"Konon katanya kertas lebih sabar dari manusia", begitu tulis salah satu sahabat terbaik yang saya punya, Andika. Ia menuliskannya di status Facebook berisi undangan menulis di Reading Lights kemarin.
Tentu saja kertas lebih sabar dari manusia. Dia hanya 'ada', menjadi dirinya. Dia tidak akan menggurui, menghakimi, mengoreksi, dan sok perhatian atau memberi nasehat saat kita mencurahkan apa pun padanya. Dia hanya hadir, sabar merekam. Dan dengan hanya begitu, ia (bisa) membuat kita mengenali dan mengekplorasi sendiri segala rupa perasaan dan (kadang) menemukan ketenangan atau jawaban semua pertanyaan.
Karena kadang-kadang kita hanya butuh didengarkan, dipahami, dan diakui perasaannya; lalu merasa sedikit lebih lega.
Sudah lama sekali saya berhenti menulis diary--merekam sejarah diri, bersahabat dengan kertas. Selama ini saya tidak tahu apakah ada manfaat signifikan menulis diary selain yang tersebut di atas. Setumpuk diary yang saya simpan kadang terasa seperti sampah yang dibuang sayang. Atau memang itu fungsinya; menjadi tempat sampah untuk merekam segala macam emosi: harapan, suka, duka, kegundahan, termasuk pertanyaan-pertanyaan.
Meski saya berhenti menulis diary, rupanya kebiasaan 'mencatat' kejadian tidak berhenti begitu saja. Saya merekam 'catatan sejarah diri' dengan cara lain. Saya menandai kalender, membuka history chat bbm, mendengar rekaman telpon dsb untuk menelusuri kejadian yang saya alami.
Dengan kembali menelusuri catatan tersebut (meski tidak melulu di kertas), saya bisa mengenali penyebab kenapa saya merasa begini atau begitu di beberapa hari, minggu atau bulan yang lalu. Nggak nyaman banget rasanya ketika kita tahu ada yang salah, ada hal yang bikin tidak bisa tidur tapi kita nggak tahu apa sebabnya dan nggak bisa melakukan apa-apa (untuk mencegah, misalnya).
Timbul pertanyaan, jika seandainya saat itu juga bisa membaca penyebab kegundahan, mungkin nggak ya bisa mengubah keadaaan? Atau paling tidak membantu mengadakan tindakan pencegahan? Entahlah.
Sejauh ini, 'mencatat' atau 'merekam' kejadian bisa membantu menunjukkan bahwa firasat atau feeling itu memang ada. Bukan sesuatu yang diada-adakan. Hati bahkan tubuh sekalipun nggak bisa dibohongi. Mereka juga mengirim pesan/pertanda yang nggak boleh diabaikan. Dan ada perbedaan besar antara 'firasat' dan 'kecurigaan'!
Selain firasat, hal di sekeliling pun kadang memberi pesan dan pertanda tersebut. Sebagai contoh, saat hal buruk terjadi, hal-hal di sekeliling menunjukkan tanda-tanda dengan caranya sendiri pada saya: gelang kaki yang tiba-tiba putus sampai 3 kali (sebagai pertanda kejadian sama yang berulang. Saya tidak memakainya lagi karena sudah 3 kali putus, khawatir nanti putus lagi lalu hilang), plang-plang di pinggir jalan yang mengirim pesan dengan caranya sendiri, nomor HP yang error tanpa sebab--nggak bisa nelpon, lalu kalung kesayangan yang putus (sepertinya ini menjadi simbol atas sebuah kejadian fatal dan sangat sangat menyedihkan dalam sejarah hidup saya) dan hal lain yang bisa dirasakan dan dilihat tapi tidak bisa dilabeli apa/kenapa.
Ya, saya termasuk orang yang percaya ada banyak pertanda di sekeliling yang berusaha memberi tahu kita sesuatu. Bukankah katanya semesta tiap detik mengirimkan pesan-pesan yang haus dikenali. Tinggal kita bisa membacanya atau tidak, karena memang tidak mudah.
***
Meski ada kertas yang konon begitu sabar dan dapat dipercaya merekam semua cerita sekalipun, kadang ada hal yang terlalu berat bahkan untuk dituliskan (apalagi secara gamblang). Atau terlalu personal hingga takut bahwa kertas yang sabar dan setia kawan itu pun bisa membocorkannya. Menuliskan atau menceritakannya akan terasa seperti menunjukkan aib, kelemahan diri dan kemalangan yang mengibakan. Sungguh saya tidak mau dikasihani untuk hal yang satu ini. Karena sampai detik ini, ada sedikit rasa bangga dan terutama rasa heran pada diri: betapa ia kuat menanggung beban yang (kemungkinan) bisa membuat orang lain terdaftar di RSJ!
Biarkan hati dan pikiran saya yang memproses semua emosi yang tidak boleh dicatat ini. Waktu akan membantu saya. Mungkin kenangan baru yang manis-manis bisa mempercepat prosesnya.
Semoga cepat sembuh, hati....
