Lampu remang-remang mengintip malu-malu dari balik kap handmade berbentuk cupcakes paper berukuran raksasa yang di pasang terbalik di atas tiap meja. Lampu-lampu yang menempel di pilar-pilar sepanjang jalan masuk juga tak kalah remang dan mengintip dari balik kap lampu berukuran segi panjang; cahaya lampu sengaja diarahkan menimpa hiasan cukilan kayu berbentuk motif batik, yang dipasang tepat di bawah lampu. Pada bagian "pinggang" pilar-pilar tersebut dipasang pula balon yang ditiup seadanya, berwarna merah putih. Warna yang sengaja dipilih untuk mempertegas tema perayaan 17 Agustus di Resto dan Cafe ini: Resto dan Cafe Roemah Nenek.
Pelayan yang sepertinya sudah menunggu kedatangan kami, dengan lekas tapi kikuk dan ragu-ragu mengantar kami ke meja 24. Meja yang tidak strategis; meski ia berada di depan kanan panggung, pilar-pilar yang tadi saya ceritakan menghalangi pandangan ke panggung. Makanan dan minuman dipesan. Makanan dan minuman tandas. Dan acara belum juga dimulai. Tepat pukul 19.30, tampil di atas panggung grup musik keroncongan. Mereka membawakan beberapa lagu tapi telinga saya tidak menangkap perbedaan yang signifikan antara satu lagu dan lagu lainnya. Entah karena saya tidak memperhatikan atau karena musik dan lagunya terlalu sama atau terlalu dinamis (padahal penyanyinya bergantian seorang perempuan dan seorang laki-laki yang jelas suaranya berbeda), saya tetap tak bisa membedakan apalagi mengingat lagu mereka. Saya berkata seperti ini bukan berarti penampilan mereka buruk, hanya saja suguhan musik mereka tidak memanjakan telinga saya. Terlebih lagi telinga kedua teman saya, Myra dan Nia, yang bertepuk tangan penuh semangat saat MC mengatakan, "Ya, inilah lagu terakhir" dari grup keroncongan tersebut.
Setelah MC berbasa-basi, berinteraksi dengan pengunjung Resto dan membagi-bagikan beberapa souvenir dan hadiah, tibalah penampilan Lungsuran Daun; demikian grup musik ini menamakan diri. Tiga orang di atas panggung, masing-masing memegang alat musik yang aneh bentuknya. Suara gumaman atau humming mengalun pelan dari mulut seorang yang paling tua. Ditingkah suara kecapi dan sesekali suara gemuruh seperti angin atau debur ombak di kejauhan, yang membuat saya bertanya-tanya suara apa gerangan.
Beberapa pengunjung rela meninggalkan kursi mereka dan berdiri mendekati panggung. Sepertinya mereka pun penasaran dari apa dan dari mana datangnya suara yang mereka dengar. Dua orang berkamera menghalangi pandangan saya yang enggan beranjak dari kursi. Ditengah kekesalan karena dua orang tersebut, mata saya tiba-tiba beralih ke arah jalan masuk. Seorang paruh baya berpakaian hitam-hitam, berkalung menumpuk berbentuk bulat-bulat, serta berambut keriting gondrong melangkah masuk ke arah panggung sambil menggerakkan sebuah benda yang di atasnya berlubang dan pada lubang itu, sang Bapak mengarahkan microphone. Tahulah saya darimana suara gemuruh tadi berasal.
Serupa magnet, kehadiran laki-laki yang penampilannya mengingatkan saya pada dukun atau pawang hujan ini menarik lebih banyak pengunjung mendekat ke panggung. Mang Dodo, begitu ia memperkenalkan diri. Dan Tornado adalah nama alat bersuara gemuruh yang ia bawa. Alat yang terbuat dari labu yang bagian bawahnya dilapis barang bekas (saya lupa barang bekas apa) dan berlubang pada bagian atas, tempat suara gemuruh keluar. Benda yang mengingatkan saya pada tempat minum Dewa Mabuk di serial Cina jaman dahulu kala. Mendengar suara yang dihasilkan Tornado itu, saya tak berhenti berujar, "Kok bisa sih?" Dan pertanyaan ini terus berlanjut saat Mang Dodo mengenalkan lebih banyak alat musiknya yang ia buat dari sampah.
