Seperti cuaca pagi di Bandung Utara; tempat yang masih sangat kusuka dan sering kurindukan.
Aku pun tak menyiakan momen ini. Kuputuskan duduk di pintu kamar, menikmati cuaca yang tidak biasa menyelimuti Jakarta. Dari balik teralis melingkar--yang jika hujan menjadi cabang tempat mutiara-mutiara air bertahta--aku melihat beberapa anak laki-laki menaiki metromini yg belum beroperasi dan diparkir tak jauh dari kamarku. Seorang anak laki-laki yang dahinya tertutup rambut dan bermata sipit memandu teman-temannya untuk naik metromini dan bertingkah layaknya seorang kenek sungguhan.
Aku tertawa sendiri melihat tingkahnya yang begitu menghayati peran. Terlebih saat ia berdiri di pintu metromini, dengan satu tangan berpegang pada besi yang melintang di atas kepalanya, sementara tangan yang lain menunjuk-nunjuk ke depan seolah ia melihat penumpang dan menawarkan tumpangan. Ia pun berteriak, "Psar... psar... psar". Tentu saja penumpang itu khayalan, dan laju bus pun hanya khayalan. Tujuan pun khayalan, karena tidak ada kenek yang menyebut "Pasar" saja, sebab ada banyak pasar di Jakarta.
Sementara kenek menunjuk-nunjuk ke luar, penumpang lain duduk dengan tenang di dalam metromini. Lalu, seorang penumpang meminta turun, diikuti semua penumpang lain. Dengan fasih, sang kenek berteriak, "Kiri... Kiri... Kiri". Tak lupa ia melambai-lambaikan tangan, sambil tubuhnya condong ke sisi luar. Ia berhenti melambai, dilanjutkan dengan memukul-mukul badan metromini, dan melongok ke arah bangku supir yang kosong, seolah ingin mengintimidasi supir yang juga khayalan untuk mengindahkan ia punya permintaan. Saat mobil belum berhenti (menurut perkiraannya sendiri), ia menghalangi penumpangnya untuk tidak terburu-buru turun. Para penumpang pun menurut sambil melongok ke depan, seolah mereka memang harus berhati-hati dengan kendaraan lain di depan sana. Sang kenek melambaikan tangan lagi, demi menjaga keamanan penumpang, yang turun bergantian.
Kiraku, jalan yang mereka tempuh adalah jalur dua arah, dan sepertinya metromini berhenti di tengah-tengah. Jika jalur searah, penumpang dan kenek yang melambaikan tangan akan melihat ke belakang dan bukan ke depan.
Tak lama, melintas seorang anak bersepeda dari arah depan. Oh rupanya anak ini yg mereka pandangi, yang membuat mereka kompak memandang ke satu arah. Satu adegan yang mempertajam harmoni drama ini.
Saat pengendara sepeda melintas di depan mereka, sang Kenek pun menyilakan penumpangnya turun. Ia memegangi bahu setiap mereka yang turun, sebentuk asistensi sebagai wujud dedikasi.
Mereka (termasuk kenek) kemudian berlari mengejar si pesepeda; mengakhiri drama, meninggalkan metromini yang mendadak sepi tiada sesuara.
Aku masih tersenyum sendiri mengingat momen saat sang Kenek menunjuk-nunjuk penumpang khayalan yang berdiri di pinggir jalan yang juga khayalan. Tiba-tiba, terlintas dalam kesadaran bahwa setiap profesi--sesederhana apa pun itu--membutuhkan keterampilan. Seorang kenek baiknya lincah dan gesit memandu dan melindungi penumpang saat mereka naik/ turun, terlebih jika metromini berhenti di tengah jalan di antara kendaraan lain yang kebanyakan berlomba menguasai jalanan. Seorang kenek juga hendaknya bersuara lantang agar bisa berteriak keras, cepat, tegas, dan jelas (setidaknya jelas untuk dirinya sendiri). Mungkin, kenek pun belajar teknik bagaimana membuat irama ketukan koin pada rangka metromini baik itu pada kaca, besi, atau dindingnya sebagai tanda kepada supir untuk berhenti. Ia juga mungkin belajar, bagaimana menggoyang beberapa koin di genggaman agar penumpang tahu ia sedang menagih, dan sepertinya ia juga belajar bagaimana teknik mencolek bahu penumpang yang sedang melamun hingga lupa membayar... :->
0 comments:
Post a Comment