Jangan terlalu serius. Tentu saja tulisan ini tulisan ringan yang sifatnya subjektif di sana-sini sodara-sodara, apalagi mengingat ditulis oleh saya berdasarkan pengamatan sekilas saat berkesempatan kembali mengunjungi Bandung pada awal Februari lalu (tepatnya pada 6-9 Februari 2014).
Time flies.
Ga kerasa udah sekitar 3 bulan saya meninggalkan kota yang pernah 'membesarkan' saya ini dan kota yang membuat saya jatuh cinta padanya sejak kunjungan pertama berpuluh tahun lalu.
Dan pada kesempatan kunjungan kali ini, tentu saja ada beberapa perubahan yang terasa, baik secara fisik atau non-fisik. Nah loh? Perubahan fisik jelas terlihat dari tampilan Bandung dan sangat mungkin dirasakan oleh orang lain. Tapi perubahan non-fisik (saya ga tau istilah yang lebih tepatnya) mungkin akan sangat personal.
Saya berkesempatan lagi merasakan udara Bandung yang terasa dingin menggigiti kulit. Saya merasa betapa cepat saya melupakan aroma cuaca Bandung. Tapi sayangnya saya ga sempat ketemu banyak teman-teman, kecuali seorang teman baik sejak masa kuliah, Eva namanya.
Saya mau jujur, salah satu alasan utama saya ke Bandung adalah karena saya sangat ingiiiin sekali sungguh benar-benar berjalan bergandengan tangan bersama Hubby tercinta di sepanjang jalan Braga, di bawah payung warna-warni yang 'digantung' di langit. Setiap Sabtu malam, Braga Culinary Night Festival, adalah salah satu perubahan yang terjadi di Kota Bandung yang digagas sendiri oleh walikota kebanggaan, Ridwan Kamil.
Dan kenapa saya begitu ingin jalan di sana? Pasalnya saya pernah melihat sebuah foto di FB yang bergambar payung warna-warni 'digantung' di antara dua gedung bergaya klasik di antah berantah di luar negeri sana. Di luar negeri! Dan saya bermimpi bisa jalan di sepanjang jalan itu bersama seseorang. Nah, ketika ternyata payung semacam ini hadir di Bandung, apa salah jika saya berpikir inilah momen untuk mewujudkan mimpi saya. Walaupun payungnya ga sepenuh dan sebanyak luar negeri. *fiuh
Tapi keinginan ini sepertinya belum boleh terwujud. Mendengar kabar Braga sangat padat setiap kali payung-payung tersebut 'digantung' di langit dan mengingat hubby ingin makan menu favoritnya di salah satu cafe, jadwal ke Braga gagal. Tapi saya ga sedih, nyatanya bukan tempatnya, tapi bersama siapa yang lebih penting kan? hihii... :p
Perubahan lain yang juga digagas oleh sang arsitek kenamaan ini adalah taman-taman di Bandung. Saya pernah menulis artikel news tentang rencana Ridwan Kamil untuk menjadikan sekira 100 lebih taman kota di Bandung menjadi taman tematik. Selain bertema, taman-taman akan diberi label/nama, dirapikan, ditambah fasilitasnya (bahkan kabarnya akan ada toilet umum di taman). Waktu itu taman pertama yang 'dirapikan' adalah Taman Cempaka. Taman ini bertema fotografi dan simbol yang terdapat di sana adalah huruf 'C', untuk 'camera'--media super penting dalam ranah fotografi.
Dan saya sengaja meminta hubby lewat sana sehabis mengunjungi Gasibu di hari Minggu pagi. Fotografi bisa dinikmati di taman ini. Ide yang unik ya? Biasanya foto dipajang dan dipamerkan di ruangan tertutup, lah ini di taman terbuka. Ada banyak foto yang dipajang rapi di media khusus di salah satu sisi taman. Saya tidak turun, tidak sempat ambil foto. Terakhir dulu, saya baru melihat bangku taman, ayunan, dan mainan lain di taman ini dicat dengan warna cerah.
Taman ini punya tempat khusus di hati; saya pernah sengaja mengunjunginya pada suatu sore bersama Nia, Andika, Marti--jalan kaki dari rumah Nia. Serasa menjadi anak kecil lagi saat main ayunan dan minta teman mengayunkan atau menahan ayunan agar berhenti, lalu jerit-jerit saat ayunan terlalu tinggi. Dan foto-foto narsis tentunya tak lupa.
Taman ini punya tempat khusus di hati; saya pernah sengaja mengunjunginya pada suatu sore bersama Nia, Andika, Marti--jalan kaki dari rumah Nia. Serasa menjadi anak kecil lagi saat main ayunan dan minta teman mengayunkan atau menahan ayunan agar berhenti, lalu jerit-jerit saat ayunan terlalu tinggi. Dan foto-foto narsis tentunya tak lupa.
Foto gadis-gadis ini diambil oleh Andika |
Selain Taman Cempaka, sudah ada banyak taman lain yang dipercantik. Tapi sayang, saya belum berkesempatan ninggalin jejak kaki di sana.
Gasibu juga sudah berbeda ya. Entah sejak kapan, mungkin sudah lama hanya saya baru tau karena memang jarang ke sana. Pagi-pagi sekali kami memutuskan ke Gasibu, dengan misi utama mencari sarapan. Lalu sekalian menemani suami belanja (Loh kok kebalik yah? hehe...kidding... :p).
Lapangan gasibu bersih dari penjual pasar kaget, dan khusus untuk mereka yang ingin berolahraga. Jadi lahan lapak para pedagang yang direlokasi ke sepanjang jalan sekitaran.
Kemacetan di Gasibu sini masih belum berubah ternyata sodara-sodara. Dan keberadaan pengamen (yang saya sering sebel dengernya ngamen sambil ceramah saklek) masih juga bercokol di perempatan lampu merah Binong adalah hal kecil lain yang belum berubah di Bandung. *penting!
**
Oh ya, dalam perjalanan menuju Bandung, Bandung terasa kian 'jauh'. Jauh dalam bilangan jarak sudah pasti, tapi jauh yang ini rasanya asing. Mungkin karena Bandung sudah bukan lagi tempat saya berdomisili, bekerja, nongkrong bareng saat weekend bersama sahabat, dan tempat pulang kedua setelah rumah ortu di Lampung. Bandung cukuplah kini menjadi kota kenangan dan dikunjungi sesekali saja.
Saat memasuki kamar kost, perasaan asing lain datang. Ini lebay ga ya terdengarnya di telinga kalian? hehhe....Yang jelas, saat hidup membuat kalian harus memilih dan atau mengambil keputusan besar, manuver tak pelak harus dijalani sepaket dengan segala risiko dan harapan baru. Tentu saja, manuver ini akan membawa banyak perubahan dan banyak 'sensasi'. Hihii...
Meski saya mencintai Kota Kembang ini, saya--pada akhirnya, tanpa pernah saya duga jalannya--memutuskan meninggalkannya dengan sukarela dan sukahati dan tanpa dendam tentu saja.
Ada cinta yang lain, yang menarik saya untuk kembali ke kampung halaman. ;)