilla sendiri menghindari atau meminimalisir membeli makanan dengan kemasan yang tak bisa di daur ulang. Ia bahkan berkebun, menanam berbagai bahan pangan yang tentunya tidak perlu dikemas dan tidak menghabiskan energi untuk sampai ke tangannya. Prilla yang gemar masak makanan Eropa bahkan nekat menanam tanaman impor untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Niat bener!
Bahan dasar karya Prilla kali ini adalah kertas atau kemasan bekas makanan yang dia potong-potong (bahkan sangat kecil) untuk membentuk beragam objek seperti kapal, orang, etalase/rak di supermarket, truk sampah, pabrik, dan lainnya yang ditempel dan disusun secara acak di salah satu sisi dinding Ruang Sayap. Karya ini berjudul: "Daur Energi". Jadi, dia memanfaatkan kemasan bekas untuk "didaur" menjadi karya seni yang mewakili konsep yang ia pegang tentang energi, industrialisasi pangan, dan ketahanan pangan.
Untuk pameran ini, ia menghabiskan waktu 3 bulan dalam proses pengerjaan.
Lihat gambarnya biar lebih jelas:
Lihat beberapa objek lebih dekat; berikut adalah beberapa yang menjadi favorit saya:
|
ruang keluarga; tampak unik dari angle yang menarik |
|
kapal yang cantik ya? tapi muatannya isinya sampah. |
|
Ini kilang minyak lepas pantai itu bukan sih? |
|
pabrik |
|
perahu layar bercadik |
|
truk berisi sampah kemasan makanan |
Kalau kalian perhatikan setiap objek, saya yakin kalian akan mengagumi dan menghargai usaha, ketekunan, ketelitian dan kesabaran ekstra tinggi Prilla dalam membentuk benda dengan sedetail itu. Bayangkan dia memotong-motong kertas hingga bentuknya kecil sekali, lalu menempelnya dengan lem dengan hati-hati demi membentuk objek yang dia inginkan.
Di sisi berlawanan dari karya "Daur Ulang", tampak tulisan di bawah ini yang juga dibuat dari kertas karton kemasan makanan. Bedanya karton yang dipakai adalah bagian yang menyatakan nilai gizi makanan yang menurut Prilla seolah kontradiktif dengan fakta bahwa makanan itu sendiri mengandung pengawet.
Setelah saya motret dan Dika selesai menonton video yang bercerita tentang "Daur Energi", kami beranjak ke Ruang B. Begitu masuk ruang, saya mengisi buku tamu, dan petugas mengatakan bahwa saya tidak boleh motret di ruang ini. Ah, sial bener! Padahal karyanya bagus juga di sini.
Kami menonton dulu video Prilla berbicara tentang "E" dan energi dan pangan sambil ia membuat objek yang dipajang di "Daur Energi". Tuh kan bener, itu kertas dipotong-potong kecil-kecil, satu per satu, sedikit demi sedikit. Salut!
Dika masih betah nonton video, sementara saya segera masuk ke ruang...ehhmm...mungkin kalau boleh saya mengatakan ruang seni instalasi 2 dimensi. Awalnya saya tidak sadar ruang. Suara deru entah apa sejak tadi terdengar kurang nyaman di telinga. Saya melihat di depan saya, di sisi-sisi dindingnya juga terdapat bentuk-bentuk benda (juga dari karton, tapi dicat hitam). Bentuk objeknya lebih cantik; ada beberapa botol kemasan minuman mineral di sisi kiri tersangkut jaring. Lalu ada garis lurus yang ditarik yang menghubungkan tiap sisi dinding sebagai satu kesatuan "ruang", semacam pembatas.
Mata saya bergerak (masih di dinding sisi kiri) agak ke tengah bagian bawah dinding; di sana saya melihat ada sebentuk hiu, di dinding tepat di seberang saya berdiri ada bentuk ubur-ubur. Di bagian tengah ruang, juga terdapat dinding yang memajang bentuk sampah botol kemasan. Di sisi kanan bagian bawah tampak drum berlogo tengkorak.
Dan AHA moment menghampiri saya. Saya mendadak tahu saya ada di mana, dan apa yang sedang saya hadapi saat itu. Saya sedang menyaksikan realitas di lautan dengan makhluk lautnya dan sampah yang ngambang di atas permukaan. Garis panjang yang saya bilang semacam pembatas adalah batas permukaan laut dengan isi laut yang "menampung" ikan hiu, ubur-ubur, ikan-ikan kecil, dan drum bekas yang tenggelam di dasar. Lalu suara deru yang tidak nyaman tadi rupanya adalah suara deburan air laut!
