Bagi saya, Jalatunda bukanlah sebuah sumur. Meskipun nama Jalatunda sendiri adalah berarti sumur yang besar atau luas dalam bahasa Jawa.
Dari sekian banyak objek wisata kawasan Dieng Plateau yang kami kunjungi tepat saat pergantian tahun kemarin, Sumur Jalatunda adalah objek yang paling ingin saya tulis, yang paling membuat saya penasaran. Kompleks wisata Dataran Tinggi Dieng terletak di Propinsi Jawa Tengah, dimana sebagian wilayahnya termasuk dalam Kabupaten Wonosobo (2 desa) dan sebagian lainnya dalam Kabupaten Banjarnegara (6 Desa). Dieng tepatnya terletak 2.093 M di atas permukaan laut.
Peta Wisata Dieng di Pertigaan Dieng |
Kalau ditanya kenapa sumur ini menarik bagi saya, saya juga tidak tahu pasti alasannya. Mungkin karena di sumur ini, saya mendapat informasi gratis dari seorang guide sekelompok anak-anak tentang sejarah yang bercampur mitos dan kepercayaan penduduk setempat atas keberadaan sumur ini. Sementara di lokasi lain, saya tidak mendapat informasi apapun kecuali nama lokasi objek wisata itu sendiri. Ketidaktahuan bisa membebaskanmu dari rasa penasaran. Ignorance is a bliss. Karena rasa penasaran seringkali membuat tidak tenang. Tapi usaha menuntaskan penasaran jelas bisa membebaskan. (Ah, ngomong apa sih?)
Atau mungkin, sumur ini mengingatkan saya akan Trevi Fountain di Roma—kolam cantik rancangan Bernini yang selesai dibangun di tahun 1762—yang membolehkan pengunjungnya melempar koin ke dalam kolam sambil mengucapkan keinginan dan demi nasib baik.
Tangga menuju Sumur Jalatunda |
Pemerintah sudah melarang pengunjung melempar koin ke Sumur Jalatunda, lalu menggantinya dengan batu kali berukuran kecil (kerikil). Maka jangan heran, begitu kita sampai di ujung tangga yang mengantar kita ke dekat sumur, terlihat tumpukan batu yang beralas karung ala kadarnya. Harga tiap batu Rp500,00. Harga yang cukup murah untuk menguji keberuntungan.
Ya, keberuntungan. Menurut guide bersuara lantang seperti tukang obat keliling—sebut saja Bapak Tua (sebutan karangan saya sendiri)—ada kepercayaan bahwa orang yang berhasil melemparkan batu kali ke titik tertentu akan beruntung dan keinginannya akan terwujud. Adapun target lemparan berbeda antara perempuan dan laki-laki. Bagi perempuan, cukuplah ia mampu melempar batu ke tengah kolam untuk bisa dikatakan berhasil. Sementara untuk laki-laki, target lemparan tentu lebih jauh lagi, yaitu ke seberang sumur yang ditandai dengan rimbun pohon bunga berwarna ungu, yang tumbuh di sela-sela batuan tepian seberang sumur.
Bapak Tua menekankan bahwa batu yang digunakan adalah batu yang dibeli dari anak-anak Dieng di lokasi sumur ini. Jadi, jangan berpikir untuk membawa batu sendiri. Mendengar ini, saya jadi berpikir, sepertinya ini adalah salah satu cara menarik pengunjung dan menantang rasa penasaran mereka sambil meraup sedikit keuntungan dari penjualan batu kerikil.
Dan bukan Neni namanya kalau tidak penasaran dengan mitos-mitos macam ini. Meskipun terjebak antara percaya dan tidak, saya tak mau melewatkan kesempatan melempar batu ke sumur yang airnya berwarna hijau pekat ini. Lihat, wajah saya senang begitu saat melempar batu, walaupun gagal sebanyak dua kali.
Foto oleh Nia Janiar |
Sumur Jalatunda |
Percayalah, sumur yang diperkirakan berdiameter 90 M dengan kedalaman ratusan meter ini, terlihat mudah ditaklukan. Tapi begitu batu dilempar, ia seolah lenyap di antara rimbun pepohonan yang tumbuh di sekitar sumur, dan bukannya ke tengah.
Mas Wahyu, yang paling bersemangat dan paling bertenaga melemparkan batu pun tidak berhasil. Juga Pak Asep, Kang Agus, Nia, dan Eka. Mas Sis sepertinya tidak mencoba—saya tidak ingat melihatnya melempar batu. Pendek kata, tidak ada satu pun dari kami yang berhasil.
***
Adapun mengenai asal usul terbentuknya Sumur Jalatunda, Bapak Tua berkata bahwa ia terbentuk dari letusan gunung api yang berakibat terbentuknya kawah yang kemudian terisi air. Fenomena semacam ini hanya ada dua di dunia. Satu adalah Sumur Jalatunda ini dan yang satu lagi ada di Meksiko. (Nah, kenapa namanya bukan Kawah Jalatunda saja? Atau mungkin, ia terlalu dalam untuk disebut sebagai kawah?)
Selain menyebutkan asal usul secara ilmiah, Bapak Tua juga menceritakan mitos seputar sumur raksasa berwarna hijau ini. Alkisah jaman dulu kala ada seorang putri yang cantik jelita yang selalu mengenakan pakaian serba putih namun berperangai jahat. Ia sering meminta tumbal untuk dikorbankan dan ditenggelamkan di sumur ini. Disebutkan juga bahwa di dalam sumur ini, ada pintu gerbang yang menghubungkan ke kediaman ular setengah dewa.
Bapak Tua menutup penjelasannya dengan lantang berkata: "Dalamnya sumur bisa dikira, dalamnya hati siapa yang bisa mengira." Kira-kira begitu, saya tidak ingat dengan pasti.
***
Oh iya, mengenai larangan pemerintah melempar koin, mungkin alasannya adalah untuk menjaga keutuhan sumur ini. Saat saya browsing dalam rangka menutaskan penasaran akan sumur ini, saya sampai pada sebuah berita tentang Morning Glory Pool di Wyoming, Amerika Serikat. Menurut berita tersebut, mata air panas ini dulunya berwarna biru. Namun sekarang, mata air panas ini tidak lagi berwarna biru saja, muncul warna hijau, kuning dan bahkan merah di sekeliling mata air. Tersebutlah tren melempar koin ke mata air demi nasib baik yang menyebabkan fenomena ini. Kabarnya, koin yang dilempar ke mata air selama puluhan tahun ternyata memblokir ventilasi panas kolam dan mengurangi suhu di sana. Belum lagi bahan kimia koin yang tentunya turut menyebabkan reaksi berbeda dan menumbuhkan bakteri.
Morning Glory Pool. Sumber foro dari sini. |
Mengenai batu-batu yang dilempar ke Sumur Jalatunda, yang terpikir oleh saya adalah jika banyak orang melempar batuan selama bertahun-tahun ke depan, akankah sumur ini nantinya menjadi semakin dangkal? Atau ia akan tetap baik-baik saja, karena mungkin ada sebuah jalur yang mengalihkan batuan tersebut ke tempat atau gerbang lain dan bukannya menumpuk di dasar sumur.
0 comments:
Post a Comment