Di depan dan di samping rumahku, tumbuh pohon belimbing yang lumayan rajin berbuah. Suatu hari, saat di rumah sedang ada hajatan, anak-anak tetangga dan saudara (yang ibunya membantu memasak di dapur) memetik belimbing dan memakannya beramai-ramai di teras rumahku. Semua kebagian, semua sibuk mengunyah belimbing. Suara "kriusz...kriusz..." daging belimbing yang berair membuat mereka kian semangat mengunyah dan membuat iri siapa pun yang mendengar.
Ditengah kerumunan anak-anak tersebut, aku melihat seorang anak yang bukannya sibuk mengunyah belimbing, melainkan hanya sibuk menelan liur dan menyipit-nyipitkan mata. Sebuah ekspresi yang muncul saat seseorang mencecap rasa asam yang kuat. Padahal, tak ada sebuah belimbing di tangannya, apalagi yang masuk ke mulutnya. Ternyata belum semua kebagian, pikirku. Aku pun menyodorkan belimbing yang kupegang. Ia menggeleng.
"Ini...," aku tetap menawarkan. Ia tetap menggeleng. "Nggak apa-apa ambil aja... Nih...," aku memaksa.
Ia menggeleng lagi. Sambil menelan sisa liur, ia berkata: "Nggak boleh sama Mamah."
"Kenapa? Nggak apa-apa kok, ini ambil aja...," Aku terus menawarkan karena sempat terpikir anak ini mungkin pemalu.
"Soalnya lagi sakit batuk, kata Mamah nggak boleh makan yang asem asem...," jawabnya polos dan lantang, tanpa sedikitpun ada kekesalan atau penyesalan di nada suaranya atas larangan tersebut.
"Oh..." Aku pun tak lagi memaksa.
Mamanya sedang sibuk di belakang. Jika ia mau, ia bisa saja mencicip belimbing tanpa sepengetahuan mamanya. Tapi, daripada mengkhianati mamanya, ia lebih memilih menelan liur sambil mata tersipit-sipit menahan rasa asam belimbing khayalan, rasa asam belimbing yang nyata menyengat lidah anak-anak lain!
Umurnya saat itu belum lagi 5 tahun!
Ditengah kerumunan anak-anak tersebut, aku melihat seorang anak yang bukannya sibuk mengunyah belimbing, melainkan hanya sibuk menelan liur dan menyipit-nyipitkan mata. Sebuah ekspresi yang muncul saat seseorang mencecap rasa asam yang kuat. Padahal, tak ada sebuah belimbing di tangannya, apalagi yang masuk ke mulutnya. Ternyata belum semua kebagian, pikirku. Aku pun menyodorkan belimbing yang kupegang. Ia menggeleng.
"Ini...," aku tetap menawarkan. Ia tetap menggeleng. "Nggak apa-apa ambil aja... Nih...," aku memaksa.
Ia menggeleng lagi. Sambil menelan sisa liur, ia berkata: "Nggak boleh sama Mamah."
"Kenapa? Nggak apa-apa kok, ini ambil aja...," Aku terus menawarkan karena sempat terpikir anak ini mungkin pemalu.
"Soalnya lagi sakit batuk, kata Mamah nggak boleh makan yang asem asem...," jawabnya polos dan lantang, tanpa sedikitpun ada kekesalan atau penyesalan di nada suaranya atas larangan tersebut.
"Oh..." Aku pun tak lagi memaksa.
Mamanya sedang sibuk di belakang. Jika ia mau, ia bisa saja mencicip belimbing tanpa sepengetahuan mamanya. Tapi, daripada mengkhianati mamanya, ia lebih memilih menelan liur sambil mata tersipit-sipit menahan rasa asam belimbing khayalan, rasa asam belimbing yang nyata menyengat lidah anak-anak lain!
Umurnya saat itu belum lagi 5 tahun!
8 comments:
Aduh manis sekali anak itu. Menurutku, Neni, anak-anak justru adalah mahluk paling jujur.
Iya emang, Mbak. Tp kalau liat ekspresi keasem-an nya, dia kuat bgt nahan diri untk tetap ju2r dan patuh sm ortu..
Ekspresinya mupeng bgt deh pokoknya, hehe..
Waaaaaahhh.. aceeeem, Nen!
(asem) banget, nia..:-D
ahahahah melihat bayangan diri sendiri waktu kecil yang justru makin dilarang makin merasa tertantang :p
good boy :D
Moga-moga dia tumbuh jadi anak yg seberintegritas gitu sampe lima taun berikutnya dan berikutnya lagi dan berikutnya dan berikut-berikut-berikut ....
@natazya : iya sama, makin dilarang makin penasaran, hehe..
@dea : iya iya dea, semoga aja..=)
Post a Comment