*sebuah catatan untuk diri sendiri: selamat diri, sudah menjadi begitu kuat sejauh ini.
Tentu saja kertas lebih sabar dari manusia. Dia hanya 'ada', menjadi dirinya. Dia tidak akan menggurui, menghakimi, mengoreksi, dan sok perhatian atau memberi nasehat saat kita mencurahkan apa pun padanya. Dia hanya hadir, sabar merekam. Dan dengan hanya begitu, ia (bisa) membuat kita mengenali dan mengekplorasi sendiri segala rupa perasaan dan (kadang) menemukan ketenangan atau jawaban semua pertanyaan.
Karena kadang-kadang kita hanya butuh didengarkan, dipahami, dan diakui perasaannya; lalu merasa sedikit lebih lega.
Sudah lama sekali saya berhenti menulis diary--merekam sejarah diri, bersahabat dengan kertas. Selama ini saya tidak tahu apakah ada manfaat signifikan menulis diary selain yang tersebut di atas. Setumpuk diary yang saya simpan kadang terasa seperti sampah yang dibuang sayang. Atau memang itu fungsinya; menjadi tempat sampah untuk merekam segala macam emosi: harapan, suka, duka, kegundahan, termasuk pertanyaan-pertanyaan.
Meski saya berhenti menulis diary, rupanya kebiasaan 'mencatat' kejadian tidak berhenti begitu saja. Saya merekam 'catatan sejarah diri' dengan cara lain. Saya menandai kalender, membuka history chat bbm, mendengar rekaman telpon dsb untuk menelusuri kejadian yang saya alami.
Dengan kembali menelusuri catatan tersebut (meski tidak melulu di kertas), saya bisa mengenali penyebab kenapa saya merasa begini atau begitu di beberapa hari, minggu atau bulan yang lalu. Nggak nyaman banget rasanya ketika kita tahu ada yang salah, ada hal yang bikin tidak bisa tidur tapi kita nggak tahu apa sebabnya dan nggak bisa melakukan apa-apa (untuk mencegah, misalnya).
Timbul pertanyaan, jika seandainya saat itu juga bisa membaca penyebab kegundahan, mungkin nggak ya bisa mengubah keadaaan? Atau paling tidak membantu mengadakan tindakan pencegahan? Entahlah.
Sejauh ini, 'mencatat' atau 'merekam' kejadian bisa membantu menunjukkan bahwa firasat atau feeling itu memang ada. Bukan sesuatu yang diada-adakan. Hati bahkan tubuh sekalipun nggak bisa dibohongi. Mereka juga mengirim pesan/pertanda yang nggak boleh diabaikan. Dan ada perbedaan besar antara 'firasat' dan 'kecurigaan'!
Selain firasat, hal di sekeliling pun kadang memberi pesan dan pertanda tersebut. Sebagai contoh, saat hal buruk terjadi, hal-hal di sekeliling menunjukkan tanda-tanda dengan caranya sendiri pada saya: gelang kaki yang tiba-tiba putus sampai 3 kali (sebagai pertanda kejadian sama yang berulang. Saya tidak memakainya lagi karena sudah 3 kali putus, khawatir nanti putus lagi lalu hilang), plang-plang di pinggir jalan yang mengirim pesan dengan caranya sendiri, nomor HP yang error tanpa sebab--nggak bisa nelpon, lalu kalung kesayangan yang putus (sepertinya ini menjadi simbol atas sebuah kejadian fatal dan sangat sangat menyedihkan dalam sejarah hidup saya) dan hal lain yang bisa dirasakan dan dilihat tapi tidak bisa dilabeli apa/kenapa.
Ya, saya termasuk orang yang percaya ada banyak pertanda di sekeliling yang berusaha memberi tahu kita sesuatu. Bukankah katanya semesta tiap detik mengirimkan pesan-pesan yang haus dikenali. Tinggal kita bisa membacanya atau tidak, karena memang tidak mudah.
***
Meski ada kertas yang konon begitu sabar dan dapat dipercaya merekam semua cerita sekalipun, kadang ada hal yang terlalu berat bahkan untuk dituliskan (apalagi secara gamblang). Atau terlalu personal hingga takut bahwa kertas yang sabar dan setia kawan itu pun bisa membocorkannya. Menuliskan atau menceritakannya akan terasa seperti menunjukkan aib, kelemahan diri dan kemalangan yang mengibakan. Sungguh saya tidak mau dikasihani untuk hal yang satu ini. Karena sampai detik ini, ada sedikit rasa bangga dan terutama rasa heran pada diri: betapa ia kuat menanggung beban yang (kemungkinan) bisa membuat orang lain terdaftar di RSJ!
Biarkan hati dan pikiran saya yang memproses semua emosi yang tidak boleh dicatat ini. Waktu akan membantu saya. Mungkin kenangan baru yang manis-manis bisa mempercepat prosesnya.
Semoga cepat sembuh, hati....
*sebuah catatan untuk diri sendiri: selamat diri, sudah menjadi begitu kuat sejauh ini.