Disebut normal adalah sebuah konsensus. Ketakutan melanggar konsensus dan disebut tidak normal kadang-kadang membuat kita menjadi yang bukan diri sendiri. Menyangkal diri dan keinginan-keinginan terdalamnya. Konsensus tersebut bahkan membuat diri merasa bersalah jika tidak menjadi seseorang yang diharapkan orang lain atas diri kita.
**
Veronika Memutuskan Mati. Adalah judul novel karya Paolo Coelho yang baru selesai saya baca. Veronika adalah gadis muda berusia 24 tahun, cantik, pintar, bermasa depan cerah, yang memutuskan bunuh diri dengan menenggak pil tidur dosis tinggi. Rutinitas yang membuatnya merasa hidupnya akan selalu sama, monoton. Inilah alasan pertamanya ia memutuskan mati bunuh diri. Alasan kedua adalah karena ia merasa betapa banyak masalah di dunia ini (yang ia baca di koran dan majalah, yang ia tonton di televisi), sementara ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Terdengar aneh? Mungkin. Membaca halaman-halaman selanjutnya, kita akan tahu bahwa alasan ia memutuskan mati tidak sesederhana dua poin di atas. Veronika digambarkan sebagai seseorang yang selalu berusaha terlihat bersikap baik, ramah, dan penuh kasih sayang. Ia melepas mimpinya sebagai seorang pianis demi memenuhi permintaan ibunya yang "mengorbankan hidupnya agar putrinya mendapatkan pendidikan yang baik, mahir memainkan piano dan biola, bergaun seperti putri... sementara dirinya sendiri mengenakan baju yang sama selama bertahun-tahun." Akhirnya, ia belajar hukum sesuai keinginan ibunya, tapi kemudian memilih bekerja sebagai pustakawati--sebuah pekerjaan yang stabil, yang aman. "Cinta tanpa pamrih telah membuatnya penuh rasa bersalah, ingin memenuhi harapan orang lain, meski itu berarti mengorbankan semua mimpinya." Belum lagi fakta bahwa pernikahan orang tuanya tidak harmonis, menambah-nambah beban pikiran Veronika.
Memendam kebencian, amarah, dan mengabaikan perasaan-perasaan yang mungkin dianggap negatif jika diekspresikan telah menjadi karakter Veronika. Ia berusaha memenuhi harapan orang lain dan selalu bersikap baik dan manis. Hingga pada titik tertentu, ia tidak sanggup lagi menjadi yang diharapkan orang lain, menjadi yang bukan dirinya. Merasa hampa. Mati adalah jalan keluar yang terpikir olehnya. Ia memilih menenggak pil tidur dosis tinggi. Cara yang ia pikirkan masak-masak, yang tidak akan terlalu merepotkan orang lain dan tidak meninggalkan bekas. Cara mati yang mungkin lebih bisa diterima ibunya. Karena jika ia melompat dari gedung tinggi atau mengerat nadinya, tentu akan menimbulkan ingatan dan kenangan buruk bagi ibunya tentang kondisi mayatnya. Lihat, bahkan untuk bunuh diri, ia masih mempertimbangkan perasaan atau akibatnya bagi orang lain--khusunya ibunya.
Veronika gagal bunuh diri dan menemukan dirinya terbangun di Villete--sebuah asylum bagi penderita sakit jiwa--setelah berhari-hari koma. Saat Veronika mengutuk dirinya yang gagal bunuh diri, Dr. Igor mengatakan padanya bahwa ia akan mati dalam waktu tak lebih dari seminggu. Jantungnya sudah rusak. Jadi, ia tak perlu mengulang usahanya bunuh diri.
Kesadaran akan kematian membangkitkan semangat hidup. Selama menunggu kematian, Veronika sampai pada suatu kesadaran, bahwa di usianya yang tinggal beberapa hari, ia ingin melakukan hal-hal yang belum pernah ia lakukan. Ia memiliki keberanian meluapkan amarah, merasakan kebencian, dan melakukan sesuatu tanpa takut dianggap tidak sopan, mengenali serta mengakui sifat cabul di dalam dirinya yang selama ini ia pendam, dan melakukan apa yang sangat ia inginkan tanpa takut penilaian orang lain.
