Monday, August 31, 2009
Free Writing: Semut Merah, (dulu) Teman, Maaf, dan Tuhan
Kok aneh banget ya pembuka tulisan ini. Tapi biar deh, namanya juga free writing. Tidak mau diedit. Tidak perlu diedit.
Saya lagi inget temen. Temen yang cukup akrab. Tapi dulu. Sekarang ga lagi. Ga mau lagi. Saya belum bisa maafin dia. Berdosa ga ya? Sedang Tuhan aja Maha Pengampun dan Maha Pemaaf. Lalu siapa saya kok berani-beraninya tidak memaafkan?! Eh, tapi kan saya hanya manusia biasa, ga luput dari salah juga. Jadi bisakah saya tidak memaafkan dengan alasan bahwa saya bukan Tuhan? Bahwa saya hanya manusia? Ehm...
Teman saya juga manusia; mungkin dia dulu khilaf dan sekarang sudah insaf. Saya juga pasti punya salah sama dia, mengingat kita menuai apa yang kita tanam. Mungkin teman ini sekarang sudah berubah. Saya juga banyak berubah sejak tahun itu. Tapi, ya ampun... Emang mudah apa maafin gitu aja. Luka di hati masih belum kering. Perasaan sakit karena merasa dikhianati temen sendiri belum lagi terobati.
Sekali lagi, berlebihan kah kalau saya belum mau memaafkan? Saya tidak lagi sudi, tak lagi berminat berbasa-basi dengan temen ini. Saya ga lagi bisa melabeli dirinya sebagai temen saya. Tapi saya juga ga melabeli dia sebagai musuh kok. Saya juga males melabeli dia sebagai bekas temen lama. Aduh, jadi bingung saya! Untuk sementara saya biarin dia tanpa label aja deh. Tapi aneh juga ya kalau dia ga punya label apa-apa. Bahkan makhluk tak kasat mata aja punya label: hantu namanya...
Dipikir-pikir, kalau dulu saya ga bermasalah dengan temen ini, tentu saya ga akan ketemu dengan temen-temen yang sekarang: (salah satunya) temen-temen klab nulis! Karena bermasalah dengannya, saya lari ke tempat lain. Menyibukkan diri biar lupa dengan sakit hati. Hingga akhirnya ketemu temen-temen baru yang saat bersama mereka, saya merasa seolah "menemukan diri" saya yang lain. Wah kalau sudah begini, rasanya akan bijaksana jika saya memaafkan temen ini dan berterimakasih ya. Karena secara ga langsung, dia membuat saya menemukan tempat, temen, dan kehidupan lain yang menyenangkan, yang kemudian membawa saya ke tempat dan pengalaman baru yang tak kalah menyenangkan.
Ah! Tapi, tetep ga bisa! Saya belum bisa bersikap biasa dan seolah ga pernah terjadi apa-apa, lalu maafin dia, terus dengan senang hati berbasa-basi lagi untuk menyambung tali silaturahmi dengannya... Jadi, Tuhan, ijinin saya untuk ga maafin dan nyambung tali silaturahmi dengan temen yang ini ya. Boleh, ya? Kan Tuhan Maha Pengampun dan Maha Pemaaf... (Lhhoo? Jadi dibolak-balik gini...). Abis dia jahat sih, sadis! *lebayyy...*. Udah ah. Pokoknya saya masih belum bisa maafin. Titik!
Wednesday, August 26, 2009
Bandung-Lampung: 21 Agustus 2009
Tak jarang, meski tidak ahli dalam fotografi, saya akan memotret pohon yang terlihat bagus atau rumpun ilalang yang berbunga banyak berwarna putih atau objek lain yang saya lihat. Tapi hari ini saya tidak berminat sama sekali. Saya bahkan lupa akan kebiasaan yang satu ini, jika saja tidak diingatkan oleh seorang teman yang kebetulan menelpon saat saya hendak naik bus.