Kecapi yang membuka pertunjukan mereka ternyata resonatornya terbuat dari tabung mesin cuci yang dibelah oleh Mang Dodo sendiri. Dibuang sayang, ujar Mang Dodo. Inilah alasan dia menggunakan barang-barang sampah sebagai bahan membuat alas musik yang tidak biasa, yang menghasilkan efek suara yang luar biasa! Ada pula Alpedo (Alat Petik Dodo) yang menghasilkan suara yang identik dengan musik tradisional korea. Ada pula alat musik yang ia namai Indonesia Pernah Menangis, yang dibuat karena mengingat Tsunami di Aceh. Berbentuk bidang segi empat dan terbuat dari kanvas, berwarna merah putih sebagai latar, dan memiliki cekungan berwarna gelap di tengahnya, alat musik ini bersuara aneh dan keras saat Mang Dodo menggerakkannya pelan. Lagi-lagi saya berseru, "Ih kok bisa, sih?"
Selanjutnya Mang Dodo menunjukkan alat musik yang digesek seperti biola, tapi bentuknya sama sekali berbeda. Alat ini terbuat dari kayu bekas jendela, senar, dan kaleng susu. Saat Mang Dodo menggeseknya kembali terdengar suara nyaring, entah seperti suara apa tapi yang pasti mengingatkan pada alam saat mendengarnya. Mang Dodo bilang kabarnya burung-burung di Bandung mulai berkurang, dan ia berkelakar ini disebabkan oleh asap rokok. Karena tak ingin melupakan kicau burung, ia membuat alat dari bekas penghisap sisha, yang menghasilkan suara burung yang nyaring. Ada pula alat yang ia buat dari bekas pintu yang menghasilkan suara motor yang tengah "ngebut" di jalanan. Tak hanya itu, Mang Dodo kembali mengeluarkan alat musik yang terbuat dari alat cukur, yang menghasilkan suara kodok; suara yang sudah jarang terdengar sekarang ini karena sawah yang jadi habitat mereka pun pelan-pelan punah. Terakhir, Mang Dodo mengenalkan suling yang baru ia buat tadi pagi. Suling yang aneh karena bentuknya serupa tanda petir atau tanda tegangan tinggi pada tiang-tiang listrik. Sebelum membunyikan suling tersebut Mang Dodo menyempatkan membacakan pengantar sebagai berikut: Dulu saya lurus dan runcing Sekarang saya bongkok dan tua tapi masih ada bunyi untuk Indonesia.
Mang Dodo dan rekan-rekannya mengakhiri aksi mereka dengan memainkan sebuah komposisi dari alat yang ditiup bersama-sama. Penampilan Mang Dodo terasa singkat lantaran ia lebih banyak berdialog mengenalkan alat musiknya dan sesekali mengingatkan untuk lebih peduli pada lingkungan.
Setelah Mang Dodo, giliran Musik Genteng dari Jatiwangi yang unjuk gigi. Terdiri dari 3 remaja berusia belasan tahun dan seorang anak laki-laki, Musik Genteng pun beraksi. Mereka hanya menggunakan stik kayu atau bambu yang dipukul-pukulkan ke genteng dan menciptakan musik. Selebihnya, ada pula alat musik yang berbentuk seperti kendi tapi bolong di bagian perutnya. Kendi ini dipukul-pukul layaknya kendang. Saya bisa membedakan dari musik satu ke musik yang lainnya, padahal mereka hanya menggunakan stik kayu dan genteng!
Setiap orang boleh punya ide. Tapi, hanya sedikit orang yang merealisasikan ide mereka, setia memelihara dan mengembangkannya, untuk kemudian membuat perbedaan dari ide tersebut. Mang Dodo dengan Lungsuran Daun-nya dan penggagas Musik Genteng adalah salah dua dari sedikit orang tersebut. Jam tangan saya menunjukkan pukul 21.30 saat Musik Genteng mengakhiri pertunjukkan mereka. Meski masih ada Mukti-Mukti—pelantun musik perjuangan—kami memutuskan untuk pulang karena sudah terlalu malam.