Sampah di sisi kiri itu bagus, tapi sayang fotonya ga bisa dicuri. Ini saya berhasil curi foto drum yang ceritanya tenggelam di dasar lautan.
|
Ini dia hiu-nya. |
Saya melangkah agak jauh ke ruang yang agak tersembunyi, dan saya kaget karena di salah satu dinding, ada film animasi (seperti bayangan tuyul). Film animasi anak kecil yang buang air di atas biji mangga. Mangga tumbuh, si anak yang sudah agak besar berusahan petik mangga, pohon tambah besar, anak tumbuh jadi manusia dewasa yang metik mangga, hingga ia jadi manula dan meninggal dan tengkoraknya dikubur.
Agak jauh ke dalam, ada seni yang lain lagi. Kertas karton berbentuk pohon di taruh di lantai menghadap ke 4 sisi dinding, lalu lampu-lampu yang berada di tengah, di atur dan diarahkan sedemikian rupa ke pohon tersebut hingga bayangannya membentuk efek spesial di tiap sisi dinding. Ini dia foto curian saya. Mencuri foto ini ga mudah, karena petugasnya tuh sesekali ngecek ke ruangan. Untung ga kepergok.
|
Aslinya lebih keren deh, maklum hasil curian jd asal jepret. |
Saya juga sempat melihat seni lain dimana kita harus mengintip ke lubang kecil di salah satu sisi dinding dari triplek. Di dalamnya, tampak kapal berisi sampah berlayar terombang-ambing ombak, bendera di tiangnya seolah berkibar-kibar ditiup angin, gelombangnya juga beriak-riak. Entah pakai efek apa tuh bisa begitu.
Sambil menunggu artist talk mulai, saya dan Dika duduk di teater terbuka sambil ngobrol banyak hal. Suara serangga musim panas nyaring bersahut-sahutan. Udara di Dago atas ini jelas sejuk, dan untung tidak hujan.
|
Iseng moto kaki sendiri, hihihi.... |
Jam tangan kesayangan menunjukkan pukul 15.30 WIB belum ada tanda-tanda akan dimulai tuh artist talk bareng Prilla. Tadinya kami mau denger sebentar, lalu pergi aja. Tapi karena ga mulai juga kami pun beranjak ke tempat makan pempek yang direkomendasikan Dika. Dari sana kami ke Togamas untuk beli majalah Tempo edisi khusus Kartini. Saya jadi penasaran ingin baca karena terprovokasi mendengar cerita Dika tentang sosok Kartini di majalah ini. Dan karena saya ingin mencari kartu Tarot.
Tadinya saya iseng bilang ke Dika bahwa saya tertarik belajar baca Tarot tapi saya takut dosa, karena kan katanya ramalan itu dilarang dalam Islam. Tapi eh tapi Dika malah mendukung sepenuh hati. Itu salah satu jenis skill katanya. Katanya lagi, mungkin dengan mempelajari hal yang dianggap bertentangan dengan apa yang sudah kita yakinin sejak lama akan membawa pemahaman baru terhadap keyakinan itu. Sederhananya mungkin konsep ini bisa disamakan dengan konsep bahwa untuk mengetahui apakah sesuatu itu salah, kita harus tahu juga apa itu benar atau sebaliknya.
Di Togamas, buku tentang Tarotnya ada tapi kartunya ga ada. Jadi saya hanya beli Tempo dan satu buku berjudul "Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya". Duh, Dika ini bikin saya belanja! #nyalahin orang :p.
Lalu Dika menawarkan mengantar ke Gramedia untuk cari Tarot. Nyatanya kosong juga. Lalu Dika menyarankan ke Book & Beyonds dan ke Gunung Agung yang ada di BIP. Ga ada juga, sodara-sodara. Malah pegawai Gunung Agung menyarankan nanya ke Hypermart segala, sebab katanya dulu pernah suplai ke GA. Saya samperin tuh, ya jelas ga ada lah ya.
Saya sempet tanya kenapa kok Dika bersemangat sekali mengantar saya mencari Tarot. Dika bilang, "Soalnya keinginan untuk belajar sesuatu yang baru itu kan jarang-jarang, jadi ketika ada keinginan kenapa ga diseriusin." Oh, baiklah.
Gagal dapet Tarot, kami pun pulang. Cuaca Bandung cerah tanpa hujan.