Dan entah karena feeling atau kebetulan atau apalah namanya, ternyata saya pun tidak menemukan objek foto yang menarik untuk diabadikan sepanjang perjalanan. Kemarau. Kering. Pohon dan tumbuhan yang biasa hijau, kini kehilangan daun atau berubah warnanya. Sawah-sawah yang serupa karpet tebal berwarna hijau atau kuning juga tak terekam oleh mata. Rumput dan ilalang di pinggir jalan kebanyakan hangus--entah sengaja dibakar atau tak sengaja terbakar oleh api dari puntung rokok yang dibuang sembarangan. Tanah-tanah berwarna cokelat muda: kering, gersang. Sungai-sungai tak kalah cokelat dan surut airnya.
Meskipun begitu, saya tetap duduk sambil mata menembusi pemandangan luar jendela, dan sedikit membelakangi penumpang di samping. Sesekali saya mengangkat kaki dan melipatnya di atas kursi. Tak peduli jika penumpang sebelah menganggap tidak sopan karena sudah membelakangi juga mengangkat kaki ke kursi. Saya hanya ingin memandang ke luar jendela. Mengamati kehidupan yang bergerak di luar jendela seiring gerak laju bus Arimbi yang membawa saya melintasinya. Tak masalah pemandangannya hijau atau gersang, yang penting adalah memandang ke luar jendela.
Kiranya inilah separuh esensi perjalanan kali ini (dan mungkin juga setiap perjalanan): bukan pemandangannya yang terpenting tapi bagaimana menikmati pemandangan sepanjang jalan itulah yang utama!
Saturday, August 22, 2009
Saya Senang Merasa Sedih
Seminggu terakhir, saya merasa penyakit lama waktu SMA kambuh: suka melamun dan merasa biru untuk alasan yang tidak jelas. Tidak jelas karena saya tidak berusaha memperjelas atau mengakui alasan yang melatarbelakangi nya; ini saya tahu. Padahal, beberapa minggu sebelumnya saya merasa begitu ceria dan percaya bahwa saya adalah seorang periang. Dan saya berbangga karenanya. Tapi belakangan, saya seolah lupa bagaimana caranya menjadi riang. Segala kata-kata bijak atau "quotes" yang biasanya bisa menyulut semangat tidak bisa membantu. Saya menolaknya. Saya sepertinya tengah menikmati ini: merasakan kesedihan. Ijinkan saya.
Saya baru ingat, rasanya sudah lama sekali tidak merasakan pergantian emosi senang dan sedih sejelas sekarang ini. Rutinitas kerja yang menyita waktu dan pikiran serta (secara tidak langsung) membatasi saya dari bersinggungan dengan "kehidupan lain", membuat saya baal rasa. Datar. Kadang ini terasa nyaman. Tapi tak jarang membuat saya merasa kesepian.
Merasakan kesedihan tidak bisa dibilang nyaman dan tidak juga membebaskan saya dari merasa sepi. Tapi paling tidak, ini membuat saya tahu saya tidak sendirian. Saya kembali bersinggungan dengan "kehidupan lain" dan kembali merasakan emosi lain yang ternyata saya rindukan.
Thursday, August 20, 2009
Musik Sampah yang Keren
Pelayan yang sepertinya sudah menunggu kedatangan kami, dengan lekas tapi kikuk dan ragu-ragu mengantar kami ke meja 24. Meja yang tidak strategis; meski ia berada di depan kanan panggung, pilar-pilar yang tadi saya ceritakan menghalangi pandangan ke panggung. Makanan dan minuman dipesan. Makanan dan minuman tandas. Dan acara belum juga dimulai. Tepat pukul 19.30, tampil di atas panggung grup musik keroncongan. Mereka membawakan beberapa lagu tapi telinga saya tidak menangkap perbedaan yang signifikan antara satu lagu dan lagu lainnya. Entah karena saya tidak memperhatikan atau karena musik dan lagunya terlalu sama atau terlalu dinamis (padahal penyanyinya bergantian seorang perempuan dan seorang laki-laki yang jelas suaranya berbeda), saya tetap tak bisa membedakan apalagi mengingat lagu mereka. Saya berkata seperti ini bukan berarti penampilan mereka buruk, hanya saja suguhan musik mereka tidak memanjakan telinga saya. Terlebih lagi telinga kedua teman saya, Myra dan Nia, yang bertepuk tangan penuh semangat saat MC mengatakan, "Ya, inilah lagu terakhir" dari grup keroncongan tersebut.
