Selasa, 18 November 2008.
Seperti biasa, sejak kantor pindah pada bulan Maret lalu, aku berjalan kaki menuju kantor (tidak lagi naik “metromini setan”). Sebuah rutinitas: jalan yang sama, polisi cepek yang sama, pangkalan ojek yang sama, dan aku pun melihat gerobak sampah yang sama yang sesekali kujumpai dalam perjalanan menuju kantor. Sebuah gerobak buatan yang dicat bertotol-totol warna pastel di atas permukaan seng yang menjadi dindingnya. Masih kosong atau mungkin setengah isi. Tak jauh dari gerobak totol ini, parkir pula gerobak sampah lain—yang biasa dipakai oleh pengangkut sampah pada umumnya—menghadap ke arah bertentangan dengan gerobak totol.
Aku melangkah agak ke tengah jalan karena gerobak totol menghalangi jalanku. Dan betapa terkejutnya aku atau mungkin terpana atau apalah namanya saat aku melihat dua orang laki-laki duduk diantara dua gerobak sampah tersebut. Dua lelaki pemilik gerobak yang duduk santai menghadapi dua gelas kopi panas! Laki-laki yang berkumis tebal dan hitam dan mata besar—pemilik gerobak komersil—menyapaku ramah sambil mengaduk kopinya. Laki-laki yang seorang lagi—pemilik gerobak totol—mengikuti arah pandang temannya; juga tersenyum, juga sambil mengaduk segelas kopi miliknya. Sementara tangan kanan mengaduk kopi, tangan kiri mereka memegang gorengan. Sekilas tampak seperti pisang goreng.
Aku membalas tersenyum sambil gegas berlalu, ada sedikit rasa tak tega menyaksikan pemandangan di tepi jalan ini. Tapi, hanya dalam hitungan detik, saat otakku sudah sukses mencerna dan menerjemahkan keceriaan di wajah dua lelaki tadi—yang tidak sedikit pun merasa sungkan atau minder—rasa iba menguap begitu saja. Kecerian di wajah dua lelaki tadi menulariku, menjalar hingga ke hati dan membuatnya hangat.
Kuperlukan menengok sekali lagi, dan kulihat dua laki-laki pengangkut sampah tadi sedang bercakap-cakap (tampak samping). Aku juga masih melihat dua gelas kopi panas dan sebotol aqua ukuran 1 liter dan sekantung plastik hitam berisi gorengan tersaji begitu saja di atas aspal.
Sungguh masih banyak kebahagiaan yang tak terbeli dengan uang. Atau betapa banyak cara berbahagia meski dalam keterbatasan.
Sarapan di pinggir jalan dengan menu segelas kopi panas dan sedikit gorengan bersama seorang teman se-profesi; siapa yang bisa membeli momen sederhana tapi cukup menghangatkan hati ini?!
0 comments:
Post a Comment