Senin, 9 Feb '09, tugas pertamaku mengecek email dan mengeprint berkas lamaran yang masuk. Dan membalas email yang tidak memenuhi kualifikasi, sesuai keputusan ibu direktur.
Dua orang pelamar datang memenuhi undangan. Seorang pelamar, datang sangat terlambat tanpa ada pemberitahuan sebelumnya. Aku pun menanyakan kenapa ia terlambat.
Ia menjawab sesuatu seperti : "... Ibu saya ... Pecah."
Aku mendengarkan, tapi informasi yang ia sampaikan tidak masuk ke telingaku dengan sempurna. Begitu Bu Dir bertanya kenapa ia terlambat, ragu-ragu aku menjawab: "Saya kurang tahu bu, kalau ga salah ban mobil ibunya pecah."
Sang pelamar menjalani proses interview dan tes menulis surat dalam Bahasa Inggris dan menerjemahkan. Setelah sekian puluh menit, Bu Dir memanggilku ke ruangannya, menyatakan pelamar tersebut tidak memenuhi kualifikasi dan memintaku untuk menyilakannya pulang. Akupun menuju ruangan interview dan menyampaikan pesan Bu Dir untuk menyilakannya pulang dan menunggu hasil interview, serta tak lupa menanyakan kembali alasan keterlambatannya dan kali ini kupasang telinga baik-baik.
Ia menjawab: "Ini.. Ibuku kan punya varises.. Pecah. Jadi tadi aku ke RS dulu.."
"Ooh...," aku menjawab singkat. Saat itu, yang terlintas di pikiranku adalah bukannya merasa bersalah telah 'menyamakan' betis ibunya dengan ban mobil, aku justru merasa malu pada Bu Dir karena telah memberi info yang salah. Aku memang sering tidak konsentrasi seperti ini, dan intensitas kemunculannya meningkat sejak aku memutuskan untuk resign! Aku tipe orang yang hanya melihat/mendengar apa yang ingin kulihat/kudengar, atau aku melihat tapi tak benar2 melihat. Aku juga sangat kurang bagus dalam hal lateral thinking.
Selasa, 10 Feb '09, aku datang di jam makan siang karena ada keperluan di luar kantor. Lagi-lagi ada dua orang pelamar. Email yang masuk makin banyak hingga aku tak mungkin mengeprint semua, kecuali cv yang memenuhi syarat.
Dari sekian banyak lamaran yang masuk, ada beberapa yang melekat dalam ingatan. Pelamar yang paling pertama kukirimi email notifikasi (tidak memenuhi kualifikasi) dan yang paling mendapat sorotan dari kami adalah email dari seorang yang dari pose fotonya saja sudah "menarik perhatian". Pelamar ini terlalu memaksakan diri untuk menulis lamaran dalam Bahasa Inggris.
Bukan bermaksud menghina--Bahasa Inggrisku juga tidak begitu bagus--tapi paling tidak aku sering membuka kamus untuk memastikan pilihan dan penulisan kata sudah benar, sehingga aku tak akan menulis reading menjadi reeding, knowledge dengan knowled sebanyak 2 kali, graphic design dengan disaint grafis, photoshop dengan photo shope, dan translator dengan translater. Uniknya, ia menulis kata translater di bagian pengalaman kerja di mana ia pernah bekerja sebagai penerjemah selama 3 bulan. Pengalaman kerja sebelumnya juga hanya 3 bulan. Dan pengalaman terakhirnya adalah bekerja di sebuah perusahaan selama 2 minggu!
Ada juga pelamar yang lupa mengganti Attention suratnya, sehingga meski surat tersebut dikirim ke email kami, surat tersebut ditujukan kepada PT lain. Masih dimaklumi walau kami jadi tidak berminat memanggilnya. Ada pula pelamar yang mengirim lamaran sekaligus ke email beberapa perusahaan. Sepertinya ia tidak tahu bahwa semua alamat email yang ia tuju akan tetap terbaca di semua email penerima. Ada beberapa cv yang dibuat dan dimodifikasi dengan sungguh-sungguh, dihiasi bunga-bunga sambil tak lupa memajang foto gaya. Beberapa melampirkan foto close up yang diambil dengan kamera HP. Bahkan ada foto pelamar yang memakai T-shirt "U Can See"!
Hey.. What do they expect?!
Seumur hidupku tak pernah terlintas untuk menjadi sekretaris. Aku bahkan memandang sebelah mata profesi ini, karena imej yang kurang baik tentang beberapa sekretaris. Kita memang sering mengidap penyakit men-generalisasi-kan sesuatu bukan? (hehe...membela diri). Dan siapa sangka, menjadi sekretaris adalah pekerjaan pertamaku setelah lulus kuliah. Mungkin ini yang dinamakan "termakan omongan sendiri". Dan pengalaman selama 1 tahun 2 bulan ini mengajarkanku bahwa menjadi sekretaris tidaklah semudah yang kubayangkan dan tidaklah senista yang kupikirkan. Karena tidak mungkin aku menistakan diriku sendiri, kan? Hehe...
2 comments:
Iya, ya. Mengeneralisir kalau dipikir-pikir sudah masuk kategori penyakit. Obatnya mungkin, berpikir positif.
Betul mbak, stereotipe ga mudah diberantas..
Post a Comment