Setelah MC berbasa-basi, berinteraksi dengan pengunjung Resto dan membagi-bagikan beberapa souvenir dan hadiah, tibalah penampilan Lungsuran Daun; demikian grup musik ini menamakan diri. Tiga orang di atas panggung, masing-masing memegang alat musik yang aneh bentuknya. Suara gumaman atau humming mengalun pelan dari mulut seorang yang paling tua. Ditingkah suara kecapi dan sesekali suara gemuruh seperti angin atau debur ombak di kejauhan, yang membuat saya bertanya-tanya suara apa gerangan.
Beberapa pengunjung rela meninggalkan kursi mereka dan berdiri mendekati panggung. Sepertinya mereka pun penasaran dari apa dan dari mana datangnya suara yang mereka dengar. Dua orang berkamera menghalangi pandangan saya yang enggan beranjak dari kursi. Ditengah kekesalan karena dua orang tersebut, mata saya tiba-tiba beralih ke arah jalan masuk. Seorang paruh baya berpakaian hitam-hitam, berkalung menumpuk berbentuk bulat-bulat, serta berambut keriting gondrong melangkah masuk ke arah panggung sambil menggerakkan sebuah benda yang di atasnya berlubang dan pada lubang itu, sang Bapak mengarahkan microphone. Tahulah saya darimana suara gemuruh tadi berasal.
Serupa magnet, kehadiran laki-laki yang penampilannya mengingatkan saya pada dukun atau pawang hujan ini menarik lebih banyak pengunjung mendekat ke panggung. Mang Dodo, begitu ia memperkenalkan diri. Dan Tornado adalah nama alat bersuara gemuruh yang ia bawa. Alat yang terbuat dari labu yang bagian bawahnya dilapis barang bekas (saya lupa barang bekas apa) dan berlubang pada bagian atas, tempat suara gemuruh keluar. Benda yang mengingatkan saya pada tempat minum Dewa Mabuk di serial Cina jaman dahulu kala. Mendengar suara yang dihasilkan Tornado itu, saya tak berhenti berujar, "Kok bisa sih?" Dan pertanyaan ini terus berlanjut saat Mang Dodo mengenalkan lebih banyak alat musiknya yang ia buat dari sampah.
Kecapi yang membuka pertunjukan mereka ternyata resonatornya terbuat dari tabung mesin cuci yang dibelah oleh Mang Dodo sendiri. Dibuang sayang, ujar Mang Dodo. Inilah alasan dia menggunakan barang-barang sampah sebagai bahan membuat alas musik yang tidak biasa, yang menghasilkan efek suara yang luar biasa! Ada pula Alpedo (Alat Petik Dodo) yang menghasilkan suara yang identik dengan musik tradisional korea. Ada pula alat musik yang ia namai Indonesia Pernah Menangis, yang dibuat karena mengingat Tsunami di Aceh. Berbentuk bidang segi empat dan terbuat dari kanvas, berwarna merah putih sebagai latar, dan memiliki cekungan berwarna gelap di tengahnya, alat musik ini bersuara aneh dan keras saat Mang Dodo menggerakkannya pelan. Lagi-lagi saya berseru, "Ih kok bisa, sih?"