Roemah Nenek masih remang-remang oleh cahaya lampu yang berpendar dari balik kap handmade berbentuk cupcakes paper berukuran raksasa, yang di pasang terbalik di atas tiap meja, saat kami pergi meninggalkannya.
Pelayan yang sepertinya sudah menunggu kedatangan kami, dengan lekas tapi kikuk dan ragu-ragu mengantar kami ke meja 24. Meja yang tidak strategis; meski ia berada di depan kanan panggung, pilar-pilar yang tadi saya ceritakan menghalangi pandangan ke panggung. Makanan dan minuman dipesan. Makanan dan minuman tandas. Dan acara belum juga dimulai. Tepat pukul 19.30, tampil di atas panggung grup musik keroncongan. Mereka membawakan beberapa lagu tapi telinga saya tidak menangkap perbedaan yang signifikan antara satu lagu dan lagu lainnya. Entah karena saya tidak memperhatikan atau karena musik dan lagunya terlalu sama atau terlalu dinamis (padahal penyanyinya bergantian seorang perempuan dan seorang laki-laki yang jelas suaranya berbeda), saya tetap tak bisa membedakan apalagi mengingat lagu mereka. Saya berkata seperti ini bukan berarti penampilan mereka buruk, hanya saja suguhan musik mereka tidak memanjakan telinga saya. Terlebih lagi telinga kedua teman saya, Myra dan Nia, yang bertepuk tangan penuh semangat saat MC mengatakan, "Ya, inilah lagu terakhir" dari grup keroncongan tersebut.
Setelah MC berbasa-basi, berinteraksi dengan pengunjung Resto dan membagi-bagikan beberapa souvenir dan hadiah, tibalah penampilan Lungsuran Daun; demikian grup musik ini menamakan diri. Tiga orang di atas panggung, masing-masing memegang alat musik yang aneh bentuknya. Suara gumaman atau humming mengalun pelan dari mulut seorang yang paling tua. Ditingkah suara kecapi dan sesekali suara gemuruh seperti angin atau debur ombak di kejauhan, yang membuat saya bertanya-tanya suara apa gerangan.
Beberapa pengunjung rela meninggalkan kursi mereka dan berdiri mendekati panggung. Sepertinya mereka pun penasaran dari apa dan dari mana datangnya suara yang mereka dengar. Dua orang berkamera menghalangi pandangan saya yang enggan beranjak dari kursi. Ditengah kekesalan karena dua orang tersebut, mata saya tiba-tiba beralih ke arah jalan masuk. Seorang paruh baya berpakaian hitam-hitam, berkalung menumpuk berbentuk bulat-bulat, serta berambut keriting gondrong melangkah masuk ke arah panggung sambil menggerakkan sebuah benda yang di atasnya berlubang dan pada lubang itu, sang Bapak mengarahkan microphone. Tahulah saya darimana suara gemuruh tadi berasal.
Serupa magnet, kehadiran laki-laki yang penampilannya mengingatkan saya pada dukun atau pawang hujan ini menarik lebih banyak pengunjung mendekat ke panggung. Mang Dodo, begitu ia memperkenalkan diri. Dan Tornado adalah nama alat bersuara gemuruh yang ia bawa. Alat yang terbuat dari labu yang bagian bawahnya dilapis barang bekas (saya lupa barang bekas apa) dan berlubang pada bagian atas, tempat suara gemuruh keluar. Benda yang mengingatkan saya pada tempat minum Dewa Mabuk di serial Cina jaman dahulu kala. Mendengar suara yang dihasilkan Tornado itu, saya tak berhenti berujar, "Kok bisa sih?" Dan pertanyaan ini terus berlanjut saat Mang Dodo mengenalkan lebih banyak alat musiknya yang ia buat dari sampah.
