Pernah ada cerita tentang seorang wanita yang berduka. Ia mengurung diri di rumah sibuk meratapi duka. Hingga suatu hari seorang anak tetangganya mampir ke rumahnya dan bertanya tentang apa yang tengah dialaminya. Sang wanita dengan mata yang selalu sembab bilang bahwa ia baru kehilangan salah seorang yang ia cintai yang meninggal duni beberapa hari yang lalu. Ia pun menambahkan bahwa saat ini hatinya sedang sakit sekali.
Keesokan harinya, sang anak kecil datang kembali. Saat bertemu wanita tersebut, dengan lugu ia bilang: “Ibu, ini aku bawakan plester untuk hatimu yang sedang sakit.”
Wanita itu pun memeluknya sambil menangis sebab terharu.
*
Memang kemarin-kemarin itu, hatiku memar-memar. Aku teringat kisah di atas dan berharap ada plester besar yang bisa membantu meringankan bengkak dan biru di hati. Tapi, aku tak bisa mengharapnya dari orang lain. Plester itu sepertinya harus kubuat sendiri, karena yang kubutuhkan bukan plester yang sama yang diberikan anak kecil kepada wanita yang tengah bersedih itu.
Sekarang ini memarnya sudah berkurang. Birunya sudah menghitam; bukankah hitam adalah pertanda kian dekat dengan kesembuhan? Sudah kutambal (meski susah payah) dengan plester pengertian dan ketulusan. Mereka plester yang langka: kadang bisa sangat diandalkan, tapi seringkali hilang khasiat begitu saja. Tapi, selama aku percaya mereka tetap ada, hatiku akan baik-baik saja. Bengkak dan biru sesekali, justru menandakan ia tak lupa berfungsi.
*Foto dipinjam dari sini.
0 comments:
Post a Comment