Selanjutnya Mang Dodo menunjukkan alat musik yang digesek seperti biola, tapi bentuknya sama sekali berbeda. Alat ini terbuat dari kayu bekas jendela, senar, dan kaleng susu. Saat Mang Dodo menggeseknya kembali terdengar suara nyaring, entah seperti suara apa tapi yang pasti mengingatkan pada alam saat mendengarnya. Mang Dodo bilang kabarnya burung-burung di Bandung mulai berkurang, dan ia berkelakar ini disebabkan oleh asap rokok. Karena tak ingin melupakan kicau burung, ia membuat alat dari bekas penghisap sisha, yang menghasilkan suara burung yang nyaring. Ada pula alat yang ia buat dari bekas pintu yang menghasilkan suara motor yang tengah "ngebut" di jalanan. Tak hanya itu, Mang Dodo kembali mengeluarkan alat musik yang terbuat dari alat cukur, yang menghasilkan suara kodok; suara yang sudah jarang terdengar sekarang ini karena sawah yang jadi habitat mereka pun pelan-pelan punah. Terakhir, Mang Dodo mengenalkan suling yang baru ia buat tadi pagi. Suling yang aneh karena bentuknya serupa tanda petir atau tanda tegangan tinggi pada tiang-tiang listrik. Sebelum membunyikan suling tersebut Mang Dodo menyempatkan membacakan pengantar sebagai berikut: Dulu saya lurus dan runcing Sekarang saya bongkok dan tua tapi masih ada bunyi untuk Indonesia.
Mang Dodo dan rekan-rekannya mengakhiri aksi mereka dengan memainkan sebuah komposisi dari alat yang ditiup bersama-sama. Penampilan Mang Dodo terasa singkat lantaran ia lebih banyak berdialog mengenalkan alat musiknya dan sesekali mengingatkan untuk lebih peduli pada lingkungan.
Setelah Mang Dodo, giliran Musik Genteng dari Jatiwangi yang unjuk gigi. Terdiri dari 3 remaja berusia belasan tahun dan seorang anak laki-laki, Musik Genteng pun beraksi. Mereka hanya menggunakan stik kayu atau bambu yang dipukul-pukulkan ke genteng dan menciptakan musik. Selebihnya, ada pula alat musik yang berbentuk seperti kendi tapi bolong di bagian perutnya. Kendi ini dipukul-pukul layaknya kendang. Saya bisa membedakan dari musik satu ke musik yang lainnya, padahal mereka hanya menggunakan stik kayu dan genteng!
Setiap orang boleh punya ide. Tapi, hanya sedikit orang yang merealisasikan ide mereka, setia memelihara dan mengembangkannya, untuk kemudian membuat perbedaan dari ide tersebut. Mang Dodo dengan Lungsuran Daun-nya dan penggagas Musik Genteng adalah salah dua dari sedikit orang tersebut. Jam tangan saya menunjukkan pukul 21.30 saat Musik Genteng mengakhiri pertunjukkan mereka. Meski masih ada Mukti-Mukti—pelantun musik perjuangan—kami memutuskan untuk pulang karena sudah terlalu malam.
Roemah Nenek masih remang-remang oleh cahaya lampu yang berpendar dari balik kap handmade berbentuk cupcakes paper berukuran raksasa, yang di pasang terbalik di atas tiap meja, saat kami pergi meninggalkannya.
Peri Tidur
Ia mengenakan gaun berwarna ungu lembut, gaun yang berkilau meski tak satu pun kulihat ada batu permata atau manik-manik yang menempel di sana. Pendek kata, ia bercahaya. Terlebih wajahnya! Semu merah muda pada pipinya menambah kesan indah pada wajahnya yang bening. Dan dua matanya terang, berkilat, dan hitam pekat.
Aku mendengarnya bersenandung. Saat itulah aku menyadari kehadirannya. Senandung yang membuat mengantuk, membuai...
