Meski sudah bertahun-tahun berlalu, aku masih sangat ingat hari itu...
Maaf, aku baru saja memutus satu senar harpa milik orang tuamu. Harpa warisan turun temurun keluargamu yang hampir semuanya pemusik. Aku sungguh tidak sengaja. Kan sudah kubilang; aku tidak berbakat dan sama sekali tidak bisa memainkan alat musik apapun, terlebih harpa. Tapi kau memaksaku untuk coba-coba. Sekarang, satu senarnya putus, lalu kita bisa apa?
Kau bilang tidak apa-apa, saat melihat ekspresi kaget pada wajahku. Tapi wajahmu demikian merah memendam marah atau ketakutan akan dimarahi, atau kombinasi keduanya. Aku tidak bisa menebaknya dengan pasti.
"Aku akan coba perbaiki, kamu tenang saja," ujarmu kemudian, membuatku lebih tenang.
"Aku akan bantu," sahutku cepat.
"Tidak perlu, tunggu saja di kursi itu."
Aku memandangimu--sedikit meragukanmu. Kau pun tampak tidak yakin dengan ucapanmu sendiri. Lalu gegas menghindari mataku dan menyibukkan diri dengan senar putus pada harpa. Untuk menghargaimu dan menjaga harga dirimu, aku diam dan menurut dan memaksakan diri untuk bersikap seolah-olah aku percaya kau bisa menanganinya.
Aku duduk dekat jendela sambil memandangimu yang hanya berdiri diam, tampak serius. Saat kau balik menatapku, aku khawatir jangan-jangan kau tahu aku meragukanmu. Maka aku cepat berbalik, memandang ke luar jendela. Melalui kaca jendela, meski samar, aku bisa melihat betapa khawatir dan serius ekspresimu saat memandangi senar yang putus. Aku semakin merasa bersalah.
Dengan sangat hati-hati aku memanggilmu. Ragu-ragu, aku bilang, "Bagaimana kalau seandainya senar yang putus dibuang saja?"
"Apa?!" nada suaramu yang tinggi membuatku kaget.
"Maaf. Ehm, maksudku... Harpa ini kan hampir tidak pernah dimainkan, kalau satu senarnya hilang mungkin tidak akan ketahuan."
"Tidak boleh begitu...," ujarmu tak sabar. "Jika senarnya diputus, bagaimana dengan mamamu nanti."
"Apa hubungannya dengan mamaku? Maksudmu ibumu mungkin? Aku tahu, ibumu pasti akan marah."
"Bukan. Ini tentang mamamu."
Aku bingung. Aku pun hanya bisa megerjap-ngerjapkan mata, menunggu penjelasan lebih lanjut.
"Kalau aku membuang senar putus ini, bisa-bisa aku tak jadi menikahimu nanti."
Aku menggaruk kepala, kian bingung, "Kamu ngomong apa sih? Memangnya siapa yang mau menikah? Anak kecil tidak boleh menikah."
"Aku bilang kan nanti, sekitar sepuluh tahun lagi."
"Lalu, apa hubungannya dengan mamaku?"
"Nenekku pernah bilang pada ibuku; saat ada benang kusut, Ibu tidak boleh memotongnya. Ibu harus mencoba meluruskan. Karena kalau tidak, Ibu akan tidak berdamai dengan mertuanya--ibu dari ayahku. Kau bayangkan apa yang akan terjadi jika kita justru dengan sengaja memutus senar ini?"
Aku hanya diam, masih bingung.
"Aku tidak mau punya masalah dengan mamamu--calon mertuaku. Makanya, senar putus ini harus disambung lagi," jelasmu.
Saat mendengar ini, aku tiba-tiba ikut merasa khawatir tak bisa menikah denganmu. "Tapi ini kan bukan benang," ujarku, berharap fakta ini bisa mengurangi resiko kegagalan menikah denganmu di masa depan.
Kau diam--berpikir, lalu bilang, "Sama saja. Kita harus membenarkan yang kusut atau putus."
***
Di tengah kebahagiaan dan kehangatan yang menjalari hati saat mendengar petikan harpa yang menggema di gedung ini, aku bersusah payah menyembunyikan senyum sebab ingat hari itu.
Mungkin kepercayaan nenekmu tentang benang kusut itu benar; kita tidak pernah menikah.
Maya Hasan baru saja menyelesaikan petikan harpanya disambut riuh tepuk tangan penonton yang memadati gedung konser mewah ini. Aku bahkan berdiri dan penuh semangat bertepuk tangan sambil menoleh ke kanan; membalas senyum suamiku yang kupaksa menemaniku menonton konser ini.
*Gambar dari
sini.
P.S:
Ditulis di Reading Light Writer's Circle; Sabtu, 12 Februari 2011.
Tema: Setting di kota besar, instrumen musik memiliki peran penting dalam cerita.