Saat kesadaran akan kematian mengusiknya, pada suatu malam di mana bulan bersinar terang, Veronika menangis terisak setelah mendapat ijin dari perawat penjaga untuk memainkan piano di salah satu ruang di Villete. Ia menangis entah karena apa, mungkin menyesali atau meragukan keputusannya meminum pil-pil tersebut atau karena takut menghadapi kematian. "Ketika kuminum pil-pil itu, aku ingin membunuh orang yang kubenci. Aku tidak tahu ada Veronika lain dalam diriku, Veronika yang kusayangi." Begitu ujarnya saat perawat berkata bahwa ia tak mengerti apa yang membuat seseorang ingin mengakhiri hidupnya. "Apa yang membuat orang benci diri sendiri?" tanya perawat kemudian. "Sifat pengecut barangkali. Atau mungkin takut bertindak salah, atau tidak dapat memenuhi harapan orang lain...," jawab Veronika.
Malam itu Veronika memainkan musik secara sembarangan sebanyak puluhan kali sambil mengeluarkan perasaan negatif dalam dirinya berikut kebencian-kebencian yang selama ini ia pendam. Setelah ia merasa puas, kedamaian membungkusnya. Ia lalu memainkan sonata penghormatan pada bulan, taman, dll. Bertepatan dengan itu, alunan musiknya menarik perhatian seorang skizofrenia, Eduard. Malam-malam selanjutnya, Veronika memainkan piano atas permintaan Eduard yang menunjukkan ketertarikan pada musik. Membuat Veronika merasa memiliki seseorang yang mengerti dirinya, mimpi terbesarnya. Berawal dari piano, ditambah dengan kesadaran bahwa kematian sudah dekat bagi Veronika (tinggal 24 jam saja), dan serangkaian kejadian yang jalin-menjalin di Villete, mereka berdua memutuskan kabur untuk menikmati kembali kehidupan di luar Villete dan menyadari pentingnya memperjuangkan keinginan terbesar mereka.
Dan percayalah, kalian mungkin tak menyangka apalagi bisa menebak akhir ceritanya.
***
Selesai membaca Veronika Memutuskan Mati, saya jadi banyak berpikir tentang konsep diri sendiri. Beberapa minggu yang lalu, saya sempat membenci diri sendiri. Mengapa saya tidak bisa sepositif orang lain saat menyikapi masalah, tidak sedewasa dan senyantai orang lain dalam memandang kehidupan lengkap dengan dinamika di dalamnya, tidak punya teman sebanyak orang lain, tidak pandai menjaga hubungan baik dengan teman yang seada-adanya itu, tidak semenyenangkan dan seramah orang lain, tidak seberuntung orang lain, tidak seluwes orang lain saat berinteraksi dan menentukan sikap, dsb.
Salah satu pemicu perasaan benci diri tersebut adalah sederhana saja. Ia muncul sebagai hasil akumulasi dari beberapa kejadian yang kurang menyenangkan yang terjadi belakangan. Salah satunya, saya merasa telah merusak suasana saat bersama dengan teman-teman, merasa sebagai orang yang tidak "asyik" dan terlalu sensitif dalam merespons sikap orang lain yang membuat saya tidak nyaman. Saya merasa tidak mampu menjadi seseorang yang diharapkan orang lain--yang bertindak dan bersikap sesuai konsensus dan etika pergaulan tak tertulis. Yang bisa memendam perasaan negatif atau paling tidak bisa mengekspresikannya dengan cara yang lebih benar.
Mungkin Veronika benar. Saya pengecut. Saya mengabaikan perasaan saya sendiri. Saya takut bertindak salah, atau tidak dapat memenuhi harapan orang lain. Mungkin karena hal-hal tersebut, kemarin-kemarin, saya benci sekali dengan diri saya.
Maka membaca Veronika Memutuskan Mati, saya seolah mendapat pembenaran (untuk menghibur diri sendiri), bahwa kadang-kadang tidak ada salahnya mengekspresikan perasaan negatif. Apalagi perasaan negatif itu muncul akibat tindakan kurang menyenangkan dari orang lain. Saya punya hak untuk protes. Atau sekedar menunjukkan pada mereka bahwa saya tidak seharusnya diperlakukan demikian. Bahwa usaha protes saya adalah salah satu cara saya menghargai dan membela diri sendiri. Jika mereka tidak bisa menerima itu, itu urusan mereka. Jika akhirnya hubungan memburuk--kemungkinan sulit untuk menerima kenyataan tersebut--tapi mungkin itu yang terbaik. Dan saya tidak perlu terlalu merasa bersalah.