"Kenapa kau tak tidur?" tanyanya pelan dan terdengar sedih. Aku berniat menoleh ke kiri dan kanan untuk memastikan apakah ia bertanya padaku, tapi aku urungkan. Rasanya bodoh sekali melakukan hal itu padahal aku tahu pasti tak ada orang lain di tempat ini.
"Kenapa kau tak mau tidur?" ulangnya. Ia memiringkan kepalanya saat bertanya demikian. Tangan kirinya memegang pinggiran bangku kayu lapuk yang ia duduki, sementara tangan kanannya ia simpan di pangkuan. Kakinya diayun-ayunkan pelan... Sungguh menggemaskan. Aku tidak bisa menimbang-nimbang apa yang menjadikannya demikian memikat. Entah apakah karena gaunnya, gerak-geriknya, suaranya, wajahnya yang bercahaya, ayunan kakinya, atau mungkin karena kayu lapuk yang didudukinya dan sekitar yang gelap gulita hingga di tengah suasana ini, ia berjaya, bercahaya—kontras!
"Kau tahu tidak, aku sudah lelah bersenandung untukmu!" lanjutnya.
"Untukku?" Kata ini meluncur begitu saja, karenanya aku agak terkejut mendengar suaraku sendiri.
"Ya, untukmu. Karena kau tidak tidur. Kenapa menolak untuk tidur?" tanyanya lagi. Kali ini ia menegakkan kepalanya juga tubuhnya. Kedua tangannya saling menggenggam di pangkuan.
"Tak bisa tidur."
"Kenapa?"
"Bukan urusanmu." Peri Tidur tampak terkejut, dan aku merasa bersalah berbicara seperti itu pada makhluk seindah dia.
"Sungguh, aku tidak bisa tidur," sambungku lebih ramah.
"Tapi kenapa, pasti ada sebabnya?" tanyanya lagi sambil menggeser posisi duduknya, seolah mengisyaratkan padaku untuk duduk di dekatnya.
Aku pun mendekat, dan terasa ada waktu yang hilang saat aku sadar aku sudah duduk di sampingnya. Aku mencium wangi bunga atau daun atau perpaduan keduanya. Mungkin juga dicampur sedikit buah karena wanginya segar dan sedikit asam seperti citrus. Kiraku, wangi itu berasal dari rambutnya yang tergerai atau dari tubuhnya atau perpaduan keduanya. Entahlah. Ia memandangiku, menunggu jawaban.
"Aku tak tahu kenapa tak bisa tidur," ujarku putus asa. Aku memang tak tahu kenapa tubuhku menolak untuk tidur. Aku bahkan tak butuh kopi untuk bisa bertahan sampai pagi.
"Bukan tak tahu. Kau mencoba melupakan dan memilih tak tahu apa-apa."
"Mungkin...," jawabku sedikit tersinggung. Meski ia cantik, ia tak berhak menghakimiku.
"Maukah menemaniku sebentar?" tanyanya pelan. Suaranya lembut. Aku memandangnya—ragu. "Aku tak punya teman. Aku selalu terjaga di saat kalian tidur. Dan aku harus tidur saat kalian terjaga, agar aku tetap terjaga saat kalian tidur keesokan malam...," lanjutnya, terdengar seperti merajuk.
"Kau tidak menyukainya?" tanyaku heran.
"Apa?" Ia balik bertanya dan menatapku. Matanya memantulkan bayanganku.
"Menjadi Peri Tidur. Kau tidak suka?"
Peri Tidur lama memandangiku. Kemudian ia tertawa singkat, mengalihkan pandangan ke jauh langit yang penuh bintang, menyilangkan kakinya dan mengayunkannya pelan. "Aku tidak boleh bilang tidak suka, sama seperti aku tidak bisa bilang bahwa aku selalu suka menjadi Peri Tidur." Ia menoleh sambil tersenyum padaku.
Mataku berkedip cepat, karena tak mengerti dan sekaligus berusaha menghindari matanya.
