Pulau Lembongan sepertinya tidak terlalu akrab ya di telinga kita. Tapi, mengunjungi pulau ini saat kalian berkesempatan ke Bali akan memberikan pengalaman tersendiri.
Pemandangan sepanjang jalan menuju Pulau Lembongan |
Pulau Lembongan memang agak jauh dari pusat pariwisata Bali, untuk mencapainya harus naik perahu kayu atau speedboat dari Pantai Sanur. Atau bagi yang berkocek tebal bisa menikmati kemewahan jasa cruise (kapal pesiar) yang memang menyediakan jasa mengunjungi pulau tersebut, lengkap dengan kemewahan lain yang bisa dinikmati di cruise-nya itu sendiri. Dibutuhkan waktu sekira satu jam dengan cruise atau speedboat dan 1,5 jam dengan menumpang perahu kayu untuk tiba di pulau tersebut.
Meski saya tidak berkocek tebal, beruntung saya bisa mengunjungi pulau cantik di Tenggara Bali ini dengan menumpang cruise, Bali Hai II Reef Cruise namanya. Tiket menunjukkan harga Rp800.000,00 dengan mendapat fasilitas untuk menikmati hampir semua kesenangan yang ditawarkan di cruise (banana boat, snorkeling, scuba diving, village tour, coral viewer, makan siang, dll). Fasilitas seperti parasailing tidak termasuk dalam paket ini.
Bisa dibilang saya beruntung ya bisa naik cruise gratis, tapi sayangnya sebab saya sedang bekerja (meliput--red.) maka semua kesenangan tersebut tidak bisa sepenuhnya saya nikmati. Lah wong saya harus kerja nenteng-nenteng kamera dan mengabadikan gambar.
salah satu ruangan cruise. pemandangan air laut dengan biru sembpurna dari dalam pesiar.... |
Ada rasa bangga tapi juga sedih sekaligus saat saya naik cruise ini. Pasalnya hampir semua penumpang cruise (mungkin 99%) adalah bule. Orang Indonesia hanyalah para pekerjanya. Saya sempet mikir jangan-jangan hanya saya penumpang yang orang Indonesia. Lalu, saya melihat satu keluarga Indonesia saja. Orang Indonesianya ke mana? Apa kurang mampu atau memang ga tertarik ya? Kalau karena kurang mampu bayar cruise yang mahal, miris amat ya... Keindahan alam kita hanya untuk orang asing. Dan kita hanya jadi pekerja, termasuk saya yang naik karena urusan kerja.
Tufa dan suami menikmati banana boat, saya menonton. Lalu...lalu....eh ada coral viewer. Karena tak harus berbasah-basahan dan tetap aman dengan menenteng kamera, saya ikut naik fasilitas ini. Coral viewer ini memungkinkan kita bisa melihat alam bawah laut tanpa berbasah ria (tanpa harus bersnorkeling atau diving). Coral viewer memiliki ruang yang memungkinkan kita duduk manis di bangku kayu, kedua sisi ruangnya tembus pandang dan langsung menampilkan pemandangan bawah laut di kedalaman lebih 10 meter. Nah, jadi begitu masuk coral viewer, kita akan langsung turun tangga yang mengantar kita ke ruangan bawah laut tersebut.
ini dia coral viewer |
Kesenangan melihat ikan-ikan sambil muter-muter di sekitar cruise utama ini hanya berlangsung 15 menit. Saya bisa melihat banyak ikan kecil-kecil tapi sayang ga bisa difoto. Sayangnya pula, terumbu karangnya kurang indah. Menurut seorang pegawai (orang Bali), yang datang menemani saya duduk, dulunya karang di sini banyak, tapi karena apa ya lupa, jadi banyak yang rusak. Pegawai cruise ini lumayan lama juga ngajak ngobrol padahal saya lagi malas berbasa-basi. Tapi berhubung saya lagi kerja, lumayan juga cari-cari tambahan informasi dari beliau, seperti tanya-tanya tentang kedalaman coral viewer yang kami tumpangi, penyebab rusaknya terumbu karang di sekitaran, dll.