Kecapi yang membuka pertunjukan mereka ternyata resonatornya terbuat dari tabung mesin cuci yang dibelah oleh Mang Dodo sendiri. Dibuang sayang, ujar Mang Dodo. Inilah alasan dia menggunakan barang-barang sampah sebagai bahan membuat alas musik yang tidak biasa, yang menghasilkan efek suara yang luar biasa! Ada pula Alpedo (Alat Petik Dodo) yang menghasilkan suara yang identik dengan musik tradisional korea. Ada pula alat musik yang ia namai Indonesia Pernah Menangis, yang dibuat karena mengingat Tsunami di Aceh. Berbentuk bidang segi empat dan terbuat dari kanvas, berwarna merah putih sebagai latar, dan memiliki cekungan berwarna gelap di tengahnya, alat musik ini bersuara aneh dan keras saat Mang Dodo menggerakkannya pelan. Lagi-lagi saya berseru, "Ih kok bisa, sih?"
Selanjutnya Mang Dodo menunjukkan alat musik yang digesek seperti biola, tapi bentuknya sama sekali berbeda. Alat ini terbuat dari kayu bekas jendela, senar, dan kaleng susu. Saat Mang Dodo menggeseknya kembali terdengar suara nyaring, entah seperti suara apa tapi yang pasti mengingatkan pada alam saat mendengarnya. Mang Dodo bilang kabarnya burung-burung di Bandung mulai berkurang, dan ia berkelakar ini disebabkan oleh asap rokok. Karena tak ingin melupakan kicau burung, ia membuat alat dari bekas penghisap sisha, yang menghasilkan suara burung yang nyaring. Ada pula alat yang ia buat dari bekas pintu yang menghasilkan suara motor yang tengah "ngebut" di jalanan. Tak hanya itu, Mang Dodo kembali mengeluarkan alat musik yang terbuat dari alat cukur, yang menghasilkan suara kodok; suara yang sudah jarang terdengar sekarang ini karena sawah yang jadi habitat mereka pun pelan-pelan punah. Terakhir, Mang Dodo mengenalkan suling yang baru ia buat tadi pagi. Suling yang aneh karena bentuknya serupa tanda petir atau tanda tegangan tinggi pada tiang-tiang listrik. Sebelum membunyikan suling tersebut Mang Dodo menyempatkan membacakan pengantar sebagai berikut: Dulu saya lurus dan runcing Sekarang saya bongkok dan tua tapi masih ada bunyi untuk Indonesia.
Mang Dodo dan rekan-rekannya mengakhiri aksi mereka dengan memainkan sebuah komposisi dari alat yang ditiup bersama-sama. Penampilan Mang Dodo terasa singkat lantaran ia lebih banyak berdialog mengenalkan alat musiknya dan sesekali mengingatkan untuk lebih peduli pada lingkungan.
Setelah Mang Dodo, giliran Musik Genteng dari Jatiwangi yang unjuk gigi. Terdiri dari 3 remaja berusia belasan tahun dan seorang anak laki-laki, Musik Genteng pun beraksi. Mereka hanya menggunakan stik kayu atau bambu yang dipukul-pukulkan ke genteng dan menciptakan musik. Selebihnya, ada pula alat musik yang berbentuk seperti kendi tapi bolong di bagian perutnya. Kendi ini dipukul-pukul layaknya kendang. Saya bisa membedakan dari musik satu ke musik yang lainnya, padahal mereka hanya menggunakan stik kayu dan genteng!
Setiap orang boleh punya ide. Tapi, hanya sedikit orang yang merealisasikan ide mereka, setia memelihara dan mengembangkannya, untuk kemudian membuat perbedaan dari ide tersebut. Mang Dodo dengan Lungsuran Daun-nya dan penggagas Musik Genteng adalah salah dua dari sedikit orang tersebut. Jam tangan saya menunjukkan pukul 21.30 saat Musik Genteng mengakhiri pertunjukkan mereka. Meski masih ada Mukti-Mukti—pelantun musik perjuangan—kami memutuskan untuk pulang karena sudah terlalu malam.
Roemah Nenek masih remang-remang oleh cahaya lampu yang berpendar dari balik kap handmade berbentuk cupcakes paper berukuran raksasa, yang di pasang terbalik di atas tiap meja, saat kami pergi meninggalkannya.
0 comments:
Post a Comment