Pagi ini, di balkon depan kamarku, aku menemukan tiga kuntum bunga berkelopak lima yang berwarna merah muda. Aku tidak tahu namanya. Dan aku pun bertanya-tanya bagaimana bisa mereka terdampar di depan kamarku? Sepertinya, mereka terbawa angin yang mengiringi hujan semalaman. Ya, inilah kemungkinan satu-satunya. Inilah alasan paling masuk akal tentang bagaimana mereka bisa mampir ke sini dan menyapaku pagi ini. Eh, tunggu dulu… Bukankah hidup ini disusun oleh banyak kemungkinan-kemungkinan? Rasanya tidak adil bagi angin jika aku menuduhnya merenggut bunga ini dan mencampakkannya di sini. Tentu ada alasan lain selain terbawa angin, yang membuat bunga ini tersungkur menabrak dinding kamarku. Tidak adil juga bagi kuntum-kuntum bunga jika aku hanya mengira perjalanan yang telah mereka tempuh hanya sejauh akalku saja.
Baiklah aku akan mulai memikirkan kemungkinan lain tentang bagaimana perjalanan mereka sejak tercerabut dari tangkai hingga tiba di sini. Mungkin … Semalam, saat hujan membasuh bumi, ada seorang bidadari tersasar ke balkon depan kamarku. Hujan membuatnya kesulitan membaca arah. Angin hanya menghalangi kepak sayap selendangnya menuju langit antah berantah. Untuk sejenak, bidadari memilih mengalah, duduk bersandar di balkon kamarku yang tak selamat dari serbuan hujan angin yang pantang menyerah. Ia duduk meringkuk sambil menggigil, dan berdoa hujan segera berhenti tercurah.
Tapi bersamaan dengan itu ia tersadar; semakin lama hujan turun membasuh bumi, langit semakin kelam menyembunyikan bintang-bintang yang biasa jadi pemandu arah. Bau tanah basah mengaburkan wangi langit antah berantah. Bidadari menjadi gelisah. Selendang pun telah seluruhnya basah. Ia merasa kalah. Tak tahu bagaimana mengambil langkah. Air matanya tumpah; berleleran menyentuh air hujan yang terus tercurah. Jadilah, air mata pun berubah menjadi bunga berwarna cerah. Bunga inilah, yang wanginya mampu menembus bau tanah, menjadi petunjuk bagi enam bidadari lain yang mencarinya dengan resah. Bidadari berubah sumringah saat melihat ke-enam wajah saudarinya yang tak kalah cerah.
Mereka pun pulang ke negeri antah berantah. Selendang basah tak jadi masalah, karena mereka melesat bergandengan sambil menyamakan langkah. Dalam hati, mereka berjanji takkan bermain hingga sore hari saat hujan sering tumpah. Sebelum hilang ditelan antah berantah, bidadari memandang ke bawah, tersenyum pada bunga matanya yang berwarna cerah, yang tertinggal di balkon kamarku yang basah. Hingga aku menemukan mereka saat langit pagi demikian indah, setelah semalaman menyebar hujan tanpa lelah. Atau, mungkin juga…
Baiklah aku akan mulai memikirkan kemungkinan lain tentang bagaimana perjalanan mereka sejak tercerabut dari tangkai hingga tiba di sini. Mungkin … Semalam, saat hujan membasuh bumi, ada seorang bidadari tersasar ke balkon depan kamarku. Hujan membuatnya kesulitan membaca arah. Angin hanya menghalangi kepak sayap selendangnya menuju langit antah berantah. Untuk sejenak, bidadari memilih mengalah, duduk bersandar di balkon kamarku yang tak selamat dari serbuan hujan angin yang pantang menyerah. Ia duduk meringkuk sambil menggigil, dan berdoa hujan segera berhenti tercurah.
Tapi bersamaan dengan itu ia tersadar; semakin lama hujan turun membasuh bumi, langit semakin kelam menyembunyikan bintang-bintang yang biasa jadi pemandu arah. Bau tanah basah mengaburkan wangi langit antah berantah. Bidadari menjadi gelisah. Selendang pun telah seluruhnya basah. Ia merasa kalah. Tak tahu bagaimana mengambil langkah. Air matanya tumpah; berleleran menyentuh air hujan yang terus tercurah. Jadilah, air mata pun berubah menjadi bunga berwarna cerah. Bunga inilah, yang wanginya mampu menembus bau tanah, menjadi petunjuk bagi enam bidadari lain yang mencarinya dengan resah. Bidadari berubah sumringah saat melihat ke-enam wajah saudarinya yang tak kalah cerah.
Mereka pun pulang ke negeri antah berantah. Selendang basah tak jadi masalah, karena mereka melesat bergandengan sambil menyamakan langkah. Dalam hati, mereka berjanji takkan bermain hingga sore hari saat hujan sering tumpah. Sebelum hilang ditelan antah berantah, bidadari memandang ke bawah, tersenyum pada bunga matanya yang berwarna cerah, yang tertinggal di balkon kamarku yang basah. Hingga aku menemukan mereka saat langit pagi demikian indah, setelah semalaman menyebar hujan tanpa lelah. Atau, mungkin juga…
NOTE :
Sewaktu kecil nenekku pernah mendongengkan kisah bidadari yang saat menangis airmatanya berubah menjadi bunga. Sayang aku tak ingat kisah lengkapnya. Tapi yang pasti, bunga yang kutemukan di balkon kamar adalah bunga yang sama yang disebut-sebut nenekku sebagai bunga yang berasal dari airmata bidadari.
0 comments:
Post a Comment