"Ada banyak hal yang membuatku suka menjadi Peri Tidur, tapi ada juga yang membuatku tidak suka."
"Maksudnya?" Aku berharap ia menjelaskan padaku hal-hal tersebut.
"Jangan memintaku merinci apa yang aku sukai dan apa yang ku benci dengan menjadi seorang Peri Tidur. Seringkali, apa yang kusukai hari ini bisa saja mengesalkanku keesokan hari, begitu pun sebaliknya," jawab Peri Tidur sambil memandang jauh ke depan. "Aku hanya harus menerima saat perasaan suka atau tidak suka datang, atau aku menyangkalnya." Lagi-lagi ia melirik mencari mataku dan tersenyum manja.
Aku lagi-lagi terkejut, ada perasaan aneh menjalari dada, entah karena mendengar kalimat terakhirnya atau karena matanya tiba-tiba menemukan mataku.
"Aku bisa apa lagi, coba? Aku tidak bisa menolak takdirku sebagai Peri Tidur." lanjutnya membela diri.
Aku hanya bisa mengangguk, menunduk. Tak tahu harus bicara apa.
"Seperti sekarang, misalnya...," Peri Tidur belum selesai rupanya. Dan ini membuatku senang karena berarti aku tak perlu mengatakan sesuatu. Aku meliriknya tanpa mencoba melihat matanya.
"Biasanya aku selalu kesal melihatmu tak juga tidur, sementara aku sudah kehabisan lagu. Aku merasa gagal. Aku tidak suka. Tapi malam ini, aku senang bisa bicara denganmu... Aku belajar menerima kamu yang tidak bisa tidur. Ini tidak mudah, tapi aku lega jadinya."
"Aku tidak mengerti...," ujarku.
"Ini melanggar peraturan. Tapi untuk malam ini, kupikir tidak masalah sesekali melanggar peraturan...," lanjut peri tidur tanpa peduli pada perkataanku. Ia mendongak ke langit. Tersenyum lebar dan lepas tanpa beban. Ia gerakkan tubuhnya ke kiri dan kanan.
Aku pun tersenyum, seolah tertular kebahagian yang tengah ia rasakan.
"Mulai hari ini, apakah kau memilih tidur atau tidak tidur, aku akan merasa suka dan tidak suka sekaligus," lanjutnya lagi sambil tetap memandang langit. "Mungkin akan lebih sulit untuk menerima kedua perasaan ini secara bersamaan, tapi tak masalah. Aku memilihnya, dan akan terbiasa."
Aku masih juga tak bisa mengerti apa yang ia bicarakan.
"Aku harus pergi sekarang," ujarnya tiba-tiba. Ia melambaikan tangan di depan mataku, tersenyum, dan pergi begitu saja.
Aku tidak sempat mengatakan sesuatu, dan menyesal karenanya. Aku mengulang-ulang apa yang dikatakan Peri Tidur tadi, mencoba memahaminya. Tiba-tiba, walaupun aku masih tidak sepenuhnya mengerti maksud Peri Tidur—untuk pertama kalinya setelah setahun terakhir—aku ingin tidur dan berhenti menjadi insomniac! Aku ingin belajar menerima mimpi-mimpi yang datang berulang. Mimpi tentang kecelakaan malam itu, tentang darah Katharina di tanganku, tentang Katharina yang meninggal di depan mata, sementara aku hanya menderita luka ringan di bagian kepala.
Saturday, August 15, 2009
Cecila : Pada Suatu Senja
Sunday, August 09, 2009
Bukan Kejora
hanya sebuah bintang
satu dari sekian ribu bintang
Bukan karena dia kejora
bukan karena ia paling memesona
bukan pula karena ia lebih bercahaya
karena ia, bicara--
itu saja!
*
Untitled
Semalam saat aku terjaga aku bertanya,
"Aku mau ke mana?"
Semalam saat aku bertanya
aku malah mengulang pertanyaan yang sama
"Aku mau ke mana?"
*