Selesai makan siang, saya mengajak Tufa dan suaminya untuk ikut village tour ke Pulau Lembongan. Cruise tidak menuju ke pulau ini, ia hanya berenti (stand by) di pontoon (kira-kira tempat parkir gitu deh). Kami harus menumpang speedboat lagi untuk sampai di Lembongan. Jadwal village Tour setiap 1 jam sekali.
cantiiik... |
Seorang tour guide sudah menyambut kami. Rombongan terdiri dari sekira 10 orang. Banyak rumput laut tampak dijemur di sepanjang jalan perkampungan di Pulau Lembongan. Memang banyak penduduk yang bekerja sebagai petani rumput laut.
Kami juga di antar melihat pohon yang usianya ratusan tahun, di dekat pohon banyak terdapat kuburan sementara orang-orang Bali yang belum bisa di Ngaben karena alasan biaya. Maklum biaya Ngaben bisa puluhan juta, dan sebelum dana itu terkumpul, jasad dikubur sampai waktunya nanti di bakar dengan upacara Ngaben. Bisa sampai belasan tahun, jasad tersebut belum bisa diNgaben-kan.
Kami juga di antar melihat pohon yang usianya ratusan tahun, di dekat pohon banyak terdapat kuburan sementara orang-orang Bali yang belum bisa di Ngaben karena alasan biaya. Maklum biaya Ngaben bisa puluhan juta, dan sebelum dana itu terkumpul, jasad dikubur sampai waktunya nanti di bakar dengan upacara Ngaben. Bisa sampai belasan tahun, jasad tersebut belum bisa diNgaben-kan.
rombongan tour |
Tour berlangsung sekira 45 menit. Kami berjalan menyusuri kampung; melihat puskesmas, mengobrol bersama pengrajin tenun ikat, melihat anak manjat pohon. Untuk para turis asing, atraksi ini menarik. Beberapa dari mereka mencoba ikut memanjat pohon dan tertawa-tawa riang karenanya. Kami juga mengunjungi toko yang menjual kain khas tradisional. Kami disuguhi air kelapa muda di toko ini.
Selesai village tour, kami duduk di sebuah warung sambil menunggu boat yang menjemput datang. Tidak merasa bosan-bosan amat karena pemandangannya menyejukkan mata, menyenangkan hati yang gundah gulana... *apa coba? hehe....
kami duduk di bawah warung tepi pantai menunggu jemputan dan dimanjakan dengan pemandangan cantik ini |
***
Kenapa kenangan ini saya bilang nyaris hilang? Saya bahkan lupa nama pulau yang sempat saya kunjungi dengan pesiar tersebut, kemewahan yang (seharusnya) bisa saya nikmati dan secara gratis pula, serta keindahan alam yang (seharusnya) sangat mengesankan saya, dan kenangan lainnya yang seharusnya terekam baik di memori mereka yang suka jalan-jalan.
Untung ada tulisan news di web Kemenparekraf yang menjadi dokumentasi singkat perjalanan ke sana. Dari artikel tersebut, saya bisa menggali ingatan saat ke Lembongan. Ini link nya di sini.
Semua hal yang sebelumnya menjadi impian dan membuat iri banyak pecinta jalan-jalan itu jadi tidak penting dan nyaris terlupakan (karena tidak dinikmati) dan sebabnya adalah karena... GALAU. Heheheh... jadi pada akhir Januari 2013 itu adalah masa yang sangat rentan (ceileh); istilahnya mah badan di mana pikiran ke mana... (aduhai curcol).
Uppss... sebelum jadi curhat colongan, dan karena galaunya sudah lewat, jadi mending bahas latar belakang penugasan saya ke sana.
Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, akhir Januari 2013, saya ditugaskan meliput dan menemani kegiatan pemenang lomba lari New York Marathon yang berlibur ke Bali, namanya Tufa dari Ethiopia. Apa hubungannya New York Marathon dan Bali dan saya?
Jadi ceritanya ajang New York Marathon itu kan ditonton ratusan juta penduduk dunia, nah, Kemenparekraf melihat ini sebagai peluang besar untuk mempromosikan keindahan dan pariwisata Indonesia (khususnya Bali). Kemenparekraf pun menjadi salah satu sponsor untuk event dunia tersebut dengan memberi hadiah gratis jalan-jalan bagi pemenang lomba marathon. Dengan harapan, keindahan Bali akan kian tersiar melalui cerita pengalaman para pemenang lari yang diundang berlibur gratis ke Bali.
Saya menemani mereka selama 3 hari di Bali, termasuk sehari perjalan PP ke Yogyakarta. Kala itu saya masih menjadi copywriter untuk konten website resmi Kemenparekraf.
Demikian. :)
0 comments:
Post a Comment